Gubrak!!!!
Aww!!
Ringisan cukup keras terlontar. Sembari memijat kepala yang nyut-nyutan, ku coba buka mata tatap sekelilingnya.
Hal pertama yang ku amati tidak lain tidak buka ialah segamblang langit-langit rumah berpendar lampu neon.
"Alhamdulillah cuma mimpi." legaku.
Barangkali jatuh dari tempat tidur wajib ku syukuri, satu tali pemutus mimpi buruk yang terasa mengerikan.
Ku lirik lagi arah jendela. Masih tertutup gorden tipis. Aku berharapnya dunia belum terang. Sayangnya seberkas sinar telah ada menembus. Nyalang mataku kala menatap bulatan jam di dinding.
Jam 9 pagi?
Aku terlonjak cepat dari lantai, bahkan sakitnya persendiaan terlupakan. Tempat tidur yang biasa dirapikan terlebih dulu ku tinggal percuma.
"Astagfirullah aladzim!!!" pekikku lebih tersentak dari sebelumnya.
"Saka????"
Ini kali pertama ada sesuatu yang mengganjal di tempat tidurku. Biasanya hal sepele saja, misal karena ada noda merah dari kotoran haid akibat bocor.
Tapi sekarang ada Saka atau mungkin bayangan Saka? Ku dekati ragu. Dia menggeliat malas, tubuhnya beringsut menyandar di kepala ranjang.
"Hai, selamat pagi istriku." sapa dia tersenyum manis. Tangannya tanpa ragu menarikku hingga terjatuh di pangkuannya.
"Lo bener Saka?" polosku meraba-raba wajahnya. Ingin memastikan kebenarannya.
Saka tidak lantas menjawab, dia malah menepikan bibirnya di keningku begitu dalam. "Iya sayang aku suamimu."
"Haha." aku tertawa membalikkan badanku hingga posisinya duduk di pangkuannya- saling berhadapan. "Coba deh lo cubit gue yang keras!"
Saka tampak mengernyit. "Nanti merah dong, gak apa-apa?"
"Jangan lebay ayok cubit! Gue harap ini mimpi yang bersambung. Jangan nyata, please!" ungkapku.
Saka tertawa pelan mencubit kedua pipiku. "Lucu deh ini beneran bukan mimpi."
"Gue maunya ini mimpi!!" pekikku meninggi.
"Baiklah akan ku buat seperti mimpi." ungkap Saka.
Selanjutnya hening, minus kata terucap. Saka melahap habis bibirku. Rasanya lemas, sesak. Nyaris kehabisan napas karena serangannya.
Kerakusannya mulai berangsur pergi. Kini tersisa ciuman lembut, permainan lidah penuh penghayatan hingga nikmatnya bisa ku rasakan.
Saka mempertahankan ritmenya saat dia berpindah haluan. Menjelajahi setiap bagian leher hingga berjejak. Merah-merah seperti memar.
Seakan meminta lebih, bibir Saka turun terus menuju dada. Tangannya yang dibelakang tanpa permisi menyusup di balik piama tidurku.
"Saka udah!" pintaku menarik diri.
"Kenapa?" tanyanya kecewa.
"Merah pasti!" dengusku turun dari pahanya lantas terberit mendekati cermin meja rias.
"Loh tadi katanya jangan lebay, merah juga gak papa." sok polos Saka.
Gigitan cinta or commonly know as 'ciuman vampir' sejarahnya selalu memberi ruam merah.
Payahnya diriku, baru dihisap pelan sudah berbekas parah. Ku raih tissue basah dekat peralatan make-up, diusap-usap berharap pudar. Walau tidak mungkin hilang. Perlu berminggu-minggu, setidaknya itu yang ku tahu.
"Makanya jangan apik. Telur lahap, daging merah hajar biar gak kekurangan zat besi." ungkap Saka mulai mendekat.
Apa hubungannya zat besi sama cupang kurang ajar dia coba?
Cukup tertahan dalam benak. Malas bertanya. Terlebih sekarang keadaannya semakin runyam buatku tidak nyaman.
Dia melingkarkan tangan di perutku, dagunya bersandar menyentuh bahu. Yang menggelikan, mulutnya lihai meniup-niup, mengendus, mengecup sampai menggigit pelan daun telingaku.
"Ra dari dulu masa mudah banget merahnya? Keliatan kurang zat besi banget! Pengaruh tahu pas dihisap." ocehnya.
"Apa maksudnya?" heranku.
Ucapan Saka kurang memikat. Bukan itu yang membuat segaris kerut di dahiku berkembang biak.
"Apa maksudnya?" ulangku tergesa meraih secarik kertas tebal.
Undangan laknat!! Tertulis tanggal kemarin di keterangan akad nikah, dan tanggal 26 di keterangan resepsi. Itu artinya hari ini, detik ini dan malam tadi bukan mimpi. Aku sudah menikah.
Salahkan aku yang tak pernah mau ikut campur. Jangankan ikut campur, meneliti atau membuka undangan saja tidak pernah.
Buruk sungguh! Tidak ada bagus-bagusnya! Nikah macam apa yang ku laksanakan tadi malam?
"Yang penting resepsinya." beber Saka menangkap pemikaranku. "Modern classik itu mimpi kamu kan?"
.
.
.
***
Patah hati. Siapkah kau tuk patah hati? Harusnya siap, sesiap saat kau jatuh cinta dulu. Oang-orang bilang 'siap jatuh, siap patah pula'. Intinya cinta memiliki sebagian sisi yang ngilu dan pilu.
Maka biarkan sorot mata kehilangan binarnya, biarkan setetes dari kaca-kaca di pelupuk meluruh, biarkan hati berdenyut akan sayat-sayat sembilu.
Setidaknya saat kau jatuh, terimalah. Itu yang banyak kaum Kara lakukan. Menangis meratapi. Cukup sesaat saja, selebihnya ada banyak yang bangkit menantang sakit. Kuat berpijak di bumi, karena hidup harus tetap berjalan.
Kara salah satunya, wanita sok kuat walau tidak. Munafik memang tapi itu lebih baik dari pada terus terpuruk.
"Udah tiga hari Chelsea enggak masuk. Kemana dia?" tanya mba Almira.
"Sakit mba." ujar temannya Naura sembari mengetik surat. Tugas anak magang ya apa saja, disuruh laksanakan, tidak disuruh bersyukur.
"Gue ketemu Chelsea di Starbuck Thamrin kemarin. Sama cowoknya masa." berita mba Intan. "Ganteng banget dah cowoknya."
"Siapa sih nama cowoknya Nau?" kepo mba Almira.
Entah kenapa Naura melirik ke arahku, dia yang cs Chelsea pastinya sinis padaku. Dia seperti Sisca, teman yang siap membela saat temannya tersakiti.
Dan aku meluruh. Sangat mengerti, Chelsea pasti terpukul dengan semuanya. Sadar atau tidak, Chelsea seakan mengulang kisahku lampau. Dicampakkan kekasih.
"Tapi dia kayaknya abis nangis deh. Matanya sampe segede telor dinosaurus gitu." celoteh mbak Intan.
Kedua kalinya Naura mendelikku tajam. "Dikhianati pastinya sakit mbak. Orang yang disayangi Chelsea baru direbut orang!"
"Hah?" cengo Almira. "Oalah gue inget. Gibran. Gibran kan nama cowoknya? Terus dia selingkuh? Gak heran sih, cogan mah bebas."
"Bukan! Tapi ceweknya yang kegatelan!" sindir Naura. "Main tempel, tempel aja!"
Sisca muak mendengarnya. Berpaling dari komputer, tinggalkan sejenak laporan laba rugi yang sedang disusun.
Selayak aku yang sedari tadi menahan diri, Sisca pun melakukan hal sama. Namun emosinya gagal mengendap.
Dia menarik kursi, mendekati arahku. "Ra, tahu gak lo? Mantan lo ada cerita sama gue katanya dia terus disosor-sosor sama cewek ABG gak tahu diri padahal hatinya udah tertutup buat siapa pun. Dia stuck di lo."
Bohong, ku rasa Sisca sedang mengarang bebas. Bagaimana bisa dia berhubungan baik dengan Gibran setelah hari kemarin?
Sisca tidak mudah melupakan, memaafkan apalagi. Kelakuan Gibran kemarin sukses buatnya jengkel. Jadi tidak mungkin. Hari ini diajak makan siang bersama saja dia menolak. Alasannya malas ada Gibran.
"Ceweknya tuh dableg tahu. Kata Gibran, cewek itu ditinggalin cowok. Lah gimana gak mau ditinggalin sama tuh cowok kalo dianya aja terus mepet Gibran. Gibran sampe bilang 'gue aja kalo jadi cowoknya Chel,,, tett,, sensor,,, jadi cowoknya dia pasti putusin lah." cerocos Sisca.
Ku lirik sekilas air muka Naura memanas. Remaja memang gampang tersulut emosi.
"Hah seriusan? Gibran yang lo maksud mantan Kara itu cowoknya Chelsea??" tanya mba Almira.
"Iya, dia temen sekelas gue di SMA, tiga tahun pula. Males sebenarnya gue ngakuin dia teman." celetuk Sisca. "Nyebelin orangnya!"
"Eh, tapi kalo Gibran stuck di lo. Terus Chelsea gak sepenuhnya dicintai dong?" spekulasi mbak Intan si gigi kawat pada Kara. .
"Duh mbak-mbak salah deh kayaknya. Maksud gue tuh si Chelsea baru ditunggalin cowok, eh dia mepet-mepet Gibran mantan Kara."
"Oalah berarti sama Gibran belum fix pacaran toh." simpul mbak Intan.
"Gimana gak ditinggalin, orang yang disayang Chelsea kan direbut Kara!" sambar Naura.
Aku diam saja. Sayup-sayup telingaku menangkap pintu bu Rose terbuka.
Dia menggenggam beberapa undangan merah muda dengan hard cover, tiga diantaranya menyempil undangan bersampul hitam.
Saat dia berjalan matanya berkobar-kobar menatapku. Firasatku memang benar.
"Nanti lusa kalian dateng ya ke acara anniv pernikahan saya. Kalo ada wajib bawa pasangan." cicit bu Rose.
"Terus ini ada undangan dari bos. Pak Saka mau menikah." serahnya pada mba Almira, Intan dan Naura. Ekor matanya genit berkedip padaku.
"Satu lagi." ucapnya sebelum melenggang pergi ke luar. "Buat kamu, Ra."
Paper bag berisi kotak persegi tidak bervolume. Disampul kertas kado hijau tosca bunga-bunga. "Pelajari! Lumayan buat panduan nanti malam."
Ya, i mean your whisper Miss.