Mengasingkan diri di satu ruang berjuta kenangan mungkin bisa membantu.
Saat semua sudah terlelap, aku bersiap mengelap air mata yang mungkin kan terjatuh.
Entah, ibu enggan membinasakan segala tentang Camilla. Foto-foto metamorfosa Camil juga dipajang rapi di sana.
"Kak Mill lo bikin gue pusing tahu." keluhku mengusap foto cantiknya. "Kenapa lo harus pergi tanpa berwasiat dulu."
Bohong jika kami jarang bertengkar. Naksir cowok yang sama pernah kita alami, sampai saling merebut pacar masing-masing pun pernah.
Kita hancur lebur bersama. Dinodai di tempat dan hari yang sama, tentunya oleh orang berbeda yang sama-sama belum teridentifikasi jelas.
"Gibran," senyumku menatap fotonya bersama Camill di zaman SMA.
Gibran itu satu pemuda yang hampir pecahkan hubungan persaudaraanku dan Camil. Dia juga kekasih yang sempat ku yakini jodohku.
Tapi, Camill merebutnya dariku. Hubungan keduanya ku rasa berlanjut tanpa peduli luka di hatiku.
Dulu saat sudah di Amerika saja, pernah sekali aku lihat Gibran keluar dari apartemen Camil.
"Sumpah gue gak ML sama mantan terindah lo kok." jelas Camil dahulu kala.
Dan aku tidak peduli. Satu harapku, jangan ada lagi Gibran datang merusak hati yang mulai tertata.
No, Gibran! Dia masa lalu! Jangan lagi tersisa rasa untuk cowok yang pernah menyakiti tanpa henti!
"Dia pokoknya bukan jodohku. Bukan ayah Samella!" kerasku bergidik ngeri.
Satu fokusku ya ayah Samella. Begonya dulu aku tidak bisa mengingat sepenuhnya peristiwa tersebut.
Yang ku ketahui ayah Samella itu berbadan atletis, setelan kantornya dipenuhi bau mint.
Aku sempat mencium serta membuntuti kemana dia berjalan, tapi latar tanpa penerangan cukup sulit membantuku mengenali wajahnya.
Jangankan wajah, langkah kakinya sudah tak berjejak lagi. Aku kehilangan arahnya.
Aku yang kesulitan berjalan karena terasa perih, duduk sebentar di satu bangku terdekat.
Di sanalah aku kembali didatangi Gibran. Tapi sumpah bukan dia yang meniduriku. Aku bisa membedakannya walau keadaanku mabuk berat.
"Gue tahu siapa yang udah nidurin lo. Dia keluar dari kamar lo penuh sesal." ujar Camilla lesu. Rautnya amat terpukul. "Tapi gue lupa gak fotoin."
"Bukan Gibran kan yang udah nidurin gue?" kataku memastikan.
Dan dulu Camil hanya diam, tersenyum lemah. Sedetik kemudian dia menggeleng tegas.
"Alah, Katanya No Gibran!" ucap seseorang buatku terperangah kaget. "Tapi masih aja lihat-lihat fotonya. Udah ngapa sama Saka aja."
Tahu kan siapa orang yang paling suka melihatku dan Saka bersama? Ya, dia Siscalaina Arais.
Dia terbukti sebagai perempuan kurang waras. Gila saja ini sudah pukul satu malam dan dia masih bisa bertamu?
Tidak etis!
"Siapa yang bukain pintu rumah gue buat lo?" ketusku.
"Santai. Gue kan punya nomor telpon Bi Narsih. Gue teror aja dia terus sampai diangkat." ujarnya.
"Mau ngapain lo kesini?" judesku mengabaikan perkataan Sisca sebelumnya.
"Emerladie familly." sumeringahnya bikin bingung.
Sepertinya Sisca membaca rautku dan segera menjelaskan. "Samella itu cucu dari Emerladie Familly, Ra. Gue baru ingat kalau Kak Mill sempet ngirim surat ke gue pas ulang tahun gue."
"Apa hubungannya?" pusingku.
"Kara dulu saat lo frustasi nyari orang yang udah nidurin lo. Lo hampir gila, lupa sama semuanya. Termasuk lupa ke gue." ujarnya. "Bahkan lo lupa enggak ngucapin ulang tahun ke gue."
"Iya dan lo marah sama gue karena enggak ngucapin. Kekanak-kanakan banget emang." kataku sebal.
"Gue minta hadiah sama Kak Mill berupa surat peristiwa sedetail mungkin mengenai kalian. Dan di situ Kak Mill nyebut ayah Same berasal dari keluarga itu." riangnya.
Tapi aku tidak cukup puas dengan informasinya. "Lo pikir anggota keluarga bermarga itu kecil? Kak Mill cuma nyebutin asal keluarga prianya bukan nama prianya, Sis."
.
.
.
***
Sial! Kenapa aku harus memilih lintasan sayap kiri kampus, tidak lewat sayap kanan saja?
Jika begini, besar kemungkinannya bertemu Saka. Terlebih harus dipojokkan masuk ke ruangannya.
"Kara." suara seseorang melengking.
Kaki ini baru saja memasuki kawasan ruang Saka. Dan seseorang sudah memanggilku? Ini seperti sudah direncanakan. Kedatanganku sedang dinantikan.
Dia semakin mendekat, aroma bunga kian lekat tercium. Untuk apa dia datang sepagi ini ke kampus, mau pacaran kah?
"Masuk!" perintahnya.
"Bicara di sini aja kalo ada sesuatu." kataku membantah.
"Katanya berpendidikan, tapi perihal etika sekecil ini aja lo gak paham." ejeknya. "Lo pikir sopan berdiskusi sambil berdiri tanpa dijamu begini?"
"Oke." pasrahku mengikutinya.
Ruang ini jauh lebih menenangkan tanpa ada pemiliknya. Aura ancaman yang berbahaya tidak lagi ku rasakan.
Hanya saja sedikit pusing mengartikan sikap kekasih si pemilik ruangan. Benar saja dia sudah menyediakan segelas lemon tea dan sekotak kue lapis legit kesukaanku, dia berniat menjamuku.
"Pasti ada maunya." ujarku terang-terangan.
Chelsea juga tipe orang yang anti bertele-tele. Dia langsung menggebrakkan sekumpulan foto dan berlembar kertas tentangku.
Dapat dari mana dia? Apa tujuannya? Aku sampai tercengang didata hingga sedetail ini.
"Bukan gue, tapi Saka." jelasnya.
"Gara-gara lo rumah tangganya hancur. Lo harus tahu kalo pelet yang lo pake sangat ampuh." Lanjutnya lagi.
"Hati-hati kalo ngomong! Siapa juga yang pake pelet." belaku.
"Lo udah rebut Saka dari istrinya dan sekarang lo mau rebut Saka dari gue?" menggebunya. "Iya kan?"
"Dasar pelakor!!"
Tuhan, drama macam apa ini? Aku saja baru tahu darinya jika Saka sudah beristri, bagaimana bisa dia mengataiku pelakor?
Berhubungan juga jarang. Di kelas pun hanya bertatap muka biasa.
"Lo ambil deh Saka, gue gak pernah bermimpi buat ada di hidup dia!" sebalku.
"Munafik lo!" kerasnya. "Temen lo aja terang-terangan bilang kalo lo suka sama Saka. Lo kegirangan pas Saka ngajar di kelas lo kan?"
Oke, jika aku bisa mengulang ke masa dimana aku menjadi MABA, aku tidak akan mengagumi Saka.
Tepat di semester satu dia menjadi dosenku dan aku sempat terpana akan kekarismatikannya. Bukan jatuh cinta! Karena di masa itu hatiku masih dibelenggu oleh sosok Gibran.
Tidak lama pula aku mengaguminya. Pudar dan hilang seiring waktu berlalu. Selepas semester satu dia tidak lagi mengajariku.
Baru di semester akhir inilah dia kembali mengisi hari belajarku.
"Saka pertahanin rumah tangganya sekedar buat nunggu lo lulus. Dia berani cerai-in istrinya tiga bulan yang lalu karena apa? Karena lo sebentar lagi lulus." emosinya. "Dan udah bisa dinikahi."
"Gue gak minta itu kalo lo pengen tahu!" kesalku.
"Ck," dia meremehkan. "Lo itu makhluk paling tidak peka ternyata. Lo sama Saka udah lama di sini. Dan lo masih enggak paham sikap Saka ke lo selama ini? Kebangetan seolah lo itu buta!"
Duh, Chelsea yang tampak lebih muda dariku benar-benar ngajak perang. Dia siapa sih? Datang-datang berani memarahi bahkan menuduhku.
Dia hanya orang asing untuk kampus ini. Dia tidak tahu saja saat semester satu Saka pernah menghukumku lebih dari delapan kali karena berbagai macam alasan.
Aku juga terpaksa harus ikut remidial berulang kali demi perbaikan dengannya, Saka banyak mengerjaiku. Sungguh seseorang yang menaruh cinta tidak akan bersikap begitu bukan?
Alih-alih saling jatuh cinta karena sering dipertemukan, justru aku dan Saka sebaliknya. Keterpesonaku mati sudah tak berhasrat lagi. Saka pun makin gencar membombandir tingkah yang menyiratkan kebenciannya padaku.
Dan, pure kami memang tidak serasa. Tidak memiliki ketertarikan satu sama lain.
"Saka itu udah ngincer lo dari dulu. Dia sampai mundur dari kantornya demi bisa ngajar lo di sini, seruang sama lo." jelasnya menggebu. "Dia tergila-gila sama lo. Dan gue pengen ngilangin lo dari muka bumi ini rasanya!"