Ku rasa ini harus segera diakhiri. Masa hanya karena Saka ikut bergabung di meja yang sama, mata-mata di kantin menatapku sebegitunya.
"Jadi selama ini kamu tinggal di sana?" tanyanya disela seruputan es teh.
Mulutku tak bergerak sedikit pun. Ada gusar yang sengaja ku perlihatkan lewat gerak mata dan tubuh, biar Saka peka bahwa aku tidak nyaman.
Tapi ya Saka tetap Saka, dia seperti lelaki pada umumnya. Tak begitu pandai membaca signal.
"Sedekat ini ternyata. Saya mencarinya terlalu jauh." ujarnya buatku mengernyit.
"Maksudnya?" bingungku.
"Kamu gak usah enggak nyaman duduk denganku. Mereka iri, biar saja." ungkapnya menangkap tatapan sekeliling.
Tahu. Saka pasti mengalihkan pembicaraan. "Maaf Pak aku pergi duluan."
"Tapi, makananmu masih ada." cegah Saka. "Habiskan dulu! Biar kuning telurnya saya makan."
Mendadak langkahku terhenti. Ku tengok dia yang tengah memisahkan ceplokan kuning telur di piringku.
Tadi aku memesan ayam penyet super pedas toping telor ceplok tapi telurnya tidak berniat ku sentuh.
Tidak enak. Kalau pun mau diberi telur ceplok harus dibuang dulu bulatan kuningnya baru aku mau memakan.
Itu sudah kebiasaanku memperlakukan telur ceplok sebelum dikonsumsi. Tidak aneh bukan jika aku lebih suka putih telur dibanding kuning telur?
Justru yang aneh ialah Saka, dia tahu kebiasaanku. Bukankah dia tidak semestinya tahu karena bukan siapa-siapaku? Kenal juga baru sekarang.
Itu yang membuatku tergoda berbalik arah, duduk kembali di depannya.
"Kok Bapak ta,," kalimatku terpotong sejadinya.
"Sudah seharusnya dari sekarang kamu biasakan duduk tenang di samping saya, Kara. Biar nantinya terbiasa, abaikan mereka." katanya menyendok makanan di piringku lalu menyodor santai.
Tergesa-gesa ku raih juga suapannya. Mengunyahnya penuh perkiraan, Saka sebenarnya kenapa? Dia bukan Saka yang ku kenal.
Aneh!!
"Mulai magang kapan?" tanyanya lagi begitu enak mengalihkan pembicaraan.
Aku jelas tidak mau menjawab. "Kenapa Bapak bisa tahu?"
"Ya, tahu lah. Saya yang rekomendasikan kamu masuk perusahaan itu. Kamu layak ditempatkan di sana, nilaimu juga bagus." Jawabnya tidak sesuai harapan.
Jujur aku kaget mendengarnya. Buat apa dia repot-repot mengurusiku? Tapi masalahnya bukan itu yang ku maksud, jadi jeda dulu perihal magang.
Ini tentang Saka yang sepertinya diam-diam memperhatikanku. Dia tahu apa yang aku suka dan tidak. Kenapa bisa?
"Bukan itu maksudku! Kenapa Bapak tahu tentangku?" tanyaku lagi. Ku harap jawabannya sesuai.
"Karena kamu cantik." senyumnya meraup sesendok nasi kuahnya. "Siapa yang tidak akan tergiur mencari tahu tentangmu."
"Mencari tahu tentangku di luar batas kemahasiswaan itu artinya mencampuri kehidupan privasi." Kataku tidak suka.
"Saya memang berniat untuk itu." singkatnya.
"Mencampuri kehidupan privasiku?" tanyaku memastikan.
Dia menatapku yakin. "Lebih tepatnya memasuki, bukan mencampuri."
"Hah, buat apa?" tak mengertiku.
Sayangnya keseriusan milik Saka mudah pecah. Hanya karena di parkiran dekat kantin terdengar deru mobil baru datang, ia hilang fokus.
Dia tidak lagi memandangku lekat, sudah melayang ke lain arah. Saat ku ikuti kemana matanya berlabuh, di situlah hatiku menggaduh.
Gila saja, dituduh pencokor bukan sesuatu yang baik. Apalagi gadis kemarin yang ku ingat bernama Chelsea memiliki tingkat julid yang luar biasa.
"Aku pergi saja." Kataku bergegas bangkit dari duduk sebelum Chelsea melihatku.
Dia menadah kepergianku. Tangannya begitu erat bertengger. Yang melihat mungkin bisa salah paham. "Enggak usah, di sini aja!"
"Tapi," kataku masih was-was mengitari keberadaan Chelsea yang entah sudah berada di mana.
"Enggak pantes banget sih dosen sama mahasiswi pegang-pegangan tangan." judes seseorang dari arah belakang.
Lewat mana coba gadis ini? Tiba-tiba sudah memasuki kawasan kantin tanpa ku ketahui jejaknya.
Berbicara pantas atau tidak, rasanya aku bisa membalikan. Dia juga berpakaian senonoh, dress di atas lutut, belahan dada rendah. Pantaskah berpakaian begitu di tempat mencari ilmu?
"Eh, Bee. Kamu dateng ke sini sayang?" timpal Saka.
"Pantes telponku gak diangkat-angkat!" ngambeknya.
"Telponnya tertinggal di ruangan, Bee." jelas Saka mencoba merangkul Chelsea.
Chelsea sedikit menepis. "Pacaran?"
Aku tahu maksudnya. Dia menanyakan statusku dan Saka. Begonya Saka malah tidak memberi kesempatan untukku berbicara.
Dia lebih memilih membawa Chelsea pergi tanpa menindak lanjuti pertanyaan barusan.
Mengesalkannya lagi, seraya berjalan merangkul Chelsea dia sempat menengok arahku.
Mulut pemuda itu melemparkan pesan tidak bersuara padaku sebatas mangap-mangap membentuk kata.
"Saya anter kamu pulang. Tunggu di parkiran."
.
.
.
***
Semerbak aroma bunga terhilir memabukkan, aku jadi ingat kekasihnya Saka si wanita berparfum aroma bunga.
Refleks mataku berkeliaran, barangkali ada dia di sekitar sini sedang mengikutiku. Dia kan sedang cemburu padaku.
Tapi tidak ada. Bebauan ini murni mencuar dari atas kuburan bernisan 'Camilla Delaxa'.
"Papahku enggak lagi sama Aunty Mill di surga kan, Opa?" suara Samella memecah kekhusyuan ayah berdoa. "Kok, papah enggak pulang-pulang sih?"
Tertegun sejenak lalu mengusap kepala Samella dan memeluknya erat, itu yang selalu ayah lakukan padanya.
Nanti ibu yang akan merangkai narasi selihainya. "Papahmu lagi cari uang yang banyak, Nak. Kalo enggak kerja, Same enggak bisa beli mainan sama es krim dong."
"Same udah gede Oma, gak perlu dibeliin mainan atau es krim juga gak apa-apa asal papah pulang!" rajuknya.
Aku memicing menatap Samella yang masih berseragam. Benar kata ayah, Same makin pesat perkembangannya.
Mulutnya mulai pandai berkata.
Dia lalu bangkit memelukku, sepertinya ada rindu yang tak tertahankan darinya.
Serak-serak menahan sesak dia berujar pelan padaku. "Bibun emangnya enggak kangen papah ya? Bibun tetep cinta papah kan? Aku ingin ketemu papah, Bib."
"Sabar, Same." kataku.
Memangnya aku bisa bilang apa lagi selain itu? Ayahnya saja aku tidak tahu berparas seperti apa. Tinggalnya dimana.
Lagipula anak sekecil ini tahu darimana sih istilah kangen-kangenan, cinta-cintaan?
"Same pengen kayak temen yang lain, punya Kakak gitu Bib. Bisa kan Same punya Kakak?" katanya.
"Enggak lah Same!" tegasku.
"Kata temen Same, kalo enggak bisa minta Kakak pasti bisanya minta adik. Aku mau punya adik Bibun biar ada temennya." lancarnya.
"Ya Bib, Bibun bisa kan kasih adik ke Same?" ulangnya lagi.
Dan kali ini beban di kepalaku makin bertambah. Samella tidak mengerti saja, bagaimana bisa aku memproduksi anak kalau tidak ada patnernya?
Sementara yang selalu ayah dan ibu inginkan ialah ayah Samella. Padahal usiaku udah 24, ah rasanya banyak yang ingin mempersuntingku tanpa harus menunggu ayah Same.
Pelik pokoknya. Selamat berpusing ria menghadapi tumbuh kembang Samella yang keinginannya semakin menjadi-jadi.