"Ok. Belajar yang rajin ya cantik biar pinter." suara manis terdengar dari balkon belakang rumah.
"Siap Opa!" Samella menanggapi begitu semangat.
Selebihnya suara kecil yang kadang menyebalkan itu lenyap. Ayah tersenyum senang menatap kepergian Samella dan Ibu.
Tersirat jelas betapa ayah begitu bersyukur memiliki Samella, cucu pertama yang harus diutamakan kebahagiannya.
Saking ingin bahagianya sampai ayah lupa padaku yang terus ditekan tanpa sadar.
"Kara, apa kamu belum menemukannya?" tanya ayah menghampiri.
Ku gigit sedikit ujung lapisan roti berselai kacang, mengunyahnya pelan, tak berniat cepat menalannya.
Kesal bukan jika dibombadir pertanyaan sama disetiap saatnya? Bagaimana sudah menemukannya? Sudah ketemu belum?
"Belum Yah." selalu itu jawabanku.
"Kasian Samella." Dan selalu itu kalimat ayah selanjutnya.
"Ya mau gimana lagi. Zaman sekarang cari apapun susah. Cari uang susah. Cari pekerjaan susah. Cari jodoh susah. Cari orang hilang juga susah." ungkapku. "Cuma cari mati yang gampang."
"Samella makin hari makin gede, Ra. Otaknya berkembang. Ayah khawatir kalo dia akan mempertanyakan ayahnya terus." khawatir ayah.
Satu daftar masalah yang dua tahun ke belakang buatku keblenger ya ini cari ayah kandung Samella.
Gila aja harus cari satu orang diantara milyaran manusia di muka bumi ini. Sulit!
"Udah Yah aku ke kampus dulu. Siapa tahu di jalan ketemu tuh sama ayah Samella." kataku bergegas mengakhiri sarapan.
"Andai dulu kalian gak ikut ayah,,," melow ayah yang segera ku potong.
"Aduh Yah gak capek apa nyalahin aja masa lalu?" keselku lantas pamit pergi.
Paling sebel kalau kepingan masa lalu disusun-susun lagi. Yang udah pecah ya biarkan, memangnya bisa dikembalikan seutuhnya seperti sedia kala tanpa retakan-retakannya menjelimpang?
Apalagi jika berkenaan dengan keburukan. Misal tentangku yang tak sebaik teman-teman pikir.
Konyol rasanya, aku takut masuk ruang Pak Saka karena taruhannya keperawanan padahal kegadisanku sendiri sudah hilang.
Mahkotaku tidak lagi ada, begitu juga si pencurinya. Entah dimana, aku resah menunggunya, mencari pun tak kunjung ketemu.
Jadi sebenarnya aku tidak patut takut pada siapa pun yang hendak menggauliku. Toh aku sudah tidak perawan lagi, tidak ada yang harus ku jaga.
Tapi aturannya gak gitu. Gue gak mau sembarangan berhubungan.
"Enggak nganterin anak lo ke sekolah?" tanya Sisca setelah datang menjemputku.
Aku duduk mendesah lemas. "Samella dianter Ibu."
"Tumben." kata Sisca seraya menancap gas lebih cepat.
"Gimana gue mau nganterin Samella kalo mobil gue aja lo rampok." kesalku mengingat kejadian kemarin.
"Haha." Sisca tertawa puas. "Gimana, gimana lo udah diajak making love sama pak Saka?"
Aku mengernyit ngeri. "Jadi maksud lo deketin gue ke Saka itu biar gitu?"
"Nyicip dikit gak papa kali sebelum lo bener-bener ketemu ayah Samella dan nikah sama dia." katanya. "Biar lo gak penasaran sama Saka."
"Gila lo!" sebalku.
Otak Sisca entah bagaimana sistemnya, mungkin syaraf-syarafnya terlalu keriting sampai tidak berfungsi normal.
Selalu hal gila yang memenuhi pikirannya, tak jarang tingkahnya ikut terbawa.
"Gue cari ayah Samella kemana lagi ya?" tanyaku pusing.
"Lah lo yang liat sendiri wajah ayah Samella pas nanem benih di rahim aja bingung apalagi gue." timpal Sisca. "Gak punya fotonya lagi lo. Makin susah aja."
"Samar. Dia kelihatannya ganteng, tinggi, berotot, atletis banget. Orang kantoran gitu setelan kostumnya." kataku mengingat kejadian di club itu.
"Bisa gak inget gitu ya Ra? Dahsyat bener efek alkohol, sampai bikin amnesia!" ucap Sisca.
"Terus menurut lo alkohol itu laknat? Lebih brengsek dari apapun?" tanyaku.
"Iyalah. Karena alkohol itu, lo jadi gak tahu kan siapa yang udah nidurin lo?" sembur Sisca.
Aku berbalik menatap Sisca. "Yang brengsek itu cowoknya, udah tahu gue sama Camill mabuk parah malah main ditidurin aja!"
Tolong mengertilah, dulu keluargaku hijrah ke lain benua. Kehidupan di luar memang sebebas yang terpikirkan.
Mendekam di club sudah bagian dari malamku. Ada banyak keramaian yang buatku betah bertahan, terlebih minuman yang ku teguk mampu lenyapkan kesedihan.
Makin larut makin tak karuan rasa senangku, dunia ini seperti surga, aku seakan disuguhkan kenikmatan yang tiada duanya.
Biasanya jika mentari hadir, aku akan terbangun di sisi kakakku-Camilla. Tapi, hari itu tidak demikian.
"Tapi si Samella dulu gesit banget ya pas pembuahan. Dia langsung bisa nempel di rahim gitu." kata Sisca, "Padahal ibu bapaknya baru sekali genjot."
.
.
.
***
Jadi mata kuliahku menyisa sedikit di semester ini. Selebihnya akan digunakan untuk magang.
Sistem penempatannya mengandalkan nilai. Seseorang yang indeks prestasi per semesternya melebihi 3,6 sudah dijamin masuk perusahaan bonafit.
Aku satu diantara banyak orang itu, Sisca pun termasuk. Dia berjingkrak heboh mendapati namanya berbaris di satu kolom naungan perusahaan yang sama denganku.
Indonesia Emerland Dieksparta Coorperation namanya, beberapa tahun silam kakaku-Camilla sering menceritakan tentang perusahaan tersebut.
"Masuk sana gue jamin lo betah,Ra. Udah gaji OK, provit Ok, mata seger lagi. Cowoknya itu loh pada gans-gans." menggebunya.
Ya, itu semacam fiksi romance kan? Berdirinya juga di latar luar, yang disebut Camilla pun sama. Jadi di cabang Indonesia ku kira berbeda.
"Ra, Kak Mill juga pernah magang di perusahaan utamanya di Amerika sono kan?" cetus Sisca menanyakan.
Wajar Sisca tahu, dia sudah berteman denganku jauh sebelum Samella menginjak bumi.
Dari SD sampai sekarang, bosan terkadang. Tapi kegesrekannya cukup ampuh mengusir kebosanan.
"Kak Mill juga sempet cinlok sama cogan disana kan?" tanyanya antusias. "Oh Tuhan gue pun mau gitu. Cinlok-cinlokan apalagi sama yang kekar super hot markotop. Ngiler gue ngebayanginnya, Ra."
"Lo bayangin dong Ra. Dada bidangnya bakal jadi sandaran kokoh, kalo meluk pasti gue langsung turn on. Maunya menerkam duluan, kalo gak sabar-sabar banget ya tinggal di ruangannya boleh kali ya?" cerocosnya.
Aku mendelik sebal. Khayalan macam apa itu? Seperti tidak berfaedah.
Tapi berbicara Camilla cinlok di Emerland, rasanya ada sesuatu yang kuingat. Bahwasanya Camilla yang memang kebal alkohol. Dahulu kala pas insiden kehilangan keperawanan, ingatan dia lebih bagus dariku.
Dia mengingat wajah pria yang sudah meniduriku berikut pria yang meniduri dirinya sendiri. Dan katanya dia pernah bertemu pria yang menjadi ayah Samella walau sepintas saja di tempatnya magang.
"Eh, Ra?" belalak Sisca kemudian. "Kak Mill kalo gak salah pernah cerita ketemu bapak dari anak lo di perusahaan itu deh."
Tuh kan benar. Ingatanku tidak terlalu buruk. Setidaknya jejaknya mulai terjelajahi.
"Duh siapa ya namanya? Kak Mill pernah kasih tahu." cerita Sisca mendesak otaknya agar ingat. "Ah, gue lupa. Pokoknya ada Emer, emer nya gitu."