Jika yang ku ingin bukan kematian, harusnya aku tidak ada di sini. Mematung di samping tembok bernada serupa dengan warna kain kafan.
Mengerikan. Semerbak aroma bunga mulai berterbangan hingga menimbun bau keringatku.
Sementara itu raung tangis terdengar semakin jelas dan keras.
"Bee, jangan nangis." pinta seseorang. "Kamu harus dengerin dulu ceritanya kaya apa."
"Gak usah!" tolaknya lantas berlari.
Seiring dia menjauh, semerbak wangi bunga dan raung tangis pun pupus.
Harusnya dia dikejar, mengingat air matanya mengucur deras tanda ia sedang ada apa-apa.
Tapi yang menjadi pasangannya--dia si pria di hadapanku, justru membatalkan aksi mengejarnya setelah menyadari keberadaanku.
Dia menatap intens penuh ketidak sukaan. Perlahan derapnya semakin mengikis jarak.
"Mati aku!" gusarku pelan. "Niatnya cuma lewat aja, enggak lebih, apalagi mau nguping masalah orang. Kaya gak ada kerjaan banget! "
"Jadi sejak kapan kamu di situ?" tanyanya.
"Eu, anu, Pak." lidahku sulit sekali berucap. "Belum lama."
"Mau ada yang dibicarakan?" tanyanya serius.
Mata ini jelas langsung terlonjak. Duh, Tuhan aku bahkan hanya melintas ruangannya, tidak ada kepentingan apapun.
Jangan sampai aku terperangkap di dalamnya. Otakku saja sudah mendengungkan beribu tanda bahaya.
Bukan akan mati dibunuh lalu dimutulasi. Tapi intinya, keperawanan menjadi taruhan.
Siapa yang akan menyangka tidak ada apa-apa jika setiap perempuan cantik yang keluar dari ruangannya selalu berpenampilan acak-acakkan, lipstick memudar, dan dua kancing teratas terbuka.
Jelas gila. Itu pasti ada apa-apanya. Grepe-grepe misalnya.
"Ayok, masuk!" perintahnya lagi.
"Ah, itu,," gugupku seraya mencari alasan untuk pergi. "Aku harus, harus ke kelas. Iya, ke kelas karena sudah ada dosen."
"Dosennya kan saya. Jadi enggak perlu takut terlambat. Ayo, masuk dulu." serunya lagi.
Nah kan, gugup membuat otakku semaput berpikir jernih. Aku lupa bahwa hari ini jadwal dia mengisi kelas.
Jadi bagaimana ini? Aku harus masuk saja? Penasaran juga terhadap apa yang dilakukan Saka dan para perempuannya di sebidang ruang tertutup itu.
"Ayo, masuk dulu!" ajaknya lagi. "Tidak mungkin kamu berdiri di sisi pintu ruang saya jika tidak berniat menemui saya kan?"
Perlahan ku cairkan keterpakuan. Kaki ini melangkah satu hentak diiringi bismilah yang khusyu. Terasa berat rasanya. Deg-degan juga.
Kesannya gue kayak nganterin diri ke jurang kalo gini.
"Kara!!!!!" teriak dari arah luar.
Seketika senyumku mengembang. Untuk pertama kalinya aku akui betapa beruntungnya memiliki teman macam Sisca.
Dia seolah tahu kapan saat sedang dibutuhkan, walau tidak setiap waktu juga.
"Lo lama banget sumpah. Gue sampe jamuran nungguin lo." Dia terengah-engah, lantas menyidik pintu ruang ini.
"Ya Tuhan ngapain lo di sini? Tempat yang katanya haram dikunjungi karena mayoritas kegiatan di sini bisa nganter ke neraka. Grepe-grepe, desah-desahan gitu. Ngapain sih? Lo mau masuk?" cerocos Sisca.
Kadang aku benci mulut ceplas ceplosnya. Dia tidak sadar apa, si mpu ruangan sedang menerkam lewat tatapan elangnya.
"Apa gunanya juga lo mati-matian belajar principle acounting hanya demi dapat nilai bagus biar gak dipanggil pak Saka ke ruangannya, kalo ujung-ujungnya lo nyerahin diri gini. Iyuh deh." cerocosnya tanpa batas.
"Alah gue tahu sekarang, lo ngomong gak sudi dateng ke ruang Pak Saka karena lo gak mau berbagi sama gue kan?" katanya lagi. "Elah, santai aja kali gue gak tertarik sama dosen yang lo gilain itu."
Tuhan, beri sedikit saja saringan di mulut Sisca. Heran rasanya, kurang sekali insting kepekaannya.
Dia bahkan mengabaikan segala bentuk kode dan isyaratku untuk mengerem rentetan ucapannya.
Memang benar apa yang dikatakannya bukan hoax. Tapi mengertilah mana ada orang berani menyolok mata yang sedang melotot, kecuali Sisca.
"Eh, pak dosen." kikuknya. "Itu loh aku tadi, tadi. Ya udah deh, lo lanjutin aja. Maaf gue udah ganggu."
Biar ku tarik ucapanku. Sial rasanya berteman dengan Sisca. Aku disodorkan terang-terangan, dia juga menutup pintu setelah berhasil mendorongku ke ruangan.
Dasar, teman durhaka!!!