Rahma menghilang dari peredaran. Satu bulan lamanya ia tak datang ke sekolah. Semua uring-uringan. Deni sudah mencari kemana-mana namun ia tak juga menemukan jawaban. Namun meskipun begitu, Deni tidak putus asa.
Hari-harinya kini ia banyak menghabiskan waktu dengan Dido dan Ika. Meskipun mereka merasa kehilangan Rahma tapi persahabatan ketiga orang itu tetap berjalan dengan baik. Mau tidak mau, Deni akhirnya luluh juga kepada Ika. Deni kini sudah bisa tersenyum kepada Ika.
Deni menatap bayangannya di depan cermin dalam toilet. Ia menatap matanya sendiri. Dalam benaknya ia bertanya bahwa siapa dirinya? Apa yang sedang ia lakukan? Dendam atas kematian Fajar masih belum ia balas. Saat ini ia masih menyusun kekuatan. Namun sering kali ia bertanya ‘haruskah ia membalaskan dendam itu’? bukannya ibunya selalu mengajarkan untuk selalu memaafkan? Bersabarlah atas rasa marah karena walaubagaimanapun damai itu lebih indah dari siksanya rasa marah. Namun kali ini terasa sulit sekali bagi Deni untuk memaafkan kematian Fajar. Setiap kali ia mengingat Fajar, setiap kali ia ingat bagaimana kakaknya terluka, hati Deni tidak memaafkan pelaku pembulian itu.
Lamunan Deni buyar ketika terdengar suara teriakan dari luar toilet. Ia segera berjalan menghampiri sumber suara dan lagi-lagi gengster itu sedang melakukan aksinya. Kali ini korbannya adalah Ika. Tubuh Ika terpental saat langkah kakinya tersandung salah satu anggota gengster. Tubuhnya terjerembab ke lantai dan ponsel dari saku bajunya terpental keluar. Salah seorang dari kawanan itu meraih ponsel Ika dan menendangnya seorang sedang bermain bola. Ia mengoper kepada temannya. Dengan langkah tergopoh-gopoh dan menunduk, Ika mencoba meraih ponselnya namun kawanan itu sengaja mengoper ponsel dengan menendangnya ke sana kemari. Ika semakin kesulitan meraihnya kembali.
Deni menatap ika mulai terjatuh. Ia mengamati sekawanan itu, bagaimana mungkin Ika bisa dibuli sedangkan semua orang tahu bahwa Gilang yang merupakan bagian dari kawanan itu adalah kakak Ika. Deni sempat berpikir untuk tidak ikut campur. Bukankah ini yang ia inginkan? Membalas dendamnya pada Gilang. Setidaknya ia tidak usah repot-repot mengotori tangannya untuk membuat Gilang menderita. Semakin Deni melangkah menjauhi Ika, semakin ia tidak tahan mendengar gelakkan suara tawa sekawanan itu. Bukan karena Ika, tapi ia tidak bisa membiarkan orang lain diperlakukan tidak semena-mena. Tapi dengan ikut campur dengan urusan mereka, sama saja ia menjerumuskan diri ke lubang singa. Lantas untuk apa ia belajar karate selama ini? untuk apa ia berjuang keras melakukan latihan fisik? Untuk apa? Bukankah agar dapat melindungi orang lain? Deni mengalami perang batin. Namun semakin ia mengulur waktu semakin Deni tak tahan mendengar suara-suara itu.
Deni melangkah keluar toilet dan melintas dekat kawanan itu. Pada saat posisi yang tepat, Deni menangkap ponsel yang ditendang di lantai dengan tangannya. Sekawanan itu terkejut melihat Deni berani mencampuri urusannya. Deni segera meraih tangan Ika untuk melindunginya. Ia pikir masih belum saatnya ia terlibat perkelahian dengan sekawanan ini, tapi jika ia harus mengeluarkan beberapa pukulan untuk membela diri maka akan ia lakukan.
“Hei siapa kamu? Berani-beraninya mencampuri urusan kami”
“Maaf ya, tapi saya tolong kalian sadar dan hentikan perbuatan kalian membuli siswa-siswa lain” Deni mencengkeram tangan Ika lebih kuat untuk mengajak Ika lari dari tempat itu. Hati Ika berdegup kencang, ia takut Deni akan dikeroyok oleh sekawanan itu. Benar saja, sedetik kemudian salah satu kawanan itu melayangkan pukulan ke arah wajah Deni, untungnya Deni sudah memiliki kemampuan menghindar yang cepat. Orang itu kaget mengetahui Deni memiliki gerak reflek yang cepat sehingga bisa menghindar dari pukulan. Deni mencari celah dan keluar dari kawanan tadi yang mengepung Deni dan Ika. Ia membawa Ika lari sekuat mungkin menuju keraiaman. Ia sudah tahu bahwa kawanan itu hanya berani melakukan aksinya di tempat sepi. Meskipun mereka berhasil lolos dari kejaran kawanan itu, tapi Deni yakin bahwa kawanan itu sudah mulai mengenali dirinya. Bisa saja dirinya suatu hari nanti dijebak atau dianggap sebagai orang yang berbahaya. Kondisinya mulai memanas. Deni harus terus belajar karate lebih keras untuk melindungi dirnya.
Deni dan Ika berhenti di tepi lapangan dimana anak-anak paskibra sedang latihan baris berbaris. Mereka berdua duduk beralaskan rumput hijau di tepi lapangan. Ika sibuk mengatur napasnya yang terengah. Deni pun duduk berselonjor menatap pemandangan yang ada di hadapannya.
“Aku heran kenapa mereka membuli kamu? Bukannya Gilang bagian dari kawanan itu?” Deni tidak bisa membendung rasa ingin tahunya. Ia melihat ke arah Ika yang masih sibuk mengatur napas dan menyeka keringatnya. Tubuhnya kegerahan. Saat itu Deni menyadari bahwa Ika memang gadis yang cantik lagi baik. Keramahannya pada setiap orang yang ditemuinya membuat ia semakin terkenal apalagi dikalangan siswa laki-laki. Tak heran Ika menjadi primadona diangkatannya.
“Aku juga tidak tahu. Akhir-akhir ini Gilang memang agak pendiam dan sering menyendiri. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi diantara mereka” jelas Ika yang masih mengatur napas. Ia mengkhawatirkan sesuatu setelah kejadian ini. “Den, aku khawatir mereka bakal kejar kamu. Aku yakin mereka tidak akan tinggal diam. Den...” Pandangannya beralih ke arah Deni namun saat itu Deni segera memalingkan wajah ke arah depan. Ia tak ingin beradu mata dengan Ika.
“Kamu tidak usah mengkhawatirkan aku. Itu adalah urusan aku” ucap Deni menatap ke depan. Ia menyadari bahwa mereka semua dalam bahaya, bahkan Rahma sekalipun yang sering dibuli oleh kawanan itu. “Oh iya, ini” Deni menyerahkan ponsel Ika yang tadi diambilnya.
“Terima kasih ya Den”
“Kamu pulang naik apa?” Deni mengalihkan pembicaraan.
“Aku pulang naik angkot saja. Motorku sedang diservis”
“Oh.... Kamu mau pulang bareng?” tawar Deni. “Tapi aku mau mampir ke suatu tempat terlebih dahulu. Kalau kamu tidak sedang buru-buru mungkin kita bisa pulang bersama” ucap Deni.
“Boleh” Ika merasa senang. Ia segera naik ke jok belakang motor Deni.
Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Sebenarnya Ika ingin sekali bertanya kemana tujuan Deni, namun ia mengurungkan niatnya. Toh nanti juga ia akan tahu. Tempat pertama yang dikunjungi Deni adalah toko bunga. Ika semakin penasaran hendak kemana tujuan Deni selanjutnya. Deni mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Hingga pada akhirnya Ika sadar kemana tujuan Deni.
“Kamu mau tunggu di sini atau ikut masuk ke dalam?” Deni memarkirkan motornya.
“Aku ikut”
“Iya aku pikir sebaiknya kamu ikut” Deni khawatir terjadi apa-apa dengan Ika jika ia ditinggal seorang diri.
Deni melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Tangannya membawa 2 buket bunga yang tadi dibelinya. Ia sudah sangat hafal dengan tempat ini. Deni segera ambil posisi berjongkok di depan nisan ibu dan kakaknya. Ia meletakkan masing-masing buket bunga di dekat nisan. Ika duduk di samping Deni. Ia tidak menyangka Deni mengajaknya ke tempat ini.
“Ibu, kakak apa kabar? Maafkan aku sudah lama tidak menjenguk ibu dan kakak. Aku rindu ibu dan kakak” Deni ingin sekali meneteskan air matanya. Namun kali ini ia menahannya. Ia tidak ingin Ika melihat air matanya. Biasanya ia bercerita panjang lebar tentang apa yang sedang dilalui dalam hidupnya di depan nisan kakak dan ibunya, namun kali ini ia tidak banyak bicara. Setelah menyapa keduanya, Deni segera mengajak Ika pulang.
“Terima kasih ya Den”
“Sama-sama. Jaga dirimu Ika” ucap Deni seraya membelokkan motornya. Entah, ingin sekali rasanya mengatakan kalimat itu. Jika suatu hari nanti terjadi sesuatu dengan dirinya, mungkin ia tak bisa lagi melindungi Ika lagi. Setelah kejadian tadi siang, ia bahkan tak tahu sampai kapan ia diberi kesempatan untuk hidup.
Ika melepas kepergian Deni dengan tatapan sedih. Entah apa yang sebenarnya ia rasakan. Rasanya Ika ingin menahan kepergian Deni. Namun ia tak memiliki alasan.
^^^
Deni memarkirkan motor di dalam garasi rumahnya. Di halaman depan sebuah mobil dengan bentuk dan warna yang familir terparkir cantik di depan rumahnya. Deni tau pemiliknya pasti sedang menunggu di dalam rumah.
“Sejak kapan aku mengundangmu ke sini?” Deni berbasa-basi menyapa Dido.
“Ayolah Den, kamu lupa kalau kita punya tugas kelompok Matematika? Kita harus menyelesaikan hari ini juga”
“Sejak kapan kamu berubah jadi anak rajin Do? Lagian kan tugas itu dikumpul minggu depan. Ayo masuk” Deni mengajak Dido masuk ke halaman belakang rumahnya. “Kenapa kamu tidak memberi kabar sebelumnya?”
“Hei, aku sudah SMS kamu, tapi HP kamu tidak aktif. Aku tahu kalau kamu tidak ada jadwal apapun hari ini” Dido meletakkan tas cangklong berisi buku dan alat tulis di gazebo halaman belakang rumah Deni. “Kamu tinggal sendirian di rumah sebesar ini?”
“Yang benar saja? Aku tinggal dengan ayah ku dan mbok Ran. Ayahku masih bekerja. Aku ke dalam sebentar ya. Kamu mau minum apa?” tanya Deni sambil meletakkan tas sekolahnya di gazebo.
“Apa saja”
Deni masuk ke dalam kamar untuk ganti baju dan ia meminta Mbok Ran menyiapkan makanan cemilan dan minuman.
Sesaat kemudian, Deni terlarut menyelesaikan soal matematika yang menjadi tugas kelompok itu. Matematika adalah mata pelajaran yang paling disukai Deni. Bukannya ikut mengerjakkan, Dido malah sibuk memperhatikan Deni.
“Den, menurutmu Ika cantik tidak?”
“Cantik” ucap Deni masih tetap fokus dengan soal-soal di hadapannya.
“Baik tidak?”
“Baik” jawabnya singkat, ia sama sekali tak berkutik.
“Den, kamu tau tidak kalau Ika suka sama kamu?”
“Kamu tau dari siapa?” kali ini Deni menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menjawab soal.
“Ya elaah... Kamu memangnya kamu tidak sadar ya kalau selama ini dia memperhatikan kamu. Minuman yang aku berikan waktu kamu selesai olah raga atau latihan karate kemarin, sandwich yang kamu terima waktu jam makan siang waktu itu atau novel yang aku pinjamkan minggu lalu, itu semuanya dari Ika. Bukan aku” jelas Dido. Kali ini wajahnya serius. Deni akhirnya sadar tujuan Dido sebenarnya datang ke rumah. Namun kali ini Deni tak bereaksi apapun. Secantik apapun Ika, sebaik apapun Ika, ia masih belum bisa memafkan perbuatan kakak Ika. Bahkan walaupun Ika tidak tahu menahu kejadian itu namun Gilang kakak Ika adalah ketua kawanan yang membunuh Fajar waktu itu. Deni belum bisa memaafkannya.
“Jadi apa sebenarnya tujuan kamu datang ke rumah Do?” Deni kembali mengalihkan perhatiannya pada soal-soal yang ada di hadapannya. Ia belum bisa menceritakan kenyataan menyakitkan itu kepada Dido. Ini bukanlah waktu yang tepat.
Kehadiran Dido cukup membawa kabar bahwa Ika suka padanya. Kabar itu sama sekali tidak mengubah kenyataan bahwa kakak Ika adalah pembunuh Fajar. Deni tidak bisa menerima itu. Hatinya tidak akan goyah. Tidak akan.