Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Deni masih terduduk di tempatnya. Belum bergeser sedikitpun. Ia masih fokus memecahkan beberapa soal matematika dari buku yang ia beli kemarin. Deni terlalu asyik hingga ia tidak sadar bahwa bel telah berbunyi dan teman-teman sekelasnya telah keluar dari kelas.
“Deni, sampai kapan kamu di situ? Apa perutmu tidak lapar?” Dido berdiri di samping pintu kelasnya menatap Deni yang iba seolah tak lagi mendengar suara dunia. Deni masih tak bergeming sedikitpun. Matanya masih tertuju pada selembar kertas yang telah ia coret-coret dengan pensilnya. “Den” panggil Dido sekali lagi. Dido merasa kesal panggilannya tak digubris sedikitpun, akhirnya kakinya beranjak dan mengagetkan Deni. “Den!” kali ini suara Dido lebih lantang.
Napas Deni terengah ketika Dido tiba-tiba muncul di hadapannya. “ya ampun Do, kamu bikin aku jantungan”
“Kamu tuh yang ngerjain soal matematika sudah seperti mumi. Dipanggil dari tadi tak ada reaksi sama sekali” kali ini Dido benar-benar kesal.
Deni metelakkan pensil dan menutup bukunya. Moodnya sudah tidak baik. perutnya ternyata lapar juga. “Jadi ada perlu apa?”
“Ada perlu apa?” ucap Dido, ia mengangkat tangannya dan menunjukkan jam tangan pada Den. “Nih, ini jam istirahat. Waktunya kita makan di kantin. Kamu ini doyan banget sama matematika”
“Alaaah Do, jangan mirror begitu. Kamu juga sekalinya ngerjain soal fisika, susah buat diganggu” Deni mamasukkan pensil dan bukunya ke kolong meja. Ia membiarkan mejanya bersih dari benda apapun. “Jadi kita mau makan apa?” Deni mengecek saku baju memastikan ia sudah membawa dompetnya.
“Menu siang ini adalah soto mie” ucap Dido. Mereka berdua beranjak menuju kantin sekolah. Kondisi kantin begitu ramai. Para siswa berhamburan memenuhi warung dan tempat duduk. Untungnya masih ada beberapa tempat duduk yang kosong yang dapat mereka tempati. Setelah mendapatkan soto mie yang diidamkan, Deni dan Dido memilih tempat duduk bagian tepi, atau lebih tepatnya bagian pojok kantin. Dua tempat duduk di depannya masih kosong. Deni dan Dido duduk bersampingan.
“Deni....” Rahma tiba-tiba muncul dihadapan mereka membawakan sepiring somay. “Aku boleh gabung bersama kalian?” tanya Rahma.
“Tentu” jawab Dido merasa senang. Siang ini dandanan Rahma agak berbeda. Ia mengepang rambutnya membelah menjadi bagian kanan dan kiri mirip gadis-gadis desa dan kacamata yang ia gunakan tanpa tali tidak seperti yang waktu itu Deni lihat di perpustakaan kota.
“Apa kabar Rahma?” tanya Dido berbasa-basi.
“Baik” ucapnya sambil menyendokkan somay ke dalam mulutnya. Rahma melambaikan tangan ke arah belakang Deni dan Dido. Keduanya heran dan menoleh ke arah belakang. “Sini!” ucapnya setengah berteriak. Seorang gadis datang menghampiri meja mereka.
“Boleh aku bergabung dengan kalian?” tanya Ika dengan membawa semangkuk bakso. Bagaimana lagi tempat duduk yang lain sudah terisi semua dan yang tersisa hanyalah satu bangsku di samping Rahma dan satu bangku lainnya yang di sekeliling anak-anak cowok yang Ika tidak kenal.
“Boleh dong. Kan jadi pas, 2 cewek, 2 cowok. Jadi dua pasang” ucap Dido ceplas-ceplos.
“Huss Do” Deni menyikut lengan Dido.
“Bercanda Den... kamu ini kebanyakan mengerjakan soal matematika sih, bawaannya serius melulu”
“Oh iya, Deni suka matematika?” tanya Ika yang tetap fokus pada baksonya.
“Iya, Deni ini masternya matematika di sekolah kita. Dia kalau mengerjakan matematika, dalam hitungan satu kedipan mata aja selesai”
“Kereen” ucap Rahma.
“Dido ini berlebihan. Tidak sepenuhnya benar seperti itu”
“Eh kenapa kamu tidak ikut seleksi buat olimpiade matematika saja? Beberapa bulan ke depan akan ada olimpiade matematika loh. Apakah kalian tahu info itu?” Ika yang merupakan pengurus OSIS tahu informasi-informasi yang beredar pada kalangan guru.
“Ikut, iya Deni akan daftar” Dido tampak lebih bersemangat. Kehadiran dua gadis di hadapannya ini menyulut semangat Dido.
“Dido juga kan?” Ucap Rahma. Ia tahu ada nama Dido pada lembar peserta seleksi.
“Iya Dido juga daftar untuk mata pelajaran fisika” tambah Deni.
“Wah kalian keren luar biasa” ucap Ika ternyata ia memiliki teman-teman yang cerdas. Meskipun sebenarnya Ika juga siswi yang cerdas tapi nilainya masih belum sempurna.
“Oh iya siang ini kami mau menontor pertandingan bola di stadion kota kita. Apakah kalian ingin gabung?” ajak Dido. Entah kenapa gadis-gadis yang muncul dalam kehidupannya meberikan warna tersendiri. Ia berasa kisah di sekolah ini menjadi lebih berwarna.
“Boleh-boleh. Tapi sebelumnya aku tidak pernah menonton bola di stadion” Rahma menyendokkan somay terakhirnya. Bergantian ia menagmbil air dari botolnya.
“Rahma ko kamu makan jajanan sekolah? Bukannya kamu harus masakan rumah ya biar sehat?” tanya Deni melihat sebelumnya Rahma yang lahap sekali makan. Mendengar pertanyaan yang terlontar dari Deni, Ika dan Dido terdiam sejenak. Dido dan Ika menduga bahwa Deni sangat memperhatikan Ika. Di saat Deni menganggap ini sebagai hal yang biasa, ternyata berbeda dengan tanggapan Ika dan Dido. Rahma sendiri sudah mengerti dengan kebaikan yang Deni lakukan. Yang semata-mata ia lakukan karena ia selalu teringat kakak dan ibunya. Rahma dapat mengerti dengan baik.
Disaat suasana menghening. Ika segera memcahnya. “Eh jadi kita berangkat jam berapa nanti?” tanya Ika.
“Kita berangkat selepas bel sekolah. Berkumpul di tempat parkir mobil ya”
“Oke”
Tepat sekali setelah mereka menyelesaikan makan siang bel masuk berbunyi. Semua kembali ke kelas masing-masing. Dido merasa senang karena pertemanannya dengan yang lain menjadi semakin dekat. Mungkin mereka bisa menjadi satu geng persahabatan yang baik. komposisi yang pas, 2 cewek, 2 cowok. Meskipun begitu, Dido merasa ada yang aneh antara Rahma dan Deni. Meskipun mereka tidak menyebutkan namun iya yakin itu pasti ada.
Pukul 15.30 mereka sampai di stadion kota. Keempat orang itu membeli tiket dan memilih tribun ternyaman untuk tempat duduk mereka. Setelah memberi beberapa cemilan mereka duduk beriringan. Rahma merasa sangat senang bisa pergi bersama teman-temannya, kini ia merasa hidupnya lebih berwarna. Deni duduk paling ujung, di sampingnya ada Dido, Ika kemudian Rahma di bagian paling ujung lainnya. Pertandingan akan segera dimulai. Tim yang akan bertandingkali ini adalah tim dari kotanya dengan lawan tim dari luar pulau. Tentu saja mereka siap mendukung tim dari kotanya. Sebenarnya Deni tidak terlalu menyukai bola namun ia mengerti sedikit-sedikit tentang bola. Lagipula apa salahnya sekali saja mereka pergi bersama-sama seperti ini. Sasanya menjadi seru memiliki banyak teman.
“Selain ikut memanah, kau sibuk apa aja Do?” tanya Ika seraya menyomot pop corn dari tangannya.
“Hm.... aku? Aku selain gabung dengan klub memanah, juga dengan kelompok ilmiah remaja sekolah. Kalau di luar sekolah, aku tergabung dengan komunitas Oned Day One Thousand” ucap Dido dengan mulut yang penuh dengan pop corn.
“Apa itu Do? Kamu tidak pernah cerita tentang itu selama ini?” Deni pun ikut-ikutan menyomor pop corn dari tangan Dido. Peluit panjang baru dibunyikan. Pertandingan baru dimulai. Sembari menunggu saat-saat yang menegangkan, mereka buka obrolan untuk sore hari ini.
“Kan kamu tidak pernah bertanya. Makanya aku tidak pernah bercerita” ucap Dido. Benar juga apa yang dikatakan Dido. Lagipula meskipun mereka berteman sudah lama tepatnya sejak masuk SMA, Deni juga belum berani menceritakan kehidupan pribadinya pada Dido. “Jadi One Day One Thousand itu atau disingkat ODOT itu adalah komunitas online dimana setiap hari kita menyumbang 1000 rupiah, di keep tuh di celengan kita di rumah dan selama 30 hari kita transfer ke lembaga tertentu yang bertugas menyampaikan bantuan ke tempat-tempat yang terjadi bencana alam atau korban perang”
“Wah kedengarannya menarik” ucap Rahma.
“Nanti setiap bulannya akan ada kegiatan implementasi atau penyaluran bantuan ke wilayah-wilayah bencana, jika wilayah itu masih terjangkau maka menejemen ODOT diperbolehkan untuk ikut”
“Terakhir implementasi dimana Do?”
“Hm... terakhir itu di Banjar, Jawa Tengah waktu itu ada bencana longsor yang menyebabkan kerusakan parah dankorban jiwa. Sebelumnya pernah menyalurkan untuk membuat shelter penampungan di kota Jogja saat ada bencana gempa dan merusak banyak rumah di sana, kemudian pernah juga sedekat daging qurban saat idhul adha dan masih banyak lagi”
“Wah sepertinya seru. Bagaimana caranya agar bisa bergabung?” Ika mulai tertarik dengan ODOT yang disampaikan Dido. Ia memang menyukai kegiatan-kegiatan sosial. Lagi pula keterlibatan hanya melalui dunia maya sehingga tidak akan menyita banyak waktu. Jika banyak anak-anak SMA 1 yang ikut tergabung, mungkin bisa menambah jumlah donasi.
“Caranya kalian cukup tergabung dari grup-grup dunia maya, nanti aku share deh kemudian kalian ikut prosedurnya saja. Oh iya, implementasi bulan ini rencananya ke korban gempa di daerah Sukabumi. Aku akan pergi ke sana juga”
“Apakah kami boleh ikut?” tanya Ika lagi.
“Serius?” Dido tak percaya.
“Why not? Aku rasa kita juga perlu untuk melatih kepekaan sosial kita. Iya kan?” Ika melihat ke arah Rahma dan Deni bergantian, mencari dukungan.
“Aku sih setuju-setuju saja” ucap Rahma sambil tersenyum. Ia rasa jika kegiatan ini terlaksana, sekali lagi ini akan menjadi warna baru lagi dalam hidupnya. Kini ia merasa nyaman berada di tengah orang-orang ini. Mereka menerima dirinya dengan apa adanya, meskipun ia tahu Deni masih ragu akan kekuatannya. Namun secara tidak sengaja, mereka telah menjadi sumber kekuatan bagi Rahma untuk melanjutkan kehidupannya menjadi lebih berwarna.
“Aku sih dengan senang hati kalau kalian mau bergabung denganku. Lagipula orang-orang menejemen yang lainnya adalah kakak-kakak kuliahan. Terkadang obrolan kami tidak pas” ucap Dido dengan mulutnya sambil mengunyak gorengan yang ia beli tadi. “Kamu bagaimana Den?” Dido meminta komentar. Deni belum menunjukkan kesetujuannya.
“Hm.... boleh” jawabnya. Pandangannya berpindah ke arah lapangan. Penonton lain sudah mulai bersora-sorai tanda permainan semakin seru. Meskipun skor masih menunjukkan 0-0 tapi kedua tim sudah sama-sama mulai menyerang meskipun gagal.
Rahma juga sebenarnya tidak terlalu menyukai bola, namun yang ia sukai adalah pertemanan yang mulai ia rasakan hangatnya bersama teman-teman yang duduk bersamanya saat ini. Selama kegiatan yang dilakukan tidak terlalu menyita tenaga, ia rasa ia bisa melakukannya. Ia sudah bosan menyendiri di rumah. Sudah saatnya ia mengenal dunia luar sedikit demi sedikit. Dunia yang selama ini berada di ujung jari yang tak pernah bisa ia sentuh sebelumnya. Dunia yang ia kira tidak akan pernah menjadi milikinya. Namun sore itu seperti tidak ada lagi pemisah dengannya. Rahma seolah bisa merasakan sendiri dunianya. Dunia seperti orang lain pada umumnya.