“Ma, mana abang?” Ika langsung masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam. Emosinya langsung tersulut saat ia mendengar kabar bahwa Dimas yang merupakan salah satu pengurus OSIS dibuli oleh Gilang dan komplotannya. Sudah berkali-kali Ika memperingatkan bahwa perbuatannya merupakan salah besar. Ia sangat membenci perbuatan kakaknya. Bahkan di sekolah ia meminta untuk pura-pura saling tidak mengenal. Ika merasa malu dengan perbuatan kakaknya. Sama sekali tidak bermoral. Ia juga benci pada ayahnya yang tidak bisa berbuat tegas kepada kakaknya. Orang jahat seharusnya dihukum, bukan dibela, begitu pikirnya.
“Di kamarnya. Kamu kenapa sih baru datang langsung marah-marah begitu?” tanya mamanya yang keluar dari dapur. Ika tidak memperdulikan pertanyaan ibunya. Ia langsung menuju lantai 2 tepat kamar kakanya berada. Ika menaiki tangga setengah berlari, ia sudah sangat tidak tahan lagi. Sebenarnya sudah berkali-kali Ika memperingatkan tapi tetap saja kakaknya tidak pernah mendengar ocehannya.
“Bang, aku dengar abang tadi sore membuli Dimas ya?” tanya Ika sambil menggebrak pintu dan membanting tas di meja belajar kakaknya. Kalau diperbolehkan, ingin rasanya ia mengamuk dan mengacak-acak kamar kakaknya.
“Kalau iya terus kenapa?” Gilang melengos dan melangkah santai meletakkan gitar yang baru dipegangnya seakan-akan pertanyaan yang penuh dengan nada amarah Ika adalah tidak berarti apa-apa. Bagaimana tidak, Gilang sudah bosan dengan ocehan adiknya. Ia sama sekali tidak peduli.
“Abang, kenapa abang jahat sekali. Coba dong abang bayangkan bagaimana kalau posisinya abang yang dibuli? Sudah berapa banyak orang yang abang buli? Aku malu bang, aku malu. Aku malu punya kakak seperti abang” suara Ika pecah memecah kesunyian. Ayahnya sedang melaksanakan tugas ke luar kota. Di rumah hanya ada ibu, mbok, dan abangnya. Lagipula meskipun ayahnya ada di rumah, ayahnya tidak pernah serius menanggapi protesan Ika.
“Kalau kamu mau punya kakak seperti gue, ya udah pergi aja”
“Seharusnya abang yang pergi dari rumah ini” bentak Ika. Ia benar-benar marah. Suaranya setengah berteriak. Air matanya keluar. Mukanya merah padam. Ika tidak bisa lagi menahan amarahnya.
“Ada apa ini?” ibunya hadir menenangkan suasana. “Kenapa Ika?” Ibunya menyelidik.
“Di sekolah, bang Gilang membuli temanku ma, satu pengurus OSIS. Mama tolong marahin bang Gilang. Berhentilah untuk membuli orang lain. Ika tidak mau kejadian tahun lalu dimana pembulian bang Gilang merenggut nyawa orang. Mama sama ayah coba bersikap tegas. Jangan manjakan orang seperti dia” Ika menunjukkan jari telunjuknya ke arah Gilang. Suara Ika yang masih meninggi dan mencoba mengoreksi mamanya. Sontak itu membuat mamanya menjadi marah.
“Ika, hentikan bicaramu. Kamu pikir mama tidak tahu bagaimana caranya mendidik anak?” wajah mamanya seketika berubah. Ika benar-benar mamancing amarahnya. Kondisi berubah menjadi memanas. Ika siap menerima pukulan atau tamparan apapun dari buah unek-unek yang baru saja ia keluarkan. Mungkin ini akan menjadi lebih baik.
“Tugas mama coba buat bang Gilang ini tidak membuli anak orang lagi” terakhir kalinya, Ika langsung pergi meninggalkan mama dan kakaknya. Ika mengunci diri di kamar dan menangis sejadinya. Entah apa yang sedang terjadi dengan keluarganya. Apakah keluarganya terlahir sebagai orang jahat di dunia ini? Selama ini ia membangun karir menjadi orang baik. Ia cantik, aktif berorganisasi, dan belajar keras agar nilainya tetap bagus meskipun dengan segudang aktivitas di sekolahnya. Ia sangat malu memiliki abang seperti Gilang. Seorang abang yang seharusnya menjadi teladan bagi adiknya justru sebaliknya menjadi contoh yang buruk. Jika orang lain tau bahwa Ika adalah adikna Gilang maka itu akan menjadi bencana tersendiri bagi Ika.
Ia malu dan ia mencoba merasakan betapa menyedihkannya di buli oleh orang-orang jahat seperti Gilang dan kelompoknya. Apalagi jika ada salah seorang yang bercerita kepada Ika setelah dibuli abangnya, rasanya Ika ingin meneteskan air mata dan membalas perbuatan abangnya. Dan Ika sebenarnya tahu betul ketika kasus tahun lalu kakaknya membuli seorang adik kelasnya hingga menyebabkan kematian. Ketika pihak keluarga meminta agar sekolah mengusut kasus itu namun dengan kemampuan yang dimiliki ayahnya yang Ika tak tahu apa dan tidak mengerti, kasus itu berhasil ditutup dengan sempurna. Ika adalah seorang perasaan yang halus hatinya, cantik budinya. Meskipun saat itu ia masih kelas 9 SMP, jika ia berada dipihak keluarga itu ia akan sangat kecewa dan sedih. Kematian adalah kejadian yang mengerikan. Nyawa seseorang adalah sesuatu yang sangat berharga dan menghilangkan adalah perbuatan yang sangat kejam. Semenjak kasus itu ditutup, Ika yang masih terlalu belia tidak akan bisa mengungkapnya seorang diri. Dengan dirinya yang begitu lemah. Ia berharap bahwa suatu hari keluarganya sadar bahwa yang dilakukan selama ini adalah kesalahan yang sangat besar.
Setiap orang dilahirkan dengan karakter dan sifat yang berbeda-beda. Begitu banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Bisa dari kedua orangtuanya atau dari lingkungan sekitarnya. Entah kenapa karakter Ika dan keluarganya begitu berbeda. Namun seburuk-buruk seseorang di mata orang lain akan ada harapan untuknya suatu kebaikan pada hari kemudian. Dan orang yang baik bisa dengan mudah berubah menjadi buruk jika jalannya tergelincir sedikit saja. Semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik. berbagai kemungkinan selalu terbuka. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mendoakan yang terbaik untuk orang-orang yang ada dalam kehidupan kita.