Gilang terduduk di sebuah bangku dan dikelilingi orang komplotannya yang berjumlah 6 orang. Entah ada angin apa tiba-tiba Gilang menyatakan mengundurkan diri dari gengnya. Gilang tak pernah menyebutkan alasannya karena ia sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Ia masih belum memahaminya.
“Pengecut lo... bilang aja kalau lu adalah pecundang sekarang” Ucap Gio yang merupakan salah seorang dari komplotan Gilang.
“Gue bukan pengecut!”
“Bukan pengecut, bukan pecundang Io, tapi banci” teriak seorang lainnya bernama Tamo. Semua orang tertawa mendengar ucapan Tamo. Bagaimana tidak setelah Jefri di keluarkan dari sekolah dan Gilang diangkat menjadi ketua, Gilang menjadi kandidat terbaik di gengnya. Namun entah kenapa akhir-akhir ini ketuanya mulai menghilang dan jarang lagi terlihat. Semua menyadari ada yang salah dengan Gilang. Akhirnya pada hari ini mereka bersama-sama mengintrogasi Gilang. Sebuah gubug tua dan bersebelahan dengan warung, Gilang di pojokkan.
“Jadi apa mau lo?” Tamo menyelonjorkan kakinya di kursi dengan melipat tangan di dada.
“Gue mau keluar dari geng” Gilang memalingkan pandangan matanya ke bawah.
“Tuh kan beanr-benar pecundang”
“Terserah kalian mau berkata apa. Gue ngga peduli”
“Alasannya?” Gio membentak lebih keras.
“Gue pengen hidup normal”
“Hidup normal?” semua orang tertawa mendengar jawaban Gilang. “Lu kira selama ini hidup kita ngga normal? Kita makan nasi, minum air, apa bedanya? Hahahaha.....” tawa mereka semakin kencang.
Dalam geng mereka memang tidak ada perjanjian sebelumnya. Namun siapapun anggota yang masuk dalam geng mereka, tidak akan biarkan mereka keluar tanpa konsekuensi apapun, apalagi jika nantinya diam-diam menjadi mata-mata gengnya. Maka akan langsung dihabisi tanpa jejak.
Setelah melakukan diskusi panjang lebar dan sepertinya keputusan Gilang tidak dapat diubah lagi, mereka pun tidak akan mempertahankan anggota yang nantinya akan menjadi sumber penyakit bagi anggota lain. mereka tidak dapat mempertahankan anggota yang sudah tidak mempunyai loyalitas lagi. Buat apa? Sumber penyakit hanya akan menyebarkan penyakit dalam tubuh geng-nya.
“Habisi dia” ucap Tamo seraya pergi meninggalkan 3 anak buah yang akan melaksanakan tugas seperti biasa. Gio berjalan mengikuti Tamo. Tanpa ragu lagi, ketiga anak buah itu langsung memukuli Gilang. Mereka tidak segan untuk melancarkan serangan. Jika Gilang melawan bisa saja ia akan mati saat itu juga. Pukulan-pukulan ini hanya akan membuat Gilang jera dan menyesal dengan keputusannya. Makanya Gilang pasrah dengan segala konsekuensi yang akan ia terima hari ini.
Hingga mereka puas memperlakukan Gilang seperti anjing berpenyakit, ketiga anak buah itu pergi meninggalkan gilang seorang diri. Wajahnya penuh dengan luka. Darah dimana-mana mengotori seragam bajunya. Ia tahu hari ini akan terjadi. Dalam tubuh yang penuh luka, ulu hatinya, dadanya, kepalanya, paha, kaki, dan tangan, tubuh Gilang bergeser sedikit demi sedikit meraih ponsel yang ia sembunyikan dari balik karung yang tersembunyi di gubug itu. Dalam kondisi setengah sadar, Gilang menghubungi rekannya yang lain. seorang teman yang ia percaya, seorang teman yang sudah ia minta untuk merawat luka-lukanya hari ini.
Tangan Gilang meraba menekan tombol, hingga terdengar nada beep
“Halo, ini aku...”
Meskipun hari ini telah terjadi tapi Gilang tahu Gio dan Tamo tidak akan pernah merasa puas untuk mempermainkan lawan-lawannya. Jiwa-jiwa yang selalu merasa haus darah. Semua akan mereka lakukan untuk tujuan geng-nya. Ia harus selalu waspada. Selama Gio dan Tamo masih ada dalam kehidupannya, Gilang tak akan pernah merasa aman.
Setiap keputusan yang diambil oleh seseorang akan membawa konsekuensinya sendiri. Termasuk konsekuensi yang ia terima hari ini. Ini adalah proses pertama yang harus dilalui dalam perubahan fase hidupnya.