Deni menyembunyikan surat penerimaan siswa baru dari SMA Negeri 1 di kotanya. Jika ayahnya tau, ia pasti sangat marah. Padahal jelas sekali SMA ini adalah SMA favorit yang ayahnya pilihkan untuk Fajar. Tapi tahun ini ayahnya meminta untuk bersekolah di SMA yang lain. Kali ini Deni tidak peduli lagi. Belakangan ini ayahnya memang tempramen, tepatnya sejak kejadian 8 bulan yang lalu. Deni sudah sangat belajar menghadapi ayahnya. Bukan amarah dilawan dengan amarah, namun cara almarhumah ibunya menghadapi ayah sudah sangat Deni perhatikan.
Deni memicingkan mata ketika mbok Ran menyibakkan gorden jendelanya. Cahaya terang matahari menusuk bola matanya. Rupanya sekarang sudah jam 8 pagi. Sejak libur panjang sekolah, Deni malas beraktivitas. Apalagi keluar rumah. Waktu dan harinya banyak ia habiskan duduk terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ia masih buntu. Apa yang akan dilakukannya, rencana hidupnya, target bahkan tujuan tiba-tiba mengabur tak menentu. Ia dan ayahnya sama-sama terlarut dengan dirinya sendiri. Kejadian 8 bulan lalu memang menjadi tamparan bagi keduanya. Kesedihan membutakan kehadiran orang lain. Jiwanya terasa sepi.
Deni merasa menjalani kehidupanya seperti seorang diri. Ia kehilangan gairah hidup dan keceriaan. Kebahagiaan seperti terampas dalam hidupnya. Seperti hujan yang menyapu cahaya. Angin yang mengantarkan kesunyian atau gelap yang membutakan mata. Kenangan buruk menghantui dari kejadian itu. Hidupnya yang damai mendadak mencekam. Dalam ketenangan ia seperti berada dalam kondisi perang, meriam meladak dimana-mana.. Rasa takut yang tak beralasan bercampur marah dan kebencian. Hatinya tak damai lagi.
Deni masih belum bergeser dari balutan selimutnya. Hari ini hari minggu, ayahnya akan berada di rumah. Percuma. Hari minggu ayahnya akan tetap sibuk di ruang kerjanya. Hanya pindah tempat. Deni menduga ayahnya pun menyibukkan diri demi menyibakkan kenangan 8 bulan yang lalu itu. Ia dan ayahnya sama-sama terluka.
“Deni, tadi ayah baru dapat telpon dari kepala SMP, katanya kamu diterima di SMA 1. Apa benar?” suara tinggi ayahnya tiba-tiba terdengar dari balik pintu kamarnya.
“Iya yah” jawab Deni santai. Ia tak ingin adu mulut dihari minggu yang seharusnya menyenangkan ini.
“Ayah minta saat ini juga kamu telpon dan nyatakan mundur dari SMA itu”
“Aku tidak akan melakukannya yah. Semua orang tau itu SMA terbaik di kota kita”
“Tidak bagi ayah. Kalau kamu tidak mau, ayah yang akan melakukannya”
“Ayah, kenapa ayah begitu memaksaku. Selama ini aku tidak pernah minta apa-apa pada ayah, tapi kali ini maaf ayah, aku tidak akan melakukannya”
“Deni, ayah sudah bilang, kamu daftar di SMA lain saja. Jangan di SMA 1. Kenapa kamu sekarang berani membantah ayah?” Deni mendapati ayahnya bicara dengan kemarahan yang tak terbendung. Jika sudah begitu keadaannya tak ada gunanya Deni membalas perkataan ayahnya. Ia segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkahkan kaki menuju kamar. Ia benar-benar tak peduli lagi. Ia tak ingin lagi mendengarkan ocehan ayahnya.
Entah sampai kapan keadaan ini akan berlarut-larut, ingin segera ia mengakhirinya. Menjadi seperti dahulu ketika ibu dan kakaknya masih ada di sampingnya. Ciuman pagi saat ibu mambangunkannya, sarapan pagi buatan ibunya, pertengkaran kecil dan seru bersama kakaknya, atau hadiah-hadiah kecil dari ayah sepulang kerja. Deni sangat merindukan semuanya. Kehangatan keluarga yang dulu ia rasakan kini beku rasanya. Hidupnya kini hanya berdua, bersama ayahnya. Ayahnya yang dingin.
Deni terduduk di samping ranjang tempat tidurnya. Ia menatap foto keluarga yang ada di meja kecil samping ranjangnya. Ia menatap ibunya. Ia merindukan ibunya. Seandainya saja ibunya ada di sisinya, ia tak akan merasa sesepi ini. dalam hening, butiran hangat mengumpul di kedua sudut mata Deni.
“Aku akan baik-baik saja kan Bu?” ucap Deni dalam keheningan.
Dua hati dengan perasaan yang sama, kenapa tak bersatu saja? Deni tak pernah menyesal dengan segala yang telah terjadi namun dalam hatinya yang paling kecil ia berharap agar keadaan menjadi lebih baik. Hidupnya tak lagi sepi.