Deni teringat ketika ia berebut mainan mobil-mobilan dengan kakaknya, Fajar. Mereka adalah keluarga kecil yang bahagia. Ibunya selalu bilang bahwa sesama saudara harus saling melindungi. Terutama Fajar selalu diingatkan untuk menjaga Deni.
“Kalau ibu tidak ada, kalian harus saling menjaga ya” ucapnya sambil mengelus pipi kecil Fajar dan Deni. Sejak saat itu, Fajar selalu menganyomi adiknya, menuruti kata ibunya dan menepati janji pada ibunya. Fajar selalu mengalah dan menghibur Deni disaat menangis, menanyakan PR sekolah atau memastikan Deni sudah memuat bekal makan siangnya. Sejak ibunya meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya, Fajar menggantikan peran ibunya. Fajar yang memperhatikan kebutuhan Deni meskipun usia mereka sebenarnya tidak berbeda jauh. Janji seorang lelaki adalah pasti.
Pernah ketika Deni merengek meminta dibelikan buku dongeng, Fajar menyisihkan uang jajan agar ia bisa membelikannya untuk Deni atau ketika Deni diganggu oleh teman-temannya, Fajar yang selalu datang membela. Deni betul-betul merasakan kasih sayang kakaknya. Saat ibunya pergi, Fajarlah yang menjadi tempat keluh kesah Deni. Saudara dan keluarga adalah harta yang sangat berharga bagi kita, yang nilainya lebih dari mutiara, yang kehadirannya seperti matahari yang membawa kehangatan jiwa. Keluarga adalah tempat singgah dari perjalanan, pelabuhan dari pelayaran, rumah tinggal dan pemberhentian dari segala permasalahan. Selain kakak, Fajar sudah seperti sahabat bagi Deni.
Sebenarnya mimpi buruk itu diawali dengan hari yang cerah. Tak ada tanda-tanda hari kehilangan Fajar. Semua aktivitas terjadi seperti biasanya. Bangun pagi, mandi, sarapan, pergi ke sekolah, belajar. Sepulang sekolah seperti biasanya karena jam bubar mereka sama, mereka selalu pulang bersama, begitulah titah ayahnya.
Saat itu Deni duduk di kelas 9 SMP dan Fajar baru kelas 10 SMA. Sekolah mereka hanya terpisah oleh jarak 200 meter. Meskpun keduanya tumbuh di lingkungan yang sama, ayahnya menyadari bahwa kedua anaknya tidaklah sama. Tubuh Fajar lebih lemah daripada Deni. Fajar lebih mudah lelah, matanya minus, ia tak bisa beraktivitas tanpa kaca matanya. Fajar yang baik hati bahkan sangat baik, lebih sering mengalah bahkan ketika seniornya di sekolah mulai membulinya. Sejak saat itulah masa-masa kelam itu dimulai.
“Sini kotak makan siang lu......” Gilang merampas kotak makan biru milik Fajar. Atmosfer senioritas terasa mencekam di sekolah itu, apalagi anak-anak kelas 10 yang masih polos dan lugu, pasti jadi sasaran empuk bulan-bulanan mereka. Jarang ada yang berani melawan, sekalinya ada perlawanan maka bulian dilakukan lebih kejam lagi. Sekolah juga tidak tutup mata terhadap kegiatan bulian itu hanya saja kasus-kasus itu seperti jadi rahasia umum di kalangan sekolah. Anak-anak yang dibuli tidak berani melapor pada sekolah. Mereka pikir selama bulian bukan dalam bentuk kekerasan, itu masih tertoleransi.
“Hei kembalikan kotak makan itu” Deni tiba-tiba muncul di hadapan Fajar. Beberapa kali Deni mendapatkan laporan kalau kakaknya sering dibuli di sekolah. Oleh karena itu, siang itu Deni menemui kakaknya untuk memastikan. Ternyata laporan itu benar.
“Hei siapa lu?” teriak Gilang. “Ambil duitnya...” Gilang memberikan perintah pada anak buahnya. Sontak salah seorang dengan rambut cepat segera menggerayangi kantong baju dan celana Deni. Ia sudah coba menghindar namun badannya terlalu kecil dan lemah. Orang-orang di hadapannya berpostur tubuh lebih tegap dan besar. Orang-orang itu berhasil mengambil seluruh uang Deni.
Keringat dingin mulai memenuhi kening Fajar. Ia bukan mengkhawatirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan Deni. Fajar diam saja. Ia tak mau Gilang dan teman-temannya tahu kalau Deni adalah adiknya. Fajar bersikap seolah ia tak mengenal Deni. Dengan puas, Gilang dan teman-temannya meninggalkan mereka berdua.
“Kamu kenapa ke sini Den? Tadi itu berbahaya sekali”
“Kakak kenapa diam saja diperlakukan seperti itu? kita harus melapor ke sekolah, juga ke ayah” ucap Deni memungut kaca mata Fajar yang dilempar Gilang.
“Sudahlah, itu biasa saja”
“Jadi kakak sudah biasa dibuli sama mereka? Ini tidak bisa dibiarkan kak”
“Kakak tidak ingin berurusan dengan mereka Den. Sudahlah sana kamu kembali ke kelas. Aku tidak mau kamu terlibat urusan sama mereka. Berbahaya Den. Lagian kamu juga tidak bisa apa-apa kan untuk melawan mereka” ucap Fajar.
“Makanya kita harus lapor ayah ka”
“Deni, aku tidak mau ini jadi urusan yang panjang” kali ini suara Fajar agak meninggi. Deni melengos meninggalkan kakaknya sendiri.
Pembulian itu tidak hanya berhenti disini. Bahkan itu adalah sebuah awal hingga tragedi yang sangat mencekam itu terjadi. Sama seperti hari-hari biasanya Deni menunggu Fajar untuk pulang bersama. Deni menunggu Fajar di pos satpam sekolah kakaknya, namun sejak bel pulang berbunyi satu jam yang lalu, Fajar tak juga menunjukkan batang hidunya. Deni mulai khawatir dengan keadaan kakaknya, akhirnya ia memutuskan untuk menyusul Fajar ke dalam sekolah. Deni menuju ruang kelas kakaknya namun kelas itu kosong bahkan salah seorang siswa mengatakan bahwa Fajar sudang keluar kelas sejak bel pulang berbunyi. Deni semakin mengkhawatirkan kakaknya. Ia tahu kakaknya tidak pernah meninggalkannya. Ia tahu betapa sayang kakaknya terhadap dirinya. Ia yakin.
Deni memutuskan mencari Fajar ke seluruh penjuru sekolah. Hingga sesampainya di dekat gudang sekolah, ia mendengar suara-suara tawa yang ia kenali. Deni melongok untuk memastikan keadaan yang terjadi namun ia begitu tercengang ketika ia melihat kondisi kakanya yang sedang dibuli Gilang dan kelompoknya, lagi. Seragamnya kotor bahkan terdapat banyak jejak sepatu, rambutnya acak-acakkan dan Fajar sudah tak lagi memakai kaca mata, beberapa bagian wajahnya biru-biru karena pukulan.
“Fajar...” ucap Deni memecah riuh. Gilang segera menyadari kehadiran Deni.
“Deni lari....!” ucap Fajar. Pandangannya kabur, Ia tak tahu dimana posisi adiknya berdiri.
Deni berpikir sejenak. Ia tidak mungkin menghadapi Gilang dan komplotannya seorang diri. Tubuhnya kurus dan ringkih takkan mampu melawan anak-anak SMA itu. Yang ada nanti dia dan kakaknya habis dipukuli Gilang dan teman-temannya. Deni mencari cara untuk mengusir Gilang.
“Aku panggil satpam dulu” Deni berlari menuju pak satpam meminta bantuan. Sebenarnya ia ingin langsung teriak ‘satpam’ tapi ia juga butuh seorang dewasa untuk menggotong tubuh Fajar. Ia tidak yakin bisa membawa Fajar seorang diri.
“Di sini Pak!” Deni bersama seorang satpam segera menghampiri tubuh Fajar yang sudah tak sadarkan diri. Gilang dan kawan-kawannya sudah pergi meninggalkan lokasi begitu Deni pergi memanggil polisi. Deni segera membawa Fajar ke rumah sakit.
Deni sudah sangat ketakutan mendengar kabar kakaknya. Ia tak tahu luka apa yang diderita kakaknya. Fajar pasti merasa begitu kesakitan. Di ruang tunggu rumah sakit, Deni tidur bersandar pada bahu ayahnya. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan Fajar untuk pamit karena Fajar akan pergi.
“Aku ikut kakak!” ucap Deni menahan tangan Fajar.
“Kamu harus tetep di sini, jagain ayah” ucapnya seraya tersenyum dengan wajah bersinar ke arah Deni. Fajar melepaskan tangan Deni. “Kakaaaak” ucapnya dalam mimpi mencoba menahan kakaknya.
Terkejap. Deni bangun dari tidurnya. Ia mendapati ayahnya masih tertidur seraya menunggu operasi Fajar. Tulang rusuk Fajar patah dan operasi segera dilakukan pada hari itu juga. Luka dalamnya terlampau parah. Deni menyadari kepergian Fajar. Ia menahan tangisnya. Dadanya terasa sangat sesak. Ingin sekali ia membangunkan ayahnya agar menghiburnya dan mengatakan bahwa ‘itu hanya mimpi Den’ namun ia tak ingin mengganggu tidur pulas ayahnya. Genangan air mata di ujung mata Deni membulat dan membesar namun ia menahannya agar tak jatuh. ‘Anak laki-laki tak boleh cengen Den’ ucap Fajar. Tapi kali ini saja, kali ini ia ingin menangis. Ia membantah kata-kata Fajar. Ia tak tahan untuk tak menangis.
Pintu ruang operasi terbuka. Deni tetap duduk di tempatnya. Ayahnya yang terbangun karena suara gebrakan pintu segera menghampiri dokter yang telah selesai melakukan operasi.
“Kami sudah mencoba melakukan yang terbaik Pak. Tapi luka dalam yang dialami Fajar terlampau parah. Allah berkehendak lain Pak. Semoga bapak bisa tabah menerima cobaan ini” dokter memberikan penjelasan.
Deni sudah menduga kabar itu akan didengarnya. ‘maafkan aku kak, kali ini aku menangis’ ucapnya dalam hati. Deni dan ayahnya segera berpelukan. Baru 2 tahun lalu ia ditinggalkan ibunya, kini ia harus ditinggalkan oleh seseorang yang sangat mengayomi hidupnya. Kini hanya ada dirinya dan ayahnya. Kejadian itu menjadi pukulan yang sangat berat bagi Deni dan ayahnya. Dua bulan lamanya, Deni tak keluar rumah. Hidupnya seperti tiada guna lagi. Hampa dan ia merasa kesepian, rasanya ia ingin menyusul kakak dan ibunya.
Kasus pembulian itu sudah diusut dan ayah Deni meminta pertanggungjawaban pada orang tua Gilang beserta komplotannya tapi karena orang tua Gilang adalah seorang kepala polisi ia minta agar kasus itu tidak dibawa ke hukum. Mereka meminta agar kasus itu diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Ayah Deni tidak bisa menerima itu, namun pihak sekolah dan satpam seolah-olah bungkam dengan keadaan. Sejak saat itulah ayahnya tak ingin Deni masuk ke sekolah itu. Ia tidak ingin kejadian itu terulang kembali.