Read More >>"> Silver Dream (Special Chapter) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Silver Dream
MENU
About Us  

SPECIAL CHAPTER

 

‘Tak selamanya abu menjadi kelam karena ada kalanya abu menjadi berkilau. This is can called silver dream’

 

Berjajar lukisan dengan berbagai teknik di sepanjang dinding bercat baby blue di sebuah gedung mewah. Bertemakan Sincerely Love, semua lukisan di pameran itu dibuat dengan penuh ketulusan dan menggambarkan objek sederhana bermakna dalam.

Pameran perdana itu berjalan lancar sesuai rencana. Banyak pengunjung yang menyempatkan diri untuk melihat-lihat ataupun membeli lukisan. Joo tersenyum puas melihat antusiasme acara yang ia gelar.

"Kau berhasil, Joo."

Pelukan hangat menghantam tubuh Joo. Aroma ekstrak bunga mawar menyeruak dalam penciuman Joo. Dari aromanya saja Joo tahu bahwa ibunya yang tengah memeluk.

"Ibu tak menyangka bahwa kau bisa sukses dengan pameranmu ini."

Joo mengendurkan pelukan Yura dan tersenyum lebar. "Itu semua karena kalian telah membukakan jalan untukku."

"Oh ya, dimana calon menantuku? Kok aku belum melihatnya,"

Semburat merah merona memancar dari kedua belah pipi Joo. Ucapan ayahnya sungguh menancap hati. "Ayah.." erang Joo malu-malu.

Ryan terkikik geli melihat kelakuan Joo. Selalu saja putrinya ini hilang kontrol saat ia membicarakan Fredy. Lihatlah, sekarang Joo malah menyeruduk tak karuan pada dada ayahnya. Ryan mendorong pelan dahi Joo degan jari telunjuknya. "Papa titip salam ya pada Fredy, kalau bisa ajak dia ke rumah nanti. Kami akan pergi liburan dengan rekan dokter lainnya selama tiga hari."

Kaki Joo menghentak-hentak di lantai. Seluruh wajahnya sudah mengalahkan merahnya tomat. "Ayah!" rajuk Joo.

"Ayah percaya Fredy dapat menjagamu, sayang." Ryan mengusap pelan puncak kepala Joo.

"Rafa tidak bisa datang ke pameranmu. Penerbangannya harus ditunda karena cuaca buruk. Jadi, Rafa akan pulang besok." Yura menambahkan.

Waktu terus berputar. Waktu yang dimiliki pasangan suami istri itu semakin menipis. Sudut mata Ryan dan Yura saling melirik. Mereka harus mengakhiri kunjungannya pada acara pameran yang diadakan Joo. 

"Semoga sukses ya!" Yura melambaikan tangannya.

Joo tersenyum manis. Semuanya telah kembali. Seluruh keluarganya mendukung setiap keputusan yang ia pilih. Sudah satu tahun sejak ia lulus sebagai sarjana kedokteran. Joo telah terbebas dari rasa takutnya usai lulus. Semua itu tentu saja tak akan berjalan mulus tanpa untaian kata seseorang yang sangat ia nantikan kedatangannya saat ini.

Tungkai Joo menuntunnya berjalan mengitari tiap koridor dimana semua lukisan terbaiknya ia pamerkan. Senyum tak pernah lelah tersimpul pada bibir manis Joo. Lukisannya, mimpinya, dan perasaannya menyatu dengan sempurna di atas kanvas.

Langkah berat itu terhenti. Sebuah kanvas kosong terpasang sempurna di antara beberapa lukisan penuh kenangan. Kanvas yang sengaja Joo pasang. Kanvas yang mengingatkannya akan perjalanan mimpinya sebagai pelukis. Joo menatap kanvas itu penuh harap.

Penuh pesona lukisan gemerlap malam di sebelah kanvas kosong itu kemudian menarik seluruh atensi Joo. Lukisannya disaat rasa depresi menguasai dirinya. Lukisan monoton yang dibuat indah oleh tangan Alvin kala itu. Lukisan pertamanya di depan Fredy dan juga lukisan yang dicela habis-habisan oleh lelaki itu.

"Wah.. aku bangga lukisanku mampu membuat seniman seperti Kak Joo terpesona!"

Tak terduga Alvin muncul disamping Joo sembari menunjuk lukisannya. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas mengukir senyuman lebar.

"Tapi sebentar lagi ada yang lebih bersinar ketimbang lukisanmu itu,"

Rupanya Alvin tidak datang seorang diri, Greeze juga muncul disamping kanan Joo. Raut wajahnya berseri. Kedua tangannya bersemanyam di belakang tubuhnya seperti menyembunyikan sesuatu.

Joo menatap kedua orang itu bergantian. Kedua temannya yang selalu mampu menularkan tiap kebahagiaannya kala ia merasa sedih. Namun Joo menyimpan sebuah harapan tatkala melihat kedua sahabatnya itu. Dengan gerakan cepat Joo membalikkan tubuhnya. Kosong. Tidak ada seorangpun di belakang kecuali beberapa pengunjung yang berlalu-lalang.

Alvin terkekeh. "Fredy tidak bisa datang, Kak Joo. Hari ini Stella merilis album terbarunya dan dia mengundang Fredy ke acara showcase sebagai rasa terima kasihnya atas ikut campur Fredy dalam kontribusi album terbaru penyanyi papan atas itu."

Helaan napas berat lolos dari bibir Joo. Bagaimana Joo lupa jika lelaki itu kemarin menyampaikan ketidakhadirannya di acara pameran lukisan perdananya? Huh, selalu saja seperti ini. Sejak hubungan mereka berlanjut ke tahap serius Fredy tak pernah ada saat Joo bahagia. Selalu saja di saat Joo merasa sedih ia tak pernah lelah bersamanya.

"Jangan sedih gitu dong, Joo." Greeze terkikik geli menepuk bahu Joo. "Semalam Fredy menitipkan ini padaku."

Kerutan tipis tercetak samar pada dahi Joo. Greeze mengulurkan sebuah benda persegi berukuran cukup besar berlapis kertas cokelat tua. Ragu-ragu Joo mengambil benda itu dari tangan Greeze.

"Kau pasti sudah tahu isinya." tebak Greeze.

Joo menggenggam benda itu erat. Kepalanya tanpa sadar mengangguk kecil. Namun Joo merasa tidak yakin akan membukanya. Sebelumnya Joo teringat kanvas mengerikan hadiah Marcel untuknya kala itu. Joo takut hal itu akan kembali terulang.

"Kenapa hanya memandangnya saja?" bingung Alvin setengah mendesak Joo agar membuka hadiah pemberian Fredy.

"Aku takut.." lirih Joo.

"Takut semakin merindukannya ya.." goda Greeze menahan tawanya.

Kedua mata Joo terpejam. Ia harus membuka hadiah dari Fredy. Biarpun nanti isinya mengejutkan setidaknya ada dua sahabatnya disampingnya. Perlahan jari-jemari Joo merobek kertas pembungkus hadiah itu. Ia sangat penasaran dengan hadiah yang Fredy berikan padanya.

Benar. Kanvas putih adalah hadiah dari Fredy. Takut-takut Joo melihat apa yang terlukis di permukaan kanvas itu. Matanya membola sempurna. Sebuah lukisan dirinya disana. Lukisan dengan teknik crayon yang sangat menggemaskan. Ada beberapa bagian yang terwarna keluar dari garis. Joo tersenyum geli menatap lukisan Fredy. Sangat lucu bahwa wajahnya terlihat seperti anak kecil di lukisannya.

Ternyata keterkejutan Joo belum usai tatkala sebuah lipatan kertas bewarna kecoklatan terselip di balik kanvas itu. Joo menatap kedua orang disampingnya bergantian. Mereka dengan serentak menganggukkan kepalanya mengisyaratkan Joo agar segera membukanya.

Terima kasih telah menghapus ketakutanku untuk memulai hubungan denganmu. Terima kasih telah menjadi sumber inspirasiku dalam menciptakan musik. Terima kasih telah menjadikanku tempatmu bersandar mencurahkan masalahmu. Maaf aku tidak bisa datang ke acara yang dari dulu selalu kuimpikan mampu kau lakukan. Semoga lukisan jelek ini mampu menggantikan kehadiranku segaligus pembalasanku akan sketsa diriku di taman yang kau buat waktu itu. Kak Joo aku mencintaimu. Kau selalu berhasil membuatku gila saat memikirkanmu.

Setitik air membasahi kertas itu. Joo menangis haru membaca surat itu. Bibirnya tersenyum geli menatap lukisan Fredy. Sementara kedua orang disamping Joo terheran-heran memandang Joo. Mereka tak menyangka Joo akan menangis dan tertawa dalam waktu yang sama.

'Fredy, aku merindukanmu." lirih Joo memeluk kanvas pemberian Fredy.

Disampingnya Greeze tertawa. "Tuh kan, kau merindukan Fredy."

"Ya sudah, lebih baik ganti kanvas kosong itu dengan lukisan Fredy supaya mampu mengobati kerinduanmu." Alvin merebut kanvas dari pelukan Joo lalu memasangnya di dinding menggangtikan tempat kanvas kosong itu.

***

Malam ini terasa mendebarkan. Udara dingin terus menusuk permukaan kulit menambah ketegangan. Pelan-pelan Joo menghembuskan napasnya. Rasanya seperti hari ini adalah malam pertamanya usai pernikahan. Nyatanya ia hanya akan tinggal bersama Fredy malam ini. Iya hanya berdua. Entah kenapa, Joo tak menyangka Fredy dengan mudahnya menyetujui ajakannya untuk bermalam di rumah.

Joo menyesap secangkir kopi hangatnya. Pandangannya menatap lurus ke depan. Disana gemerlap bintang bersama sinar rembulan menyinari gelapnya langit. Joo tersenyum, ia teringat sesuatu. Sebuah kilasan ingatan masa lalunya.

"Ternyata kau ada disini,"

Punggung Joo terasa hangat. Kedua lengan kekar melingkar pada pinggangnya. Sebelah bahunya terasa berat. Lehernya terasa geli. Hal yang ia resahkan akhirnya tiba. Fredy tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Tubuh Joo memegang. Joo menjadi gugup. Joo memilih diam. Jujur, ia merasa kikuk berada di dekat Fredy seperti ini. Apalagi hanya berdua di satu atap yang sama pada malam hari.

"Joo.. kenapa kau lagi-lagi memakai baju tipis di malam hari? Kau lupa pesanku waktu liburan beberapa tahun lalu?" desah Fredy tersirat rasa kesal.

Sontak saja kedua netra Joo menatap tubuhnya yang terbalut gaun tidur berkain tipis bahkan di beberapa bagian terkesan transparan dan memperlihatkan kulit mulusnya. Joo menggumam pelan, ia tak tahu harus menanggapi ocehan Fredy seperti apa. Untuk menghilangkan rasa gugupya, Joo kembali menyesap kopi di tangannya.

Beberapa sekon usai Joo menyesap kopinya, Fredy bergerak membalikkan tubuh Joo. Tangannya dengan cepat merebut cangkir berisikan kopi dari tangan Joo. Ia menatap Joo tajam. Tatapan yang selalu ditunjukkannya ketika awal pertemuan mereka. Joo menunduk. Lagi-lagi ia tertangkap basah mengingkari setiap pesan Fredy untuknya.

"Sudah pernah kubilang, berhenti mengonsumsi minuman berkafein ini Joo. Apalagi di malam hari. Itu tidak baik untuk kesehatanmu dan kau tak akan bisa tidur dengan tenang." Fredy kembali mengomel.

"Maaf.." lirih Joo penuh sesal.

"Apa diam-diam kau masih tidak bisa tidur dan mengonsumsi kopi untuk mengelak kenyataan dari--"

Joo memeluk tubuh Fredy erat. "Aku telah sembuh dari bipolar. Psikiater bilang emosiku semakin stabil, Fredy.”

Fredy menghela napas lega. Bersyukur mendengar penuturan kekasihnya itu. Perlahan namun pasti Fredy membalas pelukan Joo. Mengusap surai hitam legam gadis itu yang dibiarkan terurai, sesekali mencium aroma wangi dari sana. Fredy menundukkan kepalanya, tatapannya sendu.

"Maaf.."

"Maaf?" Joo merenggangkan pelukannya, menatap wajah sendu Fredy.

"Maaf karena tidak bisa menghadiri acara pameranmu tadi. Sebenarnya aku ingin sekali datang tapi--"

Joo menggeleng pelan, seulas senyum mengembang di bibirnya. "Tidak apa-apa. Lukisan yang kau titipkan pada Greeze sudah cukup mewakili kekosonganmu. Terima kasih, aku sama sekali tidak menyangka kau akan memberiku kejutan manis seperti itu."

"Kau suka lukisannya?" kedua mata Fredy tiba-tiba berbinar.

Joo mengangguk antusias. Tubuhnya lalu berbalik menatap gemerlap malam dari jendela kamarnya. Kenangan itu masih terlintas di pikiran Joo. Kenangan awal dari betapa ia menyadari bahwa Fredy adalah seseorang yang beharga baginya.

"Fredy.." panggil Joo.

"Hmm.."

"Apa kau masih ingat filosofi yang dibuat Alvin?" tanya Joo tersenyum samar.

"Filosofi?" jelas sekali Fredy bingung.

Joo mengangguk. "Iya saat kau menghina lukisanku untuk pertama kalinya. Ketika Alvin dengan baik hati mempercantik lukisanku dan berkata bahwa aku adalah seorang bulan dan dia adalah salah satu bintang." 

"Terus?" tanya Fredy jutek.

"Aku juga mengibaratkanmu sebagai langit gelap. Langit yang selalu menjadi tempat bulan bersinar berbagi sinarnya. Langit yang dengan setia menemani setiap kesunyian malam meski terkadang bulan tak menampakkan diri. Tanda dari sebuah kesetiaan."

Tungkai Fredy menuntunnya untuk berdiri disamping Joo. Binarnya mengikuti sorot mata Joo menatap. Kedua tangannya bersedekap menahan rasa dingin. "Kenapa kau berpikir seperti itu? Padahal saat itu aku telah melukai hatimu."

Lagi dan lagi Joo mengulum senyumnya. "Karena kau yang telah membuatku kembali menampakkan sinarku. Kau yang membuatku kembali melukis di masa tertekan yang kualami. Kau tempat aku bisa menyalurkan emosiku dengan baik."

Fredy tertawa renyah. "Kupikir kau akan marah dan membenciku usai aku menghina lukisanmu. Apalagi sampai membuatmu menangis."

Hening. Kesunyian malam kian terasa. Angin malam semakin gencar memasuki celah jendela yang sedikit terbuka. Fredy menguap pelan. Rasa kantuk telah menyerangnya. Tanpa menyadari kecanggungan yang ada Fredy menutup jendela kaca besar di depannya itu beserta tirainya.

"Joo, kau kenapa? Kenapa menangis? Ucapanku kembali melukai hatimu ya?"

Begitu berbalik, Fredy sungguh terkejut mendapati Joo tengah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar. Isakan kecil terdengar sayup-sayup. Melihat keadaan Joo, Fredy menjadi ragu bahwa gadis itu telah sepenuhnya sembuh.

Dengan lembut Fredy melepaskan telapak tangan Joo yang menutupi wajahnya. Fredy menatap lekat-lekat Joo lalu jemarinya bergerak menghapus air matanya yang terus mengalir.

"Kau kenapa Joo?"

"Fredy, terima kasih untuk segalanya. Aku teringat saat-saat diriku hancur di depanmu. Terima kasih telah setia bersamaku sampai saat ini meski sering merepotkanmu." lirih Joo menghapus air matanya kasar.

Lucu sekali. Fredy dibuat gemas sendiri oleh sikap Joo. Tak ada keraguan Fredy menarik tangan Joo. "Sudah jangan menangis, yuk tidur. Jangan sampai matamu bengkak esok hari."

Tangan mungil dalam genggaman tangan Fredy berkeringat dingin. Puncak ketakutan Joo datang. Apakah mereka akan tidur dalam satu ranjang? Joo semakin membeku tatkala Fredy melepaskan genggamannya dan beringsut menaiki ranjang kamarnya.

"Naiklah, jangan sampai besok terlambat menjemput kepulangan Kak Rafa." ujar Fredy santai menepuk bagian kosong disampingnya.

Joo masih terdiam menatap Fredy yang tengah terbaring nyaman ditempatnya.

"Tenang saja, aku tak akan melakukan apapun. Bukankah sebelumnya kita pernah tidur bersama?"

"Tapi--"

"Naiklah, aku akan menyanyikan lagu terbaruku yang rilis hari ini!" Fredy berusaha membujuk Joo.

Joo menggigit bibirnya cemas lalu dengan langkah cepat ia naik ke ranjangnya dan menghadap tubuh Fredy.

"Fredy, bagaimana kalau kali ini kau menyanyikannya sambil memelukku? Aku sangat merindukanmu."

Fredy tertawa geli. "Huh, rupanya kekasihku ini malu-malu kucing." kekehnya menarik Joo ke dalam pelukannya lalu menyandarkan kepala gadis itu ke dada bidangnya.

Alunan suara berat nan merdu menyejukkan hati Joo. Pikiran Joo terasa tenang. Tiap tepukan pelan dipunggungnya membuatnya semakin terseret ke alam mimpinya. Joo mengeratkan pelukannya. Kedua matanya terpejam dan ia terlelap dengan tenang.

"Seperti filosofimu, aku akan mencintaimu tanpa kenal waktu seperti langit gelap yang selalu memberikan ruang untuk bulan." Fredy menghentikan nyanyiannya. Ia membelai anak rambut Joo yang menghalagi wajahnya lalu mengecup singkat kening gadis itu. Ya, Fredy akan mengikuti jejak Joo untuk beristirahat dari lelahnya aktivitas hari ini.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta tanpa kepercayaan
454      340     0     
Short Story
ketika sebuah kepercayaan tak lagi ada dalam hubungan antara dua orang saling yang mencintai
Aku Tidak Berlari
567      407     0     
Romance
Seorang lelaki memutuskan untuk keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Penjara itu adalah rasa bersalahnya. Setelah bertahun-tahun ia pendam, akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan kesalahan yang ia buat semasa ia sekolah, terhadap seorang perempuan bernama Polyana, yang suatu hari tiba-tiba menghilang.
When I Met You
591      329     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Be Yours.
1894      1037     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...
IDENTITAS
649      433     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Pangeran Benawa
35277      5794     5     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...
Itenerary
33928      4293     57     
Romance
Persahabatan benar diuji ketika enam manusia memutuskan tuk melakukan petualangan ke kota Malang. Empat jiwa, pergi ke Semeru. Dua jiwa, memilih berkeliling melihat indahnya kota Malang, Keringat, air mata, hingga berjuta rahasia, dan satu tujuan bernama cinta dan cita-cita, terungkap sepanjang perjalanan. Dari beragam sifat dan watak, serta perasaan yang terpendam, mengharuskan mereka tuk t...
I have a dream
262      213     1     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...
Sibling [Not] Goals
976      537     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
DELUSI
499      346     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.