SECRET PLAN
'Tak ada keberhasilan yang sempurna tanpa sebuah rencana tersembunyi.'
Alunan musik bertenaga menggema dalam studio ruangan pribadi Fredy. Tirai-tirai jendela menghalangi pantulan gerakan Alvin pada kaca jendela. Tubuh Alvin menari mengikuti ketukan cepat musik. Ia memainkan ekspresi wajahnya sesuai tempo lagu. Alvin sangat bersemangat biarpun malam menjelang.
Tanpa suara, pintu studio terbuka. Fredy dengan pakaian tebalnya dan masker hitam berjalan memasuki studio pribadinya. Lelaki itu hanya menatap Alvin singkat sebelum menghampiri meja kerja.
Musik terhenti. Alvin menatap punggung yang tenggelam dalam kursi putar. Tak biasanya Fredy pulang dengan keadaan lemas seperti ini. Penasaran, Alvin berjalan menghampiri Fredy. Dan benar saja, mata Fredy telah terpejam.
"Al, bagaimana menurutmu jika aku jadi pacar Joo?" ternyata Fredy belum sepenuhnya tidur.
Alvin melotot. Ucapat keramat itu.. Alvin tidak salah dengarkan? Membutuhkan kepastian, Alvin berjongkok untuk mendekatkan dirinya dengan Fredy.
"Fredy, kamu nggak ngingau kan?" tanya Alvin sambil menggoyang-goyangkan lengan Fredy.
Jitakan pelan mendarat tepat pada jidat Alvin. Fredy membuka kelopak matanya perlahan. "Pacar pura-pura maksudnya." Fredy mencebikkan bibirnya.
"What the hell!" Alvin terbelalak mendengar ucapan Fredy "Apa kau mau bermain-main dengan perempuan lagi? Ingat pesan ibumu, Fredy."
Bahu Fredy bergerak turun, menyandarkan kepalanya pada meja ruang studioya. Pesan terakhir ibunya sebelum tiada menghantuinya. Tetapi Fredy sendiri belum siap jika ia memiliki kekasih terlebih seperti Joo yang jauh dari tipenya.
"Daripada berpura-pura menjadi pacar Kak Joo kenapa kau nggak menghilangkan kata pura-pura saja?" saran Alvin. "Kak Joo baik kok, cantik pula, apalagi ia body goals banget. Siapa sih pria yang nggak kepincut padanya?" Alvin mulai mengagumi sosok Joo.
"Aku. Aku nggak suka gadis cerewet dan banyak aksi sepertinya."
Alvin mengusap wajahnya. "Ya ampun Fredy, kamu punya cita-cita menghabiskan hidupmu dengan monoton? Akan lebih baik gadis seperti Joo menjadi pendamping hidupmu, sikapnya yang ceria itu mampu mengimbangi sikap jutek menyebalkanmu itu." cercah Alvin tak habis pikir.
Fredy tak bergeming. Ia sama sekali tak menimpali nasihat Alvin.
"Tanpa kalian berdua sadari bahwa kalian itu sebenarnya saling membutuhkan." tukas Alvin beranjak dari posisinya. "Terserah padamu sebenarnya, tapi saranku sih lebih baik kau belajar mencintai Kak Joo jika kau sudah mulai tertarik padanya sebelum dia, balikan sama mantannya yang masih mengejar-ngejarnya.
Duk! Duk! Duk!
Berkali-kali Fredy membenturkan kepalanya ke meja. Fredy sama sekali tidak mengerti maksudnya. Sebuah saran membangun yang ia harapkan malah berujung dengan saran ala-ala dukun comblang. Apa Fredy harus menceritakan pembicaraannya dengan dokter perihal penyakit Joo agar Fredy mengerti.
"Belajar mencintai.." gumam Fredy menatap langit-langit biru pastel atapnya. "Tak akan pernah bisa."
***
"Jadilah pacarnya agar kau bisa memperhatikannya lebih mudah. Berpacaran yang sehat dengan saling mendukung dan menemani setiap kali dia membutuhkan. Kau juga bisa dengan ketat menjaganya tanpa mengekangnya."
Fredy menatap sendu setiap jalanan kota yang ia lewati. Di luar banyak para pejalan kaki dan orang-orang beraktivitas. Hembusan napas berat mengembun di jendela. Ucapan saran yang ia dapatkan dari tantenya tak bisa membuatnya tenang. Kenapa semua orang seolah ingin menjodohkannya dengan Joo?
Nomor tak dikenal menghiasi layar ponsel Fredy. Rasa ragu menahan Fredy untuk memanggil nomor itu namun rasa penasaran juga mendorongnya untuk menekan tombol panggil di layar ponsel. Sepertinya rasa penasaran lebih berkuasa. Fredy memanggil nomor itu dan perasaannya tepat, nomor itu milik Joo.
Untuk kali ini Fredy memilih mempertimbangkan ucapan Alvin dan Reyna. Sebenarnya Fredy juga sudah mulai peduli dengan Joo. Bisa dibilang tidak punya hati jika Fredy tak peduli pada gadis yang sering melukai dirinya sendiri didepan matanya.
Taksi yang ditumpangi Fredy berhenti di tempat tujuan. Fredy keluar dari taksi dan betapa terkejutnya mendapati banyak satpam yang berjaga di depan gerbang. Sungguh seperti kehidupan para putri yang dijaga ketat oleh pengawalnya.
"Maaf tuan, anda siapa?" salah seorang satpam bersetelan jas menghampiri Fredy.
"Saya teman Joo, ingin bertemu dengannya." jawab Fredy kikuk.
"Bertemu dalam rangka apa?"
Fredy membuang mukanya dari tatapan menyelidik satpam di depannya. Fredy tak habis pikir dengan pengamanan seketat ini di sebuah rumah. Apa bertemu seseorang harus selalu membawa alasan?
"Hanya ingin bertemu karena aku temannya dan Joo sudah lama tidak pergi ke kampus."
Satpam itu terlihat berpikir sejenak lalu mengeluarkan ponselnya. "Sebentar, saya akan meminta ijin pada tuan muda."
Fredy bersenandung kecil untuk menghilangkan rasa gugupnya. Kalau setiap teman Joo yang berkunjung harus melewati tahap panjang seperti ini pasti diantara mereka jarang sekali bermain di rumah Joo.
"Berbicaralah dengan tuan muda." satpam tadi menyodorkan ponselnya.
Fredy menerima ponsel itu dan mengungkapkan alasan yang sama pada penerima ponsel di seberang. Setelah berbicara cukup lama akhirnya pria disana mengijinkan Fredy masuk. Huh, sungguh perjalanan yang panjang.
***
Alunan musik pop menyambut kedatangan Fredy di studio miliknya. Lagi-lagi Alvin sudah bersantai lebih dulu disana. Sahabatnya itu sedang makan di pusat ruangan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya menikmati alunan musik dan makanannya. Fredy memilih untuk duduk di depan Alvin. Ia menatap sahabatnya itu datar.
"Seenak itu ya ayam goreng." racau Fredy mengambil satu potong ayam utuh di wadah Alvin.
Alvin mendongakkan kepalanya menatap Fredy. "Hm, baru saja Kak Greeze datang membawakannya."
"Kak Greeze?' bingung Fredy.
"Iya, dia ingin bertemu denganmu tapi kaunya belum pulang." jelas Alvin setelah mengunyah makanannya. "Btw, kenapa akhir-akhir ini kau sering pulang larut? Perasaan kau baru memasuki semester baru dan tumben minggu-minggu ini kau gak sibuk dengan alat-alat musikmu?" heran Alvin.
Fredy mengusak rambutnya ke belakang lalu merebahkan tubuhnya. Mata sipitnya memicing menatap langit-langit ruangan studio. Desahan berat lolos dari bibirnya. "Apa reaksimu jika aku mengaku menjadi pacar Joo di depan kakaknya yang kau ceritakan tempo lalu? Dan bagaimana reaksimu setelah mengetahui bahwa aku tak benar-benar menyukainya?"
Kedua mata Alvin membola. Pertanyaan Fredy semakin aneh saja sejak kepulangannya dari liburan. Tubuh Alvin bergeser mendekati Fredy. "Kata jika itu pasti sudah tidak berlaku kan? Kau sudah melakukannya kan?"
Dengan pasrah Fredy menganggukkan kepalanya disusul dengan pukulan penuh semangat dari Alvin. Tatapan lelaki itu berbinar dan senyumnya merekah lebar. 'Kau sudah berada di jalan yang benar, bro!"
Kedua alis Fredy menyatu. "Maksudmu?"
"Dengan pengakuanmu menjadi pacar Joo di depan keluarganya akan membuatmu sulit mengelak lagi dari ucapanmu di kemudian hari. Meski kau belum menyukainya aku yakin dengan status bualanmu ini kau bisa perlahan-lahan mencintainya." jelas Alvin antusias.
Lagi dan lagi Fredy menghembuskan naas berat dan menceritakan semua kegiatannya di rumah Joo hari ini.
"..apa perbuatanku itu sudah benar?"
Alvin menepuk bahu Fredy, kepalanya mengangguk mantap. "Tak kusangka kau sangat peduli pada Kak Joo, kenapa kau baru bilang bahwa Kak Joo mengidap penyakit mental? Tahu begini aku juga akan membantunya untuk sembuh."
"Ya, yang terpenting kan aku sudah mengatakannya.'"sebal Fredy mengerucutkan bibirnya.
"Ya sudah kau jelaskan saja pada kakaknya perihal niat baikmu untuk menyembuhkan penyakit Kak Joo. Atau aku dan Kak Greeze bisa ikut bersamamu untuk mengajak Kak Joo jalan-jalan? Kebetulan selama di Bali aku membelli banyak kanvas untuk Joo tapi masih belum kuberikan padanya mengingat hari itu ia pulang lebih awal."
Fredy bangkit dari posisinya. Ia menatap Fredy penuh senyuman. Rupanya ucapan Fredy telah memberikan Fredy pencerahan. "Baiklah, besok ajak Kak Greeze ikut bersama kita. Dia pasti libur saat akhir pekan. Sekalian aku mau menceritakan tentang keadaan Joo saat ini. Dia, sahabatnya perlu untuk tahu. Semakin banyak oran terdekatnya yang tahu pasti Joo cepat sembuh kan?"
Alvin mengacungkan ibu jarinya mantap. "Mantul bosq!"
***