Loading...
Logo TinLit
Read Story - Silver Dream
MENU
About Us  

SAVE ME

'Aku tak mengerti perasaan yang kurasakan saat ini padamu namun aku selalu percaya bahwa kau adalah satu-satunya orang yang bisa membantuku.'

"Fredy.."

Seruan lirih menggelitik rungu seorang lelaki yang tertidur lelap di atas meja kerjanya. Kepalanya menindih beberapa kertas. Seruan bernada sama kembali berulang dan berulang membuat Fredy menggeliatkan tubuhnya diikuti dengan kedua kelopak matanya yang perlahan terbuka.

Senyuman manis pada wajah jelita di depannya menjadi fokus pertama Fredy saat membuka mata. Seorang gadis yang ia benci duduk di dekatnya, menatapnya lekat, dan tersenyum ceria. Dia adalah Joo. Mungkin sekarang Fredy masih dalam dunia mimpinya, beberapa kali Fredy mengerjapkan matanya namun--

"Good morning, Fredy!" sapa Joo ceria sambil melambaikan tangannya yang bertumpu di atas meja.

Fredy melotot. Oh tuhan, kenapa mimpi ini terasa nyata? Jika ini mimpi tolong segera bangunkan. Fredy tak ingin terjebak dalam mimpi buruk. Jauhkan dirinya dari Joo si pengacau ketenangan Fredy. Gadis di depan Fredy bisa membuatnya gila.

"Sudah siang, cepat bangun dan antar Joo pulang!"

Alvin melintasi kedua manusia yang larut dalam tatapan mata. Pakaian casual sudah membalut tubuh dan tas melekat di punggugnya. Rupanya Alvin akan pergi. Fredy menggelengkan kepalanya, ia ingin bangun dari mimpi aneh ini.

"Aku hanya takut Joo akan berusaha membunuh dirinya lagi jika kau tak mengantarnya pulang," Alvin kembali berucap meski tanpa menatap satupun dari insan yang duduk berdampingan itu. "Aku ada urusan penting bersama teman-teman yang lain dan akan pulang larut!"

Harapan Fredy hancur. Tidak mungkin ini mimpi. Ia sekarang telah benar-benar sadar dan terjaga. Semuanya terasa nyata. Hangatnya sinar mentari juga menyentuh permukaan kulitnya. Kacau. Hidup Fredy tak tenang. Lelaki itu berdecak sebal.

"Aku tak peduli denganmu, aku bukan ibumu, aku tak mau tahu kau mau pergi kemana! Nggak kembali aku juga ikhlas!" seru Fredy terdengar jengkel.

"Whatever Mr. Tsundere!" seru Alvin melengos dari studio pribadi Alvin.

Fredy dibuat melongo oleh kepergian Alvin. Fredy tak siap jika bersama Joo seorang di studio pribadinya. Dengan pandangan aneh Fredy menatap Joo yang masih tersenyum manis menatapnya. Bahu Fredy bergidik ngeri, apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Joo? 

"Kau ternyata beneran memiliki sisi imut." jerit Joo tertahan sambil mencubit pipi chubby milik Fredy.

Kali ini rasanya kedua bola mata Fredy ingin kabur saja dari tempatnya. Sebenarnya apa yang telah terjadi semalam? Bukankah Alvin telah mengantar Joo pulang? Kenapa Joo masih ada di studionya? Huh, Fredy sudah tak habis pikir. Dengan kasar Fredy menepis tangan Joo yang masih bermain-main dipipinya. Tatapan mematikan Fredy menusuk netra kecoklatan Joo. Aura dingin pada diri Fredy kembali membentengi dirinya.

"Pulang-sekarang-juga!" titah Fredy berlalu meninggalkan studionya.

Semangat Joo pergi seiring dengan menghilangnya punggung lebar itu dari pandangannya. Senyum Joo pudar. Keinginan Joo untuk pulih mengudara bebas. Benar, tak ada orang yang menginginkan keberadaan Joo lagi. Joo malu pada dirinya yang dengan beraninya berpijak di kediaman orang yang membencinya. Penuh berbagai perasaan, Joo berlari keluar dari studio.

Tanpa arah tungkai dengan riasan flat shoes itu menyusuri jalanan sepi kawasan perumahan tempat Fredy tinggal. Joo terus berlari kecil bersamaan dengan tangisnya yang telah pecah. Hati Joo sakit. Joo sadar bahwa tak ada lagi orang yang benar-benar mencintainya ataupun hanya sekedar ingin bersamanya.

Langkah Joo tak terkendali, tubuh lemahnya terjatuh tatkala kakinya tanpa sengaja terpeleset oleh kulit pisang. Jeritan yang Joo tahan kuat-kuat terlepas. Nasib Joo sungguh ironis. Rupanya memang tak ada kata bahagia lagi dalam hidup Joo. Lutut Joo yang terbuka terasa sakit, permukaan aspal jalan menggores permukaan kulitnya.

"Huwa!! Tuhan, biarkan bumi menelanku! Aku tak lagi bisa bertahan!" jerit Joo tetap pada posisinya. Rasanya Joo sudah tak mampu lagi untuk bertahan. Sayatan yang Joo buat di lengannya juga masih terasa perih, seperih hatinya.

"Kau bisa Joo,"

Tubuh Joo tersentak. Kedua bahunya terasa hangat. Pantulan sinar mentari yang menyorot tubuhnya terasa teduh. Pelan-pelan Joo mendongakkan kepalanya. Dalam hati Joo sangat takut. Sepenggal suara itu terlalu menakutkan bagi Joo jika kata hatinya benar.

Benar saja, seorang Marcel tengah berjongkok didepannya. Lelaki yang Joo benci setengah mati itu kini telah menggenggam kedua bahunya. Mirisnya lagi sekarang Marcel melukiskan kurva indah di bibir ranumnya membuat hati Joo semakin teriris menjadi kepingan lebur.

"Kembalilah padaku, aku sedih melihatmu terpuruk seperti ini. Ayo lupakan semua konflik diantara kita, aku ingin kita mulai lagi semuanya dari awal. Aku berjanji akan membuatmu bahagia." ucap Marcel mengusap pipi Joo-menghapus jejak air matanya.

Joo menggelengkan kepalanya. "Cukup, Marcel. Jangan memberiku harapan jika kau akan menghempaskannya. Kau benar, bahwa aku tak bisa melukis. Lukisanku tak seindah cakaran kucing. Kau benar!" emosi Joo tersulut.

Tatapan miris terpancar dari wajah Marcel. Lelaki itu menatap lekat gadis didepannya. Sudah tak ada binar ataupun aura kebahagiaan dalam diri Joo. Wajahnya kusut, tangan kirinya dibebat kain yang menunjukkan bekas darah, dan lututnya lecet. Marcel tak mampu menatap gadis yang namanya telah terukir dalam hati kesakitan seperti saat ini. 

GREB!

Marcel menarik Joo kedalam pelukannya. Marcel sudah tak peduli lagi dengan tempat mereka berada. Marcel hanya ingin memberikan kekuatan untuk Joo. Dengan lembut Marcel menyandarkan kepala Joo pada dada bidangnya, tangannya mengusap punggung Joo pelan, sesekali ia mencium pucuk kepala Joo. Setelah sekian lama Joo tak menolak perlakuan lembut Marcel usai masalah yang terjadi pada hubungan percintaan mereka.

"Sudah benar seperti ini, Marcel. Kita seharusnya memang tak saling bersama. Kau terlalu baik untukku." lirih Joo dalam pelukan Marcel.

Kedua mata Marcel terpejam, ucapan Joo mengguncang hatinya yang telah terluka. "Tidak, kau seharusnya yang telalu sempurna untukku!" seru Marcel menyanggah ucapan Joo.

Satu pukulan mendarat pada dada Marcel yang telah basah oleh air mata Joo. "Sempurna di luar cacat di dalam. Asal kau tahu Marcel, sebenarnya aku ini gila. Rasanya aku ingin mati sekarang juga!"

Ucapan Joo semakin menyayat hati Marcel. Bagaimana gadis itu berucap semenyakitkan itu sementara Marcel masih mencintainya? Marcel tak rela jika gadis yang dicintai pergi meninggalkannya hanya karena masalah tak jelas.

GUK! GUK!

Jauh di belakang mereka Marcel melihat seekor anjing liar berlari menggonggong ke arah dirinya. Laju anjing itu cepat. Rupanya ucapan Joo dijabah, tapi Marcel tak akan membiarkan anjing itu menerkam Joo. Segera saja Marcel mengangkat tubuh Joo yang masih berada dalam pelukannya. Sekuat tenaga Marcel berlari menghindar dari anjing itu.

"Joo, tak akan kubiarkan kau terluka, aku akan membuatmu kembali bahagia." ucap Marcel dalam deru napas tak teraturnya tatkala Joo memberontak dalam kendalinya-meminta untuk turun dari gendongan Marcel.

***

"Bagaimana persiapannya? Sudah selesai semua? Ingat, besok kita akan berangkat pagi."

Greeze memastikan kesiapan anggota tim dance yang akan ikut berlibur. Ini adalah tanggung jawab terakhirnya sebagai ketua klub dance. Setelah liburan berakhir Greeze akan berangkat KKN di luar kota. Satu helaan napas lolos dari bibir Greeze disusul dengan senyuman tipis. Para juniornya merespon positif pertanyaan Greeze.

"Oh ya, ada informasi penting yang belum kusampaikan pada kalian semua." Greeze mengingat perubahan beberapa anggota. "Besok Elkie tak akan ikut berlibur bersama kita, kakaknya akan menggantikan voucher-nya dan aku akan mengajak temanku Joo untuk menggantikan Ino yang tak bisa ikut. Kalian tak keberatan, kan?"

"Tidak masalah kak,"

"Siapapun dia bagiku tak masalah asal kita berlibur bersama."

Beban dalam diri Greeze terangkat. Semuanya telah selesai. Masalahnya hanya tinggal mengkonfirmasikan langsung rencananya pada orang yang ia ajukan. Ya, Greeze belum sempat mengajak Joo pergi berlibur secara langsung.

"Ya sudah, pertemuan kali ini selesai. Kalian boleh pergi ataupun tetap disini."

Beberapa teman-teman klub dance memilih untuk pergi, ada juga yang masih ingin menari dalam studio. Masih duduk di pusat ruangan, Greeze menatap lelaki yang sudah bangkit dari duduknya-bersiap keluar dari studio. Lelaki itu belum memberikan kepastian atas perintahnya.

Dengan gerakan cepat Greeze bangkit dari duduknya, ia berlari mengejar Alvin lalu menarik tangan lelaki itu untuk ikut bersamanya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Apa? Kenapa keliahatan serius sekali?" tanya Alvin mengangkat sebelah alisnya, ia membiarkan Greeze menarik tangannya.

"Banyak sekali yang ingin kubicarakan denganmu." jawab Greeze datar.

"Bisakah kita berjalan berdampingan? Kita terlihat aneh dengan posisi seperti ini?" kikuk Alvin melihat Greeze terus menarik tangannya dan berjalan mendahuluinya.

Greeze melirik Alvin tajam. "Waktu terus mengejar kita, Alvin."

Saat itu juga Alvin bungkam seribu bahasa. Seniornya itu sudah tak bisa di ajak bicara. Hmm, akhir-akhir ini Greeze menjadi lebih sensitif. Karena itu, Alvin jadi enggan untuk berada di dekatnya.

Ternyata oh ternyata Greeze mengajak Alvin ke balkon kampus. Genggaman kuat Greeze terlepas. Greeze membalikkan tubuhnya menghadap Alvin yang menatapnya datar. Tatapan tajam Greeze melunak. Raut tegasnya pudar menjadi sendu.

"Aku ingin mengajak Joo berlibur."

Kerutan tipis tercetak pada dahi Alvin. What the hell?! Jadi ini yang ingin Greeze bicarakan? Bukankah semalam Greeze berkata mengajak Joo ikut liburan? Ia juga sudah mengumumkan Joo akan ikut berlibur pada teman-teman lainnya.

"Bukankah kau sudah mengajaknya?"

Greeze menggelengkan kepalanya. "Aku sudah tak pernah bertemu dengan Joo. Nomornya tidak aktif, ia tidak pulang ke rumahnya, sekarang ia bahkan nggak datang ke kampus." resah Joo.

Jantung Alvin terpukul oleh ucapan Greeze. Mendadak ia menjadi khawatir dengan Joo. Kehadirannya semalam di kediaman Fredy. Percobaan Joo untuk membunuh dirinya dengan memutus urat nadinya. Kesedihan mendalam Joo. Pasti ini ada kaitannya dengan masalah Kak Joo dan keluarganya. 

"Aku harus bagaimana Al? Aku ingin bertemu Joo, aku merindukannya. Sahabat kecilku yang tak pernah lelah membuatku bahagia!" desak Greeze mengguncang lengan Alvin, memecah tatapan kosong Alvin.

"Joo bersedia ikut liburan dengan kita, Kak Greeze." Semalam ia bermalam di rumah Fredy.

"Kak Joo, tolong bantu aku mempersiapkan perlengkapan Fredy untuk liburan lusa." ucap Alvin membuka pintu sebuah ruangan.

Liburan?

"Iya, tim dance kampus kita dapat voucher berlibur ke Bali! Kami juara dua!" heboh Alvin.

Joo mengerutkan keningnya. "Kenapa ia tak mempersiapkannya sendiri?"

Alvin terkekeh pelan. "Kalau nggak dipersiapkan Fredy tak akan mau ikut berlibur. Kita harus membuatnya merasa segan dan memaksanya ikut." telunjuk Alvin mengarah pada wajah Joo. "Kak Greeze juga mengajak Kak Joo liburan!"

"Benarkah?" tanya Joo terasa hampa.

Anggukan pelan Alvin berikan. "Sahabat terbaik Kak Greeze itu Kak Joo."

"Kak Joo juga harus segera mempersiapkan keperluan untuk liburan. Besok aku akan meminta Fredy untuk mengantar Kak Joo." ucap Alvin tersenyum manis pada Joo.

"Kenapa kau tidak bilang jika Joo kemarin bersamamu?" kejut Greeze kecewa.

Wajah Alvin murung. Mana mungkin Alvin memberitahu Greeze jika semalam keadaaan Joo sangat rapuh. Jika ditebak dari sikap Greeze sepertinya dia belum mengetahui rahasia terbesar Joo. Alvin tak akan membuat gadis di depannya ini merasa terpukul.

"Kenapa juga bilang pada Kak Greeze, yang ada Kak Greeze akan mengacaukan kencanku dengan Kak Joo." gurau Alvin memutuskan untuk turun dari balkon. 

"Oh ya, Kak Greeze ingin bertemu dengan Kak Joo nggak? Aku bisa mengantar Kak Greeze." tawar Alvin menuruni tangga.

"Tentu saja! Ya gini dong dari dulu-dulu!" sahut Greeze cepat.

Alvin tersenyum geli. Persahabatan antara Greeze dan Joo begitu kental. Cara Greeze menyayangi sudah seperti Joo bagian dari keluarganya. Asal kalian ketahui jika Greeze dan Joo sama-sama dalam suasana hati yang baik mereka akan gila sepanjang waktu namun jika salah satu dari mereka ada masalah keduanya akan sedih dan saling menguatkan.

***

Kosong. Tak ada seorang pun dalam ruangan di sudut lorong. Ruangan itu tampak lebih rapi dari biasanya. Meja kerja telah bersih tak menampung benda apapun, bahkan papan nama dokter tetap tak lagi berdiri.

Kemarin adalah hari terakhir Ryan bekerja. Lantaran usianya yang telah tua, dokter Ryan harus pensiun. Sampai hari berikutnya ruangan dinas ini masih kosong, tak ada dokter pengganti di sana selain dokter umum. Seharusnya Joo dapat menggantikan kursi itu, namun rasanya tidak mungkin. Rafa memejamkan matanya. Waktunya di Indonesia semakin menipis.

"Aku harus pergi ke klinik. Masa depan Joo harus segera ditentukan."

***

Sebuah kanvas putih masih berdiri tegak di kayu penyangga. Keadaan kamar Joo tetaplah sama. Joo merindukan kamarnya. Ia ingin melukis di atas kanvas pemberian kakaknya. Sayang sekali jika kanvas baru dibiarkan usang tanpa sentuhan warna.

Joo melangkahkan kakinya mendekati kanvas. Namun langkahnya tiba-tiba tertahan. Ia ingat lukisan kanvas mengerikan Marcel dan juga ucapan tajam Fredy mengenai lukisannya. Joo tak berani melukis. Ia takut. Rasa percaya dirinya telah hilang.

"Joo, kau belum mempersiapkannya?"

Joo memutar tubuhnya ke belakang. Ia melihat Marcel yang berjalan mengamati setiap sudut kamarnya. Ya, lelaki itu membawa Joo pulang ke rumah-meski sebenarnya Joo enggan. Tampaknya Marcel tidak menyadari ketidaknyamanan Joo.

"Mempersiapkan apa?" 

"Bukankah besok kau akan pergi berlibur?" heran Marcel duduk di tepi ranjang Joo.

Kedua mata Joo membola. "Darimana kau tahu?"

Marcel tersenyum tipis. "Aku juga akan ikut liburan menggantikan Elkie."

Sebuah berita mengejutkan. Joo tak menyangka Marcel akan ikut berlibur bersama klub dance. Entah mengapa Joo tak terlalu senang mendengarnya. Joo ingin Marcel menjauh darinya. Joo tak ingin terperangkap dalam cinta Marcel untuk kedua kalinya setelah ia menyakitinya. Sebenarnya Joo juga sudah punya rencana sendiri saat liburan nanti.

"Rupanya kau belum mempersiapkannya, aku akan membantumu, Joo." simpul Marcel bangkit dari duduknya lalu mengajak Joo untuk mempersiapkan keperluan liburan.

***

Jemari-jemari kecil menyatukan seluruh tenaganya untuk menarik kenop pintu. Dalam satu tarikan, pintu terbuka. Pemandangan yang sama. Selalu saja Fredy sudah duduk manis di mejanya dan berkutat dengan kesibukannya. Alvin menolehkan kepalanya ke samping, menyuruh Greeze untuk mengikutinya.

"Fredy, kau sudah antar Joo pulang?" Alvin langsung melemparkan pertanyaan utamanya pada Fredy setiba di dekatnya.

"Untuk apa aku mengantarnya pulang? Dia bukan anak kecil, dia juga tahu alamat rumahnya." jawab Fredy datar.

Alvin melotot. "Jadi kau membiarkannya pulang sendirian?!"

Fredy mengangguk pelan. Acuh sekali Fredy membiarkan Joo pergi begitu saja seorang diri. Rasa panik menyerang Alvin. Ia khawatir tentang Joo. Di sampingnya Greeze mencoba memahani perbincangan kedua junior kepecayaannya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Joo?

"Kak Greeze, tolong pergi ke rumah Kak Joo sekarang! Aku harus memberikan konseling pada temanku yang tak punya hati ini!" seru Alvin panik.

Pensil dalam genggaman Fredy terlepas. Tangannya mengepal kuat menahan amarah akan ucapan Alvin. Menjadikannya sebagai orang tak punya hati hanya karena perhatiannya pada seorang gadis sungguh berlebihan. Fredy menatap Alvin datar.

"Cepat Kak Greeze! Aku takut Joo melakukan sesuatu!" titah Alvin.

Tak lagi berkelana dengan pikirannya, Greeze berlari keluar dari studio pribadi Fredy. Greeze menuruti perintah Alvin untuk mencari Joo. Melihat reaksi panik Alvin membuat Greeze juga ikut mencemaskan Joo.

"Kau tahu sendiri Kak Joo kemarin hampir melakukan percobaan bunuh diri, kenapa kau membiarkannya pulang sendiri? Kau ingin Kak Joo mencelakai dirinya lagi!?" emosi Alvin.

"Apa urusanku, aku sudah pernah mencegahnya tapi ia tetap menginginkannya. Hargai saja apa yang ia lakukan." jawab Fredy tenang.

Alvin menahan napasnya, jari-jemarinya menyapu helai rambutnya ke belakang. "Ayo, ikut aku ke kamarmu! Ada yang ingin kutunjukkan padamu!" Alvin berjalan mendahului Fredy.

Untuk pertama kalinya Alvin benar-benar merasa jengkel pada sahabat terbaiknya ini. Sikapnya yang acuh tak acuh dan terkesan tak peduli pada orang-orang di sekitarnya sungguh meresahkan. Terlebih-lebih jika sudah melunjak saat bersama seorang wanita.

Sebagai sahabat yang baik, Alvin harus segera meluruskan sikap Fredy meski lelaki itu sangat sulit jika bersikap hangat pada orang lain. Pada dirinya saja Fredy jarang bercanda ataupun santai. Kesibukan dan ambisinya telah menyita jiwa sosialitasnya.

"Fredy, kau lihat koper disana?"

Langkah Alvin terhenti. Tatapannya menatap lurus sebuah koper bewarna biru tua berukuran sedang di dekat kaki tempat tidur. Alvin akan mengungkapkan semuanya. Kepedulian Joo untuk Fredy. Langit gelap bagi Joo yang selalu menuntut sinar terang bulan.

"Kau mau pinjam koperku untuk liburan?" tanya Fredy malas.

Kepala Alvin menggeleng pelan. Ia harus sabar untuk menyadarkan Fredy. Secepat kilat Alvin berbalik ke belakang, menatap intens sorot datar Fredy. "Itu koper milikmu, Joo yang mempersiapkannya untukmu dengan sepenuh hati agar kau ikut berlibur dengan tim dance besok."

"Aku tak meminta dia untuk melakukannya, bukankah dia sudah lancang menyentuh barang orang lain?" sinis Fredy berjalan mendekati koper.

"Aku yang memintanya. Aku tahu kau tak akan pergi tapi kumohon nikmati buah dari hasil kerjamu. Kau menari bersama kami dengan satu tujuan." Alvin mengikuti langkah Fredy. "Aku juga tahu bahwa kau adalah orang yang beharga bagi hidup Joo sekarang ini!"

Hiperbola. Alvin mulai berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Ingin rasanya Fredy tertawa lepas sekarang juga. Beharga? 

"Semalam Joo bercerita tentangmu, saat kau menjadi alasannya untuk bertahan hidup, saat kau mengatakan kata-kata penyemangat untuknya. Sejak itu hidup Joo merasa membaik sampai ia ingin kembali mengakhiri hidupnya karena masalah keluarga dan kau yang berkomentar pedas atas lukisannya." jelas Alvin.

Sebelum sepatah kata lepas dari bibir Fredy, Alvin melanjutkan perkataannya. "Karena tatapan lembutmu, tutur kata tegasmu, sapuan lembut jemarimu menghapus air matanya, dan juga genggaman tangan erat yang kau berikan membuat Joo merasa diperhatikan di saat orang-orang disekitarnya tak mempedulikannya." 

Alvin menghela napasnya. "Asal kau tahu, Joo berpegang pada ucapanmu untuk hidup. Joo sampai menyiapkan baju hangat dan nyaman untukmu. Bahkan Joo rela semalaman terjaga hanya untuk menunggumu terbangun. Joo ingin dirinya menjadi orang pertama yang kau lihat setelah membuka mata."

Napas Alvin tak lagi teratur. Mengucapkan hal tentang Joo menguras emosinya. Gadis idola hatinya yang menjadi penyemangat tersendiri ternyata menyimpan banyak luka dalam hatinya. Yang membuat Alvin semakin emosi adalah kenyataan bahwa Fredy adalah orang yang Joo harapkan malah menghempaskan harapan yang telah diberikannya.

"Saat itu aku sudah mencegahnya." lirih Fredy mengerti apa yang diceritakan Alvin, tepatnya kejadian di tangga darurat beberapa bulan silam. "Namun dia tetap tak menginginkan hidupnya. Dia terlalu bodoh dalam menjalani hidup." lanjutnya.

"Kau yang bodoh, Fredy! Kau yang menghempaskan harapan yang kau berikan padanya! Kau mengatai lukisannya!" Alvin menekankan setiap kalimatnya. "Kau ingat, apa kata ibumu sebelum akhir hayatnya?"

"Jadilah anak baik dan jangan pernah lukai hati perempuan karena hidup perempuan lebih berat daripada lelaki." Alvin menjawabnya dalam satu tarikan napas.

Sosok Alvin telah berhasil menggali memori menyakitkan yang Fredy pendam dalam-dalam. Tali persahabatan yang Fredy jalin dengan Alvin sudah berlangsung sejak keduanya duduk di taman kanak-kanak. Keluarga Alvin bahkan percaya jika putranya akan baik-baik saja kuliah di satu tempat bersama Fredy-meskipun jauh dari rumahnya.

Memori tentang kepergian ibu Fredy menghantuinya. Sebenarnya ibu Fredy telah tiada saat ia berusia 13 tahun. Saat itu Fredy masih SMP. Di masa SMP Fredy tumbuh menjadi anak yang sangat aktif dan usil kepada seluruh temannya, terutama pada anak-anak perempuan di sekolahnya. Fredy masih ingat jelas beberapa kali ia mendapatkan panggilan orang tua dari sekolah karena perbuatan meresahkannya.

Kenangan itu mengundang luka dan kerinduan mendalam bagi Fredy. Ibu Fredy tiada pada saat perjalanan pulang dari memenuhi panggilan ke sekolahnya. Dan kalimat yang diucapkan Alvin adalah kalimat terakhir yang ibu Fredy ucapkan sebelum pergi. Fredy menyesal. Sejak saat itu Fredy menjadi sangat dingin pada teman-teman perempuannya dan merasa canggung di dekat teman temannya yang lain.

"Kau tidak seharusnya hidup seperti ini, Fredy. Sikap acuhmu bisa melukai siapa saja. Tidak menyakiti bukan berarti tidak peduli." tutur Alvin melemah. "Mungkin kau telah menyalahartikan ucapan ibumu saat itu. Mulai sekerang aku mohon setidaknya perhatikan perasaan orang lain."

'Aku takut Alvin.." lirih Fredy menundukkan kepalanya. "Semua perempuan dan anak kecil selalu mengingatkan kejadiaan saat itu."

Alvin meletakkan tangannya di atas bahu Fredy. "Cobalah untuk keluar dari rasa penyesalanmu. Aku tahu kau bisa. Kau telah bersikap baik pada Joo tapi aku mohon bersikaplah lebih halus padanya. Dia adalah gadis yang sangat rapuh."

"Joo?" bingung Fredy.

"Joo bukanlah gadis gila, Fredy. Joo hanya tak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Joo membutuhkan dukungan, harapan, dan juga perhatian. Sekali lagi ingin kukatakan bahwa kau adalah alasan Joo bertahan hidup."

Fredy memandang datar Alvin. Dalam hatinya masih tersisa keraguan mempercayai perkataan Alvin. Memang sebenarnya Fredy adalah seorang lelaki yang supel, humoris, dan menyenangkan pada orang-orang terdekatnya namun tidak untuk satu kaum bernama perempuan. Rasa penyesalan selalu membayangi jiwa Fredy.

"Kau sudah dua puluh dua Fredy, kita sudah dewasa. Kau tak bisa terus bersikap acuh pada perempuan, salah satu dari mereka akan merawatmu dan menjadi pendampingmu nanti." Alvin semakin meyakinkan.

Kalimat demi kalimat yang terucap dari bibir Alvin mengoyak pertahanan Fredy. Kilasan kenakalan masa kecilnya terlintas dalam memorinya. Rasa penyesalan tak pernah pergi dari hatinya. Desahan pelan lolos dari bibir Fredy. Tatapannya menatap lurus koper yang telah dipersiapkan Joo untuknya.

***

Pintu suatu ruangan terbuka. Yura keluar dari ruangan dinasnya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku. Hari ini sungguh melelahkan. Bayangkan saja dalam satu hari Yura harus menangani tiga kali proses kelahiran. Meski pada akhirnya tersimpan kebahagiaan kecil karena telah turut menyambut calon generasi bangsa dalam hari kelahirannya.

Tanpa disadari hari telah malam. Tungkai Yura berjalan santai melewati lorong. Terasa kosong kepulangan Yura kali ini. Tak ada lagi sang suami yang selalu menunggunya untuk pulang bersama. Yura merindukan Ryan-suaminya.

Saat berjalan melalui lorong, dari ujung lorong Yura menangkap seorang dokter laki-laki berlari kencang melewatinya. Semerbak bau maskulin dokter itu meluluhkan Yura. Sekilas Yura dapat melihat wajah rupawannya. Rupanya dokter itu tak lari sendirian, di belakangnya ada beberapa perawat yang mengikuti jejaknya.

"Tunggu!" Yura menahan salah satu perawat yang melewatinya. "Dia siapa? Kok saya merasa asing dengan wajahnya?" tanya Yura pada perawat perempuan itu.

"Dia dokter rujukan dari rumah sakit lain." tampak sekali perawat itu panik. "Maaf, Dokter Yura, kami harus ke ruang VIP!" perawat itu segera pergi meninggalkan Yura.

"Dokter rujukan dari rumah sakit lain?" baru kali ini Yura mengetahui seorang dokter mau dirujuk ke rumah sakit lain, yang Yura tahu hanya pasien yang selalu dapat dirujuk. Dihantui rasa penasaran, pandangan Yura tak pernah terlepas dari beberapa perawat yang berlarian di koridor.

"Kayaknya dia cocok buat Joo." Yura kembali menghapus langkahnya. Ia memilih berjalan cepat menuju ruang VIP. Entah mengapa dokter lelaki muda berwajah rupawan itu sungguh memikatnya untuk dijadikan menantu.

Dalam kurun waktu 5 menit Yura telah sampai di ruang VIP. Seluruh dokter dan juga para perawatnya telah masuk. Di usianya yang rentan membutuhkan waktu lama bagi Yura untuk menteralkan napasnya. Sebuah senyum tipis terlukis di wajah Yura. Pintu ruang VIP sedikit terbuka.

Yura mengintip keadaan di dalam. Disana terlihat seorang perempuan yang terbaring di ranjang dan dokter pujaan hatinya sibuk memeriksa keadaan pasien. Dalam tatapan liarnya, Yura juga menangkap sebuah lukisan dengan dominasi warna pink penuh tulisan latin yang cantik. Yura menatap lukisan itu lama-lama.

JOOLIET, I LOVE YOU 

Tulisan dalam kanvas bewarna pink itu.

"Nama yang sama dengan Joo. Gadis sakit itu hanya pasiennya kan?" cemas Yura menarik tubuhnya dari daun pintu, isi dari lukisan kanvas sungguh menciutkan harapannya.

"Aku harus bisa dekat dengannya, dia pasangan yang sempurna untuk Joo." gumam Yura bersemangat.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
GLACIER 1: The Fire of Massacre
783      580     2     
Fantasy
[Fantasy - Tragedy - Action] Suku Glacier adalah suku yang seluruhnya adalah perempuan. Suku damai pengikut Dewi Arghi. Suku dengan kekuatan penyegel. Nila, anak perempuan dari Suku Glacier bertemu dengan Kaie, anak laki-laki dari Suku Daun di tengah serangan siluman. Kaie mengantarkannya pulang. Namun sayangnya, Nila menjatuhkan diri sambil menangis. Suku Glacier, terbakar ....
29.02
440      235     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Aku Mau
11398      2156     3     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.
Misteri pada Mantan yang Tersakiti
850      487     6     
Short Story
98% gadis di dunia adalah wujud feminisme. Apakah kau termasuk 2% lainnya?
Bait of love
2257      1075     2     
Romance
Lelaki itu berandalan. Perempuan itu umpan. Kata siapa?. \"Jangan ngacoh Kamu, semabuknya saya kemaren, mana mungkin saya perkosa Kamu.\" \"Ya terserah Bapak! Percaya atau nggak. Saya cuma bilang. Toh Saya sudah tahu sifat asli Bapak. Bos kok nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.\"
Light in the Dark
1953      854     3     
Romance
pendiam dan periang
260      207     0     
Romance
Dimana hari penyendiriku menghilang, saat dia ingin sekali mengajakku menjadi sahabatnya
Switched A Live
3463      1368     3     
Fantasy
Kehidupanku ini tidak di inginkan oleh dunia. Lalu kenapa aku harus lahir dan hidup di dunia ini? apa alasannya hingga aku yang hidup ini menjalani kehidupan yang tidak ada satu orang pun membenarkan jika aku hidup. Malam itu, dimana aku mendapatkan kekerasan fisik dari ayah kandungku dan juga mendapatkan hinaan yang begitu menyakitkan dari ibu tiriku. Belum lagi seluruh makhluk di dunia ini m...
My Daily Activities
916      469     1     
Short Story
Aku yakin bahwa setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan asal ia berdo\'a dan berusaha.
the invisible prince
1556      845     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?