GO!
'Jangan pernah merasa ragu dalam mencoba sesuatu. Berjalan lurus dan menatap ke depan adalah salah satu keputusan terbaik.'
Tepuk tangan meriah dan seruan histeris memenuhi mall lantai utama. Pertunjukan dance membangkitkan antusias para penonton. Tim demi tim bersaing ketat untuk memikat perhatian para juri. Mereka semua menunjukkan skill dance yang telah diasah.
Di deretan kursi bagian depan, tim dance dari perwakilan Phoenix University sedang menunggu giliran tampil mereka. Mendapat nomor peserta urutan terakhir memang mendebarkan. Setiap penampilan keren dan memukau tim lain menjadi beban tersendiri bagi tim dance pimpinan Greeze. Bahkan sebelum hari-h saja Greeze sudah gelisah dan tak tenang.
"Kak Greeze masih mikirin Kak Joo?"
Greeze menolehkan kepalanya. Disampingnya Alvin menatap cemas. Rupanya lelaki itu sudah tahu betul apa kekhawatiran Greeze. Bukan soal kompetisi melainkan tentang sahabatnya. Joo yang telah hilang kontak sejak Greeze melihat pertengkaran hebatnya dengan Marcel.
Kepala Greeze mengangguk lemas. "Sampai saat ini pun nomornya tetap tidak aktif."
"Kak Greeze tenang dulu, nanti setelah selesai acara kita bisa cari Kak Joo bersama-sama."
"Tidak bisa, aku tak bisa tenang, Al. Aku takut Joo akan melakukan percobaan bunuh diri lagi!" cemas Greeze memejamkan matanya, mengusir ingatan menakutkan yang terlintas dalam pikirannya.
"Bunuh diri?" bingung Alvin.
"Siapa yang bunuh diri?"
Fredy datang menimpali pembicaraan serius antara Greeze dan Alvin. Lelaki berparas imut itu kini terlihat semakin dewasa dan berkharisma dengan penampilannya. Riasan tipis make-up yang memberikan kesan garang dan juga kemeja hitam oversizes menghiasi penampilan Fredy. Menunggu temannya menjawab, Fredy memilih mengambil duduk di samping Alvin.
"Dulu waktu kami lulus dari SMP, Joo pernah mencoba bunuh diri. Dia hampir saja terjun dari atap sekolah karena saat itu aku harus pergi ke Jakarta untuk ikut kedua orang tuaku." Greeze memulai ceritanya.
"Saat itu pula, kakaknya juga berniat pergi ke Singapura. Sementara ayah dan ibunya tak datang di hari kelulusannya. Tapi untungnya, guru-guru disana dapat mencegah niat Joo." tukas Greeze kembali merasa sedih mengingat kejadian beberapa tahun silam.
"Drama banget sih hidupnya," cibir Fredy malas.
"Bukan seperti itu, sejak kecil hidup Joo memang sulit ketimbang anak seusianya. Di masa kecilnya Joo dirawat oleh seorang pengasuh anak. Tapi mirisnya pengasuh Joo memanfaatkan status sosial keluarganya untuk menculik Joo dan mengancam akan membunuh Joo jika tak memberikan uang. Semasa sekolah Joo juga sering dikucilkan." Alvin meringis ngilu mendengar cerita Greeze. Sudut mata Alvin kemudian melirik Fredy. Wajah Fredy tampak tenang tak tersirat sedikitpun rasa empati usai mendengar cerita mengenaskan tentang Joo.
"Fredy, tolong cari Joo sekarang! Bukankah kalian sudah saling mengenal?"
Kedua mata minimalis Fredy melotot. Yang benar saja dirinya mencari Joo, sebenarnya apa yang dipikirkan Alvin? "Kenapa harus aku? Lagian untuk apa mencari Kak Joo toh dia juga nggak ikutan nge-dance.
"Hanya padamu Joo dapat bersikap terbuka, Fredy. Please, aku takut Joo melakukan--" ucapaan Greeze terpotong.
"Aku akan mencarinya selama setengah jam." Fredy beranjak dari duduknya dan berlari kecil keluar dari kerumunan penonton di sekitar.
***
Firasat Greeze tepat. Dugaannya terjadi nyata. Tepat di depan mall-tempat kompetisi diadakan-Joo berjalan gontai. Penampilannya sudah rapi. Setelan hitam putih yang dibalut almamater kampusnya. Wajahnya dilapisi riasan ringan seperti biasanya. Kecantikan alaminya semakin memantul dengan tatanan rambut tergerainya.
Joo berjalan lurus. Tatapannya kosong. Entah masih dikendalikan kesadaran atau tidak, langkah Joo keluar dari trotoar pejalan kaki, menapak pada jalan raya penuh kendaraan. Langkah Joo semakin pelan, mengundang suara klakson kendaraan untuk menghantam kesadaran Joo. Tapi begitu Joo sadar, langkahnya justru terhenti.
"Lebih baik aku mati daripada harus menjadi dokter." lirih Joo sebelum lampu bus bersinar terang, memberinya peringatan untuk segera menepi.
SRET!
Tubuh lemas Joo serasa melayang. Seseorang menyelamatkannya. Ya, seorang lelaki mengangkat tubuh Joo menyebrangi jalan. Di dalam kuasa lelaki itu Joo mendongakkan kepalanya, lelaki itu tersenyum manis pada Joo. Posisi Joo sekarang berada dalam gendongan ala bridal style lelaki itu.
Joo hanya memandangi wajah lelaki yang menatapnya teduh itu. Lelaki itu terus berjalan tanpa melepaskan tubuh Joo dari gendongannya, begitupun dengan Joo. Ia sama sekali tak memberontak dalam gendongan lelaki itu.
"Aku Doni, kau pasti mengingatku."
Joo sedikit terlonjak mendengar penuturan lelaki itu. Ucapan Doni seolah menjawab kebingungan dalam benak Joo. Benar bahwa sebelumnya mereka pernah bertemu. Beberapa pekan lalu di perpustakaan kampus. Joo memutus kontak matanya pada Doni lalu ia menatap ke depan. Sekarang Doni tengah berjalan menyusuri mall.
"Kenapa kau tak menurunkanku?" tanya Joo datar begitu menyadari dirinya dan Doni menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang di sekitar mall.
Tanpa sepengetahuan Joo, Doni menyeringai misterius. Namun dalam sekejap seringainya berubah menjadi sebuah senyuman manis. "Aku tahu kau sedang ada masalah maka dari itu aku akan membuatmu senang hari ini."
"Membuatku senang?" bingung Joo. "Kau nggak malu di tatap aneh sama orang-orang?" Joo kembali mendongak menatap Doni.
"Untuk apa malu? Jika malu kau tak akan bahagia." jawab Doni disertai tawa ringan.
Diam. Joo tak lagi berbicara. Setiap perkataan Doni tak dapat Joo mengerti dengan baik. Joo membiarkan Doni terus menggendongnya. Lagian untuk saat ini Joo juga tak ada gairah untuk melakukan sesuatu.
"Tapi aku tak bisa bahagia, Doni." lirih Joo setelah terdiam cukup lama.
"Tunggu saja sebentar lagi, kau akan bahagia bersamaku." ucap Doni tersenyum lebar.
Sampai. Langkah Doni memelan begitu ia sampai pada pusat tempat karaoke di mall. Tempat itu terlihat cukup sepi. Penerangan dalam ruang karaoke juga redup. Tanpa berlama-lama Doni membawa Joo masuk ke dalam salah satu ruangan. Ruangan yang terbilang cukup luas dan tak ada siapa-siapa disana.
Pelan-pelan Doni membaringkan tubuh Joo di sebuah sofa berukuran besar. Entah apa yang ada dipikiran Joo, gadis itu sama sekali tak bergerak dalam posisinya. Matanya menatap sorot tajam milik Doni. Tatapan mereka tiba-tiba saja terputus saat Doni melesat mengunci pintu ruangan karaoke.
Joo menolehkan kepalanya, di depannya ada layar monitor memutar sebuah klip lagu. Di atas meja juga ada dua buah mikrofon. Tiba-tiba saja Joo ingin bernyanyi namun sepasang lengan kekar mengekang tubuhnya. Joo melebarkan matanya, terkejut dengan posisi tubuh Doni yang hampir menindihnya.
Doni mengeringai tipis, tangannya menyibakkan jas hitam yang melekat pada tubuh Joo. "Aku tak menyangka akan semudah ini untuk bersenang-senang denganmu, Joo."
Joo menatap datar Doni. "Jadi ini yang kau maksud bersenang-senang?" Sebelah sudut bibir Joo terangkat ke atas. "Baiklah, ayo hancurkan hidupku sekalian bunuh aku juga nggak apa-apa setelah kau puas."
Dengan senang hati Doni memulai permainannya usai mendapatkan persetujuan dari Joo. Lelaki itu dengan kasar, menarik tubuh Joo agar terduduk. Tanpa keraguan Doni melepaskan jas hitam yang dikenakan Joo. Tak puas Doni mulai melucuti tubuh Joo. Di mulai dari menanggalkan tiap kancing kemeja Joo. Joo sama sekali tak bergerak. Ia membiarkan Doni menyentuh tubuhnya sesukanya.
TOK! TOK! TOK!
Ketukan pintu tak teratur menghentikan pergerakan tangan Doni menanggalkan kemeja Joo. Doni menatap ke belakang. Suara ketukan itu sepertinya berasal dari pintu ruangan yang ia sewa. Namun Doni tak habis pikir, ia kembali menatap Joo dan kembali melanjutkan aksinya jika saja tidak ada suara--
"Hentikan!"
Fredy berteriak lantang. Segera ia berlari menendang keras-keras tulang kering Doni yang tengah menindih tubuh Joo. Tendangan kaki Fredy cukup ampuh untuk membuat tubuh Doni terjatuh. Tak melupakan tujuan utama, Fredy menarik tangan Joo yang terkulai lemas agar bangkit. Fredy menggenggam erat tangan dingin Joo akan tetapi pandangannya tertuju pada Doni yang meringis kesakitan dan mengumpat padanya.
Tanpa berbicara sedikitpun Fredy membawa Joo keluar dari ruangan karaoke itu. Di ambang pintu beberapa petugas karaoke masih terkejut melihat kejadian dalam ruangan terkunci itu. Fredy hanya menggelengkan kepalanya melihat kerawanan berbahaya dalam tempat karaoke.
"Aku mohon tangani dia, terima kasih telah membukakan ruangan ini." ucap Fredy sebelum sepenuhnya keluar dari ruangan.
Tautan tangan Fredy pada pergelangan tangan Joo terlepas. Mereka berdua telah keluar dari tempat karaoke. Sekarang Fredy membawa Joo ke tangga darurat mall. Fredy tak bisa menyembunyikan amarahnya lagi.
"Joo, kau ini gila atau bodoh sih sebenarnya?!" kesal Fredy akan sikap pasrah Joo. "Bagaimana bisa kau tak menolak ataupun memberontak saat dia membawamu ke dalam tempat karaoke?! Ingatlah, kau itu perempuan! Harus bisa menjaga diri!"
Tatapan tajam Fredy bagaikan jarum yang menusuk hati Joo. Perkataan Fredy seolah menyiratkan bahwa setiap perbuatan Joo tak ada yang benar di matanya. Akibat perkataan Fredy, Joo merasa bersalah atas keputusannya.
Pertahanan tubuh Joo runtuh. Tubuh Joo jatuh terduduk di depan Fredy. Kedua lengannya memeluk lututnya erat. Kepalanya terlungkup ke dalam. Tangis Joo pecah. Joo tak bisa mengontrol emosinya. Perasaannya telah hancur.
"Aku ingin mati, Fredy!" teriak Joo histeris. "Kau mengacaukan semuanya! Tak seharusnya kau datang dan biarkan saja aku hancur ditangannya! "
Suara isakan Joo menyayat hati Fredy. Fredy menatap lirih Joo. Penampilan Joo telah berantakan begitupun dengan sikapnya yang telah rapuh. Fredy berjongkok di depan Joo. Fredy tak punya banyak waktu sekarang. Sebentar lagi tim dance akan tampil.
Kedua tangan Fredy menepuk bahu Joo pelan. "Kau tak boleh berkata seperti itu, Joo. Hidupmu ini anugrah."
Joo menegakkan kepalanya, menatap Fredy dengan tatapan berlinang air mata. Joo tak lagi berbicara, ia hanya menatap Fredy dengan pandangan hampa.
Fredy yang tak tahan setiap melihat kesedihan orang lain segera menyeka air mata Joo. Jari-jemari lentiknya menghapus lembut air mata Joo sampai tak meninggalkan jejak sedikitpun. Namun Joo justru semakin menangis saat merasakan perlakuan lembut Fredy.
"Aku kelihatan sudah gila ya?"
Napas Fredy tertahan. "Berhenti menangis, Kak Greeze mengkhawatirkanmu disana. Kau harus lihat penampilan tim dance sekarang!"
Fredy bangkit dari posisinya. Ia melepaskan jaket yang melapisi kemejanya lalu melemparnya ke arah Joo. "Perbaiki penampilanmu dan pakai jaketku! Aku menunggu di depan!"
Joo dengan tangkas menangkap lemparan jaket Fredy. Ia menatap jaket itu cukup lama lalu menundukkan kepalanya. Beberapa kancing kemejanya terbuka memperlihatkan sebagian bra bewarna merah yang dipakainya. Joo tersenyum tipis.
"Terima kasih, Fredy."
***
Kompetisi dance yang diadakan di pusat mall telah sampai di puncak acara. Suasana disekitar panggung semakin panas. Satu tim dance yang terdiri dari tujuh orang dengan bergantian menaiki panggung. Mereka langsung membentuk formasi gerakan mereka.
Di kursi penonton, Joo bertugas mengabadikan penampilan teman-temannya. Joo mengarahkan kamera ke depan. Di balik kamera, wajah Joo masih kusut dan sembab. Tatapannya menatap kosong reka video dalam kamera.
Rasanya iri melihat teman-teman Joo berjuang meraih mimpi. Bisa dibilang juga menyalurkan hobi mereka ke dalam wadah yang tepat. Lebih iri lagi ketika banyak orang yang mendukung perjalanan usaha teman-temannya. Ah, Joo kembali sedih. Apalah mimpi Joo. Ia punya mimpi tapi tak ada yang mendukungnya bahkan orang-orang terdekatnya menghadang perjalanannya.
Dalam reka videonya, Joo hanya fokus pada satu lelaki paling mungil disana. Siapa lagi kalau bukan Fredy. Lelaki yang telah merusak niatan Joo untuk menghancurkan dirinya sendiri. Lelaki yang menyeretnya menonton acara kompetisi dance. Dan sekarang lelaki itu tengah menari penuh kharisma di atas panggung. Tiap gerakannya sangat lembut namun berenergi. Joo menyukainya. Joo juga ingin tampil percaya diri bersama mimpinya.
Kata kuat dan tegar seolah Joo buang dari kamus hidupnya. Lagi-lagi air mata Joo ingin keluar dari pertahanannya. Entahlah, apa yang membuat Joo menangis sekarang. Joo sendiri juga tak tahu pasti. Tapi yang jelas Joo iri, sangat iri pada orang-orang yang dapat meraih mimpinya, tentunya sesuai dengan jati diri mereka.
Penampilan dance telah berakhir. Semua tim dance dari perwakilan kampus tempat Joo belajar turun dari panggung. Joo masih mengangkat kameranya, menyembunyikan wajah menyedihkannya dari orang-orang disekitar. Joo tak bisa menghentikan tangisnya. Kepala Joo tertunduk dalam, satu tangannya meremas kuat ujung jaket kebesaran milik Fredy.
"Joo terima kasih sudah--"
Kata-kata Greeze tergantung bebas. Apa yang ditangkap oleh kedua netranya sungguh mengejutkan. Greeze melihat Joo menangis. Segera Greeze menghamburkan diri, memeluk Joo erat. Melihat sahabatnya tengah menyembunyikan kesedihannya diam-diam seperti ini sangat mengiris hati Greeze.
"Ada apa, Joo? Kau ada masalah apa? Ayo, ceritakan kepadaku."
Untuk pertama kalinya Joo menyadari. Bahwa setiap ada orang yang berusaha menenangkan, Joo semakin merasa sedih. Joo terharu bahwa masih ada orang yang peduli dengannya tapi disisi lain Joo tak ingin menjadi beban tersendiri bagi orang lain.
"Hatiku sakit melihatmu menangis, Joo. Aku ingin seperti dirimu yang selalu dapat menghiburku kala sedih. Kau dapat bersandar padaku, Joo. Aku akan selalu ada untukmu." ucap Greeze menepuk punggung Joo pelan.
"Aku iri padamu, Greeze." Joo menyandarkan dagunya pada bahu Greeze. "Kau dapat berjalan di jalan yang kau mau. Banyak orang yang kau temui di jalan yang kau pilih, banyak juga orang-orang yang menantikanmu di tempat tujuan!"
"Kau bicara apa sih, Joo? Jalan-jalan apa? Sekarang kita sedang duduk bukan jalan!" kesal Greeze sedikit merenggangkan pelukannya akibat ucapan Joo yang melantur.
Percuma. Cerita Joo tak dapat dimengerti Greeze yang notabene salah satu orang yang paling dekat dengan Joo. Sepertinya Joo memang diciptakan untuk hidup sendiri di dunia ini. Tak ingin kembali menjelaskan pada Greeze, Joo memilih diam. Menatap Fredy yang berjalan mendekat.
"Apa lihat-lihat?!" seru Fredy galak.
Joo menggigit bibir bawahnya. Matanya yang memerah berkaca-kaca. Perlahan kedua belah pipi Joo terangkat ke atas. Tangis Joo kembali pecah untuk kesekian kalinya. Mungkin karena ucapan bernada galak yang Fredy suarakan.
Melihat Joo menangis karenanya, Fredy jadi panik sendiri. Tangis Joo semakin keras, sesekali Joo menyerukan lantang nama Fredy. Sontak saja dalam sekejap mereka menjadi pusat perhatian. Tak kuat menahan malu Fredy memilih menarik tangan Joo untuk keluar dari area tempat kompetisi dilaksanakan. Seorang Joo semakin terlihat gila saja di mata Fredy.
Untuk kedua kalinya Fredy membawa Joo ke dalam tangga darurat. Pasalnya hanya tangga darurat tempat paling sunyi yang letaknya dekat lantai utama mall. Sekarang Fredy dan Joo telah duduk berdampingan tanpa pembicaraan.
Fredy sengaja membiarkan Joo tenang. Sebenarnya Fredy sendiri juga tak tahu harus melakukan apa sekarang. Ketakutan Fredy salah bericara menjadi salah satu penyebabnya diam. Fredy tak lagi marah kepada Joo. Dibiarkan Joo meringkuk menyembunyikan tangis di sampingnya.
Dengan tatapan lembutnya Fredy menatap Joo. Bahu gadis itu bergetar hebat meredam tangis. Kedua mata Fredy terpejam. Suara tangis pilu Joo sungguh menyentuh hatinya untuk ikut bersedih.
Menit demi menit terus berlalu. Joo masih terlarut dalam tangisnya. Fredy sudah mulai bosan menunggu Joo tenang. Ingin rasanya Fredy membuka suara hanya saja hatinya menahan keinginannya. Ucapan Fredy mungkin bisa membuat Joo semakin sedih.
"Aku sudah tak bisa menjalani hidup lagi, aku ingin mati!"
"Jaga ucapanmu, Joo. Kau harusnya bersyukur masih diberi kesempatan untuk merasakan indahnya hidup di dunia ini."
"Tapi aku tak merasakan indahnya hidup ini!" jerit Joo menegakkan tubuhnya.
Refleks Fredy menjauhkan dirinya dari Joo. Teriakan pilu Joo terasa memekakkan telinga. "Kenapa bisa seperti itu?"
"Entahlah, aku hanya ingin mati! Mati dan enyah dari dunia ini!"
Dasar, pikiran Joo sungguh dangkal sampai-sampai Fredy tak mampu menahan tawanya. Fredy tertawa kecil. "Memang dikira dengan merenggang nyawa semua masalah akan terselesaikan? Beneran kau ingin mati? Kau nggak ingin meraih mimpimu atau membahagiakan kedua orang tuamu dulu?"
"Pergilah Fredy! Biarkan aku mati disini! Biarkan aku terjatuh menggelinding dari anak tangga paling atas sampai seluruh tubuhku remuk!" seru Joo bangkit dari posisinya, kakinya dengan cepat berjalan menaiki tangga.
Tawa Fredy seketika lenyap. Joo serius dengan ucapannya. Gadis itu terus melangkah menaiki tangga. Tidak. Fredy tak bisa membiarkan satu nyawa beharga memilih mengakhiri hidupnya. Fredy tahu hidup ini berat dan sulit. Tapi bagaimanapun inilah hidup. Kata yang menuntut kita untuk meruntuhkan segala kesulitan.
Dengan satu uluran tangan Fredy dapat meraih pergelangan tangan Joo sekaligus menghentikan langkah nekad gadis itu. Fredy hanya menggenggam erat tangan Joo tanpa berniat mendekat padanya. Jika dilihat sekarang, Joo terlihat lebih tinggi karena berpijak di tangga atas sedangkan Fredy tetap berdiri selisih dua tangga di bawah Joo.
"Kau gak boleh bunuh diri, Joo. Mati itu ada saatnya dan kau tidak boleh menentang saat kematian." ucap Fredy dengan wajah tenangnya.
Joo sudah tak mau mendengar setiap perkataan Fredy lagi. Dirinya sudah siap merenggang nyawa tanpa menundanya lagi. Sekuat mungkin Joo berusaha menarik tangannya dari genggaman kuat tangan Fredy meskipun tangannya terasa sulit untuk lepas. Joo menjerit histeris. Ia muak dengan sikap Fredy.
Fredy mengabaikan jeritan Joo. Ia tak ingin mengatai Joo gila karena dengan begitu gadis itu pasti semakin ingin mengakhiri hidupnya. "Apapun masalahmu hadapilah. Jangan lari dari masalah. Hidup ini tantangan. Tak ada hidup yang mudah namun kitalah yang membuat hidup menjadi mudah." Fredy mengubah posisi tangannya, dari yang menggenggam pergelangan tangan Joo menjadi memasuki setiap sela jemari mungil gadis itu.
Kedua mata Fredy mengunci fokus Joo. Fredy menatap Netra kecoklatan itu lembut dan dalam seolah menuntut Joo untuk mengecamkan setiap perkataannya dalam hati dan pikirannya. "Aku lebih suka menyebutmu gila karena tak tahu malu ketimbang pecundang yang ingin lenyap dari dunia. Ayo gila menjalani hidup ini. Lakukan apa yang kau mau asalkan tidak melukai dirimu. Raih mimpimu dan perlihatkan pada dunia bahwa kau bisa menaklukkan sulitnya hidup ini."
"Mimpiku hancur, tak ada orang yang mendukungku, hidupku terkontrol orang lain." lirih Joo dengan suara bergetarnya.
Fredy memejamkan matanya lalu membuang napasnya perlahan. "Tak akan hancur jika kau memperjuangkannya. Aku percaya kau orang yang kuat, kau tak butuh orang lain mendukungmu karena kau orang yang kuat. Kau kuat, Joo."
"Hentikan Fredy! Kau tahu persis aku ini gadis yang rapuh. Jangan berbohong untuk menahanku. Sejak pertemuan pertama aku sudah menangis di depanmu, kau juga tahu sendiri aku sama sekali tak menolak saat ada lelaki jahat yang hampir merampas aset berhargaku, sekarang kau melihatku yang merengek ingin mati! "
Dalam tangisnya Joo mengangkat satu sudut bibirnya ke atas begitu melihat Fredy terdiam usai mendengar penuturannya. "Seharusnya kau senang aku mati. Gadis gila yang selalu membuatmu risih dengan tingkahnya akan pergi untuk selamanya. Hidupmu akan tenang setelah itu."
Telinga Fredy terasa panas. Sulit bagi Fredy untuk meredam niatan buruk Joo. Benar kata Joo. Joo adalah gadis yang rapuh. Sangat rapuh sampai sulit membuatnya terlihat kuat. Fredy akhirnya menarik tangan Joo keluar dari tangga darurat. Fredy tahu harus membawa Joo kemana untuk membuatnya tenang. Suara umpatan ataupun teriakan parau Joo sudah bukan lagi menjadi masalah besar bagi Fredy.
***
"Kakak berbohong!"
Baru keluar dari ruangan, Rafa dikejutkan dengan kemarahan Joo. Wajah adik perempuan satu-satunya itu merah padam dan matanya menatap Rafa penuh amarah. Joo bergerak mengguncangkan bahu Rafa yang bingung dengan kedatangan Joo.
"Katanya kakak akan selalu mendukungku bahkan untuk menjadi pelukis!"
Rafa mengangguk pelan. "Tentu saja, apa kau membutuhkan peralatan melukis lagi? Kakak bisa membelikannya untukmu,"
Gigi Joo menggertak keras. Tangan Joo yang menyentuh kedua bahu Rafa meremas erat busa jas kakaknya. "Kakak jahat!" Joo membuang mukanya. "Kak Rafa sama saja seperti ayah dan ibu yang ingin aku menjadi dokter."
"Joo.." lirih Rafa. Namun lagi-lagi Joo menyela ucapan Rafa. "Kakak tak perlu membuang-buang uang untuk membelikan peralatan lukis jika nanti kakak juga akan menghancurkannya!"
Rafa meraih kedua tangan Joo. Rafa mengelus punggung tangan dingin adiknya pelan. "Ada apa Joo? Apa yang kau bicarakan? Kakak benar-benar mendukungmu untuk melukis.”
"Bulshit! Sekarang kakak daftarin namaku untuk ikut KKN, kan? Kakak berbohong tentang menangani pasien gawat darurat. Aku tak menyangka Kak Rafa akan seperti ini," amarah Joo meredup di akhir kalimatnya.
"Aku beneran ada pasien--"
"Sudah, jangan mengelak Kak Rafa. Aku baru bertemu ibu, dia bilang kakak sekarang mengurus proses KKN-ku nanti. Kakak juga telah mengurus semua tugasku."
Tubuh Rafa mendadak lesu. Sekarang ia tak bisa lagi menyangkal pernyataan Joo. Semua yang dibilang Joo benar. Rafa tak menyangka bahwa Joo akan bertemu dengan ibunya apalagi mereka sempat berbicara. Biasanya Joo tak akan menjawab setiap ibunya berucap.
"Aku benci kakak! Kakak jahat!" Joo berlalu meninggalkan Rafa yang terdiam di tempat tapi kemudian Joo menghentikan langkahnya, menghadapkan tubuhnya ke belakang.
"Kak Rafa, aku tak akan mau menjadi dokter. Sekeras apapun kakak mengurus proses KKN, aku tak akan ikut KKN!" tegas Joo sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
"Jadi semua keluargamu menentangmu menjadi pelukis, mereka ingin kau menjadi dokter?"
Fredy menyimpulkan cerita Joo. Tatapan lurusnya beralih memandang Joo yang terduduk lemas di sampingnya. Saat ini keduanya sedang duduk berdampingan di kursi taman kota dekat mall. Ya, Fredy yang mengajak Joo. Fredy berpikir akan lebih nyaman jika berbicara di tempat yang menyenangkan.
"Hmm, awalnya aku masih ingin memperjuangkannya saat Marcel mendukung penuh mimpuku tapi.." Joo menggantungkan kalimatnya, kepalanya tertunduk dalam. "Ternyata Marcel sama seperti keluargaku. Ia malah menghina lukisanku lewat tulisannya di kanvas kado pemberiannya."
Hening. Fredy tak tahu harus berucap apa sekarang. Masalah Joo cukup rumit. Diam-diam Fredy berpikir keras untuk menghibur Joo. Sejak melihat Joo menangis seharian ini, Fredy bertekad akan membuatnya mendapatkan semangat hidup yang baru.
"Terkadang mimpi itu tak selalu berpihak pada kita. Ada kalanya seorang yang ingin menjadi tentara bisa juga menjadi wirausaha."
Joo menatap Fredy aneh. Dari apa yang Fredy bicarakan sepertinya lelaki itu juga menyuruhnya untuk menjadi dokter. Bibir Joo terbuka bersiap melayangkan amarah jika saja Fredy kembali melanjutkan perkataannya.
"Rezeki sudah ada yang mengatur sama halnya dengan cita-cita. Dia mungkin sudah berolahraga setiap hari, menjaga pola makan, dan ikut tes jadi tentara untuk meraih mimpinya, tapi sekeras apapun usahanya, semuanya tergantung dari ridho Tuhan. Semua jawabannya Tuhan yang tahu. Tapi ingatlah, usaha tak akan mengkhianatimu. Bisa jadi Tuhan memiliki rencana lain untukmu."
Senyum tipis terukir dalam wajah imut Fredy. Fredy menatap Joo lekat-lekat. "Lebih baik kau jalani saja hidup ini apa adanya. Ikuti keinginan keluargamu dan tetaplah melukis."
Joo terkejut dengan jawaban Fredy. Jawaban Fredy tak sesuai dengan apa yang ingin Joo dengar. Ingin rasanya Joo kembali mencoba bunuh diri. Joo tak ingin memenuhi permintaan keluarganya untuk menjadi dokter. Terdengar egois memang tapi itulah mimpinya sejak kecil.
"Kau akan tetap bisa melukis jika menuruti permintaan kedua orang tuamu. Mereka tak akan keberatan kau mengembangkan kegemaranmu jika kau tak menentang. Tak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya. Semua orang tua akan selalu menyayangi dan mencintai anaknya."
"Mereka ingin aku hanya fokus menjadi dokter, Fredy." rengek Joo.
Senyum Fredy mengembang. Tangannya terulur mengusak surai hitam legam Joo. "Jalani saja dulu, kalau ingin melukis, melukislah."
Bibir Joo mengerucut sebal. Fredy tak memberinya keyakinan yang pasti untuk kembali bangkit dari keterpurukannya. Yang Joo khawatirkan hanyalah jika Joo tak bisa melukis lagi. Joo tak bisa lagi mengekspresikan perasaannya.
"Besok jika kau mau pulanglah bersamaku. Aku ingin melihat lukisanmu." Fredy berdiri dari duduknya. "Ayo pulang, sudah malam."
Joo menatap punggung Fredy yang semakin menjauh. Joo masih kalut tentang mimpi yang telah ia idamkan sejak kecil. Pelukis serbabisa. Tiba-tiba saja senyum Joo merekah. Entah apa yang ia pikirkan, Joo bangkit, dan berlari mengejar langkah Fredy.
"Fredy, tunggu aku besok!"
***