HORSES FOR COURSES
Chapter 5 : Ever With You
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Yamaguchiya Arisa
2. Yamaguchiya Rafu
3. Lixeu
4. Gavin
5. Mosses
5. Daniel
6. Eric
7. Rocky
8. Manager
9. Hwannie
10. CEO Phyon Entertainmnent
11. Arisa's Staff
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Permainan di awal reality show LURIOUS X Arisa itu cukup melelahkan. Senja hari yang menyuguhkan sinar jingganya itu terasa sangat nyaman untuk dinikmati. Seusai mandi dan berganti baju, kelima member LURIOUS itu menyusul Arisa yang sudah duduk-duduk dengan santainya di halaman depan villa sejak tadi. Arisa awalnya nampak bingung dengan kedatangan kelima lelaki itu, ia bahkan mengamati mereka hingga mereka duduk di posisinya masing-masing.
“Kenapa? Kok pada nyusul ke sini?”, ujarnya dengan wajah bingung yang terlihat jelas. “Emang nggak boleh ya?”, ucap Daniel dengan nada bicara yang seakan-akan meledek. Arisa terdiam sesaat hingga akhirnya ia mulai tertawa kecil. “Keren banget ya pemandangannya”, ujar Eric seraya menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Rocky yang mendengar kalimat Eric itu pun segera agak membungkuk agar ia dapat menatap Eric yang duduk cukup jauh darinya itu, “Nggak nyesel pokoknya gue request buat shooting reality show di sini”.
“Keren banget deh, Ky request lu itu”, Gavin tak lupa memberikan acungan jempol pada Rocky. “Terbaik lah si Rocky mah”, Mosses pun ikut menimpali. Rocky yang nampak mulai terbang tinggi oleh pujian teman-temannya itu tersenyum dengan bangganya. Tak lupa ia mengangkat kedua alisnya beberapa kali, mengikuti gaya Arisa, seperti yang biasa mereka lakukan. Arisa agak merasa gemas dengan tingkah Rocky yang ngefly-nya udah kebangetan itu. Tanpa dasar, Arisa mengacak-acak rambut Rocky sesaat. Rocky yang masih terbang tinggi itu tak terlalu bereaksi terhadap perlakuan Arisa padanya beberapa saat yang lalu. Namun Mosses yang sedari tadi tatapan matanya hanya terfokus pada Arisa itu tentu menyadari tindakan Arisa yang cukup tidak biasa itu. Ketika teman-temannya masih asyik tertawa bersama, Mosses justru terlihat sedikit muram.
“LURIOUS”, sebuah suara yang datang dari dalam villa itu sukses menghentikan tawa ricuh keenam bocah itu, mereka mendadak fokus pada sosok yang tiba-tiba muncul di depan pintu. “Manager? Ada apaan?”, ucap Gavin begitu ia mendapati sosok tak asing itu. “Ini waktunya latihan, ayo”, ujar sang manager. Gavin mengangguk pelan, lalu ia mulai beranjak dari kursinya, diikuti oleh member LURIOUS lain. Arisa sempat menatap sesaat lima lelaki yang mulai pergi meninggalkannya itu.
“Bentar!”, Arisa berdiri dari kursinya dan menatap manager LURIOUS itu dengan cukup tajam. Kelima member LURIOUS yang hendak masuk ke dalam villa itu menghentikan langkahnya pula. Sang manager yang masih berdiri di depan pintu itu menatap Arisa, “Ada apa, Nona Arisa?”. Arisa menatap manager dengan semakin tajam, “Bukannya yang pegang kendali LURIOUS itu gue?”, ucapnya serius.
Manager itu hanya tertawa kecil, “Maaf, tapi saya hanya menuruti ucapan CEO Phyon Entertainment”. Arisa kini tertawa pula, “CEO”. “Lu pikir gue juga mau nurut sama CEO lu?!”, lanjutnya dengan nada bicara yang mulai dinaikkan. Manager itu menunduk sejenak dan menghela nafas panjang, “Saya minta maaf, tapi saat ini LURIOUS perlu latihan untuk mengasah skill mereka”. “Latihan?!”, Arisa mulai terlihat emosi. “Mereka baru aja selesai shooting beberapa saat yang lalu! Dan sekarang disuruh latihan?!”, lanjutnya masih dengan emosi.
“Saya hanya--”, “Hanya apa?! Nurutin kata-kata CEO lu?!”, ujar Arisa memotong kalimat manager tersebut. Arisa kini benar-benar terlihat marah, wajah songong yang biasa ia perlihatkan berubah menjadi wajah serius dan penuh emosi yang baru kali ini dilihat oleh kelima member LURIOUS maupun managernya itu. “Nggak tau diri banget ya CEO lu itu?!”, ujar Arisa seraya tersenyum miris. “Gue udah jelas-jelas bilang kalo kendali penuh LURIOUS pindah ke tangan gue!”, kali ini senyuman mirisnya ia hilangkan, menyisakan ekspresi penuh emosi di wajahnya.
“Saya tau, namun saya adalah pekerja Phyon Entertainment, sudah sewajarnya jika saya lebih memprioritaskan perintah atasan saya”, ujar manager itu pelan. Arisa justru tertawa, namun rasa kesal di hatinya justru semakin menjadi-jadi. “Sebegitukah lu ngehargain CEO lu?”, Arisa kembali menatap manager itu dengan senyuman miris. “Emang CEO lu bisa apa?”, Arisa menjeda ucapannya kembali. “Emang lu nggak tau gue siapa?”, manager itu hanya terdiam mendengar kalimat Arisa yang cukup menusuk itu.
“Yamaguchiya Foundation itu ada di tangan gue!”, Arisa kini tersenyum dengan songongnya. “Perusahaan segede itu, ada di tangan anak kecil kayak gue”, lanjutnya. Arisa menatap sang manager yang kini hanya menundukkan kepalanya, tak punya cukup keberanian untuk menjawab kalimat Arisa. “Gue bisa beli Phyon Entertainment saat ini juga!”, Arisa menjeda ucapannya sesaat. “Dan lu masih berani sama gue?!”, lanjutnya.
“Saya benar-benar minta maaf--”, “Ya udah!”. Arisa mengangkat kedua alisnya sekali, membuat wajah songongnya semakin terlihat, “Lu boleh bawa Eric dan Daniel buat latihan saat ini juga”. Manager itu terlihat begitu kaget, kalimat Arisa barusan sungguh tak ia duga sama sekali. “Tapi…”, Arisa kembali menggantungkan kalimatnya, membuat sang manager dan kelima member LURIOUS itu semakin gelisah.
Arisa mengambil ponselnya dari sakunya, lalu meletakkan ponsel itu di sebelah telinganya. “Bawa pesawat Arthur N-11 ke posisi gue! Sekarang!”, ujarnya sesaat sebelum ia menurunkan ponselnya tersebut. Kalimat Arisa barusan sukses membuat enam sosok di hadapannya itu semakin gelisah. Ditambah dengan smirk yang terlihat jelas di wajah Arisa, tanda bahaya tentu dirasakan oleh mereka.
“Tapi…”, Arisa mengulangi kalimat yang sempat ia gantungkan tadi. Keenam sosok di hadapannya itu memfokuskan pandangannya pada Arisa, dengan setia menunggu hingga Arisa melanjutkan kalimatnya. “Gue nggak mau lu ngurus-ngurus seenaknya soal Gavin, Mosses, dan Rocky!”, satu kalimat dari Arisa itu terlihat begitu menyeramkan ketika secara bersamaan sebuah angin berhembus kencang, dan suara gemuruh terdengar sangat keras.
Rambut panjang Arisa itu berayun-ayun dengan indahnya karena angin yang berhembus kencang tersebut. Tatapan songongnya semakin terlihat seiring dengan suara gemuruh yang juga semakin keras dan keras. Hingga akhirnya sebuah kuda besi raksasa mendarat tepat di belakang Arisa. Keenam sosok di depan Arisa itu hanya bisa terbelalak menatap peristiwa mencengangkan yang baru saja terjadi itu. Mereka kehabisan kata-kata, kehabisan rasa keberanian, dan kehabisan pikir soal Arisa.
Pintu pesawat jet itu secara otomatis terbuka, dan seketika Arisa menarik tangan Gavin, Mosses, Rocky. Arisa segera menyeret ketiga lelaki itu ke dalam pesawat. Anehnya, mereka terlalu bingung dan kaget hingga tak bisa melawan Arisa atau bahkan sekedar mengucapkan kata-kata. Sesaat sebelum pintu pesawat ditutup, Arisa menatap ke belakang untuk melirik manager itu, dan memberikan sebuah smirk yang terlihat sangat-sangat menyebalkan. Setelah pintu pesawat tertutup rapat, kuda besi itu kembali melaju secepat kilat dan terbang dengan leluasa di atas muka bumi.
Ketiga lelaki itu duduk di kursi penumpang tanpa berkata apa-apa, mereka masih terlalu bingung dengan berbagai macam peristiwa tak terduga terus-terusan terjadi. Arisa yang berdiri di depan pintu seraya mengawasi kedua pilotnya itu sama sekali tak menggubris keberadaan tiga lelaki lain di belakangnya. Setelah cukup lama, nampak satu per satu dari ketiga member LURIOUS itu mulai bisa mencerna keadaan. Mosses yang duduk di tengah itu menatap kedua temannya satu per satu. Namun Mosses menahan tatapannya lebih lama pada Rocky, hingga Rocky mulai merasa aneh. Seraya mengerutkan kedua alisnya, Rocky sedikit mendongakkan kepalanya sesaat. ‘Apa?’, begitulah pesan yang hendak diucapkan Rocky.
Mosses menatap Rocky dengan ekspresi yang tak jauh berbeda. Ia sedikit menggerakkan kepalanya ke arah Arisa sesaat, “Tanyain dong!”, ucapnya lirih. Rocky yang sempat mendecak kesal itu pun akhirnya menuruti kata-kata Mosses. “Arisa”, ucapnya pelan. Arisa pun membalikkan badannya, menatap tiga sosok lelaki itu. “Kenapa?”, ucapnya dengan santai. “Kita mau kemana sih?”, Rocky nampaknya juga terlihat santai dan berusaha positive thinking. Arisa tersenyum, lalu ia mulai beranjak dari posisinya. Arisa melangkahkan kakinya beberapa kali hingga ia duduk bersama tiga lelaki itu. “Gue bakal bawa kalian ke tempat yang lebiiiihhh keren”, ujarnya lengkap dengan wajah gembiranya.
“Serius?!”, Rocky memang nomor satu jika urusan bersenang-senang. Mosses yang nampak antusias itu masih juga ingin bertanya, “Kemana sih?”. “Rahasia”, ujar Arisa seraya tersenyum manis dan mengedipkan salah satu matanya. Mosses terdiam seketika, dalam hati ingin sekali rasanya ia berteriak kencang, namun rasa gengsi-nya menahannya untuk melakukan itu. “Mos, wajah lu merah”, ucap Arisa santai, ia sebenarnya tau mengapa Mosses mendadak tersipu, namun ia pura-pura tidak tau. “Serius lu?”, Gavin dengan wajah khawatirnya itu segera menatap ke arah Mosses. Tingkat kepekaan Gavin yang rendah itu justru membuatnya terlihat polos, ia sepertinya berpikir bahwa Mosses sedang tidak enak badan. Bahkan Rocky pun juga terlihat gelisah dan menatap Mosses dengan khawatir pula.
Mosses yang merasa menjadi pusat perhatian itu segera menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya, “Apaan sih?!”. Berbanding terbalik dengan Gavin dan Rocky yang benar-benar terlihat khawatir, Arisa justru tertawa melihat tingkah Mosses itu, “Kalo lu mau cuci muka, di belakang sana”. Dan Mosses pun segera meninggalkan ketiga temannya itu, ia main pergi begitu saja. Arisa justru tertawa semakin kencang melihat Mosses yang buru-buru lari tersebut.
“Mosses kenapa sih?”, Rocky yang masih bingung dengan keadaan itu pun mulai bertanya. Gavin yang merasakan hal yang sama seperti Rocky itu pun ikut menatap Arisa pula. Arisa menatap Rocky sesaat. “Rocky”, ucapnya memanggil nama Rocky, membuat Rocky menatapnya dengan lebih serius. Arisa mengalihkan pandangannya menuju arah belakang, lalu secara tiba-tiba ia kembali menghadap Rocky. Rambutnya yang tersibak dengan indahnya serta senyumannya yang manis itu sempat membuat Rocky sedikit tersenyum. Hingga kedipan mata Arisa sukses membuat Rocky tertawa dan mengalihkan pandangannya dari Arisa. “Apaan sih lu?”, ucapnya masih dengan tawanya serta menutupi wajahnya dengan salah satu telapak tangannya. Bahkan Gavin yang tak ditatap oleh Arisa secara langsung itu pun ikut tersenyum pula, “Arisa lu cantik banget tau nggak”, ujar Gavin. Rocky yang masih agak tersipu itu pun ikut menimpali, “Jangan gitu dong. Hati kecil gue yang rapuh ini nggak kuat”.
Arisa yang merasa jijik dengan kalimat Rocky barusan itu pun mendorong tubuh Rocky pelan, “Apaan sih lu, anjir!”, ujar Arisa seraya berdiri dan beranjak dari tempat duduknya. Arisa sempat melangkahkan kakinya beberapa kali, namun langkahnya itu terhenti ketika ponselnya mendadak berdering. Arisa segera mengambil ponselnya dari sakunya dan mengangkat panggilan suara yang masuk. “Gue lagi di pesawat, buruan ngomongnya!”, Arisa terdiam sejenak. “Apa?! Lu bikin kesalahan?! Kan udah gue bilang Hwan, jangan ikut campur!”, Arisa kembali terdiam. “Hwannie ada-ada aja sih lu! Ya udah deh nggak apa-apa, ntar gue yang tanggung jawab kok”, Arisa terdiam untuk ketiga kalinya. “Udah lu mending jagain rumah gue aja, biar gue yang ngurusin, oke?”, tak lama Arisa memutus panggilan suara tersebut.
“Kenapa, Ar?”, tanya Gavin yang merasa penasaran itu. “Ada masalah dikit kok”, jawab Arisa santai. Arisa pun melanjutkan langkahnya menuju pintu kabin yang lebih dalam. Merasa hanya ditatap begitu saja, Arisa mulai memberi arahan, “Ayo sini lu berdua ikut gue!”. Dan mereka berdua pun mulai mengikuti langkah Arisa. Arisa membuka pintu menuju kabin selanjutnya. Perlahan, terlihat sebuah ruangan luas, tanpa meja dan kursi, hanya ditemani oleh LED TV yang sangat besar. “Keren gila”, ucap Rocky begitu ia menatap kabin yang luar biasa ini.
Arisa segera duduk di salah satu sisi kabin, diikuti oleh Rocky dan Gavin yang duduk di sisi kanan kiri Arisa. Anehnya, mereka tidak duduk menghadap LED TV yang di pasang di sebelah pintu kabin itu, mereka justru duduk di pinggiran kabin, menatap ke arah jendela. Tak lama, Mosses nampak keluar dari kabin lain yang lebih dalam lagi. Mosses nampak kaget menatap tiga sosok manusia yang semula tak ada itu. Arisa segera memberi arahan pada Mosses agar ia tak terus-terusan berdiam diri di pintu kabin, “Sini lho Mos, ikut duduk”. Mosses tak banyak bicara dan segera duduk di sebelah Gavin. “Ah, capek gue”, Mosses yang baru duduk beberapa detik itu kini sudah merubah posisinya, ia kini tiduran dan meletakkan kepalanya di pangkuan Gavin. Gavin sendiri pun hanya diam menatap tingkah Mosses itu, perlahan ia mulai tertawa kecil.
Rocky yang ikut mengamati tingkah Mosses itu tertawa pula, ia cukup terhibur dengan sikap temannya yang satu ini. Gavin yang masih tertawa kecil karena tingkah Mosses itu sepertinya kini terpikirkan oleh sesuatu yang lebih menarik. “Kalau boleh tau, pesawat ini ada berapa kabin sih?”, tanya Gavin. “Em… Satu, dua, tiga, empat, lima”, jawab Arisa dengan santai. “Lima?! Apa aja?”, tanya Rocky yang nampak sangat antusias itu. “Kabin kursi penumpang, kabin tengah, kabin tempat tidur, kabin dapur, sama kabin toilet”, kalimat Arisa itu sukses membuat Rocky nampak semakin takjub. “Mosses tadi udah ke toilet kan? Jadi dia pasti udah tau seisi pesawat ini”, ujar Arisa seraya menatap ke arah Mosses. Mosses pun agak mendongak agar ia bisa menatap balik Arisa, “Kurang kokpit doang sih”. Arisa sempat mendecak kesal, “Apa sih bagusnya kokpit?”. Mosses justru tertawa kecil mendengar kalimat Arisa itu, yang diikuti oleh tawa Rocky dan juga Gavin.
“Oh iya, gue mau tunjukkin sesuatu ke kalian”, ujar Arisa, dan ketiga sosok di sebelahnya itu seketika menatap Arisa dengan serius. Mosses yang semula tiduran itu kini kembali duduk, bahkan ia merebut posisi Gavin yang berada di dekat Arisa itu, “Minggir, Vin”. Alhasil, Gavin mau tak mau harus merelakan Mosses untuk duduk di sebelah Arisa. Arisa mengeluarkan ponselnya lalu mengutak-atiknya sesaat, “Kuda besi ini namanya Arthur N-11, sebuah pesawat jet yang diproduksi oleh perusahaan gue sendiri, Yamaguchiya Foundation. Gue pribadi nambahin beberapa fasilitas bagus di pesawat ini. Contohnya…”, Arisa menggantungkan kalimat itu seraya kembali fokus pada layar ponselnya.
Arisa menekan salah satu tombol di ponselnya itu. Dan dalam hitungan detik, beberapa pintu kaca di depan mereka itu kini menyatu menjadi sebuah pintu kaca transparan yang sangat besar. Dengan begitu, tampilan malam hari lengkap dengan cahaya-cahaya bintang yang bersinaran itu dapat mereka lihat dengan jelas. Ketiga lelaki di sebelah Arisa itu sukses terpukau oleh keindahan yang luar biasa itu. Bahkan Arisa yang sudah berkali-kali melihat pemandangan seperti itu masih saja merasa terpukau.
Tanpa sadar, Arisa mulai tersenyum, ia begitu merasa nyaman menatap kumpulan bintang-bintang di malam yang indah ini. Begitu pun dengan ketiga lelaki di sebelah Arisa, mereka justru tersenyum jauh lebih lebar dibandingkan Arisa, wajar saja kerana ini pertama kalinya bagi mereka untuk melihat pemandangan yang begitu menakjubkan seperti ini. Bahkan perhatian Gavin tak teralihkan sama sekali, ia benar-benar merasa nyaman dan tenang dengan bintang-bintang yang menemaninya itu.
Di tengah-tengah aksi mereka mengagumi pemandangan dari dalam kabin ini, Mosses mendadak teralihkan oleh senyuman Arisa. Mosses secara perlahan menatap sosok gadis di sebelahnya itu, ia dapat melihat dengan jelas senyuman Arisa yang begitu tulus itu. Mosses kini tersenyum dengan tatapan yang sangat amat dalam, bukan kerana pemandangan bintang malam itu, namun karena senyuman manis Arisa.
Mosses yang hatinya merasa sangat damai itu kini kembali menatap bintang-bintang yang gemerlap itu, bahkan ia dapat menyandarkan kepalanya dengan lebih nyaman di dinding kabin. Sesaat setelah Mosses mengalihkan pandangannya dari Arisa itu, kini giliran Arisa yang mulai teralihkan perhatiannya. Arisa yang nampak polos dan lugu layaknya gadis pada umumnya itu mulai menoleh ke arah Rocky dengan perlahan. Arisa hanya melirik, sehingga Rocky yang tak punya cukup kepekaan itu tak dapat merasakan pesan batin yang disampaikan oleh Arisa. Walaupun begitu, Arisa sempat tersenyum gembira sebelum ia kembali menatap bintang malam yang hadir bersama mereka itu.
Senyuman Arisa itu nampak berbeda. Senyuman yang baru kali ini ia perlihatkan, sebuah senyuman yang bermakna sangat dalam, dan hanya diketahui oleh Arisa sendiri. Arisa sang gadis kecil songong itu juga punya hati layaknya gadis remaja pada umumnya.
To Be Continue-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.
Semangat... Konflik kekuasaan... Keren
Comment on chapter PROLOG