Read More >>"> Horses For Courses (Dream) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Horses For Courses
MENU
About Us  

HORSES FOR COURSES

Chapter 4 : Dream

 

Written by :

Adinda Amalia

 

Characters :

1. Yamaguchiya Arisa

2. Yamaguchiya Rafu

3. Lixeu

4. Gavin

5. Mosses

5. Daniel

6. Eric

7. Rocky

8. Manager

9. Hwannie

10. CEO Phyon Entertainmnent

11. Arisa's Staff

Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.

 

.

 

.

 

Selamat membaca~

 

Menit demi menit terus berlalu, dan bendera juga tak kunjung ditemukan. Keenam bocah itu sepertinya mulai merasa lelah, satu per satu dari mereka berjalan menuju ruang tengah. Hingga mereka pun berkumpul kembali. “Nggak ada yang nemu bendera?”, ucap Arisa dengan senyuman miris. Dan lelaki di hadapan Arisa itu hanya menggeleng. “Capek~”, ujar Rocky seraya duduk lantai mendahului teman-temanya yang masih berdiri. “Jangan manja!”, ujar Gavin. “Ky berdiri Ky! Nggak boleh males!”, bentak Arisa dengan cukup keras. Rocky pun dengan berat hari berdiri kembali.

 

“Laporan ya, satu-satu”, ujar Arisa. “Mulai dari gue, gue sama Daniel udah cari di ruang tamu tapi nggak ada apa-apa”, lanjutnya. “Gue sama Gavin nyari di ruang makan sama di dapur juga nggak dapat apa-apa”, begitulah laporan yang diberikan oleh Eric. Mosses pun mengikuti, “Gue sama Rocky tadi udah nyari di game arena tapi juga nggak dapet apa-apa”. Arisa menghela nafas panjang, lalu menyibakkan poninya dengan pelan. “Lanjut nyari lagi ini?”, Daniel menatap kanan kiri, mengamati teman-temannya satu per satu. “Eh benar, perpustakaan udah?”, tanya Mosses. “Udah”, jawab Arisa singkat. “Kapan?”, Daniel dalam seketika terlihat sungguh-sungguh kaget. “Pas elu ke kamar mandi, gue udah nemuin clue pinnya pintu perpustakaan”, Arisa menatap Daniel dengan masam. “Selama itu kah gue di kamar mandi? Sampe lu bisa ngubek-ngubek seisi perpustakaan tanpa gue?”, ucap Daniel seraya menggaruk rambutnya pelan. “Banget!”, satu kata dari Arisa itu sukses menusuk hati Daniel.

 

“Berarti lantai satu udah beres kan? Tinggal lantai dua”, ucap Eric. Arisa mulai memberi arahan kembali, “Kita bagi lagi tugasnya”. “Eh gue boleh saran nggak?”, ujar Mosses agak menyela kalimat Arisa. Arisa mengangguk, memberi kode pada Mosses untuk berbicara. “Ric, gimana kalo team lu nyari di ruang karaoke? Tadi gue belum sempet nyentuh ruang karaoke sedikitpun. Gue sama Rocky cuma sempet menggeledah game arena doang”, kalimat dari Mosses itu sukses menarik perhatian Arisa dan Daniel. Daniel menatap mata Arisa, berusaha bertanya apakah ia perlu bertindak atau tidak. Arisa hanya sedikit menggerakkan tangan kirinya ke arah Daniel, memberi kode semulus mungkin pada Daniel agar ia tetap diam dan berusaha agar kode tersebut tidak disadari oleh orang lain. ‘Anak sialan! Licik lu!’, pikir Arisa.

 

“Ya udah, biar gue aja yang nyari di ruang karaoke”, ujar Eric tanpa ragu. “Gue nyari di ruang nonton ya?”, ujar Mosses. Arisa sempat mengangkat alisnya satu kali, “Oke, biar team gue yang nyari di setiap kamar tidur”, ujarnya dengan nada yang sedikit terdengar sinis. Mereka pun berjalan bersama-sama menuju lantai dua. Sesaat setelah mereka menaiki anak tangga terakhir, segeralah mereka berpencar. Eric dan Gavin mulai mencari clue untuk kunci pin angka di pintu ruang karaoke. Sedangkan Mosses dan Rocky nampaknya telah berhasil memecahkan kunci pin angka di pintu ruang menonton. Rocky dengan semangatnya segera memasuki ruangan tersebut. Mosses yang masih tertinggal di luar ruangan itu berusaha meilirik Eric sesaat, dan tak lama setelahnya ia mulai menunjukkan smirk-nya yang terlihat sangat jelas.

 

Arisa dan Daniel sendiri nampaknya sibuk mengecek kamar tidur satu persatu, untung saja keenam kamar tidur itu tidak diberi kunci apapun sehingga mereka berdua dapat memasukinya dengan leluasa. “Niel, kita bagi tugas aja deh, lu nyari di kamarnya Mosses, Eric, sama Gavin. Gue bakal nyari di kamar gue, kamar lu, dan kamarnya Rocky”, ujar Arisa. Daniel pun mengangguk dan segera menjalankan perintah Arisa. Dimulai dari kamar Mosses, ia mengamati berbagai macam barang dan pakaian yang telah Mosses keluarkan dari kotaknya. Barang-barang itu sudah tersusun rapi di meja, sungguh sangat enak untuk dipandang. Kerapian barang-barang Mosses itu juga mempermudah Daniel untuk mengamatinya.

 

Ketika Daniel mulai memasuki kamar Mosses, Arisa juga mulai memasuki kamarnya. Ia tak butuh waktu lama, hanya dengan pandangan sekilas ia sudah bisa menyadari bahwa isi kamarnya tak berubah. Arisa pun lanjut memasuki kamar Rocky, barang-barang yang berantakan dan berserakan itu sungguh membuat Arisa merasa risih. Jika saja Rocky ada di sini, ia mungkin sudah dihajar habis-habisan oleh Arisa karena tingkah laku buruknya ini. Dengan menahan segala perasaan buruknya, Arisa dengan berat hati menyusuri seisi kamar Rocky.

 

Setelah selesai, Arisa pun keluar. Ia menghela nafas panjang dan menunjukkan ekspresi masamnya, “Apaan sih anak ini?! Malesan banget!”, ucapnya seraya menutup pintu kamar Rocky dengan kasar. Di saat yang bersamaan, Arisa melihat Daniel yang keluar dari kamar Mosses dan masuk ke kamar Eric.

 

Arisa terdiam sejenak di depan pintu kamar Rocky, sesaat ia menatap kanan kiri. Begitu memastikan tak ada orang yang melihatnya, Arisa secepat kilat berjalan menuju tangga lalu turun menuju lantai satu. Mosses yang baru saja keluar dari ruang menonton itu nampaknya menyadari tingkah Arisa. Ia dengan segera berlari menyusul Arisa, serta menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Tepat sesaat sebelum Arisa membuka pintu perpustakaan, Mosses sukses menghentikannya, “Mau kemana lu?!”. Arisa yang sudah tertangkap basah itu hanya bisa menatap Mosses seraya berdiri menyandar pintu.

 

“Eh kalian! Ke sini semua!”, teriakan Mosses itu sukses membuat Arisa terlihat semakin gelisah. “Lu kenapa teriak?”, ujarnya khawatir. Tak butuh waktu lama, Gavin, Daniel, Eric, dan Rocky turun dari lantai dua. “Ada apaan?”, tanya Daniel bingung. Gavin yang menatap Arisa dan Mosses itu nampak semakin bingung, “Kenapa sih?”. “Apaan? Apaan?”, Rocky pun ikut bicara.

 

Eric sempat memperhatikan keduanya sesaat, hingga ia akhirnya mulai bicara, “Arisa lu ngapain? Ada apa sama perpustakaan?”. Eric sebenarnya kurang lebih telah mengetahui apa yang terjadi, namun ia tak semata-mata mau mengatakan semuanya dengan jelas. “Arisa tau dimana benderanya!”, ujar Mosses dengan tegas dan tanpa ragu sedikitpun. “Apa?!”, keempat bocah itu nampak begitu kaget. Arisa yang merasa keadaannya semakin terpojokkan itu mulai memberi pembelaan, “Nggak kok, nggak”.

 

“Kalo emang nggak, jelasin ke gue kenapa lu buru-buru ke perpustakaan?!”, Mosses nampaknya tak mau menyerah sama sekali. Arisa masih saja terdiam, ia sibuk memikirkan alasan apa yang bisa ia gunakan. “Bukannya lu udah nyari di perpustakaan?”, ujar Eric. “Iya emang, di sini nggak ada apa-apa kok, jadi kalian balik aja ke lantai dua”, ucapnya masih dengan agak gelisah. “Kalo gitu, lu aja yang balik duluan”, Mosses sangat-sangat serius dengan kalimatnya.

 

Arisa menatap Mosses cukup lama dan tak segera menjawab kalimatnya. “Kenapa? Buruan balik lu!”, ujar Mosses masih dengan nada bicara yang sama. Arisa mungkin masih terdiam, namun jari-jari mungilnya yang sedari tadi ia taruh di belakang tubuhnya itu mulai menggapai tombol-tombol pin angka. Dengan tatapannya yang mulai ia tajamkan itu, Arisa mulai menekan beberapa tombol. Hingga 4 digit angka telah terisi, ia hanya tinggal menekan tombol “ENTER”. Tatapan Mosses yang cukup menyeramkan itu sanggup menghentikan Arisa sesaat, “Ayo buruan!”. Sesaat setelah Mosses mengucapkan kalimatnya barusan, Arisa benar-benar menatapnya dengan tajam, secara bersamaan ia menekan tombol “ENTER” dan segera memasuki ruang perpustakaan.

 

Namun sayangnya Arisa gagal menutup kembali pintu tersebut. Kekuatan fisik Mosses yang jauh di atas Arisa itu sanggup membuat pintu perpustakaan dengan mudahnya terbuka kembali. Setelah Mosses sukses menerobos masuk, Arisa segera memundurkan langkahnya beberapa kali. Mosses dan keempat bocah lain yang masuk ke perpustakaan itu mulai mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. Akan tetapi, mereka tak kunjung menemukan dimana letaknya bendera tersebut.

 

Arisa yang berdiri di hadapan kelima lelaki itu kini nampak lebih percaya diri, “Kalian nggak tau kan dimana benderanya?”, ucapnya agak meledek. Namun Mosses nampaknya tidak terima dengan ledekan Arisan barusan, ia segera menjawabnya dengan nada bicara yang terdengar meledek pula, “Ada di ruangan ini kan?”. Mosses perlahan berjalan mendekati Arisa, dan Arisa perlahan juga beranjak. Arisa berjalan ke samping, ke samping, dan ke samping selama Mosses masih terus mendekat ke arahnya.

 

Merasa semakin terpojokkan oleh Mosses, Arisa mulai berpikir untuk melawannya. Akan tetapi keadaan ini nampaknya tak memberi kesempatan pada Arisa untuk melawan Mosses. Arisa pun mulai menatap kanan kiri, mencari sosok yang mungkin bisa menjadi sasaran empuknya. Tak perlu waktu lama, Arisa sukses menemukan sasaran barunya. Arisa mulai menatap Eric, dan dalam sekejap Eric menatapnya pula.

 

“Eric, asal lu tau ya!”, Arisa menjeda ucapannya. “Mosses nyuruh lu nyari di ruang karaoke, padahal dia udah nyari di sana! Dan dia nggak nemu apa-apa!”, lanjutnya. Eric seketika terlihat kaget bukan masih. Dan Mosses yang semula menatap tajam pada Arisa itu kini terlihat gelisah menghadapi Eric yang mulai mendekat ke arahnya. “Bentar, bentar, Ric”, namun usaha Mosses itu sepertinya tak membuat Eric melambatkan langkahnya sedikit pun.

 

Merasa keadaan sudah cukup panas, Arisa berusaha semakin memanasinya lagi, “Mosses itu cuma berusaha memperlambat elu doang!”. Eric menatap Arisa sesaat, lalu ia kembali fokus pada Mosses. “Dasar lu sialan!”, teriak Eric seraya menarik kerah baju Mosses. “Berani-beraninya ya elu!”, ujar Eric dengan tatapan penuh amarahnya. Arisa dengan sigapnya kembali melirik kanan kiri secepat kilat. Setelah memastikan bahwa seluruh pandangan tertuju pada Mosses dan Eric, Arisa segera membalikkan badannya lalu berlari ke arah salah satu laci di perpustakaan ini.

 

Merasa ada yang tidak beres dengan tingkah Arisa, Gavin segera memberi peringatan, “Eh, bentar! Arisa!”. Sesaat setelah semua pandangan kembali tertuju pada Arisa, Arisa telah membuka laci itu dan mengeluarkan sebuah bendera dari dalam laci tersebut. Seraya mengangkat bendera itu tinggi-tinggi, Arisa menatap kelima lelaki di hadapannya itu dengan senyuman songong khas-nya, “Gue menang!”.

 

Permainan selesai, keenam bocah itu kembali ke ruang tengah. Mereka duduk berjajar menghadap kamera dan para kru serta staff. Arisa yang duduk di tengah seraya memegang bendera itu terlihat sangat gembira, ia mengangkat bendera tersebut dan bersorak sorai. “Selamat kepada Nona Arisa, pemenang permainan kali ini. Karena tugas telah selesai, maka pintu keluar villa pun dibuka kembali”, ujar sang staff. Mosses menatap Arisa yang duduk di sebelahnya itu dengan wajah masamnya yang lebih parah dari biasanya, “Untung aja pintu keluar villa dibuka, kalo nggak udah tampol anak berisik nan nyebelin satu ini”.

 

Mosses masih saja menatap Arisa dengan wajah masamnya yang tak kunjung hilang tersebut. Namun semakin lama Mosses menatap senyuman di wajah Arisa, secara perlahan wajah masamnya itu memudar dan berganti dengan senyuman kecil di wajahnya. “Mos, ayo selfie sama gue”, Arisa yang mendadak menyandar ke dada Mosses itu sontak membuatnya kaget bukan main. Bahkan hingga Arisa telah meletakkan ponselnya dengan angel yang pas dan berpose dengan senyuman terbaiknya, Mosses masih aja bengong menatap Arisa. Hingga Arisa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya menuju Mosses dan membentaknya sedikit, “Ayo!”. Mosses pun terlihat kaget lagi, namun tak sekaget yang sebelumnya, “Oh! Iya iya”. Mosses pun menggapai lengan Arisa dan tersenyum dengan manis ke arah kamera.

 

“Habis itu selfie sama Rocky”, bahkan baru sepersekian detik setelah men-jebret kameranya, Arisa kini sudah bersandar di dada Rocky. Rocky yang sudah siap sedia itu segera berpose dengan gaya swag-nya, Arisa yang tak mau kalah swag itu pun merubah gayanya menjadi lebih keren. Mosses yang melihat tingkah akrab Rocky dengan Arisa itu hanya tersenyum dengan miris, mau seperti apa perasaannya pada Arisa, ia merasa tak pantas melakukan apa-apa untuk menghalangi keakraban mereka berdua.

 

Setelah ia men-jebret kameranya untuk kedua kalinya, Arisa pun beranjak dari pelukan Rocky. Arisa mengecek dua buah foto yang baru saja ia tangkap tersebut. “Gue nggak diajak nih?”, Gavin yang duduk agak berjauhan dari Arisa itu mulai protes. “Sini dong, Vin”, dan Gavin pun secepat kilat beranjak dari tempat duduknya. Arisa yang sudah siap dengan kamera ponselnya yang juga berada di angel yang tepat itu pun segera mendapat back huge dari Gavin. Seraya melingkarkan kedua tangannya di pundak Arisa, Gavin dengan percaya dirinya menampilkan pose yang cukup keren.

 

Selesai dengan selfie, bukannya langsung kembali ke tempat duduknya, Gavin justru memeluk Arisa dengan semakin erat dan mengusap rambut Arisa sesaat sebelum akhirnya ia beranjak kembali ke tempat duduknya semula. Dua sosok lelaki yang duduk di kanan kiri Arisa itu secepat kilat menatap Gavin dengan tajamnya. Begitu tajam hingga Gavin merinding setelah menyadari tatapan kedua lelaki itu padanya.

 

“Foto selfie-nya bagus semua deh, gue upload ya?”, Arisa nampaknya gembira dengan hasil jebretannya itu. “Upload aja nggak apa-apa”, ujar Mosses dengan santainya. “Selfie lu sama gue harus yang pertama diupload!”, Rocky menyuarakan pendapatnya itu dengan sedikit memaksa. “Ya udah deh Rocky duluan”, ujar Arisa seraya mengunggah foto selfienya bersama Rocky itu di salah satu akun SNS-nya. “Yess”, begitulah pengungkapan rasa gembira Rocky begitu ia melihat berbondong-bondong komentar dan like di unggahan Arisa barusan dalam sekejap.

 

Selesai dengan mengunggah foto selfienya bersama Rocky, kali ini giliran foto selfienya bersama Mosses yang ia unggah. Hal yang sama juga terjadi pada unggahan tersebut, ribuan like dan komentar membanjirinya dalam sekejap. Selanjutnya, Arisa menggunggah pula foto selfienya bersama Gavin pula, dan segera mendapat like dan komentar yang banyak dari para follower setia Arisa. “Gue nggak sombong mah. Walaupun diupload yang paling terakhir, tapi foto selfie gue sama Arisa itu yang paling romantis”, ujarnya dengan wajah songong yang terlihat sangat jelas. Bahkan Gavin juga beberapa kali mengangkat kedua alisnya mengikuti gaya Arisa. Dan dalam sekejap, Mosses serta Rocky melempari Gavin menggunakan botol air minum, “Aduh! Ampun deh ampun!”. “Diem lu anjir!”, ucap mereka berdua dengan kompaknya, sungguh harmoni yang luar biasa.

 

 

To Be Continue-

 

.

 

.

 

Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.

Salam, penulis.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • rara_el_hasan

    Semangat... Konflik kekuasaan... Keren

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
F I R D A U S
614      406     0     
Fantasy
Tentang Hati Yang Mengerti Arti Kembali
494      327     4     
Romance
Seperti kebanyakan orang Tesalonika Dahayu Ivory yakin bahwa cinta pertama tidak akan berhasil Apalagi jika cinta pertamanya adalah kakak dari sahabatnya sendiri Timotius Ravendra Dewandaru adalah cinta pertama sekaligus pematah hatinya Ndaru adalah alasan bagi Ayu untuk pergi sejauh mungkin dan mengubah arah langkahnya Namun seolah takdir sedang bermain padanya setelah sepuluh tahun berlalu A...
Rose The Valiant
3687      1261     4     
Mystery
Semua tidak baik-baik saja saat aku menemukan sejarah yang tidak ditulis.
the Overture Story of Peterpan and Tinkerbell
13118      8702     3     
Romance
Kalian tahu cerita peterpan kan? Kisah tentang seorang anak lelaki tampan yang tidak ingin tumbuh dewasa, lalu seorang peri bernama Tinkerbell membawanya kesebuah pulau,milik para peri, dimana mereka tidak tumbuh dewasa dan hanya hidup dengan kebahagiaan, juga berpetualang melawan seorang bajak laut bernama Hook, seperti yang kalian tahu sang peri Tinkerbell mencintai Peterpan, ia membagi setiap...
Snow White Reborn
568      318     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
340      245     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Backstreet
1131      435     1     
Fan Fiction
A fanfiction story © All chara belongs their parents, management, and fans. Blurb: "Aku ingin kita seperti yang lain. Ke bioskop, jalan bebas di mal, atau mancing di pinggiran sungai Han." "Maaf. But, i really can't." Sepenggal kisah singkat tentang bagaimana keduanya menyembunyikan hubungan mereka. "Because my boyfie is an idol." ©October, 2020
Sweetest Thing
1790      942     0     
Romance
Adinda Anandari Hanindito "Dinda, kamu seperti es krim. Manis tapi dingin" R-
Amherst Fellows
5353      1447     5     
Romance
Bagaimana rasanya punya saudara kembar yang ngehits? Coba tanyakan pada Bara. Saudara kembarnya, Tirta, adalah orang yang punya segunung prestasi nasional dan internasional. Pada suatu hari, mereka berdua mengalami kecelakaan. Bara sadar sementara Tirta terluka parah hingga tak sadarkan diri. Entah apa yang dipikirkan Bara, ia mengaku sebagai Tirta dan menjalani kehidupan layaknya seorang mahasis...
Fix You
620      372     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...