HORSES FOR COURSES
Chapter 3 : Be Your Star
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Yamaguchiya Arisa
2. Yamaguchiya Rafu
3. Lixeu
4. Gavin
5. Mosses
5. Daniel
6. Eric
7. Rocky
8. Manager
9. Hwannie
10. CEO Phyon Entertainmnent
11. Arisa's Staff
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Arisa rasa, ia baru saja berbaring di ranjangnya dan menutupi dirinya dengan selimut beberapa saat yang lalu, bahkan ia merasa baru saja terlelap dalam tidurnya. Namun ia sudah dikagetkan dengan cahaya terang yang memasuki kamarnya. Pagi hari datang dalam sekejap, menghapuskan cahaya gelap yang memenuhi hingga ke sudut-sudut kota. Arisa bersiap di pagi harinya itu layaknya gadis normal pada umumnya. Gaun yang indah, serta make up sederhana yang cukup untuk membuatnya terlihat cantik. “Hwannie! Bawain koper gue!”, teriak Arisa sesaat sebelum ia berjalan keluar dari kediamannya ini. “Siap!”, sesosok lelaki berusia sekitar 19 tahun itu dengan sigapnya datang dan membawakan koper Arisa masuk ke dalam pesawat jet pribadi milik Arisa yang sudah terparkir dengan rapi di halaman depan kediaman Yamaguchiya itu.
Hwannie yang berdiri di depan pintu pesawat jet itu menatap Arisa yang sudah memasuki pesawat terlebih dahulu. “Lu nggak ikut Hwan?”, ujar Arisa yang berdiri di belakang pintu itu. “Nggak perlu, Na. Saya ngurusin rumah lu aja”, ujarnya lengkap dengan senyuman manisnya. Ket. : Panggilan “Na” oleh Hwannie kepada Arisa adalah penggalan dari kata “Nona”. Arisa memberikan senyumannya pula, seakan-akan sebagai tanda terima kasih atas jasa Hwannie. “Pesawat siap berangkat, Nona Arisa”, ucap sang pilot dari dalam kokpit. Hwannie dengan sigapnya memegang pintu pesawat, “Selamat menikmati perjalanan anda, Nona Arisa”, ucapnya sesaat sebelum ia menutup pintu pesawat. Pesawat segera melaju dan melambung tinggi, Arisa yang baru saja mendengarkan salam perpisahan dari Hwannie itu tersenyum semakin lebar, “Tumben formal”, ujarnya lirih.
Begitu pesawat mendarat di halaman depan gedung pusat Phyon Entertainment, Arisa segera turun dan menghampiri lima sosok lelaki yang sudah tampil rapi dan berdiri dengan penuh gaya di depan pintu masuk gedung. “Kalian masuk aja duluan”, ujar Arisa, dan kelima member LURIOUS itu dengan semangatnya segera masuk ke dalam pesawat jet pribadi milik Arisa itu. Sesaat sebelum Arisa menyusul langkah kelima lelaki itu, sebuah suara tiba-tiba menghentikannya. “Nona Arisa”, Arisa membalikkan badannya, menatap sosok yang baru saja memanggil namanya tersebut. Dilihatnya sosok yang cukup tak asing, manager LURIOUS. “CEO Phyton meminta saya untuk menemani LURIOUS”, ujarnya.
Arisa terdiam sesaat, ia sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum dengan mirisnya. “CEO?”, tanya Arisa dengan wajah songongnya itu. Manager itu mengangguk dengan pelan, “Mungkin anda bisa mengecek ponsel ada”, ujarnya. Arisa masih sempat untuk tertawa sejenak, hingga akhirnya ia mulai mengambil ponselnya. Ponsel Arisa menyala sesaat setelah Arisa menatap layarnya, dan memang benar, terdapat sebuah notifikasi di sana. Notifikasi yang menunjukkan bahwa CEO Phyton mengirim pesan kepada Arisa yang berbunyi, “Bawa sang manager. Mau bagaimana pun LURIOUS tetap membutuhkannya”. Arisa menghela nafas panjang dan mengembalikan ponselnya ke dalam sakunya, “Ya udah deh. Lu boleh ikut”.
Setelah ketujuh penumpang masuk ke dalam pesawat. Pesawat pun kembali melaju dan terbang dengan leluasanya di atas kota. “Kok lu nyuruh kita berangkat dari Gedung Phyon sih? Kenapa nggak dari apartemen langsung?”, Eric yang nampaknya sedikit penasaran itu akhirnya bertanya. “Landing di depan Gedung Phyon aja udah mepet, apalagi landing di depan apartemen lu? Nggak muat kali”, ujar Arisa memberi penjelasan. Tak kalah penasaran, Rocky pun ikut bertanya, “Kenapa kita nggak bawa helikopter aja? Lagian kemarin kita pulang pake helikopter lu muat kok”. Arisa menghela nafas dan memutar kepalanya sesaat, “Kita ke Jeju lho. Helikopter sekecil itu mana nyaman buat perjalanan jauh?”. Dan Rocky hanya cengengesan dengan kalimat Arisa barusan.
Perjalanan dari Seoul menuju Jeju itu terasa singkat dengan pesawat jet pribadi milik Arisa yang muat hingga 10 menumpang itu. Yah, pesawat jet yang cukup kecil memang. Namun Arisa terlalu malas untuk mengeluarkan pesawat jetnya yang lebih besar hanya untuk perjalanan mereka berlibur ke Jeju. Sesampainya mereka di Jaju Gaviota Pension, penjuru villa mereka telusuri dengan penuh gembira. DSLR yang mereka bawa sejak perjalanan tadi tak henti-hentinya merekam kemanapun mereka pergi. Bahkan hingga mereka rela gonta-ganti DSLR karena baterainya tidak sanggup untuk bertahan lama-lama.
Berbagai macam pakaian dan barang-barang pesanan mereka yang telah sampai dan siap sedia di kamar itu sukses membuat mereka semakin bersemangat. Dengan DSLR-nya itu, mereka merekam kronologi unboxing berbagai macam barang-barang mereka. Namun karena ini acara reality show, maka Arisa juga membawa beberapa kru dan staff yang di terbang kemari dengan pesawat yang terpisah. Para kru segera memasang kamera di berbagai sudut villa dan juga lightning yang siap menyinari kapan saja.
“Guys ayo kumpul dulu! Kita harus bikin opening yang bagus buat acara reality show kita!”, teriakan Arisa yang sangat menggelegar itu terdengar nyaris di segala sisi villa. Dan dalam hitungan detik, satu per satu member LURIOUS mulai berkumpul di ruang tengah. Siap dengan segala peralatan shooting, perekaman pun dimulai. “One two three! Goura Victoria in yours! Hello, we are LURIOUS!”, begitulah salam meriah mereka seperti yang biasa mereka lakukan. Tak lupa, Arisa pun ikut memperkenalkan diri, “CEO Yamaguchiya Foundation, I’m Arisa Yamaguchiya!”, dan dengan meriahnya tepuk tangan terdengar di seisi ruangan. Selesai dengan sesi perkenalan, staff pun mulai memberi arahan, “Karena kalian udah di sini, kita bisa mulai game-nya sekarang”. “Game?”, Gavin nampaknya menjadi sosok yang paling kaget di sini. “Ada game juga?”, Arisa sendiri bahkan tak menyadari rencana para kru dan staffnya itu.
“Kalian harus ngelewatin sebuah game, dimana kalian harus menjadi detektif”, lanjut sang staff. “Jangan game yang susah-sudah dong, masih di awal juga kok”, ujar Arisa berusaha mencari keringanan. “Sebelum game ini dapat terselesaikan, maka seluruh pintu keluar di villa ini akan ditutup”, seketika Arisa dan kelima member LURIOUS itu kaget bukan main. Apalagi setelah melihat Arisa yang mulai gelisah, kelima member LURIOUS itu justru semakin merasa khawatir. “Tunggu bentar! Tunggu bentar!”, Arisa menjeda ucapannya dan menatap staff itu dengan senyuman penuh antisipasinya. “Siapa yang ngerencanain game ini?”, lanjutnya. Mereka semua terdiam, bahkan sang staff nampaknya agak ragu untuk menjawab pertanyaan Arisa. Hingga Arisa mulai memaksa, “Jawab!”. Staff itu perlahan mulai tersenyum kecil, “Kakak anda, Tuan Rafu”. Arisa seakan-akan tersambar petir, ia mendadak terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Kelima member LURIOUS yang menyadari ketidakbiasaan sikap Arisa itu tak kalah terdiam dengan kakunya. Sesaat setelahnya, Arisa perlahan mulai nampak sangat marah. Dan hanya dengan satu teriakan, ia bisa menggambarkan perasaannya saat ini dengan sangat jelas, “ABANG!!!”.
“Judul dari game ini adalah Escape and Found”, ujar sang staff. Keenam bocah dihadapan staff itu hanya terdiam dengan wajah bengong, mungkin hanya Arisa yang masih bisa mempertahankan ekspresi penuh konsentrasinya. “Tugas kalian cukup mudah, kalian hanya perlu lari dari tempat ini dan menemukan sebuah bendera”, Arisa dan kelima member LURIOUS itu dengan fokusnya memperhatikan sang staff yang mulai memberikan arahan mengenai game ini. Keenam bocah di hadapan staff itu secara kompak mengangguk, “Ada pertanyaan?”, lanjut sang staff. Eric mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan staff pun memberinya kode agar ia mulai berbicara. “Itu tugas buat kita berenam?”, tanyanya. “Bukan, ini individual game. Siapa pun yang dapat mengambil bendera untuk pertama kalinya, dia lah pemenangnya”, jawab sang staff. “Gimana? Ada pertanyaan lagi?”, keenam bocah itu hanya terdiam, tanda bahwa mereka saat ini sudah cukup paham. “Waktu kalian 5 jam, dimulai dari…”, beberapa saat staff itu sempat menggantungkan kalimatnya. Keenam bocah di hadapannya itu menatap sang staff dengan ekspresi serius yang terlihat jelas. “Sekarang!”, dalam secepat kilat keenam bocah itu berebut tempat untuk mencari di segala sisi. Tak perlu waktu lama, ruang tengah ini telah mereka amati secara keseluruhan.
Arisa menatap kelima member LURIOUS itu, mata tajamnya yang melirik kesana kemari itu telah memberinya sedikit ide. “Bentar!”, Arisa berdiri di depan kamera dan menghadap ke arah staff yang memberi mereka arahan sejak tadi. “Kita boleh nggak bikin aliansi?”, pertanyaan Arisa itu sontak mengundang perhatian kelima member LURIOUS, mereka mulai meninggalkan tempatnya dan berjalan mendekati Arisa. Staff itu menatap keenam bocah yang berdiri di hadapannya, “Tentu kalian boleh bikin aliansi, tapi game ini tetaplah individual game”. Arisa mengangguk, tanda ia paham. Namun sebelum Arisa pergi kembali, staff itu menghentikan langkah Arisa, “Lagian, apa tujuan membentuk aliansi di dalam individual game?”. Arisa membalikkan badannya, menatap ke arah staff yang berbicara padanya itu. “Gue rasa akan lebih gampang aja kalo kita bikin aliansi dan berbagi tugas”, ujarnya seraya menatap lelaki di sebelah kanan kirinya itu, para member LURIOUS.
Staff itu sempat tersenyum sejenak, sebelum Arisa akhirnya benar-benar pergi dari hadapannya. “Jadi kalian mau nggak kalo kita bikin aliansi?”, kalimat Arisa itu segera mendapat anggukan yakin dari kelima member LURIOUS. “Tapi gue boleh saran nggak?”, Gavin mulai bicara. “Gimana kalo yang pinter-pinter dipisah?”, lanjutnya. Daniel yang merasa sependapat dengan Gavin itu pun juga ikut bicara, “Biar nggak ada team luar biasa dan team luar binasa kan ya?”, ujarnya seraya melirik Gavin. Dan Gavin hanya menjawab kalimat Daniel dengan mengangkat kedua alisnya beberapa kali, layaknya gaya Arisa.
“Boleh sih”, ujar Arisa. “Kalo gue rasa nih ya, yang masuk kategori anak pinter itu Arisa, Mosses, sama Eric”, ujar Rocky. “Gue sama Arisa!”, Daniel secepat kilat berteriak dan memegangi salah satu lengan Arisa menggunakan kedua tangannya dengan erat. Mosses yang melihat tingkah laku Daniel barusan sempat merasa tidak terima, namun ego-nya tak cukup tinggi untuk membuatnya merebut Arisa dari tangan Daniel. “Ya udah, Ky lu sama gue ya?”, ujarnya, Rocky hanya menatap Mosses dan mengangguk pelan. “Tinggal gue sama Gavin nih?!”, ujar Eric dengan wajah yang agak emosi, ia nampaknya ingin protes. Akan tetapi Gavin memegang pundak Eric, berusaha untuk menenangkannya, “Udah nurut aja”. Eric menatap Gavin sesaat lalu dengan beratnya ia menghela nafas panjang.
Selesai dengan pembagian team, Arisa kini mulai memberi arahan, “Sekarang bagi tugas ya?”. Kelima member LURIOUS itu menatap Arisa, memintanya untuk menjelaskan lebih jauh. “Posisi kita kan di ruang tengah nih, jadi kita baginya gini aja. Team Eric ke bagian belakang, team gue ke bagian depan, dan Team Mosses sementara ke bagian atas. Ntar kalo team gue dan Team Eric udah selesai nyari di bawah, kita nyusul kok”, begitulah penjelasan Arisa yang cukup panjang tersebut. Kelima member LURIOUS itu sesekali mengangguk pelan, tanda mereka paham dan setuju dengan arahan Arisa.
“Oke, berangkat ya?”, Rocky yang semangat itu sudah siap sedia untuk pergi bertempur. “Bentar, ada yang harus gue bilang dulu”, kalimat Arisa itu sukses menghentikan langkah Rocky yang hendak pergi itu. “Setelah gue liat-liat, ternyata setiap pintu di sini tuh dikunci, dan kalian perlu clue buat buka kunci pin di setiap pintu. Jadi kalian harus teliti nyarinya, ngerti?”, lanjutnya. “Ay ay, sir”, ujar Rocky seraya menempelkan dua jari-jari tangan kanannya di dahinya. Arisa menepuk tangannya sekali, dan menahan kedua telapak tangannya yang bersentuhan itu, “Sip, rapat selesai, saatnya berangkat!”.
Keenam bocah itu berpencar, mereka dengan sigapnya memeriksa seluruh barang-barang di ruangan ini. Hingga sudut-sudut dinding, di bawah meja, di atas lemari, dan berbagai macam tempat-tempat terpencil lainnya. Mari kita perhatikan satu-satu, mulai dari Team Arisa. Arisa nampaknya telah selesai menyatukan beberapa ‘keping puzzle’ yang diperlukan untuk membuka pintu ruang tamu. “Niel, coba pinnya lu isi 8-1-4-5”, ujar Arisa yang masih berada di dekat laci meja itu kepada Daniel yang sudah siap berdiri di depan pintu ruang tamu. Daniel pun menuruti kata-kata Arisa, ia mulai mengisi pin angka itu satu per satu. Dan hasilnya, “Oh?”. “Gimana, Niel?”, Arisa berjalan beberapa langkah guna menghampiri Daniel. Daniel memutar gagang pintu yang sukses membunyikan suara ‘ceklek’ tersebut.
Arisa segera berlari ketika ia melihat pintu yang perlahan terbuka. Ia dan Daniel segera memasuki ruang tamu tersebut. Arisa segera memberi arahan tegas pada Daniel, “Cari sampe ke sudut-sudut ruangan, ngerti?”. “Siap”, jawab Daniel. Arisa segera mencari ke arah kiri sedangkan Daniel ke arah kanan, sungguh sinkronisasi yang luar biasa di antara mereka.
Mari kita biarkan Team Arisa menyusuri ruang tamu. Selagi menunggu, kita bisa melihat aksi Team Eric yang mulai menyusuri seisi ruang makan. Gavin nampak berkonsentrasi dan mengamati seisi ruangan dengan serius. Setidaknya keseriusannya itu masih dapat menutupi ke-bego-annya dalam permainan ini. “Lu nemu benderanya nggak, Ric?”, ujarnya masih dengan mengamati benda-benda kecil dihadapannya. Sesaat Eric tak menjawab, ‘Anaknya lagi mikir kali’, pikirnya. Namun Eric tak kunjung menjawab juga, “Kita nyari di dapur aja ya? Keknya di sini emang nggak ada apa-apa”, ujar Gavin seraya berjalan menuju pintu dapur.
Gavin terhenti di depan pintu dapur, dipegangnya gagang pintu itu dengan erat. ‘Dikunci nggak ya? Dikunci nggak ya?’, pikiran-pikiran itu terus saja menghantui Gavin. Akan tetapi Gavin berusaha sekeras mungkin untuk berpikir positif. Dan dengan perlahan, Gavin memutar gagang pintu itu. “Yahh, nggak bisa”, Gavin pun melepaskan gagang pintu itu. “Eric, tolong ya cariin clue buat pintu dapur? Siapa lagi kalo bukan lu yang bisa?”, ujarnya dengan kalimat yang agak menjunjung tinggi Eric itu. Anehnya, hingga saat ini Eric masih belum juga merespon kalimat Gavin. Hingga akhirnya Gavin memutuskan untuk mengalihkan pandangannya, mencari dimana sosok Eric berada. Dan begitu ia menyadari dimana sosok Eric, ekspresi wajahnya dalam secepat kilat berubah drastis, “Eric?!”. Gavin itu pun segera menghampiri Eric, “Makannya ntar dulu bego! Kita belum dapetin benderanya!”. Eric bisa santainya menatap Gavin yang sudah naik darah itu, “Bentar”.
“Eric!”, Gavin pun mulai merebut bungkus snack yang dipegang oleh Eric itu, namun Eric masih berusaha menyelamatkan makanannya dengan sekuat tenaga, “Eh! Eh! Jangan dong!”. Akan tetapi Gavin juga tak mau menyerah, ia menarik bungkus snack Eric semakin kencang, “Buruan cari clue-nya!”. Merasa tanda bahaya yang semakin menjadi-jadi, Eric pun mulai mengikuti ucapan Gavin, “Iya iya ini lho, gue udah nemu clue-nya”. Dan seketika, Gavin menghentikan tarikannya pada bungkus snack Eric, namun ia masih memeganginya dengan erat, “Serius lu?”. Eric mengangguk dengan yakinnya. Perlahan, Gavin mulai melepaskan tangannya dari bungkus snack milik Eric. “Pinnya 2-9-0-5”, ucap Eric. “Tau dari mana lu?”, Gavin nampaknya agak ragu dengan kalimat Eric. “Nih”, Eric menunjukkan tanggal kadaluarsa dari snack yang ia makan. Dan seketika, Gavin benar-benar terlihat marah, “Serius lu!”. “Gue serius! Coba aja deh!”, nada kalimat Eric yang tak kalah tinggi dari Gavin itu membuatnya percaya tidak percaya.
Gavin mulai beranjak dari posisinya, ia berjalan beberapa langkah dari Eric menuju pintu dapur, lalu memasukkan pin angka persis seperti yang diucapkan Eric. Dan taraaaa… ‘Ceklek’, pintu terbuka. “Tuh kan? Gitu nggak percaya?, ujar Eric seraya masuk ke dapur mendahului Gavin, tak lupa sedikit menyenggol pundak Gavin yang masih berdiri di depan pintu tersebut. “Iya iya tau”, jawabnya dengan wajah cemberut. Gavin pun mengikuti langkah Eric, ia dengan telitinya mengamati berbagai macam benda di situ. “Hati-hati Vin, kalo ada benda tajam kayak pisau atau apa gitu”, ujar Eric memberi arahan pada Gavin. “Iya”, ucapnya agak malas, Gavin sepertinya bukanlah tipe orang yang suka dinasehati. Tanpa menggubris Gavin lagi, Eric pun berusaha mencari bendera seraya memakan snack-nya yang masih tersisa sedikit itu.
Setelah Team Arisa dan Team Eric, mari kita menengok Team Mosses. “Yess, kebuka”, sepertinya Mosses baru saja berhasil membuka pintu game arena, sebuah ruangan yang berisi berbagai macam fasilitas bermain seperti billiard, dart, bowling, hingga berbagai macam arcade game. “Dimana benderanya?! Dimana?!”, tak hanya melangkah mendahului Mosses dengan tidak sopannya, bahkan Rocky juga berteriak-teriak dengan hebohnya. “Liatin baik-baik dong! Jangan teriak mulu!”, ujarnya Mosses seraya memasuki game arena dengan perlahan.
Berbanding terbalik dengan Rocky yang hebohnya minta ampun, Mosses dapat dengan tenangnya mengamati benda-benda di depannya itu dengan seksama. Sesekali mungkin ia ingin mencoba beberapa permainan di sini, namun kesadarannya akan pentingnya tugas ini membuat jalan pikirannya lurus kembali, ‘Nggak boleh! Nggak boleh! Game ini harus selesai dulu, baru main-main di game arena’.
Waktu terus berjalan, beberapa jam telah berlalu. Saking lamanya mereka tenggelam dalam permainan ini, hingga tak sadar bahwa matahari sudah sudah mulai tergelincir, tengah hari sudah berlalu. Terik matahari di luar sana yang serasa menusuk itu mulai mereda. Arisa dan Daniel baru saja menyelesaikan acara menggeledah ruang tamu. Dan hasilnya, nihil. Mereka bahkan tak menemukan apapun. “Ar, gue ke kamar mandi dulu ya?”, ucap Daniel seraya pergi meninggalkan Arisa. “Iya”, jawabnya singkat. Selagi menunggu Daniel kembali, Arisa berusaha mengamati benda-benda sekitar dengan lebih seksama, mungkin saja ia melewatkan sesuatu.
Setelah cukup lama, akhirnya Daniel kembali. “Ar, gue kasih tau!”, ucapan Daniel yang cukup mendadak itu sedikit membuat Arisa kaget. Arisa segera berbalik badan guna menatap sosok yang menghampirinya tersebut. “Ada apa, Niel?”, tanya Arisa. Daniel memberi kode pada Arisa untuk kembali masuk ke dalam ruang tamu. Ia juga sesekali menempelkan jari telunjuknya di depan bibirnya. “Iya iya gue nggak berisik, ada apa sih?”, tanya Arisa begitu mereka bersembunyi di dalam ruang tamu.
“Gue barusan ketemu Mosses”, Daniel menjeda ucapannya. “Dan dia cerita ke gue, kalo dia udah geledahin ruang karaoke, tapi dia nggak nemu apa-apa”, lanjutnya. Arisa terlihat agak bingung dengan kalimat Daniel, “Kok lu ngomongnya diem-diem?”. Daniel seketika terlihat layaknya orang bodoh yang habis pikir, “Iya juga ya?”. “Tapi nggak apa-apa lah, yang penting kita dapat informasi”, ujar Arisa. “Ya udah yuk lanjut nyari”, ujarnya lagi.
To Be Continue-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.
Semangat... Konflik kekuasaan... Keren
Comment on chapter PROLOG