Seorang gadis dengan rambut kecoklatan turun dari mobil dengan enggan. Wajah tanpa ekspresi itu memperhatikan bangunan yang ada di depannya “SMA Angkasa”. Dia berajalan memasuki bangunan itu sambil mencengkram tali tasnya.
Gadis itu mempercepat langkah kakinya. Dia ingin cepat-cepat sampai ke ruang kepala sekolah. Dia sangat tidak suka menjadi pusat perhatian. Dia lebih suka menjadi tidak terlihat seperti makhluk tak kasat mata. Karena semakin tidak terlihat, dia merasa hidupnya semakin bahagia.
Setelah sampai di ruang kepala sekolah, gadis itu langsung berhadapan dengan Pak Izra—kepala sekolah SMA Angkasa yang sedang duduk manis di kursi kebesarannya sambil berbicara dengan seorang wanita paruh baya berkacamata.
Melihat Gadis itu, Pak Izra meminta wanita itu mengantarnya ke kelas.
“Ayo, kita ke kelas”, Bu Iftah—wali kelas 11 IPA 1 mengajak gadis itu menuju kelas yang tidak di jawab oleh gadis itu.
Kelas 11 IPA 1 adalah kelas sangat populer. Sebagian besar murid-murid berprestasi ada di kelas ini, baik yang berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Wajah-wajah di kelas ini juga bisa dikatakan semuanya di atas rata-rata.
Seperti biasa kelas akan sangat ramai ketika tidak ada guru di dalamnya. Seperti itulah suasana yang terjadi di kelas IPA 1. Ini lebih cocok disebut sebagai pasar dari pada kelas. Bangku-bangku tergeletak tidak sesuai tempatnya. Siswa-siswinya ada yang sibuk bergosip, menonton drama, bernyanyi tidak jelas, fangirlingan dan masih banyak lagi kegiatan yang sama sekali tidak mencerminkan orang-orang yang sedang menuntut ilmu.
Kelas yang semula ricuh dan penuh keributan tiba-tiba sepi setelah kedatangan wali kelas mereka. Bu Iftah datang bersama seorang gadis. Gadis itu tampak asing. Semua mata menatap penasaran kearahnya.
“Hari ini kelas kita kedatangan anak baru, nah silahkan perkenalkan diri kamu” ujar Bu Iftah.
Gadis yang diminta untuk memperkenalkan diri itu hanya diam dengan wajah datar. Inilah hal yang paling tidak disukai. Bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain. Kalau saja Vano—Ayahnya tidak memaksanya untuk masuk sekolah formal mungkin dia saat ini sedang dirumah belajar bersama guru homescoolingnya.
“Bicca, mulai besok Ayah gak mau tau, kamu harus masuk sekolah formal!. Sudah cukup selama ini Ayah menuruti keinginan kamu untuk homeschooling. Ini demi kebaikan kamu. Kita ini makhluk social sudah seharusnya kita bersosialisasi dengan orang lain. Kehidupan tidak bisa dijalani hanya dengan sendiri”.
Itulah yang dikatakan Ayahnya tadi malam. Ah… memikirkannya saja membuat gadis itu ingin mengumpat.
“Lo bisu ya?”, celetuk salah seorang siswi.
Mendengar celetukan itu semua murid langsung tertawa.
“Itu orang budek kali”
“Tuli? Gagu?”
Bu Iftah memberikan tatapan tajam kepada semua muridnya. Seketika itu mereka semua langsung terdiam. Kemudian untuk yang kedua kalinya dia meminta gadis itu untuk memperkenalkan diri lagi.
“Selamat datang di neraka” batinnya.
Dengan aura dingin gadis itu memperkenalkan diri dengan suara yang sangat pelan hampir tidak terdengar.
“Saya. Arabicca. Claretta”.
***