Devlin menekuri peta Surabaya yang terpampang di dinding ruang rapat. Agen anti teroris pagi ini sudah memberikan breafing, informasi dan peringatan akan adanya bahaya terorisme yang sudah menyusup ke Surabaya. Jika di Jakarta motifnya adalah pusat bisnis untuk melumpuhkan perekonomian, maka di Surabaya--menurut agen anti teroris itu--targetnya kemungkinan besar akan menyasar rumah ibadah untuk memicu perpecahan antar umat beragama di Indonesia.
Geram dirasakan Devlin, ia membenci para teroris itu. Dari mana mereka datang, dan untuk apa mereka kembali? Negara ini perlu dibangun, bukan dihancurkan. Jika mereka tidak senang dengan ideologi negara, pindah saja! Toh, negara ini tidak pernah kekurangan manusia, pikirnya sinis.
Pin-pin merah ditancapkan pada peta untuk menandai lokasi rumah-rumah ibadah di seluruh kota Surabaya. Devlin meminta anggota sniper juga ditempatkan untuk mengawasi RSU Srikana Medika sebagai mata-mata jarak jauh, pasalnya walaupun kondisi para korban kapal meledak itu tampak lemah terakhir kali Devlin datang dan meminta keterangan, namun mereka masih menjadi tersangka dalam kasus terorisme dan ia khawatir mereka akan membuat kekacauan yang sama.
Dan juga untuk keselamatan Jean, ia merasa harus memperingatkan Jean. Ia ingin Jean mengetahui perihal penyerangan ini agar dapat mengurangi shock-nya. RSU Srikana Medika tempat Jean bekerja adalah rumah sakit yang besar dan lengkap. Kemungkinan besar jika ada korban, mereka--baik semua atau sebagian--akan dibawa kesana. Jean~ Sudah seminggu ia dan Jean tidak bertemu, tidak menjalin kontak. Ia merindukan Jean.
Pagi itu walaupun langit tidak gelap, hujan gerimis turun. Devlin berlari-lari dari parkiran lapangan ke lobby rumah sakit. Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke kaos polo biru donkernya untuk menepis butiran air diatasnya. Bagian resepsionis dikerumuni beberapa pasien yang meminta informasi pengobatan atau bahkan hanya untuk bertanya dimana toilet berada. Beberapa suster lalu lalang di lobby. Devlin mengedarkan pandangannya dan langsung menggiring langkahnya ke IGD untuk mencari Jean.
"Dev, sedang patroli?" Cas berjalan keluar dari ruang IGD dan berpapasan dengan Devlin. Cas tampak bersinar hari ini dengan blus hijau zambrud dibawah jas dokternya.
Cassandra memang cantik dan pintar, tetapi bukan untuknya. Maafkan aku, Cas, pikir Devlin sambil memberi Cas senyum miringnya. "Yeah, ada sedikit urusan. Dengan Jean."
"Ah Dev, aku mengerti. Mungkin urusan yang kau maksud adalah mengeceknya apakah dia sudah single atau belum?"
Devlin menyipitkan matanya menilai Cas dengan tajam, nada sarkasme di kalimat Cas membuat tengkuknya dingin. "Apa maksudmu?"
"Tidak ada, kau tidak pernah mencariku kan?" Ada kemarahan di nada Cas dan Devlin menangkapnya jelas. Beberapa orang berlalu lalang di samping mereka dan Devlin merasa ini bukan tempat untuk membahas masalah pribadi.
"Ada tempat dimana kita bisa bicara empat mata? Atau kau memang sengaja ingin semua orang mendengar percakapan kita?" Devlin menantang Cas. Emosinya sedikit terpancing karena Cas tidak memberinya alasan mengapa ia bersikap sinis.
"Ikut aku." Cas mendengus, kemudian ia berjalan menunjukkan arah sementara Devlin mengikutinya. Cas berhenti di meja resepsionis dan berbicara sesuatu kepada petugas yang berjaga. Kemudian Cas lanjut membawa mereka ke lantai dua, dimana kantornya berada. Ia langsung duduk di kursi kulitnya yang empuk dan bersandaran tinggi.
Devlin tidak duduk, tangannya bertumpu diatas meja dan menatap Cas lekat-lekat, "Apa maksudmu Cas? Ada apa? Tidak pernah kau seperti ini?" Devlin bersyukur, perjalanan ke lantai dua telah menetralkan emosinya.
"Oh ya~ tentu, aku selalu baik padamu kan? Sekarang lihatlah sisi diriku yang lain." Cas berkata dengan cuek sambil mengamati kukunya yang terpoles indah.
Devlin berjalan menghampiri Cas dan duduk di pinggir meja di samping Cas, satu kakinya menggantung. Mau tak mau Cas menatap Devlin memberenggut. Mendapatkan perhatian Cas, Devlin berkata, "ayolah Cas, kau bisa ceritakan apa saja padaku dan aku akan menutup mulut. Kau terlibat masalah?"
Cassandra loncat berdiri dan menyemburkan kemarahannya dan kekesalannya kepada Devlin, "Aku sebal padamu Dev! Apakah pertemanan kita bertahun-tahun akan berakhir karena Jean? Kau selalu kemari mencarinya, kau tidak pernah mencariku. Kau tau aku menyukaimu, bahkan mungkin aku jatuh cinta padamu. Tidak bisakah kau juga mencintaiku?" Devlin terkejut mendengar kemarahan Cas. Menurutnya Cas manja, tipikal anak tunggal yang mewarisi semuanya. Devlin tidak menyukainya--sama sekali sekarang, tetapi ia tidak menyuarakan pikirannya. Devlin menatap Cas datar dan membuat Cas semakin gusar.
"Kau tau Jean sudah bertunangan dan tidak ada--kuulangi--tidak ada harapan bagimu atau dia untuk bersama. Kenapa kau terus mencarinya?" Cas berhenti. Lalu ia melanjutkan dengan suara lirih, "Apa yang harus aku lakukan Dev supaya kau mencintaiku?" Mata Cas mulai meremang, sebulir air matanya jatuh dan kemudian dia terisak.
Devlin masih duduk di pinggir meja Cas ketika Cas menyandarkan kepalanya ke dada Devlin. Devlin tidak tau apakah ini saat yang baik untuk menolak Cas, sekalian saja patahkan hatinya ketika Cas sedang bersedih.
Tangan Cas menangkup wajah Devlin dan sebelum Devlin dapat menghindar, Cas mencium bibirnya. Mereka tidak mendengar pintu diketuk cepat, mereka tidak mendengar seseorang masuk. Devlin merenggut pundak Cas menjauh dan terkejut Jean berada disana.
Jean seperti terkesima ketika mata Cas dan Devlin menatapnya, "Oh ... aku mau mengantarkan file ini untuk di tanda tangani dr. Cassandra." Jean tersenyum. Getar bibirnya tertangkap mata Devlin. Oh! Sial!
"Kemarikan, Jean." Devlin merasa kata-kata Cas pada Jean ketus, tetapi ia diam. Cas menandatangani dan mengembalikannya ke Jean. "Jangan lupa itu harus di serahkan ke bagian administrasi." Jean mengangguk dan keluar.
"Kurasa kau tidak perlu seketus itu dengan Jean. Dia orang yang baik Cas." Tukas Devlin jengkel. Ia meninggalkan Cas tanpa menunggu komentar Cas. Langkahnya buru-buru menyusul Jean.
Jean berjalan menyusuri lorong lantai empat--bagian adminstrasi--setelah menyerahkan file. Melihat Devlin dan Cas berciuman barusan membuatnya grogi, dadanya sedikit perih seperti tertusuk jarum. Semoga responnya terlihat wajar. Ia dapat merasakan bibirnya gemetar, ia tidak tau apa yang dirasakannya.
"Jean~", Devlin tiba-tiba sudah ada di depannya, menghadangnya. "Aku ingin bicara." Ditatapnya Jean lekat-lekat. Jean menatapnya kosong, lalu melewatinya. "Jean, please ..." Devlin menangkap tangan Jean, Jean berhenti namun tidak membalikkan badan.
"Jean, jangan lakukan itu lagi ... Jangan lari dariku lagi seperti dulu. Kau tidak tau betapa beratnya jika aku harus berbicara mengenai perasaanku sambil menatapmu. Aku tidak sepandai Mike dalam hal ini. Aku bukan Mike." Devlin berbicara pada punggung Jean. Diam-diam ada kelegaan dalam dirinya ketika Jean tidak membalikkan badan dan menatapnya.
"Sewaktu upacara kremasi Mike, aku sudah merangkai kata-kata untuk menjelaskan semua padamu--semuanya. Begitu kau berbalik badan dan menatapku sedih, kata-kata itu buyar. Aku diam dan kau menjadi marah. Ada yang salah denganku, aku tau. Tetapi kumohon kau bersabar, berikan aku kesempatan berbicara." Dilepaskannya tangan Jean dan membiarkan Jean mengambil keputusan, apakah Jean akan mendengarnya ataukah pergi meninggalkannya.
"Maafkan aku." Suara Jean sedikit bergetar. "Bicaralah. Tetapi aku tidak ingin mendengarkan penjelasanmu mengenai kau dan Cassandra. Kau dan Cas masih single, dan apa yang terjadi tadi bukanlah urusanku." Kemudian Jean membalikkan badan. Ia tersenyum datar.
"Boleh kuminta ruang yang lebih private?" Tanya Devlin, hatinya senang Jean tidak memilih meninggalkannya. Ketika Jean menatapnya curiga, Devlin berkata, "aku bersumpah, hanya bicara." Kemudian ia memberikan Jean senyum miringnya.
Devlin mensejajarkan langkahnya dengan Jean, "Kita ke lantai dua, disana ada ruang pantry. Kita bisa bicara disana." Kemudian Jean menghentikan langkahnya dan menatap Devlin. "Hanya masalah penting." Kemudian ia berjalan lagi masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai dua.
"Awh Jean, c'mon... Kau tidak seru!" Komplain Devlin sambil terkekeh ketika lift menutup di depan mereka.
Ruang pantry itu terasa sesak hanya dengan keberadaan Devlin disini. Jean menyalakan lampu dan langsung membuatkan Devlin Americano seperti yang disukainya dan kopinya sendiri. Devlin sedang berdiri disamping jendela, gerimis mulai lebat disertai gemuruh dan kilatan kecil menghiasi pemandangan diluar.
Devlin merasa siap dan percaya diri mengetahui Jean memberinya kesempatan bicara. "Pertama-tama aku minta maaf atas kejadian ... " Devlin berhenti bicara ketika Jean mengangkat telapak tangannya di depan wajah Devlin.
"Aku tidak mau dengar dan kau tidak perlu minta maaf. Lanjutkan."
Ketika Devlin akan membuka mulut, sekelompok suster masuk tanpa mengetuk pintu dan terkejut sendiri mendapati seorang lelaki di ruang pantry. Sosok Jean yang ramping tertutup postur Devlin yang besar dan berotot. Jean mengintip dari bayangan Devlin dan melihat wajah suster-suster muda itu merona seakan-akan sedang bertemu artis, termasuk Dora! Jean menggigit lidahnya.
"Err ... Ladies, maaf ruangan ini sudah terisi." Kata Devlin canggung karena melihat respon mereka.
"Oleh siapa?" Dora menyeruak ke depan jejeran rekan mudanya.
"Oleh aku Dora. Dan dia." Jean berdiri dan keluar dari bayangan Devlin. Terdengar suara Oh~ yang panjang dan itu menggelitik perutnya, membuat Jean senang.
"Kalau begitu kita harus pergi ladies. Hush! Hush!" Usir Dora.
"Dora, boleh kau tinggal disini?" Dora menengok dan menaikkan alisnya. Jean tau Dora merasa terhormat bahwa keberadaannya diperlukan Jean.
"Aku dipihakmu manisku," kata Dora sambil melirik Devlin curiga.
Mereka bertiga duduk dan Jean memperkenalkan, "Dora, perkenalkan ini Devlin Roland. Devlin, ini Deborah--rekan kerjaku." Kemudian Jean membuat gerakan dengan tangan seperti berbisik tetapi dengan suara yang tidak pelan, "dia pacar dr. Cassandra." Devlin memutar bola matanya tidak percaya lalu segera memijat keningnya.
"Ah~ rupanya kau--Devlin the devil." Devlin menaikkan satu alisnya, terperanjat dengan intepretasi Dora. Apa saja yang sudah diceritakan Jean pada perempuan ini?
"Dora, Devlin berkata ada hal penting yang ingin dia sampaikan padaku dan aku mau kau disini ikut mendengarkan." Dora menaikkan pundaknya. "Mulailah Dev."
Devlin meneguk setengah Americano-nya sebelum memulai. "Seharusnya aku tidak boleh membocorkan ini padamu, apalagi pada temanmu ini." Dora langsung menatap Devlin, merasa sedikit tersinggung. "Ini masalah keamanan negara. Kami diberi kabar bahwa sekelompok teroris telah bergerak ke Surabaya dan akan segera melancarkan aksinya. Namun kami belum tau dimana dan kapan.
"Aku ingin Jean tau, karena ... masa lalunya. Aku tidak mau kau shock nanti jika tiba-tiba rumah sakit ini dipenuhi orang luka-luka maupun meninggal, kau mengerti Jean?" Devlin menatap lembut kearah Jean yang menatapnya pucat. Ia meremas tangan Jean untuk memberinya kekuatan.
"Ya, tentu. Terima kasih Dev." Jean menjawab lemah dan mengangguk berulang-ulang.
"Itu saja untuk saat ini. Jika ada update terbaru, kalian akan kukabari." Devlin bangkit berdiri, ditegaknya kopinya. Sebelum meninggalkan ruang pantry itu ia menitip pesan, "Tolong jaga dia, Dora."
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1