Restoran Jepang yang baru buka itu ramai, ia dan James datang sedikit terlambat sehingga harus menunggu di kursi tunggu. James berbicara sebentar dengan penjaga antrian dan tak lama mereka diijinkan masuk. Jean terkesima dengan kemampuan persuasif James.
Mereka diarahkan ke lorong menuju booth dan Jean terkejut ia diarahkan ke booth dimana Devlin berada. Tangan wanita itu berada di dada Devlin, dalam genggamannya, Jean mengalihkan pandangannya ke arah lain sementara tangan James menggenggam tangannya menuntun jalan.
"Hi Cas ... Kau tidak keberatan kami bergabung bukan?" James tersenyum dan langsung duduk di sebelah Setyo lalu mempersilahkan Jean duduk di sebelahnya.
"James! Wah ... tak masalah. Kalau harus ikut diantrian mungkin sudah bukan makan malam lagi bagi kalian. Hari ini melelahkan dan kita butuh stamina untuk besok." Jawab Cassandra riang. "Tapi kita makan yakiniku lhoo?"
"Tak masalah. Jean, kenalkan dr. Cassandra, dia baru bergabung bulan ini." Jean memaksakan senyum dan bersalaman dengan Cas. Cassandra di lain pihak tersenyum lebar sambil menaikkan letak kacamatanya. Jean menilai wanita ini kurang lebih seumurnya dan sangat cantik. Kepandaian terpancar di wajahnya yang periang, pacar Devlin-kah?
Pelayan datang dan meletakkan berbagai macam daging dan beberapa mangkuk bumbu dan sup. James menambahkan lagi beberapa menu untuk dia dan Jean. Sepeninggal pelayan, mereka sibuk memanggang daging tanpa suara.
"Bagaimana acara tadi James? Ada polisi yang memberikanmu saat-saat sulit?" Cas membuka suara memcahkan keheningan sambil membalik-balik daging tanpa tau bahwa Devlin merasa Cas sedang menyindirnya.
Sebelum James dapat menjawab, Devlin berkata, "dr. James, maaf tadi saya agak kasar." Devlin memberikan senyum miringnya yang tidak terlalu miring yang sebenarnya ditujukan ke Jean. Sebagaimana ia ingin menghindar, karena posisi duduknya di sudut ia tidak punya pilihan lain daripada menatap ke posisi Jean di samping lorong.
Jean menatap piringnya terus menerus, entah apa yang dipikirkannya. Ketika ia berbicara barulah Jean menatapnya dan seperti sensasi minum soda, seakan-akan ada semut-semut menjalar dari leher menuju kupingnya. Rasa senang yang aneh menjalarinya.
"Tak masalah err ... Devlin kan, boleh saya panggil Devlin?" Perhatian Devlin kembali tertuju pada James.
"Ya, tentu saja. Setyo, mana piringmu?" Kata Devlin. Devlin memberikan piring Setyo pada Cas. Cas bukannya meletakkan daging yang matang ke piring Setyo alih-alih ia meletakkannya di piring Devlin. Alis Devlin terangkat dan menengok ke Cas dan Cas memberikan senyum terlalu manis ke Devlin sampai kening Devlin berkerut.
James terkekeh dan Setyo cemberut. Jean menatapnya lagi, dan hatinya bersorak sorai. Terlepas dari perasaan apa yang Jean rasakan terhadapnya, persetan! ia ingin menikmati saat ini, saat Jean menatapnya lagi.
Devlin bangun dan meletakkan piringnya yang terisi ke hadapan Jean, "makanlah." Tersenyum miring lagi, kali ini benar-benar senyum miring khas Devlin yang disukai Jean. "Kau tidak bilang terima kasih?"
"Terima kasih." Jawab Jean dengan canggung. Devlin dapat melihatnya jelas, mungkin karena Jean mempertimbangkan perasaan Cassandra terhadapnya. Namun ketika Jean menatap Devlin, waktu seakan berjalan lebih lambat dan ia ingin berlama-lama disana.
"Uenak begini makanan koq nda ada yang makan yo?" Ujar Setyo sambil mengunyah. Devlin ingin sekali menjitak kepala Setyo karena tidak sensitif terhadap situasi saat ini.
Karena piring Devlin diberikan kepada Jean, maka James mau tak mau mengambilkan daging ke piring Cas yang cemberut. Sementara Setyo mengambil sendiri sepuasnya. Suasana hati Devlin sedang senang, ia dan Setyo makan paling banyak. Mereka tambah dua kali total porsi barulah memutuskan untuk berhenti. Kemudian Devlin buru-buru membayar makan malam itu sebelum James mendahuluinya.
Di depan restoran mereka berpisah. Setyo tinggal sambil menunggu jemputan online-nya. Jean menatap Devlin sekali lagi sebelum James mengantarnya pulang. Devlin berdiri diam menatap punggung Jean yang masuk ke Mercedez Benz S class milik James. Hatinya mencelos.
Suara Cassandra membuyarkan lamunannya. "Antar aku pulang ya Dev," pinta Cas dengan wajah memelas.
Devlin terkekeh, "baiklah." Devlin merasa kalau suasana hatinya sedang baik, ia merasa seperti kucing rumahan yang bisa disuruh-suruh. Jika suasana hatinya buruk, siapapun yang mengganggu akan dilumatnya.
Devlin membuka pintu mobil Toyota Veloz putihnya dan mengendarainya menuju rumah Cassandra. Devlin berkendara dalam diam, hatinya hangat dipenuhi pikiran yang membingkai Jean di setiap posisi yang ditangkap matanya. Jean dari samping, Jean dari depan, Jean menatapnya, Jean dengan rambut yang tergerai, Jean dengan baju susternya, Jean ...
"Dev, Jean itu siapa sih?" Tanya Cas membuyarkan pikiran Devlin.
Devlin menghembuskan nafasnya dengan berat. "Tidak bisa kuceritakan. Ceritanya terlalu panjang dan rumit."
Cas terdiam, diujung matanya Devlin menangkap kegelisahan Cas dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jika ia menghiburnya bisa diartikan dia memberi harapan dan itu tidak boleh terjadi.
Mobil Devlin berputar dan masuk ke area pemukiman mewah tanpa pagar dengan lampu taman di kiri kanan jalan dan Devlin bersiul kagum, "Wah, keren banget!"
"Kiri jalan itu Dev, di tikungan." Mata Devlin membesar dengan rasa kagum yang wajar melihat rumah putih yang megah di persimpangan jalan. Bahkan dalam temaramnya lampu jalan rumah itu tampak sangat mewah dan elegan. Desain arsitekturnya minimalis dengan banyak kaca berbingkai coklat untuk pencahayaan alami dan dindingnya yang putih, di beberapa posisi, dihiasi dengan tanaman rambat agar tidak berkesan dingin.
"Bagaimana kau tinggal disini sementara waktumu banyak tersita sebagai dokter?" Devlin menarik tuas remnya dan ikut keluar bersama Cassandra.
Cas tertawa mendengar komentar Devlin. "Itulah sebabnya aku dipaksa orang tuaku segera menikah agar bisa pensiun dini dan memenuhi rumah ini dengan anak-anak." Cas memberikan tampang bergidiknya mengenai ide orang tuanya.
"Jadi, siapakah lelaki yang beruntung itu?" Tatap Devlin dengan senyum miringnya.
"Hmm ... itu, belum diputuskan." Jawab Cas tersipu.
Oh~ Devlin harus pergi dari topik ini atau ia akan terpeleset kedalamnya. "Baiklah. Terima kasih telah mengajakku makan malam. Semoga mimpimu indah." Devlin mengajukan tangannya dan di tangkap oleh kelembutan tangan Cas yang mungil.
Dengan harta sebanyak itu, Cas sebenarnya dapat dengan mudah mendapatkan jodoh, pikir Devlin sambil membuka pintu mobil dan pergi menjauh.
"Terima kasih telah mengantarku pulang, James," senyum Jean. Mereka berdiri di depan pintu apartment studio Jean.
James menangkup wajah Jean dan mencium bibirnya lembut. "Selamat malam Jean." Kemudian memeluknya. Jean ingin segera masuk ke apartmentnya, namun pelukan James terasa hangat dan nyaman. Ia memejamkan matanya.
"Kau sudah putuskan mengenai lamaranku Jean?" Tanya James. "Aku ingin segera membuatnya resmi Jean sehingga tidak perlu khawatir lagi bahwa kau akan diambil orang lain." Jean bergumam tidak jelas. "Aku berjanji tidak akan pernah mengecewakanmu. Selamanya."
"Oh~ Mike ... ," desah Jean. Jean terkejut sendiri mendengar dirinya menyebut nama Mike, wajahnya memucat. Ia juga merasakan tubuh James menegang. Perlahan ia memberanikan diri menatap James. "James, maafkan aku."
James melepaskan pelukannya dan menatap Jean. "Sudah malam, mungkin kau lelah. Masuklah ke dalam." James menatap Jean datar.
Jean berbalik dan masuk ke apartmentnya. Bersandar pada pintu, Jean membayangkan tatapan dingin James barusan dan tubuhnya menggigil.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1