Pintu UGD tedorong kasar membuka dan sepersekian detik empat brankar di dorong masuk secepat mungkin oleh delapan orang paramedis dibantu beberapa perawat cakap. Teriakan alat suntik, penahan sakit dan nama obat-obatan lainnya untuk pertolongan pertama berkumandang di udara sementara salah seorang paramedis berteriak meminta suster menggantikan posisinya untuk pemeriksaan medis tahap kedua. Brankar pasien sudah masuk ke posisi ruangan UGD.
Jean datang dengan cekatan menembus arus berlawanan arah mendekati paramedis. "Kasus kapal meledak?" Matanya yang hitam kelam menatap serius paramedis dan mendapat anggukan sebagai jawaban. "OK. Lisa! Melly! Aku membutuhkanmu disini." Ia berteriak ke beberapa rekan karena empat korban ini perlu diagnosa medis segera sebelum memastikan tindakan apa yang harus diberikan pada masing-masing korban. "Good job. Thanks guys!" Jean menepuk pundak mereka sebelum mengambil alih korban.
Empat lelaki itu di letakkan di ruang UGD yang panjang berisi 12 pasien. Sosok ramping seorang wanita paruh baya datang menghampiri Jean. "Thank God, Dora. Aku membutuhkanmu disini. Ada empat korban kapal meledak, Melly dan Lisa sedang mengambil catatan medis dari yang ini dan itu. Aku akan menganalisa korban yang di ujung, bisakah kau bantu dengan yang terakhir masuk itu?" Tanya Jean kepada Deborah, asistennya.
"Apapun untukmu manisku." Mereka masuk ke masing-masing ruangan yang hanya di tutup tirai kain dan mulai bekerja memasangkan oksigen, menganalisa luka, tensi, pengukuran kadar darah dan lainnya. Deborah yang ramping, walaupun usianya diawal 50 tahun namun merupakan suster berpengalaman yang sangat efisien, tidak kalah dengan para suster muda. Jean sangat menghargai Deborah karena Deborah satu-satunya suster senior yang mendukungnya dari hari pertama ia masuk di RSU Srikana Medika-Surabaya sebagai kepala suster, sementara suster senior lainnya meragukan kemampuan Jean karena faktor usia Jean yang masih muda.
Jean melihat ke papan catatannya, korban kapal meledak yang ditangani Jean bernama Erik--asisten teknisi kapal berumur 19 tahun. Tangan Jean bergerak cepat memasangkan selang oksigen dan infus sementara Erik bergumam tidak jelas. Setelah menggunting-gunting sisa pakaian yang menempel di luka bakar, ia mulai mengamati si korban yang sudah tenang akibat suntikan morphin sebagai penahan rasa sakit. Separuh wajahnya dan bagian depan dari tubuh atasnya hitam dipenuhi luka bakar sementara bagian belakang tubuhnya aman. Jean mulai mencatat diagnosa medisnya seteliti mungkin.
dr. James Lukas--kepala UGD membaca laporan hasil diagnosa suster terhadap para korban kapal meledak dan memutuskan ke empat pasien tersebut harus dipindahkan ke ruang isolasi karena khawatir tendensi terpapar infeksi jika digabungkan bersama dengan pasien lain. Diawasi oleh beberapa dokter ahli--di ruang isolasi--para suster bekerja menguliti bagian kulit korban yang terbakar agar kulit/daging dibawahnya dapat diberikan perawatan untuk menghindari infeksi. Kulit-kulit gosong dan darah menetes di lantai bukanlah pemandangan yang sedap, bahkan Jean yang sudah lama menjadi suster mengernyit merasakan perihnya ketika kulit terbakar itu dilepaskan dari dagingnya. Malamnya, setelah pengobatan dan pantauan kondisi korban stabil, kasus tersebut diserah terimakan ke tim dokter ahli RS untuk ditangani.
"Kau mau kopi Jean?" Tanya James sambil mengejar Jean di koridor. Lorong itu mulai sepi dan dingin pada dini hari seperti ini, hanya beberapa suster jaga yang mereka temui di pos-pos jaga di belakang counter.
Jean menoleh dan tergelak, "hayu lah. Ajakan dr. James siapa yang bisa menolak?" Senyuman Jean disambut seringai dari deretan gigi putih James yang tidak tercela. Ia mengamit tangan Jean dan menumpangkan di sikunya. Rasanya selalu menyenangkan berjalan bersama James sambil diceritakan apa yang sudah dilaluinya hari itu. Tatapan penasaran yang dilemparkan beberapa dokter dan suster jaga yang mereka temui tidak dihiraukan James. Ia tetap menangkup tangan Jean di lengannya sambil melangkah menuju ruang makan dokter di lantai lima.
James menahan pintu sementara Jean masuk ke ruang makan khusus dokter. Ruang berukuran 5x7m dengan enam meja panjang di sisi kiri-kanan itu terlihat luas dan cerah dengan dinding yang di cat putih serta furniture dan vinyl lantai yang bermotif maple. Ruangan makan dokter itu seperti self service counter, dimana sudah disiapkan microwave, toaster, mesin kopi, kulkas dengan berbagai bahan makanan yang dapat diolah sendiri. Jika malas, dokter dapat langsung mengambil cake dan roti yang selalu tersedia di rak snack. Beberapa dokter muda berada di sudut ruangan menonton youtube. Dokter lainnya memilih bermain game agar tetap terjaga. Beberapa lainnya tertidur dengan kepala diatas meja, mungkin karena ruang istirahat dokter sedang terisi.
"Duduklah Jean. Hot latte-kan seperti biasa." James mendahului Jean menuju conter dan mulai sibuk dengan mesin kopi dan piring snack. Jean mengambil tempat duduk yang agak jauh dari dokter lainnya sambil memperhatikan James yang baik hati--begitulah Jean memanggilnya.
Jean baru mengenal James sejak ia masuk sekitar setahun yang lalu sementara James sudah bekerja tiga tahun sebelum Jean masuk. Lelaki dengan raut muka blasteran dan kulit yang membuat para wanita iri telah mematahkan hati banyak suster yang jatuh cinta padanya. Ada chemistry yang kuat antara mereka sehingga kedekatan mereka menjengkelkan beberapa staff lainnya. Ini tentu saja karena James adalah dokter yang selain mempesona ia juga seseorang yang humoris, perhatian, pandai dan single--fansnya pasti banyak. Permasalahannya adalah ia dan James seperti menempel--mereka makan bersama, jadwal jaga yang sama, melalui keadaan darurat bersama, dll sehingga di kacamata staff lain seakan-akan mereka terlibat cinta lokasi. Padahal tidak, menurut Jean. Ia hanya merasa senang dan nyaman dengan James--seperti bersama Mike, pikirnya muram.
Jean menyeruput hot latte-nya perlahan setelah menggigit sepotong muffin yang sudah dihangatkan. Dari balik cangkirnya ia melirik James dan mendapati James sedang menatapnya. Jean tersenyum canggung, "Err ... muffinnya enak. Kau tidak makan?"
"Jean, apakah kau mau menikah lagi?" Jean hampir menyemburkan lagi muffin yang telah di telannya. "Maksudku, kau masih muda, cantik, pintar. Paket yang sempurna. Pasti banyak lelaki yang tergila-gila padamu. Kau jangan marah ya." James memohon.
Jean meletakkan gelas dan menghembuskan nafasnya. Bagaimana ia bisa marah pada James karena jujur? "Aku tidak tau James. Maksudku, aku senang menjadi sibuk sehingga tidak ada waktu untuk memikirkannya. Kenapa kau bertanya? Ada calon yang mau kau kenalkan padaku?" Tatap Jean jenaka.
"Aku." James tersenyum santai, " Kalau aku mengajukan diri, bagaimana?"
Jean yang awalnya terdiam kemudian tergelak, "Kau tidak waras! Kau tidak mungkin tertarik pada seorang janda berumur 26 tahun, James." Jean menyeruput lagi kopinya dan mendapati tangannya sedikit bergetar. Jean berpikir romantisme sudah mati untuknya, namun kata-kata James membuatnya berpikir dua kali. "Kaulah paket yang sempurna James dan kau berhak mendapatkan seseorang yang statusnya lebih baik. Kau terlalu berharga. Really!" Jean menatap James serius.
"Jean, aku serius." Jean merasakan getaran aneh merambat di nadinya ketika James mengamit tangannya. "Menikahlah denganku." Beberapa dokter yang ada disana mulai menengok ke arah mereka.
Diperhatikan seluruh ruangan membuat Jean tidak nyaman. Ia bangun dan meninggalkan meja makan tanpa kata-kata. Dibelakangnya ia dapat mendengar James melangkah cepat menyusulnya ke koridor. Tak berapa lama, ia merasa tubuhnya ditarik masuk ke ruang janitor yang gelap yang pintunya langsung tertutup.
"James, apa yang kau ..." James membungkam Jean dengan menciumnya sekali dan melepaskannya. Jean menelan ludah, bibirnya bergetar. Ciuman itu lembut, tanpa paksaan. Jean menatap James dan melihat keseriusan lelaki dihadapannya.
"Jean, sekali lagi kukatakan aku serius. Bukan masalah status janda atau gadis, seperti kukatakan kau adalah paket yang sempurna dan aku menginginkanmu."
"Aku ... aku tidak tau harus berkata apa James." Bibir James menciumnya lagi perlahan seakan menikmati makanan yang lezat. Lagi dan lagi, sambil tangannya mendekatkan pinggang ramping Jean dengan rangkulannya ketika Jean merespon ciumannya.
"Katakan 'ya, aku bersedia' Jean, supaya aku bisa membawamu pulang segera."
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1