Prosesi kremasi jenazah sudah mulai dari pagi sampai abu jenazah di taburkan di laut di siang harinya dan dihadiri rekan-rekan seperjuangan Mike, kerabat serta keluarga. Dilanjutkan acara makan siang diadakan di aula yang letaknya sekitar 200m mendaki dari dermaga tepi laut. Sementara denting peralatan makan terdengar sayup dari jauh, Jean berdiri kaku menatap kosong debur ombak dihadapannya. Angin sepoi-sepoi membelai lembut pakaian berkabungnya. Air matanya sudah kering, tidak ada air mata yang menetes hari ini.
Teringat kembali ketika ia siuman dari pingsannya dengan rasa bingung, apakah ia baru saja bermimpi? Wajah khawatir bibinya yang berbicara tak karuan membuatnya pening. Perut bawahnya yang sakit membangunkan ingatannya ke waktu ia mengejar Devlin dan terjatuh. Ia mengingat darah, ia keguguran. Pikirannya berhenti beberapa detik, mencoba mencerna apa yang terjadi. Setelah itu ingatannya berupa samar suara lelaki di telinganya berdoa dan meminta maaf.
Dan hari ini lelaki itu tidak menghadiri prosesi pemakaman teman terbaiknya.
"Jean~", panggil Devlin pelan. Wanita itu tak bergeming sedikitpun. Jean membelakanginya menatap laut. Devlin mendekat untuk mengaskan suaranya. "Jean."
"Pergilah Devlin, pergilah kemanapun. Kau bukan teman baik Mike seperti yang kau bilang, seperti yang Mike bilang." Jean masih tak bergeming, suaranya bergetar.
"Jean, dengarkan aku, aku ... aku minta maaf tidak berada disisimu untuk ... uhm ... untuk menghiburmu."
"PERGI DEV! PERGI!!!" Jean berbalik, wajahnya pucat dan matanya memerah karena menahan tangis. "Kau tidak ada, kau tidak pernah ada!" Jean terisak tanpa ada airmata yang keluar. Jean mendorongnya keras mencoba merobohkannya, namun tubuh Devlin yang tegap tidak bergeming sedikitpun. "Kenapa tidak kau saja yang mati?! Aku tidak mau melihatmu lagi. PERGI!!!"
"Jean, dengarkan aku ..." Devlin menangkap wajah Jean dan menghadapkannya. "Jean, ada hal yang ... " ketika mata mereka bertemu, Devlin tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada kedalaman mata Jean yang terluka. Kata-kata penghiburan yang sudah disusunnya 2 hari ini tiba-tiba menguap.
Jean mendorong Devlin sekali lagi, meloloskan diri dari Devlin dan tangisnya pecah. Ia berlari menjauh dari Devlin yang masih terdiam di tempatnya. Devlin ingin mengejarnya, merengkuh Jean untuk meredakan tangisnya. Namun perasaannya terhadap Jean yang tidak pernah berubah itu membuat Devlin merasa sangat buruk, seakan-akan ia mengambil kesempatan dari kematian Mike.
Devlin hanya bisa melihat Jean terjatuh dan berlari lagi. Lucy dan Diana keluar dari aula mungkin mereka mendengar teriakan Jean padanya. Melihat Jean sudah aman di pelukan Diana sementara Lucy mengurut-urut punggung Jean yang meraung, Devlin berbalik pergi.
Kenapa tidak kau saja yang mati?! Mata Devlin mulai meremang dengan air mata, dadanya terasa sesak. sesampainya di rumah, kata-kata Jean masih terngiang-ngiang dan membuatnya gusar. Ia tidak tau harus marah atau menangis. Tanpa sadar Devlin tertidur, dalam mimpinya ia bertemu Mike dan meninjunya sampai puas. Yeah Mike, kenapa bukan aku saja yang mati?
Devlin terbangun esoknya dengan tubuh bersimbah keringat. Jam 07.00. Ia menyambar handphone di nakasnya dan menekan sambungan cepat ke atasannya. "Capt, aku perlu bicara, bisa bertemu jam 08.30?" Hening. "Baik, jam 09.00 di kantormu. Terima kasih pak."
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1