PAN P.O.V
Dia langsung berlari keluar. Kami semua berdiri seperti orang bodoh. Bingung apa yang terjadi padanya. Apa yang Tim katakan sampai dia jadi seperti itu. Sepertinya aku tidak mendengar Tim berkata macam- macam. Tapi kenapa dia seperti itu.
"Hei bung," panggilku lalu menepuk pundak Tim, "Kau tidak berkata apa- apa padanya kan?"
"Kalian dengarkan aku bilang apa padanya?" Tanya Tim balik, "Sepertinya tidak ada kata- kata menyinggung."
Kami semua mengangguk. Memang benar kata- katanya tidak menyinggung sama sekali.
"Hei," panggil John, "Mau ke rumahku?"
~~~
Kami sekarang berkumpul di rumah John. Ini memang kebiasaan kami. Berkumpul di rumah kami bergantian. Kadang- kadang di rumahku, terkadang rumah Gary dan seperti itulah. Tapi memang paling nyaman itu di rumah John. Karena dia tinggal sendiri di apartemen. Orangtuanya tinggal di luar negri karena bisnis mereka.
Gary sedang memesan makanan. Sementara menunggu makanan kami. Aku mengambil hp dan menelepon Peter.
"Halo?" Jawabnya.
"Hei," sapaku, "Kau sibuk?"
"Sedang dalam perjalanan. Sebentar lagi sampai. Ada apa?"
"Ashelyn baru saja lari keluar. Matanya berkaca- kaca."
"APA?!" Teriak Peter dari sana, "Apa yang kalian lakukan padanya?!"
"Hei... tenang. Kami benar- benar tidak lakukan apa- apa. Tim hanya bilang."
"Apa yang dia bilang?" Geramnya.
"Dia benar- benar tidak bilang apa- apa."
"Apa yang dia bilang?" Geramnya lagi.
"Dia hanya bilang Seberapa beruntungnya dia jika punya anak sepertinya dan dia bilang kalau Ashelyn akan selalu menjadi putri kecilnya."
Peter menghela nafas, "Karena itu..."
"Karena apa?" Tanya kami bingung.
"HEI! MAKANANANNYA SUDAH DIPESAN." teriak Gary dan kami semua langsung menyuruh dia diam.
"Kalian tidak boleh menyinggung soal keluarga dengannya," jawab Peter, "Dia terlalu sensitif mengenai hal itu."
"Kenapa?" Tanya Tim.
"Kenapa?" Tanya Gary, "Siapa? Sensitif tentang apa?"
"Shhh..." kata John.
"Memang kenapa sih?" Tanyaku.
"Karena... yes? Oh alright." Katanya tiba- tiba, "Hei, aku sudah sampai. Aku tidak bisa bicara lagi... kita lanjutkan nanti ya... dadah."
"Daaahh." Kata kami semua. Aku mematikan hubungannya.
"Sedikit lagi," kataku, "Sedikit lagi kita pasti tahu apa alasannya."
"Mungkin memang kita belum ditakdirkan untuk tahu." Balas Tim.
"Hmm..." responku dan menutup mataku.
~~~
"Pan... aku harus pergi," kata anak perempuan di depanku.
"Sampai kapan? Apa kau harus ikut papamu ke luar negeri lagi? Apa aku boleh ikut? Aku tanya papa dulu ya." Tanya aku yang masih kecil.
Dia menggeleng, "Sepertinya kau tidak bisa ikut kali ini."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu," jawabnya, "Tapi kata papa aku harus bilang selamat tinggal padamu karena mungkin kita tidak akan bertemu lagi. Dan kata papa aku harus melakukan ini."
Dia tiba- tiba memelukku. Aku langsung memeluknya balik.
"Kau akan menungguku kan?" Katanya terdengar seperti orang yang menahan nangis. Aku bingung, dia sudah biasa bilang seperti itu setiap kali dia mau pergi jauh. Tapi kenapa kali ini dia menangis? Apa dia benar- benar tidak akan kembali?
"Selalu," dia mengangguk.
"Selamat tinggal Pan..." katanya air matanya mulai mengalir.
Aku merasa kalau mataku mulai berkaca- kaca dan akhirnya tangisanku pecah, "Kau mau ke mana? Jangan... jangan pergi... Jangan tinggalkan aku."
Lalu dia ditarik pergi oleh ayahnya dan aku berteriak sekuat tenaga. Dia juga menangis dan berteriak namaku. Aku berusaha mengejarnya tapi papa menahanku. Dia juga menangis dan berteriak namaku.
"JANGAN!" Teriakku. Aku melihat sekelilingku dan di depanku ada Gary yang sedang memegang pundakku dengan wajah khawatir. Tim dan John juga melihatku dengan wajah sangat khawatir. Ternyata aku mimpi buruk lagi. Memori masa kecilku.
"Hei," panggil Gary, "Kau tak apa bung?"
Aku mengangguk dan menggosok mataku, "Iya aku tak apa... hanya mimpi."
Gary mengangguk, "Baiklah. Ayo kita makan. Makanannya sudah datang."
Aku bangun dari posisiku untuk duduk dan di depanku sudah ada pizza. Aku mengambil sepotong dan memakannya.
"Pan," panggil Tim, "Kau mimpi apa?"
"Iya... sepertinya parah sekali," lanjut John, "Kau teriak- teriak ’Jangan pergi. Jangan pergi’ seperti itu dan kau terbangun sambil teriak ’JANGAN’. Lalu kau berkeringat."
Aku menghela nafas, "Hanya mimpi buruk. Tidak usah dipikirkan."
"Kami tidak memikirkannya," kata John, "Kami hanya sangat amat sungguh penasaran. Jadi kau harus beritahu kami."
"Jika aku cerita kalian pasti akan tertawa," jawabku.
"Astagah..." respon mereka, "Tidak akan. Cerita saja. Tidak akan kami tertawakan."
"Kalian tahu kenapa aku tidak pernah suka dengan perempuan di sekolah?" Kataku dan mereka menggeleng, "Jadi saat aku kecil. Aku punya teman baik seorang perempuan. Tidak ada perempuan yang bisa membuatku merasa seperti apa yang kurasakan dengannya. Tapi suatu hari dia bilang padaku kalau dia akan pergi dan tidak akan kembali. Yang aku mimpikkan tadi itu saat- saat terakhir aku melihatnya. Kau bisa bilang dia itu cinta pertamaku dan kau tahulah. Cinta pertama itu paling susah untuk dilupakan."
"Hah?" hanya itu respon mereka.
"Tapi Ashelyn?" Tanya Tim, "Kau sepertinya tertarik dengannya. Kenapa?"
"Nah itu dia," jawabku, "Aku juga tidak tahu. Tapi ada saja yang sangat familiar dengannya. Jadi aku penasaran."
"Benarkah?" Tanya Gary, "Apa jangan- jangan Ashelyn itu ternyata teman lamamu?"
Aku melihatnya tidak percaya. Apa mungkin? Namanya... juga sama dengan Ashelyn. Tapi... Kami semua bertatap- tatapan selama beberapa saat dan...
"Tidak mungkin," kataku, "Lagipula Ashku tidak mungkin seperti dia sekarang."
"Tunggu," potong John, "Ash? Ashelyn mungkin?"
Wajahku langsung berubah datar lagi. Apa benar? Apa benar Ashelyn itu. Ash yang selama ini... meninggalkanku. Yang selama ini membuatku sedih. Yang selama ini adalah cinta pertamaku?
~~~
Keesokannya saat istirahat. Aku dan teman- temanku mengikutinya ke pohon itu.
"Hei," Panggil kami semua dan dia tidak merespon.
"Uhmm... Ashelyn," panggil Tim, "Maaf soal perkataanku kemarin. Aku tidak menyangka perkataanku akan masuk ke hatimu seperti itu."
Dia membuka matanya dan mengangguk. Aku duduk di sebelahnya dan mengisyaratkan teman- temanku untuk pergi.
"Hei," panggilku, "Boleh aku bertanya padamu?" Dia hanya diam, dia selalu seperti itu jadi aku memutuskan untuk melanjutkan. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Dia melihatku, "Tidak, tidak pernah yang aku ingat."
"Tapi kenapa aku merasa kalau kau sangat familiar?" Tanyaku lagi, "Apa kau yakin kita tidak pernah bertemu?"
"Kalau misalnya kau begitu yakin. Kenapa kau masih bertanya padaku?"
"Aku ingin memastikan. Apa kau tidak pernah merasa kalau kita pernah bertemu?"
"Aku tidak pernah bertemu denganmu, Pan Herrington. Tapi memang benar kau itu sangat familiar."
"Benarkan? Mungkinkah kau dan aku itu doppelganger?"
"Doppelganger? Apa itu?"
"Doppelganger itu kembaranmu. Orang yang sangat amat sepenuhnya mirip denganmu..."
Lalu tiba- tiba dia menjerit. Saat aku melihatnya dia sedang memegang kepalanya, dia terlihat sangat kesakitan. Aku memegang kedua bahunya dan bertanya apa dia baik- baik saja.
"Apa? Apa itu doppelganger?" Katanya tiba- tiba melihatku, "Beritahu aku cepat."
"Doppelganger itu kembaranmu. Orang yang sangat amat sepenuhnya mirip denganmu. Jika kau bertemu dengannya..."
Lalu dia juga ikut melanjutkan kata- kataku.
"Kau akan seperti berkaca." Kata kami berdua.
Aku langsung melihatnya bagaimana dia bisa mengikuti perkataanku sama persis. Benar menurutku. Kita memang pernah bertemu tapi sepertinya kita tidak sekedar bertemu. Aku mulai yakin kalau dia itu Ashku. Karena aku ingat sepenuhnya kalau aku pernah menjelaskan apa itu doppelganger padanya. Dengan kata- kata yang sama.
KAY P.O.V
"Mungkin kita itu doppelganger," katanya.
"Doppelganger?" Tanyaku. Aku merasa kalau kata- kata itu tidak asing, "Apa itu?"
"Doppelganger itu kembaranmu. Orang yang sangat amat sepenuhnya mirip denganmu..." katanya.
Perkataannya terpotong karena aku merasa sangat pusing. Kepalaku seperti tertekan dengan batu yang sangat besar. Aku langsung memegang kepalaku dan kejadian yang sama seperti kemarin terulang.
"Ashhh," kata anak laki- laki kecil itu.
Dia berlari ke arahku yang masih kecil. Aku sedang duduk di teras membaca buku.
"Kau mau tahu tidak?" Kata anak laki- laki itu lalu duduk di sebelahku. Aku menutup bukuku dan melihatnya, mengisyaratkannya untuk melanjutkan perkataannya, "Tadi teman papaku bilang ke papa kalau dia bertemu dengan doppelgangernya."
"Doppelganger?" Tanyaku bingung, "Apa itu?"
"Kau tak tahu?" Tanya dia lalu tertawa.
"Memang kau tahu?!" Balasku, "Kau juga baru tahu tadi kan?"
Tawanya langsung berhenti dan dia menggaruk lehernya, "Eheheheh kok kau tahu?"
Aku memutar bola mataku.
"Jadi doppelganger itu kembaranmu. Orang yang sangat amat sepenuhnya mirip denganmu. Jika kau bertemu dengannya kau akan seperti berkaca."
Lalu kejadian itu hilang begitu saja bersama dengan rasa sakitnya. Lalu saat kesadaranku sudah kembali aku melihat Pan.
"Apa? Apa itu doppelganger?" Kataku, "Beritahu aku cepat."
"Doppelganger itu kembaranmu. Orang yang sangat amat sepenuhnya mirip denganmu. Jika kau bertemu dengannya..."
Lalu aku juga ikut melanjutkan kata- katanya karena aku seperti tahu apa yang akan dia katakan.
"Kau akan seperti berkaca." Kata kami berdua.
Kami berdua saling bertatap. Aku sendiri juga seperti tidak percaya.
"Siapa kau?" Tanyaku.
"Aku?" Tanya dia kembali, "Bukannya aku yang harusnya bertanya?"
"Ashleyn Kay Reshton, itu namaku. Kau itu siapa Pan Herrington? Kenapa kau tampak sangat familiar, di saat aku tidak pernah merasa bertemu denganmu sebelumnya? Dan kenapa semua perkataanmu membuatku melihat kejadian yang tidak pernah terjadi sebelumnya?"
"Hah?" Tanya dia lagi.
"Semua kata- katamu," jelasku, "Aku merasa pernah mendengarnya sebelumnya, tapi aku tidak bisa ingat kapan."
"Ashelyn..." kata dia pelan, "Itu nama teman kecilku. Dia itu cinta pertamaku."