KAY P.O.V
Aku sedang duduk di tempat biasa. Masih memikirkan perkataan Tante dan Paman. Apa itu benar? Apa aku benar- benar pernah hilang ingatan.
Tiba- tiba ada apel di depanku. Saat aku melihat ke pemilik tangan yang memberikan apel padaku. Aku bingung.
"Nih," kata Pan, "Makan."
Aku masih menatapnya bingung tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Kenapa kau malah melihatku," katanya, "Ini. Aku tidak pernah melihatmu makan selama ini. Aku tidak tahu kenapa tapi itu tidak bagus."
Aku mengambil apelnya, "Terima kasih."
"Kita benar- benar ada kemajuan ya," katanya yang membuatku bingung, "Kau mulai meresponku dan membalas omonganku. Bahkan kau mau melihatku sekarang."
Aku mencemooh dan melihat apel yang diberikannya.
"Hey..." katanya, "Ada yang sedang kau pikirkan ya?"
Aku tetap diam. Memutar apelnya dengan tanganku.
"Dimakan. Jangan hanya dilihat," katanya. Aku masih diam tidak mempedulikannya. "Benar- benar ada masalah ya? Kau tahu jika kau mau cerita. Cerita saja akan kudengarkan. Tapi kalau tidak mau juga tak apa aku tidak memaksa. Hanya ingin kau tahu kalau kau punya teman yang akan selalu mendengarkanmu dan tidak akan pernah meninggalkanmu."
Aku mendengus, "Tidak akan pernah meninggalkanku? Semua orang pasti akan pergi. Itu hanya masalah waktu saja."
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Tanya Pan.
"Aku lebih berpengalaman darimu!" katanya dengan nadanya sedikit tinggi, "Apa yang kau tahu tentang ditinggal orang yang paling kau sayangi!"
Wajahnya langsung berubah menjadi sedih, "Kau salah. Aku pernah mengalaminya."
Aku mendengus lagi, "Bisa kupastikan pasti akan kalah dengan pengalamanku."
"Mau coba?" katanya menantang dan aku jawab dengan tatapan menantang juga. "Waktu aku kecil. Aku punya teman baik, perempuan. Saat aku kecil, mungkin aku belum mengetahuinya tapi aku yakin dia itu cinta pertamaku. Pada suatu hari dia bilang padaku kalau dia akan pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali. Itu terakhir kali aku bicara dan bertemu dengannya karena dia benar. Hari seterusnya aku tidak pernah bertemunya lagi," dia terdengar sangat sedih. Lalu dia mengambil nafas panjang dan berbicara lagi. Sekarang suaranya kembali normal, "Jadi maksud ceritaku adalah... aku ditinggal oleh cinta pertamaku. Apa yang terjadi padanya kau bertanya? Aku sendiri tidak tahu. Orangtuaku bilang kalau dia pindah rumah. Jadi aku tidak bisa ke rumahnya. Dia juga mungkin alasan kenapa aku tidak pernah suka pada perempuan lain. Perasaanku padanya berbeda dengan perasaanku ke perempuan lain. Belum ada perempuan yang bisa membuatku merasa apa yang kurasakan padanya."
Aku hanya melihatnya matanya berkaca- kaca. Aku bahkan sempat melihat air mata mengalir tapi dia langsung mengelapnya dan menarik nafas. DIa langsung kembali normal. Anak ini terus- menerus mengejutkanku. Dia bisa mencintai orang sedalam itu? Sungguh tidak bisa dipercaya.
"Jadi masih bertanya aku tidak pernah merasa kehilangan?" Tanyanya.
"Pengalamanmu masih kalah dengan punyaku." Kataku.
"Oh iya?" Tanyanya.
Aku melihatnya, dan menghela nafas. "Sebenarnya aku terkejut belum ada yang tahu. Tapi seperti kataku tadi. Biarkan saja waktu yang bekerja. Cepat atau lambat semuanya pasti akan terungkap. Aku tidak perlu bercerita. Itu hanya menghabiskan energi." Lalu aku menggigit apel yang dia berikan.
"Akan memakan waktu berapa lama kira- kira?" Tanyanya dan aku mengangkat bahu. "Apa kita akan dekat sebelum waktu itu datang?" Aku mengangkat bahu lagi. "Kau sudah tidak benci denganku kan? Berarti kita bisa jadi teman?"
Sebelum bisa menjawab. Tiba- tiba ada yang berteriak dan menghampiri kami.
"HEI! KALIAN BERDUA!" Kata mereka. "Sedang apa?"
Pan melihat mereka dengan sedikit geram. "Oh... apa kami menganggu saat penting?" Tanya Tim.
"Sangat," Gerutu pan. Dia menghela nafas, "Ada apa?"
Gary menunjukkan kartu yang ada di tangannya. "Ayo kita main. Kami bosan dan yang aku dengar pak Yo tidak akan masuk kelas nanti. Jadi kita akan jamkos sampai pulang."
"Kay kau mau ikut kan?" Tim bertanya dan aku menggeleng, "Eih... kenapa. Ayolah ini akan seru."
"Lebih baik jangan," kat Gary dan mereka semua langsung melihatnya. "Kalian kan tahu ini kartu perusak pertemanan. Kita bahkan belum bisa dibilang berteman dengannya. Kalian ingin kita bertengkar sebelum menjadi teman?"
Aku tertawa kecil tanpa sepetahuan mereka. Ada benarnya juga dia. Aku ingat bagaimana aku bermain kartu ini dengan teman- temanku dan kita selalu ribut.
"Dasar bodoh!" Kata Pan lalu memukul kepala Tim, "Tapi dia ada benarnya. Kay yakin tidak mau ikut?"
Aku menggeleng lagi dan melihat mereka bermain. John mengocok kartu dan mulai membagikannya.
"Di sekolah ini boleh main kartu?" Tanyaku bingung.
"Ohohohoho," tawa Gary sambil menyusun kartunya, "Tidak boleh pastinya."
"Tidak takut disita?" Tanyaku lagi.
"Sudah biasa." Jawab John, "Aku bahkan sudah tidak tahu sudah berapa kartu kami yang disita. Tapi yah... apa itu hidup tanpa sedikit kenakalan?"
"Hm..." responku lalu aku memejamkan mata. Dan beberapa saat kemudian aku mendengar keributan. ’Sudah dimulai’ pikirku. Pertengkaran kartu. Aku tersenyum di benakku. Mendengar mereka memarahi satu sama lain.
~~~
Tiba- tiba aku merasa ada yang mengguncangku.
"Hei," kata orang itu, "Kau tidak mau pulang?"
Aku membuka mataku dan melihat mereka sedang berdiri di salah satu ujung bangku. Lalu aku merasakan di bawah kepalaku ada sesuatu yang empuk dan di bawahku ada yang menutupi kakiku. Saat aku melihatnya, yang ada di kepalaku itu jaket yang sudah dilipat dan yang ada di kakiku juga jaket. aku mengambil jaket yang menutupi kakiku.
"Ini punyaku," kata Tim dan meminta jaketnya dari tanganku dan aku berikan padanya. Sementara jaket yang satu lagi sudah diambil. Jaket itu sudah di tangan Pan.
"Terima kasih," kataku pelan. Aku menggosok mataku lagi dan berusaha mengumpulkan nyawaku. Aku melihat hpku dan mereka benar. Sekarang sudah jam pulang. Aku berdiri dan berjalan kembali ke kelas. Geng Pan mengikutiku di belakang. Mereka sudah seperti bodyguardku.
Saat sudah sampai kelas, aku langsung merapikan ranselku. Memasang headset di telinga lalu langsung berjalan keluar. Aku merasa ada beberapa orang di belakangku dan aku bahkan tidak perlu balik badan karena aku sudah tahu mereka siapa. 3 hari setelah Peter pergi mereka selalu seperti ini. Tidak hanya menemaniku saat istirahat mereka juga mengawalku saat pulang dan juga saat aku datang sekolah. Tidak tahu alasannya kenapa. Saat belum jauh dari kelas, aku membalikkan badan.
"Hei. Kalian ini kenapa sih?" Tanyaku.
"Apa maksudmu?" Tanya Pan dan mereka semua memasang senyuman polos di wajah mereka.
"Kenapa kalian mengikutiku dari... dari sejak lama?!"
"Hanya ingin mengantarmu keluar," jawab Gary.
"Tidak perlu," kataku, "Aku bukan anak kecil yang harus diantar orangtuanya keluar dan masuk kelas."
"Aww..." kata Tim, "Seberapa beruntungnya aku jika punya anak sepertimu."
Beruntung punya anak sepertiku? Kalau saja dia tahu aku anak semacam apa. Kalau saja dia tahu apa yang sudah kulakukan sehingga orangtuaku yang menanggung nasibnya. Aku menutup mata. Berusaha agar kata- katanya tidak masuk ke benakku karena jika aku membiarkannya masuk. Aku akan menangis.
"Kau akan selalu menjadi putri kecilku," kata Tim sekarang mengelus kepalaku. Saat dia bilang kata- kata terakhirnya sudah. Aku sudah benar- benar hancur.
"Ayah Ayah" kata anak perempuan kecil yang sedang berlari ke salah satu sosok yang sangat dia sayangi seumur hidupnya. Dengan gambar dan harapan yang memenuhi tangan mungilnya. Dia berharap kalau ayahnya akan bangga dan rasa lelah yang ayahnya rasakan akan hilang, "Ayah lihat ini, aku menggambar keluarga kita."
"Benarkah?" Tanya ayahnya dengan penuh kasih sayang. Dia menggendong putri kecil yang sangat ia sayangi itu ke pangkuannya, "Biar aku lihat putri kecilku."
Gambar yang ditunjukkan itu gambaran keluarga gadis kecil itu. Ada seorang ayah, ibu, dan dia di tengah- tengah mereka.
"Siapa ini?" Tanya ayahnya. Menunjuk gadis kecil di tengah- tengah.
"Ayaaahh, itu aku." Jawab gadis kecil tersebut dengan polos.
"Eihhh... Putri kecilku tidak sebesar itu. Dia masih sekecil ini." Katanya sambil membuat lingkaran kecil dengan tangannya.
"Ayah..." rengek anak itu, "Aku sudah besar."
"Apa?" Tanya ayahnya kaget, "Kau sudah besar?" Lalu dia menggelengkan kepalanya, "Tidak tidak tidak. Kau tidak boleh tumbuh besar."
"Aku sudah besar ayahhh..." rengeknya sekali lagi.
"Mana biar ayah lihat," kata ayahnya dan mengecek tubuh putrinya itu, "Wah kau benar. Memang kau sudah tumbuh besar. Tapi ingat ini kay."
Anak itu melihat ayahnya dan mendengarnya dengan baik.
"Kau akan selalu menjadi putri kecilku."
Aku tidak kuat aku langsung menyentakkan tangannya dan berlari keluar menuju tante Lydia yang aku tahu sedang menunggu di depan. Saat sudah di mobil aku mengelap air mataku.
"Kau kenapa Kay?" Tanya tanteku dengan nada sangat khawatir, "Siapa yang membuatmu menangis?"
Aku menggeleng. Aku mengambil nafas panjang dan melupakan segalanya. Sekarang aku sudah kembali seperti biasa. Yah... sudah jadi kebiasaanku bersedih hanya untuk sesaat. Sepertinya karena kejadian orangtuaku dan adikku tidak ada yang bisa membuatku lebih sedih lagi.
"Kay beritahu tante," kata tanteku lagi, "Siapa yang membuatmu menangis?"
Aku menggeleng lagi, "Tidak ada. Sudah aku bilang. Hanya ingat ayah..."
Tanteku mengangguk, "Kau merindukannya?"
"Setiap saat."
Tante berbalik dan menyetir mobilnya, "Mungkin aku bisa membuatmu lebih baik. Ada kejutan untukmu di rumah."
~~~
Saat aku membuka pintu rumah, ada yang langsung loncat ke tubuhku. Pan dan Rein, kedua anjing kesayanganku. Mereka itu sama- sama anjing spesies golden retriever. Mereka harus dititipkan di dokter untuk 1 bulan karena Rein akan melahirkan. Sekarang mereka sudah kembali. Aku benar- benar merindukan mereka.
Aku mengelus mereka dan tiba- tiba aku melihat ada anjing- anjing kecil lagi menghampiriku. Ada 5 anak anjing totalnya, mereka semua mirip dengan Pan dan Rein. Aku langsung membuka mulutku.
"Ini?" Kataku kaget, "Mereka?" Aku mengambil salah satu dari mereka dan melihat Pan dan Rein. Tidak bisa menahan senyuman, "Anak- anak kalian?" Aku meremas yang ada di tanganku. "Mereka terlalu imut. Mirip sekali dengan kalian. Hei ayo kita masuk. Aku sudah duduk di lantai terlalu lama."
Aku berdiri dan masuk ke rumah dengan salah satu anak anjing masih dipelukanku. Semua anjing mengikutiku. Aku duduk di sofa dan meremas anak anjing yang di tanganku, sementara anjing- anjing yang lain berusaha mengambil perhatianku. Aku melihat mereka dan tersenyum. Kali ini aku benar- benar bahagia.
"Jadi," kata tante duduk di sebelahku dan mengangkat salah satu anak anjingnya, "Mereka mengembalikan moodmu?"
Aku mengangguk, "Mereka sudah punya nama?"
"Kau nenek mereka. Kau yang beri nama," jawab tante, "Ayo berangkat."
Aku melihatnya bingung dan dia langsung menjawabku, "Untuk pergi membeli keperluan mereka. Aku belum membelikan mereka apa- apa."
Aku berpikir untuk sebentar karena aku sungguh tidak mau keluar rumah. Kenapa tidak beli online saja pikirku.
Dan tante membaca pikiranku, "Jika kita pesan online akan lama sampainya. Ayo. Mereka anjingmu jadi kau lah yang harus memilih."
Aku mengangguk dan dengan malas berdiri. Aku menaruh anjing yang aku pegang di lantai dan pergi keluar mengikuti tante Lydia.
~~~
Saat aku pulang dari belanja dengan tante. Anjing- anjingku langusng menghampiri kami berdua. Aku langsung ke ruang tamu dan menaruh semua belanjaanku. Aku mengeluarkan 5 kalung anjing untuk mereka. Kami akan pergi ke dokter untuk mengecek mereka. Tapi sebelum itu kami membelikan mereka tanda pengenal.
Aku mengangkat salah satu anak anjing betina, "This little gal is Becky," kataku memberinya kalung pink. Karena aku tidak tahu kenapa tapi aku merasa kalau dialah yang paling feminim.
Lalu aku melihat ada yang menggigit kuping saudaranya. Aku langsung mengangkatnya dan aku terkejut karena dia betina. Betina yang tomboy huh? Aku mengambil kalung berwarna ungu, "Tam."
"Bagaimana dengan yang ini?" Tanya tante mengangkat salah satu anak anjingnya.
"Yang kau pegang itu jantankan?" Tante mengangguk, "Zapp."
"Dia akan mendapatkan yang hijau. Benarkan?" Tanya tante dan aku mengangguk.
Aku menaruh Tam dan menunjuk anak anjing yang lain dan menamai mereka.
Yang paling gemuk dan jantan kunamakan Taffy dan kalungnya merah. Dan yang terakhir Zack paling diam, dia mendapatkan kalung biru.
Aku menaruh mereka semua, dan mereka pergi menghampiri orangtua mereka. Mereka akan menjadi keluarga yang bahagia. Aku tahu itu. Aku akan memberi apa saja agar bisa kembali seperti itu.