Read More >>"> Like Butterfly Effect, The Lost Trail (Bab 10// Tell Me The Truth) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like Butterfly Effect, The Lost Trail
MENU
About Us  

Matahari mulai jatuh ke ufuk barat, warna biru berganti dengan jingga. Waktu pagi hanya kenangan, tak terasa sore sudah tiba.

Sebelum Mia pulang, Hana, Ryan dan bu Ria datang menjengukku. Kondisi di kamarku menjadi ramai dengan kegaduhan mereka.

Aku sudah mendapat kejelasan tentang hari ini dari Mia. Semua penjelasan menjadi masuk akal. Hal yang mengejutkan hanyalah fakta bahwa bu Ria adalah kakak dari Hana.

Akhirnya, aku pun mengerti bagaimana dunia hari ini berjalan.

Hana tahu kalau hari senin pelajaran pertama adalah olahraga untuk kelasku. Fakta itu dia pelajari dari pertemuan kami di ruang UKS. Dia yang sudah membaca pesan di Handphone Ryan langsung menuju lapangan. Diberkati oleh hubungan Hana dan bu Ria, komunikasi mereka pun berjalan sangat lancar.

Di dalam pesan yang kukirim, sudah jelas menunjukkan dimana letak kunci yang tertinggal, tidak sulit untuk menemukannya. Tapi masalah muncul setelahnya, tugas kelas Hana sedikit spesial kali ini, dia tidak bisa izin begitu saja. Sedangkan bu Ria, dia masih punya kewajiban besar sebagai guru. Ini membuat mereka ragu mengantarkan kunci kamarku.

Di saat itulah Hana terpikir untuk meminta Mia menjadi penggantinya. Alamat rumahku sudah diketahui bu Ria sebelumnya, tidak ada masalah jika harus memberi tahu sedikit privasi di saat darurat. Dan yang terpenting, Mia sama sekali tidak keberatan untuk izin hari itu. Tentu saja hal yang mudah jika ada guru yang memihaknya.

Aku tidak tahu bagaimana hubungan Mia dan Hana sekarang. Setahuku, tidak ada kesempatan untuk mereka menjadi dekat. Tapi mengingat Hana yang bisa memikat Ryan, aku menghapus keraguan itu.

Hari ini selesai, semua berakhir bahagia. Setidaknya begitulah yang terlihat.

Sebelum menolong orang lain, tolonglah diri sendiri. Sebelum menguatkan orang, kuatkanlah diri sendiri. Aku tidak bisa menyelamatkan siapapun dan tidak bisa berguna bagi siapapun. Karena masih ada yang harus kulakukan demi diriku sendiri.

Lebih baik bertempur dan kalah dibandingkan lari sebagai pengecut. Kemungkinan untuk menang dari lawan yang kuat memang kecil, tapi tidak nol. Hidup bukan menghitung peluang, melainkan membuat peluang itu menjadi seratus persen.

Aku memang gagal mendapatkan suatu yang kucari, sesuatu yang buruk menimpaku karenanya. Tapi bukan berarti aku harus menyerah.

Kali ini aku melakukannya dengan perlahan, tidak mengorbankan waktu kebersamaan dengan mereka. Hanya sedikit bukti dan aku bisa mengetahui apa yang terjadi. Bahkan, kali ini jauh lebih lancar. Ternyata hukum duniaku berlaku lagi, ketika hal yang tidak kucari malah mendatangiku. Tidak perlu terburu-buru, semua butuh proses dan kesabaran.

Aku tidak ragu meminjam buku-buku yang berkaitan dengan kondisiku, tidak melakukan tindakan bias dan langsung menuju pada titik permasalahan.

Hingga akhirnya datang waktuku untuk menyerang.

Hassan : Ryan, kamu bisa pergi sendiri? Aku ingin bicara

Sekarang aku tahu, Ryan bukanlah tokoh sampingan di kasus ini.

Ryan : Gua gak jamin, tapi kalau bisa gua kabarin

 

****

 

Hoawn...

"..."

Ah, Sial, aku sakit perut.

Bukan panggilan alam, hanya sekedar gangguan pencernaan. Aku tidak tahu ini terjadi pada orang lain atau tidak, tapi inilah yang biasa ku rasakan di pagi hari yang dingin. Udara yang menusuk ke setiap permukaan kulit membuatnya masuk ke sistem pencernaanku. Rasa nyeri dirasakan ketika mereka melewati usus dan keluar sebagai angin buangan atau biasa disebut kentut. Kadang aku juga sulit membedakannya dengan sakit perut asli. Tapi untuk hal seperti ini, gejalanya akan hilang dalam hitungan menit.

Aku tidak tahu seberapa ketat hal yang mengikat Ryan, tapi waktu empat hari itu sudah cukup lama untuk melakukan pengalihan. Aku kesulitan untuk melakukan komunikasi rahasia, Hana sangat peka dan aku tidak mau mengambil risiko dari titik lemahnya. Semua hal yang berkaitan dengan hari ini aku lakukan ketika para wanita tidak ada. Memang cukup mengesalkan, karena Ryan sendiri tidak melakukan hal yang berarti, hampir semuanya aku yang urus.

Tapi ini juga permintaanku, hal yang wajar jika persyaratan tersebut harus kuatasi sendiri. Sangat menyebalkan jika ada orang yang memberi syarat khusus dan memaksa lawan negosiasi untuk memenuhinya.

Hari Minggu tanggal 4 November. Aku ada di rumah kosong, di ruangan yang sebelumnya aku anggap mencurigakan. Seperti yang kusebutkan dulu, ada kursi di tengah ruangan tersebut. Aku duduk di kursi itu layaknya detektif yang menunggu kliennya.

Jam menunjukkan pukul 07:20. Ada sekitar sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan. Aku sendiri menghabiskan waktu dengan membaca buku saku murahan.

Hari ini sudah dipastikan libur, jadi aku memanfaatkannya untuk pengalihan. Bermain dan berbelanja memang merupakan kesenangan wanita. Aku pun membuat acara itu sebagai event utama hari ini.

Tapi tentu saja hanya umpan, alasan sebenarnya adalah Ryan. Aku memasang waktu berkumpul satu setengah jam lebih lama. Dengan ini aku bisa berbicara dengan Ryan di saat para wanita ada di rumah.

Jika aku melakukan perkumpulan biasa, Hana akan mengikuti Ryan. Aku pikir perintah seperti “Jangan ikuti kami” tidak akan diturutinya, itu malah membuat rasa penasarannya memuncak. Maka rencana sederhana inilah yang terbentuk. Aku menyuruh mereka datang tapi di waktu dan tempat yang berbeda.

"Hmn..."

Ternyata buku murahan juga memiliki cerita murahan.

Demamku sudah sembuh sejak tiga hari yang lalu. Aku mulai bersekolah pada hari itu, hari Kamis. Sedangkan staminaku benar-benar pulih sehari setelahnya.

Mia hanya merawatku sehari saja, sisanya aku masih bisa urus sendiri. Jika aku tidak bisa mengatasi ini, hidup mandiri hanyalah angan-angan belaka.

Aku menutup buku kecil tadi, kondisi sekarang malah tidak mendukung. Lagipula, siapa yang datang ke rumah kosong hanya untuk membaca buku. Daripada seperti ini lebih baik aku kembali berpikir dan mengumpulkan konsentrasi untuk nanti.

"...?"

Langkah kaki terdengar dari luar. Aku memperbaiki posisi dan melakukan persiapan untuk menyambut orang itu. Rasanya cukup menegangkan ketika aku melakukan ini, seperti rasa takut kalau timing yang kulakukan akan sangat buruk dan membuat kejutannya menjadi gagal.

Suara pintu terbuka terdengar, cahaya mulai masuk dari pintu tersebut dan seseorang dengan tubuh tinggi ada di baliknya.

"..."

Ryan memandangiku dengan tatapan datar. Tidak mengatakan apapun dari wajah maupun gerak tubuhnya. Sekarang aku bisa mendapatkan bukti jelas lain. Tapi sebelum itu...

Akh...! Aku ingin mati.

Memang ini adalah respons yang sudah kuduga, tapi rasa malunya jauh lebih besar dari dugaanku tadi. Kenapa aku bisa terpikir untuk melakukan hal bodoh seperti ini.

Sesuatu yang menyambut Ryan sekarang adalah aku yang berpakaian layaknya tokoh film superhero. Dengan jaket kupluk yang menutupi kepala, topeng steampunk skeleton dan senjata yang menghiasi punggungku. Aku membuat pose siaga mengangkat senjata ke arah Ryan untuk menyambutnya.

Dari reaksinya tadi, ini sudah mengartikan kalau dia tahu sesuatu seperti ini akan terjadi, atau kemungkinan menyedihkannya, dia sudah terbiasa dengan hal barusan. Karena normalnya orang akan bertanya kewarasan dari otakku sekarang.

Oke, Pecahan puzzle ini sudah lengkap sekarang.

"Jadi, kamu mau ngomong apa san?"

Aku melepas semua atribut mainan tadi. Tepatnya topeng dan senjata-senjata yang kupegang. Untuk jaket, aku hanya melepas kupluknya. Karena selain itu, pakaianku masih normal.

"Oke, aku langsung ke intinya saja. Kamu tahu tentang sinyal Mia kan"

"..."

Ryan bukan tipe orang yang bisa memilih kata-kata. Sesuatu yang keluar dari mulutnya cenderung sederhana atau mungkin memang ada sesuatu yang membuatnya diam. Tapi untuk kali ini...

"Aku anggap jawabannya iya"

"Kalau memang sudah tahu, lu gak usah nanya kan"

Aku memang sudah mengetahuinya, tapi aku juga ingin tahu reaksimu sedikit. Melakukannya dengan sedikit bertahap akan memudahkanku. Tapi kalau memang itu permintaannya, aku akan langsung menanyakan hal yang ganjil.

"Kamu tahu kenapa Mia ngelakuin itu?"

"Lu masih belum tahu san?"

"Dari semua ini, cuman itu yang aku gak tahu. Kamu tahu yan?"

"Yang gua tahu, gak sebanyak yang lu tahu"

Tapi sesuatu yang kamu tahu sudah cukup memasukkan dirimu ke dalam permasalahan ini. Hmn...

"Kalau gitu, kenapa gak ada yang ngasih tahu ini semua?"

"Kalau lu gak tahu, berarti lu gak tahu apa-apa san"

Heh, Sudah kuduga Ryan memang mengetahui sesuatu.

"Aku memang sudah tahu sedikit sih"

Dengan mengatakan itu, aku mengeluarkan secarik kertas dari ranselku. Menunjukkannya pada Ryan dari kejauhan.

"Apaan?"

Aku melangkah ke arah Ryan untuk memberikan kertas tersebut. Kertas resmi dengan cap organisasi kesehatan di dalamnya. Di sana tertulis namaku, beberapa tanggal, nama penyakit, waktu rawat, waktu izin dan lain-lain.

"Itu riwayat kesehatanku"

"Lu ngeretas sistem rumah sakit?"

Rumah sakit yah. Hmn...

"Enggak, aku bukan hacker genius yang ahli komputer yan. Itu aku dapetin dari suster baik hati di klinik sebelah"

"Klinik?"

"Waktu berobat dan masukin data diri di sana, ternyata aku udah terdaftar"

Klinik tersebut memiliki cap sama dengan rumah sakit di sekitar sini, itu berati ada sistem yang sama antara kedua tempat itu. Entah kebetulan atau bukan, tapi aku tidak punya pilihan ketika mencari klinik di sekitar sini. Jikapun bukan hari itu, suatu saat aku akan mengunjunginya.

"Yah, lu memang bukan ahli komputer sih"

Kau terlalu memandang tinggi diriku, kenapa tidak membantah bagian genius-nya juga?

"Kamu lihat, di sana tertulis kalau aku pernah mengalami trauma kepala, tapi anehnya aku tidak mengingatnya"

"Lu cuman lupa saja kan san, lagian tahun di sini nunjukin 2013"

Yah, tepatnya lima tahun yang lalu, ketika aku masih SD kelas enam. Aku juga awalnya beranggapan seperti itu. Jika memang aku hanya benjol di kepala dan aku tidak ingin mengingatnya. Sangat besar kemungkinan kalau aku sudah lupa sekarang. Tapi...

"Apa lagi ini san?"

Aku memberikan kertas berikutnya pada Ryan. Sesuatu yang mirip dengan kertas sebelumnya. Riwayat kesehatan dari rumah sakit lain. Terlihat dari format kolom dan cap yang berbeda dari kertas pertama.

"Di rumah sakit ini aku tercatat usus buntu selama tiga minggu, inilah yang justru aku ingat"

Aku menunjuk data di kertas kedua. Tahun dan bulan aku sakit sama dengan kertas pertama, hanya berbeda satu hari antara usus buntu dan trauma kepala itu.

"Lu beneran gak ngeretas sistem rumah sakit kan?"

"Aku minta baik-baik yan"

Justru karena aku meminta baik-baik hasilnya jadi seperti ini. Jika aku meretas sistem utama, mungkin jawaban asli dengan mudah terlihat.

Di sela-sela izin sakitku waktu itu, aku menelpon ayah dan menyedot informasi darinya. Ayah juga memang mengetahui sesuatu, tapi dia bukan tokoh utamanya. Aku hanya bertanya statusku di rumah sakit kedua, dan inilah yang kudapat.

"Oke, balik lagi. Aku tidak mungkin dirawat dengan penyakit berbeda di rumah sakit berbeda. Kenapa bisa terjadi kontra di sini? Apa rumah sakit berbohong? Mana dari mereka yang benar dan mana dari mereka yang berbohong?"

"Ini pertanyaan san?"

"Ini cuman bentuk penjelasan. Yah, dari mereka ternyata yang usus buntulah yang berbohong, karena aku punya bukti jelasnya"

Aku menyikap rambut poniku ke atas dengan tangan kiriku. Memperlihatkan seluruh sisi kening pada Ryan. Bekas jahitan seperti lilin yang melintang pendek di bagian atas kiri dahi kutunjukkan padanya.

"Bisa saja luka itu lu dapetin waktu kepeleset di kamar mandi"

Jangan seperti itu, ada banyak kematian terjadi di kamar mandi, memikirkannya saja membuatku merinding. Kejadian itu memang mungkin, tapi aku tidak bisa dibodohi semudah itu.

"Aku gak tahu kalau kamu yan, tapi aku bisa bedain luka biasa sama bekas jahitan dari dokter"

Bekas luka ini memiliki sedikit lekuk jahitan dan tonjolan di tengahnya. Lapisan kulit yang terbentuk berwarna sedikit berbeda dari kulit di sekitarnya. Aku membiarkan Ryan sedikit menyentuh luka tersebut dan merasakannya sendiri.

"Kalau kamu mau yang mirip, periksa saja luka sunat yan. Kamu pasti tahu bedanya"

"Oke, gua percaya"

Haha... Aku tidak tahu proses sunat yang dilakukan Ryan. Tapi Jika itu digunting, akan ada bekas yang sedikit mirip.

"Kita lanjut. Jika memang rumah sakit yang mencatatku usus buntu itu salah. Lalu pertanyaannya, untuk apa mereka berbohong?"

"Entahlah"

"Rumah sakit adalah tempat penyembuhan. Jika memang ini keputusan dokter, itu berarti ada hubungannya dengan keselamatan pasien"

"..."

Ryan tidak menjawab apapun. Tapi wajahnya sudah jelas kalau dia mengerti arah pembicaraan ini. Berbeda dengan wajah sebelumnya yang sedikit diwarnai kebingungan.

"Trauma mental. Aku mengalami hal semacam itu"

Berbeda dengan penyakit lainnya. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan perasaan. Sangat mungkin jika dokter menyembunyikannya untuk membuatku tenang.

Aku tidak tahu detail dari penyakitku, tapi sesuatu yang mirip adalah PTSD. Aku menemukannya di buku penyakit yang menyebabkan halusinasi. Ternyata sangat sederhana, ini adalah penyakit kejiwaan yang terjadi usai seseorang mengalami trauma fisik. Biasanya dialami oleh orang yang melihat dan mengalami bencana besar.

"Waktu aku dibawa ke rumah sakit pertama, mereka hanya melakukan pengobatan pertama pada kepalaku. Kekurangan tenaga kerja dan peralatan membuatku harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar"

Ini cukup wajar, karena tempatku sekarang cukup terpencil dari pembangunan. Rumah sakit di sini tidak secanggih kota metropolitan.

"Tapi hal mengejutkan terjadi di rumah sakit selanjutnya. Para dokter berbohong kalau aku cuman sakit biasa. Aku yang masih anak-anak gak mungkin curiga kalau itu adalah kebohongan, Tapi..."

Yang membuatku menjadi polos....

"Waktu itu aku hilang ingatan”

Trauma kepalaku adalah penyebab utamanya. Ini masuk akal, karena otak yang mengalami trauma akan kehilangan sedikit banyak kinerjanya, terutama dalam memanggil ingatan jangka pendek. Inilah sebabnya orang yang lupa ingatan masih bisa berbicara, karena itu termasuk dalam ingatan jangka panjang.

“Tapi gak parah, cuman ingatan seminggu. Malah trauma mental yang kuderita lebih mengkhawatirkan. Makanya semua orang menutup-nutupi fakta ini"

Aku masih kebingungan waktu itu. Ayahku hanya bilang kalau itu hanya efek dari obat bius dan sesuatu semacam pengobatan. Ini sangat aneh, aku tidak ingat mereka melakukan tindakan hebat. Waktu itu aku hanya diajak mengobrol dan dilarang keluar. Kenyataan dibalik itu semua adalah mereka yang sedang mengamati perkembangan penyakitku. PTSD adalah penyakit yang dapat membaik tanpa pengobatan apapun.

"Lalu pertanyaan lainnya, kenapa harus usus buntu?"

"Sekarang lu beneran nanya?"

"Kamu sendiri tahu kenapa yan?"

"Entahlah, mungkin mereka cuman ambil penyakit acak buat nutupin itu"

Jika memang seperti itu. Kenapa mereka tidak memberiku vonis penyakit yang lebih ringan untuk menenangkanku? Usus buntu cukup mengerikan jika harus mereka ambil secara acak. Yah, sebenarnya waktu itu mereka hanya bilang kalau aku cuman sakit biasa. Tapi secara dokumentasi normal, aku tercatat usus buntu untuk mereka sebarkan pada sekolah nanti.

"Jawabannya adalah, karena waktu penyembuhanku yang mirip dengan waktu istirahat pasca operasi usus buntu, yaitu sekitar satu sampai tiga minggu. Memang masih banyak penyakit lain, tapi inilah yang mereka dapat. Walaupun aku tidak punya buktinya"

Mungkin mereka juga memilih penyakit ini, karena cukup mudah disembunyikan. Jika mereka memilih penyakit demam tifus, aku sama sekali tidak mengalami demam. Dan jika mereka memilih penyakit trauma fisik lain seperti patah tulang, aku akan mudah menyadari kebohongannya. Usus adalah organ dalam dan sulit untuk dilihat. Mereka menggunakannya untuk membodohiku dan orang lain. Jika aku tahu pada saat itu juga aku mengalami gangguan jiwa, penyakit ini bisa memburuk.

"Terus, gua masih bingung. Kenapa lu bawa-bawa Mia?"

"Mia? Caranya sama kayak tadi"

"Tadi?"

Aku mengambil pistol mainan yang kutaruh barusan. Menutup sebagian muka dengan tangan kiri dan kembali membuat pose layaknya mafia yang mengarahkan targetnya pada Ryan.

Target Lock... Bang!

"..."

Suasana mendadak sunyi. Aku tahu, ini salahku. Dia menatapku dengan pandangan datar lain, alisnya sedikit bergerak seolah mengasihaniku.

Sialan...! Mau dilakukan berapa kali pun rasanya tetap memalukan. Tolong jangan tatap aku seperti itu terus.

"Jadi?"

Ryan mengabaikan tindakanku dan melanjutkan bicara.

"Yak, Hkgmn..."

Aku meletakan kembali pistol itu. Memperbaiki suara dan mentalku karena getaran tadi. Tentu saja tujuanku bukan membuatnya tertawa. Aku hanya berniat untuk mencairkan suasana, tapi gagal karena Ryan tetap menanamkan suasana serius di sini.

"Intinya kayak gitu. Aku gak pernah ngasih tahu hobi kampretku ini waktu SMP, tapi kamu sama Mia sudah tahu"

Hobiku adalah dengan berkhayal menjadi tokoh berkemampuan super. Melakukan pertarungan tak terlihat di kepalaku sendiri, berdandan layaknya karakter game dan melakukan hal-hal tak masuk akal lainnya. Dalam hatiku, aku masih merasa kalau itu keren, tapi hanya untuk diriku. Jika itu terlihat oleh orang lain, kondisinya akan berubah drastis.

"Hmn...."

Ryan sepertinya menyutujui alasanku tadi. Terkadang jawaban kecil seperti itu bisa menjadi petunjuk besar. Walaupun sebenarnya aku punya bukti lain, tapi ini hanyalah sekadar pendapat. 

Mia tidak pernah mengurung dirinya padaku dan Ryan di awal pertemuan. Ini aneh, karena itu bertentangan dengan sikap malu-malu saat bertemu Hana. Tidak mungkin ada seorang wanita yang lebih terbuka pada laki-laki asing. Ini juga menjelaskan kenapa dia bisa sangat akrab bicara denganku di awal pertemuan walaupun aku sendiri tidak merasa begitu.

Tempat-tempat yang ditunjukkan Mia kemungkinan besar adalah tempat bermain kami dulu. Rumah kosong ini adalah markas buatanku sendiri. Penempatan Kursi ini melambangkan bos mafia yang dengan santainya menunggu musuh dari pintu depan. Ada beberapa lambang coretan dari arang di tembok ini. Hiasan jahil anak-anak yang dulu kuanggap keren. Suatu tanda tak masuk akal yang cuman bisa dibaca olehku. Aku tidak tahu dengan tempat lain, tapi inilah sebabnya aku mengalami crash dan halusinasi waktu itu.

Sesuatu yang berkaitan dengan trauma kepalaku ada di tempat-tempat ini. Dan yang terjadi waktu itu adalah katalisasi oleh suara keras petir. Ada kemungkinan aku salah, tapi sejauh ini Ryan masih mengikuti alur mainku.

"..."

Aku memang sedang menjelaskan. Hal yang wajar jika Ryan diam dan mendengarkan. Tapi, diamnya kali ini bukan karena konsentrasi.

"Yan?"

"Oke, lu memang hebat. Terus sudah ini gimana? Lu mau penilaian dari gua? Gua kasih lu seratus nih"

Bukan, bukan itu yang kuharapkan. Penilaian atau pujian bukanlah tujuanku hari ini. Dari awal aku tidak pernah menginginkan posisi sosial yang membuatku dipuja-puja. Aku hanya ingin tahu kebenaran.

"Kayaknya kamu gak pantes jadi guru yan"

"Karena gua gak niat juga"

Aku memasang wajah serius, memperbaiki posisi berdiri tegak dan menatap lurus ke arah orang tinggi di depanku.

"Ryan, Kamu bohong”

Raut wajahnya seketika berubah.

“Ini belum seratus kan"

"..."

Angin sejuk masuk dari pintu terbuka. Rasa dingin terasa oleh tubuhku yang sensitif, tapi suasana yang lebih dingin keluar dari percakapan kami.

Kejam dan tak kenal ampun, Aku terus berbicara tanpa mempedulikan perasaan Ryan sekarang. Tapi bukan berarti aku menyerangnya secara langsung, aku hanya berjalan dan tidak sengaja menginjak kakinya.

"Kita kembali ke awal, kamu tahu kenapa Mia ngelakuin itu?"

Jika memang hanya itu, kenapa Mia ada di sini? Kenapa dia melakukan pencarian sinyal itu?

"Kenapa waktu orang lain menutupi ini, dia malah sebaliknya?"

Apa dia bersuaha membuatku mengingat tragedi itu? Tidak ada untungnya. Hanya kesakitan dan rasa takut yang bisa kudapat darinya. Apa dia membenciku sehingga ingin membuatku tersiksa? Kurasa tidak, dia sama sekali tidak seperti itu, bertentangan dengan semua tindakannya selama ini. Apa dia ingin aku menerima kenyatan? Jika memang itu tujuannya...

"Kenapa cara yang dilakukannya seperti ini?"

Terlalu bertele-tele. Apa maksudnya? Cukup beritahu kalau kita pernah bertemu dulu dan masalah selesai. Bukankah aneh? Dia seakan ingin memberi tahuku tapi di saat bersamaan dia juga mencegahku. Aku tidak mengerti.

"Ryan..."

Kau ini temanku dulu kan? Kita pernah bersama kan? Kenapa hanya Mia? Jika memang benar ada sesuatu yang di balik semua ini. Lalu...

"Apa yang kau lihat dan apa yang aku lupakan?"

Hanya ada satu petunjuk yang tidak bisa kudapatkan, ingatanku. Sesuatu yang sudah lama hilang dan tertimbun oleh memori lainnya. Ada sesuatu di antara ingatanku yang hilang. Aku tidak mengingat Mia sama sekali, sedangkan dia ingat tentang hobiku. Itu berarti, dia hadir di minggu-minggu yang kulupakan.

Ryan kembali tidak menjawab pertanyaanku. Kali ini dia sedikit membuang pandangannya. Kurasa ini sudah jelas. Ryan kamu...

"Bukan enggak tahu, tapi cuman gak mau bilang kan"

"Heh, hampir benar. Bukan gak mau, tapi ga bisa"

Hn? Baru kali ini Ryan mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti. Apa masih ada pintu yang belum terbuka? Masih ada kunci yang tertinggal? Bukankah aneh. Apa masih ada alasan lain untuk melanjutkan sandiwara ini?

"..."

Sejenak aku menunggu perkataan Ryan selanjutnya, tapi sepertinya tidak ada. Apapun alasannya, aku tidak akan mengungkitnya terlalu dalam. Aku yakin kalau Ryan punya alasan tertentu. Hanya saja...

"Apa nanti aku akan tahu, yan?"

"Entahlah, kalau dilihat dari apa yang lu dapat, kemungkinan besar bisa"

Begitu yah.

Memang cukup mengecewakan untuk mengakhirinya dengan kesimpulan ini. Tapi kalau dilihat dari penyakitku, itu bukan sesuatu yang harus diingat. Entah ini keberuntungan atau bukan, hilang ingatan membantu penyembuhan traumaku. Aku bahkan tidak pernah merasakan penyakit itu mengganggu kehidupanku sekarang. Seperti halnya pejalan buta yang melewati rombongan singa. Aku tidak merasakan rasa takut karena tidak melihatnya.

"Hassan, lu sekarang benci sama gua?"

Benci?

"Aku gak pernah benci sama kamu yan"

"..."

"Kenapa? Apa aku harus benci kamu sekarang?"

"Enggak, gak apa-apa"

Kalian memang banyak berbohong tentang ini, tapi itu karena terpaksa. Kenapa aku harus membenci orang yang melakukan hal baik ini? Jika harus ada orang yang disalahkan, itu adalah aku. Sudah banyak beban kuberikan pada kalian semua.

 

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
North Elf
1825      811     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
Dunia Saga
3724      1085     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Melihat Mimpi Awan Biru
3380      1148     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Damn, You!!
2521      898     13     
Romance
(17/21+) Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Arogansinya, sikap dinginnya, atau pesonanya dalam memikat wanita? Semuanya hampir membuatku jatuh cinta, tetapi alasan yang sebenarnya adalah, karena kelemahannya. Damn, you!! I see you see me ... everytime...
Matchmaker's Scenario
791      387     0     
Romance
Bagi Naraya, sekarang sudah bukan zamannya menjodohkan idola lewat cerita fiksi penggemar. Gadis itu ingin sepasang idolanya benar-benar jatuh cinta dan pacaran di dunia nyata. Ia berniat mewujudkan keinginan itu dengan cara ... menjadi penulis skenario drama. Tatkala ia terpilih menjadi penulis skenario drama musim panas, ia bekerja dengan membawa misi terselubungnya. Selanjutnya, berhasilkah...
Life
258      177     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
TENTANG WAKTU
1844      767     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Dimensi Kupu-kupu
11701      2375     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Pelukan Ibu Guru
541      403     0     
Short Story
Kisah seorang anak yang mencari kehangatan dan kasih sayang, dan hanya menemukannya di pelukan ibu gurunya. Saat semua berpikir keduanya telah terpisah, mereka kembali bertemu di tempat yang tak terduga.