Read More >>"> Like Butterfly Effect, The Lost Trail (Bab 3 // The Real Reunion 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like Butterfly Effect, The Lost Trail
MENU
About Us  

Kring, kring.

Aku mendengar dering Handphone-ku, semakin lama semakin keras suaranya. Bukan karena aku menyetingnya seperti itu, tapi karena kesadaranku yang semakin pulih.

"Hgmn ..."

Alarm?

Tidak, bukan. Suara ini adalah ringtone khusus, yang pasti bukan alarm Handphone-ku.

Kring, kring.

Oke, oke.

Aku bangkit dengan sekuat tenaga—karena bagiku memang begitu dan menggambil Handphone yang ada di sebelah kanan.

"Telepon? Ibu?"

Belakangan ini aku belum menghubunginya, kesibukan dan kebingungan menghalangiku berbagi cerita dengannya. Karena Aku ini anak tunggal, akan butuh waktu untuk dia bisa melepasku sepenuhnya.

Aku membenarkan posisi duduk dan bersiap mempersiapkan mentalku untuk bicara dengan ibu, setelah sekiranya sudah baik aku pun menekan ikon jawab.

"Halo bu?"

"Oo, Hassan, kamu sudah bangun? Gimana kabarmu? Sehat? Sekolahnya? Semua lancar saja? Gimana makan-"

Tit.

Sedikit menjauhkan Handphone dari kepala dan dengan cepat mengakhiri panggilan tersebut.

Aku menghela nafas cukup panjang. Persiapan kecil yang kulakukan barusan menjadi sia-sia karena ulahnya. Padahal aku sudah cukup bersemangat barusan, tapi semua hancur begitu saja.

Kring, kring.

Suara telepon susulan terdengar, aku dengan cepat menutupnya kembali.

Kring, kring.

Tapi penelpon itu juga sangat cepat. Beberapa kali aku menutup dan berusaha mematikan Handphone-ku, tapi hasilnya selalu sama. Kecepatan tanganku tidak bisa mengalahkannya.

Ck, dasar keras kepala.

Aku mengaku kalah. Daripada terus melakukan kegiatan tak berguna, lebih baik mengangkat bendera putih dan menjawab panggilan itu.

"Halo yah"

"A, diangkat yah. Woi, woi, Hassan, bukannya gak baik nutup telepon kayak gitu"

"Ayah juga ngapain nelepon pake HP ibu?"

"Haha... soalnya kalau begini kamu bakal ngangkat teleponnya kan, daripada pake HP ayah”

Kalau boleh jujur, itu memang benar. Aku lebih berharap ibu yang menelponku, tapi bukan berarti aku tidak akan mengangkat telepon ayah. Hanya saja, prilakunya yang selalu membuatku gerah, persiapan mental yang berbeda kusiapkan untuknya. Hari ini juga sama, ketika dia menelponku tadi, rasanya menyebalkan. Aku yang mengangkat teleponnya merasa dihianati.

"Yaudah, terus gimana? Ada apa ayah nelpon?"

"Ada apa? emangnya salah kalau orangtua menelpon rindu pada anaknya?"

Ah... Menyebalkan, entah kenapa pilihan kata dan logat bicara ayahku itu sangat memancing perasaan kesal.

"Yah, orang kayak ayah sih seminggu saja sudah lama banget buat gak nelpon. Aku malah ngira ayah masang CCTV di sini"

"Jangan bilang seolah ayah ini protektif, kamu gak inget? Ayah sudah izinin kamu hidup sendiri"

Kata seolah di sana, apa ayah yakin itu kata yang tepat? Kenapa orang yang satu ini tidak pernah sadar?

"Ayah sendiri gimana, memang gak inget? Sudah berapa banyak usaha kulakukan demi izin itu. Alasan yang kubuat sudah seperti skripsi"

"Haha, gak usah lebay, kamu juga belum nyobain bikin skripsi kan"

"Tapi masih lebih mudah daripada yakinin ayah"

Ini hanya perndapat pribadi, tentu saja dia benar tentang aku yang belum pernah membuat skripsi, tapi aku tidak juga tidak bercanda ketika mengatakan hal tersebut. Waktu itu apapun yang kusampaikan selalu dibantah, ayah juga memberi penyelesaian lain yang tidak mengizinkanku untuk hidup sendiri. Aku sudah meminta disekolahkan di SMA kota sejak awal lulus SMP, tapi aku baru bisa mendapatkannya satu tahun kemudian, itu juga karena ibu yang membantu membujuk ayah.

"Hmn... Ayah tuh aneh, kenapa kamu gak suka sama ayah?”

"Sudah jelas karena kelakuan ayah”

“Tapi kan ini normal”

Ah... Sial. Aku mulai kesal.

“Pertama yang harus ayah mengerti, aku ini laki-laki. Sudah berapa kali kubilang, aku juga ingin hidup mandiri"

Pembicaran kami di rumah juga hampir sama. Perhatian ayah cukup tinggi, baik padaku maupun pada ibu. Berbeda denganku, Ibu tidak keberatan dan mengganggap itu biasa.

"Oke, oke, ayah ngerti, tapi setidaknya kamu harus nelpon tiap pagi donk"

"Enggak, enggak, ayah gak ngerti. Itu sudah bentuk perhatian berlebih, akan merepotkan kalau hal itu kulakukan"

Karena aku yakin pembincaraannya akan panjang, membuat banyak waktu terbuang sia-sia.

"Ayah juga kerepotan, belakangan ini ayah susah fokus karena cemas. Ibumu selalu larang ayah buat nelpon, baru hari ini dia izinin"

Jadi itu alasan kenapa ayah tidak menelponku seminggu ini. Maaf bu, aku sepertinya banyak merepotkanmu. Aku bisa membayangkan repotnya ibu yang melarang ayah, tapi... Ini juga salahmu bu, kenapa kau mau menikah dengan orang ini.

"Kenapa ayah ga cari kegiatan lain? Hobi gitu, kali aja bisa bikin ayah tenang"

Belakangan ini aku tak sengaja melihat di sebuah artikel. Rasa rindu pada dasarnya sama dengan rasa ketagihan, ini bisa terjadi karena produksi dopamine pada otak berhenti.

Dopamine adalah hormon yang kita produksi ketika kita merasa bahagia. Pemicu produksi dopamine sangat banyak, salah satunya adalah kehadiran orang yang dicintai. Jika sumber tersebut tiba tiba hilang, maka otak akan berusaha menemukan kembali sumber dopamine tersebut dan rasa rindulah yang terjadi. Tentu saja solusinya tidak selalu pertemuan, jika seperti itu seseorang yang di tinggal mati akan terus mengalami perasaan rindu. Solusi lainnya cukup sederhana, cukup temukan sumber dopamine yang lain.

"Hmn... Hobi yah"

Apa itu sesuatu yang perlu kau pikirkan untuk dijawab?

"Ayah gak pernah main sama orang kantor gitu?"

"Pernahlah, tapi masa iya ayah lupa sama kamu cuman gara-gara maen di luar"

Aku heran, seberaba besar cinta ayah ini pada anaknya? Apa benar dopamine dari kehadiranku jauh lebih besar?

"Ah iya, ayah tahu. Ayah hanya perlu bermesraan dengan ibumu dan membuat adikmu, terus ayah bisa melepasmu"

"Ha?"

"Hn? Sinyalnya jelek san? Ayah bilang, ayah hanya perlu bermesraan dengan ibumu dan-"

"Aku denger yah! Aku cuman gak ngerti aja kenapa ujungnya malah gitu"

"Haha, kamu masih gak ngerti? Ternyata kamu masih anak-anak"

"Aku menyiggung ini karena aku sudah dewasa. Aku tidak mau tahu detail tentang orang tuaku"

"Oke, pokoknya begitu. Tunggu saja tahun depan dan adikmu akan lahir"

"Oi, tunggu yah, aku sudah terlalu tua untuk punya adik dan ibu juga... Yah sudah bukan waktunya lagi"

"Kalau tentang ibumu tenang saja, dia punya stamina yang kuat untuk umurnya, ayah yang jamin"

"Tapi ya-"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, suara putus dari telepon sudah kudengar.

“Huft... Hah...”

Maafkan aku calon adikku, sepertinya kau akan mengalami hal yang berat.

Bukannya aku tidak ingin memiliki adik, tapi jika ini terus dibiarkan akan menjadi buruk. Jika aku sangat menyukai kucing hingga semua kesenanganku berasal darinya, efeknya akan buruk untuk

kedepanya. Ketika kucing itu mati, solusi dengan membeli kucing baru adalah pilihan yang kurang tepat. Mungkin akan baik di awal, tapi itu akan membuatku tidak bisa lepas dari ketergantungan.

“Hn?”

Ringtone dari handphone kudengar kembali, layarnya menunjukkan nama ibu, walaupun aku sudah tahu yang menelepon adalah ayah.

Sekarang apa lagi?

Aku mengangkat dan kembali menjawab telepon itu.

“Halo ya-“

"San! Ayah jadi lupa. Kamu suka adik laki-laki atau adik perem-"

Kali ini aku yang menutup teleponnya, tidak ada niat untukku melanjutkan pembicaraan tidak berguna ini.

Kring, kring.

Tapi sepertinya pihak lawan tidak seperti itu, dengan cepat handphone-ku kembali berbunyi. Aku menutupnya tetapi hal yang sama sebelumnya terulang kembali, handphone-ku seperti terkena virus.

Gah... Seberapa menyebalkannya orang ini?

Aku pun menyerah untuk kedua kalinya. Daripada membuang energi untuk hal tidak berguna, lebih baik mendengarkan ocehannya.

"Apa lagi yah?"

"Haha, tadi ayah bercanda san, kamu main tutup aja"

"Oh... Kalau gitu aku tutup nih, nanti kesiangan"

"Ah, tunggu, tunggu san"

"Ck, Kenapa lagi?"

"Hmn... Yah, kamu tahu... Gimana yah bilangnya?"

"Bilang saja kayak biasa"

"Yah... kamu mungkin bakal susah kalau tiba tiba hidup sendiri. Ayah cuman mau bilang, kalau kamu kurang uang atau perlu alat tambahan, tinggal bilang saja"

Akhirnya, pembicaraan normal.

Aku memang benci mengakuinya, tapi selain sifatnya tadi ayahku adalah orang tua yang baik.

"Gak apa-apa, aku sudah ngitung. Kalau gak ada yang aneh-aneh, uang segitu sudah cukup yah"

"Ya sudah kalau gitu, baik-baik kamu di sana san. Kalau emang gak mungkin setiap hari, setidaknya seminggu sekalilah kamu telepon"

Sebenarnya itu masih cukup merepotkan, tapi tidak apa-apa untuk permulaan. Selang waktu berlalu, dia juga akan terbiasa.

“San?”

"Oke yah, nanti Hassan telepon minggu depan?"

"Oh, tumben kamu nurut"

"Aku masih anak baik yah, terus sebelum ditutup, bisa gak kasih dulu teleponnya ke ibu?"

"Ibu? Ibumu sudah ada dari tadi"

"Hah? Jadi?"

"Ayah me-loadspeaker teleponnya"

"Oi... Ayah gak malu apa?"

Jika pembicaraan tentangku sih tidak apa-apa, tapi tidak untuk telepon sebelumnya. Bukankah itu hal yang memalukan untuk diumbar.

"Kita keluarga san, semuanya terbuka di sini"

Kalau begitu kenapa kau tidak buka sedikit akal sehatmu.

"Halo san? Ini ibu"

Tiba-tiba suara pelepon berubah menjadi wanita. Suara yang lembut, hangat dan membuatku tenang.

"Oh iya bu"

"Tentang adik tadi, ibu juga setuju kok. Jadi, tunggu tahun depan yah"

"He? Tung- bu?"

Untuk kedua kalinya, suara khas telepon tak tersambung kudengar. Apa mereka memang sengaja melakukan ini? Aku kira ibu akan memberiku salam hangat atau kata-kata mutiara. Sedikit kecewa karena setelah seminggu dan hanya satu kalimat terdengar darinya.

Hah... Aku kelelahan dalam arti yang lain.

Ayahku seseorang yang protektif. Waktu aku kecil, aku menganggapnya sebagai perlindungan orang tua yang hebat. Sudah banyak tindakannya yang menyelamatkanku. Tapi seiring pertumbuhanku, aku mulai muak dengan kelakuannya.

Sudah seminggu sejak kepindahanku, sekarang adalah hari senin. Tidak kebanyakan orang yang berangkat lebih pagi, aku yang berjalan kaki tidak akan menemui kemacetan. Seminggu ini aku sudah mendapat hampir semua fasilitas dasar seperti buku paket dan bermacam-macam seragam.

Setelah semua siap aku pun berangkat seperti biasa. Perjalananku sekarang tidak dibarengi rasa canggung. Tiga puluh menit berlalu, tak terasa aku pun sampai di kelas. Tempat dudukku tidak berubah, orang di depanku masih Latif. Kami sudah melewati masa perkenalan, sekarang percakapan kami tidak terlalu kaku.

"San, kamu sudah ada topi?"

"Ada, baju olahraga juga sudah ada"

"Oh ya sudah"

"Emang kalau gak punya mau pinjemin?"

"Bukan aku, tapi emang ada orang lain yang punya banyak"

"Ha? Memangnya dia borong topi atau gimana?"

"Bukanlah, dia suka mulung topi yang ketinggalan"

Aku bisa yakin kalau orang itu laki-laki, dan dari kebiasaannya, kemungkinan dia juga menyimpan banyak pulpen.

Kami yang sudah mengambil topi langsung menuju ke lapangan. Sudah hal biasa jika acara upacara diadakan di hari senin. Semua siswa dikumpulkan dan berdiri mengukuti runtutan acara. Kira-kira Lima belas menit waktuku dihabiskan di sana.

Kembali ke kelas, aku mengistirahatkan tubuhku dari rasa pegal. Walaupun upacara tadi tidak terlalu lama, tapi bukan berarti tidak melelahkan.

Pelajaran selanjutnya adalah olahraga. Latif mengajakku berganti baju bersama laki-laki lain, tapi aku menolak. Bukan karena tidak ingin berkumpul, tapi aku memakai baju rangkap di balik seragamku. Ini bisa menghemat banyak waktu, tidak sampai tiga menit dan aku sudah siap dengan pakaianku sekarang.

Daripada menunggu orang lain berganti baju, aku lebih memilih berangkat lebih dulu.

“Saan...!"

"Hn!"

Baru sesaat aku menunjukkan wajah di lapang, muncul teriakan keras dan panjang memanggil namaku. Di ujung penglihtanku terlihat bu Ria yang melambai-lambaikan tangannya dan sambil membuat wajah gembira.

Keputusan sangat tepat untuk datang lebih dulu, karena akan jauh lebih memalukan jika hal ini dilihat oleh orang lain. Aku lupa kalau dia itu guru olahraga.

Aku melangkah cepat untuk mendekat, mengabaikannya hanya akan memperparah situasi. Kurasa satu dua kata akan kusampaikan tentang ini.

"Kenapa kamu lemes gitu san? Ga sarapan?"

"Bukan bu"

Walaupun sebenarnya aku tidak sarapan berat, tapi bukan itu alasannya.

"Kurang tidur? Duh, kamu harusnya jangan gadang malem senin"

"Bukan juga"

Walaupun sebenarnya aku hanya tidur selama enam jam sehari.

"Terus?"

"Bukannya aku sudah bilang. Jangan terlalu akrab kalau di sekolah bu"

"Hehe, kamu malu san? Gak apa-apalah, kalau di depan orang lain sih ibu bisa jaim kok"

Oke, aku mengerti. Mungkin tadi itu hanya candaan, tapi...

"Kenapa ibu masih pake jas lab waktu ngajar?"

Karena inilah sebab utama aku ingin menjauhimu sekarang, bukankah sudah cukup untuk membodohiku di hari pertama?

"Ck, ck, ck, kamu gak tahu san? Pakaian itu bisa ngubah pikiran orang lho. Selain efek terlihat pintar, Ini juga bisa ngasih kesan wibawa dan rasa percaya diri"

Kurasa itu hanya berlaku baginya.

Secara garis besar, memang benar apa yang dikatakannya, tapi secara keseluruhan pengaplikasiannya benar-benar salah. Istilah Ini dinamakan enclothed cognition, dimana orang-orang cenderung menilai seseorang dari pakaian. Entah kebetulan atau bukan, para peneliti juga melakukan riset dengan jas lab sebagai bahan uji cobanya. Hasilnya, orang yang memakai jas lab memiliki tigkat selektifitas yang lebih tinggi. Tapi untuk bu Ria, keputusan yang salah untuk memakai jas lab. Bukan berarti aku bisa menemukan penggantinya, karena kesalahan di sini ada pada jabatannya sebagai guru olahraga. Bukan kewibawaan, tapi kebodohanlah yang dia pamerkan sekarang. Berpakaian normal dan bersikap tegas saja seharusnya sudah cukup.

Aku tidak tega menyebutkan fakta ini. Lagipula bu Ria sendiri juga percaya diri dengan penampilannya.

"Jadi bu, sekarang kita mau ngapain?"

"Olahraga"

Aku tahu.

"Olahraga apa maksudnya"

"Itu terserah kalian"

"Bebas?"

"Iyah, ibu cuman liatin aja"

Aku mulai ragu, apa benar kalau dia bergelar sarjana?

"Terus ibu gak ngajar gitu?"

"Hehe, jangan gitu donk san. Ibu juga guru, nanti kalian juga ada test di akhir semester"

Setidaknya dia masih menjalankan kewajibannya. Berbeda dengan guru olahragaku di sekolah sebelumnya, setiap pelajaran diisi dengan latihan fisik. Terstruktur dari awal teknik sampai akhir testnya.

"Kalau bebas gitu bukannya susah dimasukin ke agendanya bu?"

"Hn? Kamu sekarang sudah bisa nanya kayak gitu yah"

"O, maaf"

Apa ini tidak sopan? Aku sedikit terbawa dengan suasana barusan.

"Hehe, bukan bukan, Kenyataannya emang pusing juga"

Aku pernah melihat sedikit dokumentasi guru, mereka memiliki sesuatu seperti laporan mingguan berisi kegiatan yang dikerjakan. Akan sulit untuknya jika hal ini dilakukan untuk semua kelas.

"Tapi san, olahraga itu hiburan. Kalau ibu isi sama banyak test fisik kayak di kurikulum, nanti malah ga seru donk"

Aku sedikit terkejut dengan yang dikatakannya, karena itu mungkin benar. Aku dari awal tidak terlalu menyukai olahraga. Alasannya sederhana, karena aku benci kelelahan. Pandanganku tentang olahraga hanya sekadar menggerakan tubuh berlebihan. Sudah lama aku tidak menganggapnya sebagai permainan. Waktu terus berlalu dan entah sejak kapan aku membenci olahraga itu sendiri.

Matahari mulai tinggi. Dipelajaran olahraga kali ini laki-laki bermain sepak bola dan perempuan bermain bola voli atau bulu tangkis.

Aku satu tim dengan latif, atau lebih tepatnya dialah yang membawaku ke timnya. Aku sendiri menolak untuk maju sebagai pemain depan. Aku tidak percaya diri dengan keahlianku, maka posisiku sekarang menjadi kiper.

Latif adalah seorang yang cukup atletis. Diawal sampai dipertengahan permainan dia menguasai bola dengan sangat baik. Aku cukup prihatin karena sangat sedikit bagianku sebagai kiper. Tapi di akhir permainan dia sudah mulai kelelahan. Dribbel-nya menjadi lambat, tendangannya menjadi tak terarah dan larinya menjadi mudah dikejar.

Salah satu pemain lawan membawa bola sampai ke daerah tendangan. Pemain belakang timku mencoba menghadangnya. Pembawa bola itu pun sesaat berhenti bergerak, tapi hanya sementara. Dengan cepat dia melakukan gerakan tipu untuk melewati pemain itu. Sekarang gawang sangat terbuka hanya ada aku dan pembawa bola di sebelah kiriku. Tanpa belas kasih, tendangan kuat langsung dia keluarkan dari sana. Aku dengan spontan menahannya dengan tangan, arah tendangannya tepat ke arah dadaku. Jadi, aku dapat dengan mudah menghalaunya.

Ketidakmampuanku menangkapnya membuat bola tersebut kembali memantul ke sisi kanan gawang. Pemain lain kembali maju dan menendang bola dari arah kananku. Aku yang berada di sisi kiri gawang dengan spontan menggusur kaki kananku untuk menahan bola tersebut.

Srrk... Tapi sayang posisiku terlalu kiri untuk menghadang tendangan itu, kakiku tidak dapat menggapai bolanya. Ini trik mudah untuk mengecoh kiper dengan menyerang di dua sisi.

"Hah... hah..."

Permainan pun belanjut. Aku menanamkan tekad agar hal yang sama tidak terulang. Selama 45 menit permainan berlangsung, tapi pada akhirnya timku kalah. Latif sebagai penyerang tidak dapat mengimbangi semua pemain lawan, ditambah lagi aku yang gagal sebagai kiper membuat lawan bisa mencetak tiga angka.

Setelah pertandingan berakhir kami berkumpul di pinggir lapang sambil betistirahat. Tidak ada hujatan di antara kami, mereka justru membicarakan keunggulan setiap pemain. Bahkan aku, mereka memujiku karena beberapa kali aku bisa menghalau tendangan bola cepat mereka.

Jam olahraga selesai, kami harus masuk ke kelas kembali. Aku juga sudah bisa melihat murid-murid kelas lain mulai menjamuri lapangan. Anak perempuan bahkan sudah mengganti pakaian mereka dan masuk ke kelas.

Pelajaranku selanjutnya dimulai. Aku merasa kelelahan kali ini, jangankan mengikuti pelajaran, menjaga kesadaran saja sudah sulit.

Bel istirahat berbunyi, guru yang bersangkutan juga keluar. Aku menguap besar sambil meregangkan tanganku.

"San, istirahat gimana?"

"Duluan saja tif"

"Gak akan ikut lagi? Kamu emang kemana aja waktu istirahat?"

"Cuman santai-santai aja kok"

"Terserah kamu sih. Kalau kamu cari, aku ada di tempat biasa"

Sampai hari ini, aku masih belum pernah menerima ajakan Latif untuk makan di tempatnya. Walaupun aku tidak pernah ke sana, tapi dia pernah menunjukkan tempatnya. Aku merasa tidak enak karena menolaknya terus menerus, tapi apa boleh buat.

Menunggu waktu yang tepat, aku selalu pergi agar sesedikit mungkin orang berpapasan denganku. Sama seperti siswa lainnya, aku membeli makan dan minum di kantin, hanya saja tempat makannya yang berbeda. Tempat bawah tangga itu menjadi ruang makan siangku selama ini.

"Belum datang yah"

Aku duduk bersandarkan di meja terguling itu sambil menunggu Mia datang.

Setelah kejadian itu, Kami tidak pernah menemukan apapun. Walaupun kami berkumpul bersama setelah pulang sekolah, aku tidak merasa benar-benar melakukan pencarian. Ini lebih mirip seperti piknik, dimana hal yang Mia lakukan hanyalah makan dan berjalan-jalan ke berbagai tempat secara acak. Ada tempat lain yang kami kunjungi seperti danau dengan taman kecil, tempat bermain anak-anak dan rumah kosong. Semua tempat yang Mia tunjukkan pasti sudah usang dan tidak terurus. Di tempat terakhir aku bahkan menolak untuk masuk ke rumah kosong, itu bisa merusak reputasi dan akal sehatku jika harus berduaan di tempat tertutup.

Aku menguap lagi, rasa letih karena olahraga tadi masih kurasakan.

Tentu saja aku mencoba membantu. Semua tentang pencarian sudah kutanyakan, tapi dia malah memberi jawaban aneh. Jika aku bertanya tentang informasi benda itu, dia tidak akan menjawab. Semua jawabannya sangat berbeli-belit, seperti sebuah aturan besar kalau benda itu tidak boleh diketahui. Salah satu kalimat yang kuingat dengan baik adalah “Kalau aku kasih tahu nanti sinyalnya gak ketemu”.

Aku tidak mengerti, tapi aku ingin mengerti.

Walaupun aku sendiri yang bilang kalau waktu kami masih banyak, tapi bukan berarti aku tidak ingin ada kemajuan. Sedikit demi sedikit berbeda dengan jalan di tempat, dan yang kualami ini seperti jalan berputar-putar.

“Kalau memang segampang itu, harusnya sudah ketemu dari dulu” Iya memang, tapi ini sudah bukan sulit ditemukan lagi. Kau ingin aku mencari ikan di palung laut yang tidak tahu bentuk dan cara meacingnya. Petunujuk yang kita punya sangat kurang.

Aku menghela nafas, membersihkan kepalaku kembali, melupakan semua pemikiran memusingkan tadi dan kembali bersantai.

"Kak, sudah duluan yah"

"Bukannya sudah biasa, kelasku kan lebih deket"

"Hehe..."

Dia anak kelas satu, gedung kelasnya terletak paling dekat dengan gerbang sekolah. Tempat ini ada di pojok daerah sekolah yang berlawanan. Berbeda denganku, gedung kelas dua terletak lebih tengah.

"Kak, mau tomatnya?" Ucapnya sambil memperlihatkan tomat di kotak bekalnya.

"Kenapa?"

"Hadiah"

"Kamu cuman gak mau makan itu saja kan"

"Hehe, habis asam"

“Tomat itu bagus lho. Lagian, kalau kamu memang gak suka kenapa kamu masukin tomatnya?"

"Sekarang bukan aku yang buat kak"

Hn? Sebelumnya dia pernah bilang kalau dia membuat bekalnya sendiri. Itu berarti berbeda denganku, dia tidak tinggal sendiri di rumahnya. Tentu saja bodoh, dia kan wanita.

"Ya sudah, mana sini"

Aku mengambil tomat itu dan menaruhnya pada roti makan siangku. Kombinasi yang cukup aneh dengan makanan basah dan asam di taruh di atas roti kering. Ini benar-benar merusak keseimbangan. Tapi aku juga tidak mau memakan tomat bulat-bulat, jadi aku relakan rotiku sebagai penetral.

"Kakak sendiri kenapa terus-terusan makan roti? Makan Roti terus tuh ga sehat lho"

"Karena aku gak bisa masak, dan aku nge-kos sendiri"

Sebenernya aku bisa membuat beberapa sajian mudah seperti mie instan. Tapi itu tidak kukategorikan sebagai memasak.

"Kakak mau aku bikinin?"

"Bekal?"

"Iya"

Ini akan sangat menguntungkan. Nutrisiku akan lebih terjaga, aku juga bisa menghemat uang lebih baik. Tapi...

"Enggak, makasih"

"Kenapa? Kalau nambah satu orang gak beda jauh kok"

"Bukan itu, entar aku malah kelihatan kayak malak adik kelas"

"Ini bekal kak, bukan uang"

"Yah tetep saja"

Ini juga masalah harga diri. Aku ingin mengelola pengeluaranku sampai akhir. Bukan egois karena tidak ingin menerima bantuan, tapi setidaknya berikan satu bulan untukku merasakan perjuangan hidup sendiri.

"Kak?"

"Hn?"

"Kaki kakak kenapa? Berdarah banyak tuh?"

Aku pun melihat kakiku. Posisi duduk sila membuat betis dan mata kaki bagian dalam mengerah keluar dan terlihat olehku.

Uaa... Ternyata memang berdarah.

Karena penasaran, aku menggulung kain celana kananku. Luka lecet tertutup ada di mata kakiku. Mungkin ini terjadi waktu olahraga. Ketika aku menggusur kakiku di lapang, pakaian olahragaku yang bercelana panjang bisa melindunginya sedikit. Tetapi, gesekan yang cukup kuat membuatnya mengalami pendarahan dala-

"Aw, aw, aw, aw, aw..."

Sakit, sakit, sakit. Rasa menusuk dan terkikis langsung kurasakan. Padahal sebelumnya aku tidak merasakan apapun. Ternyata memang benar, luka yang kita tidak sadari tidak akan terasa sakit sampai kita benar-benar menyadarinya.

"Kenapa gak cepet diobatin kak?"

"Aku gak tahu sampai kamu kasih tahu. Aw..."

Menggeram kesakitan, aku berusaha menguranginya dengan menakan bagian tubuah di sekitar luka tersebut.

"Ya sudah ke UKS saja kak"

Aku tidak ingin membiarkan rasa sakit ini terus berlanjut. Menaruh kekuatan di kaki kiri dan dan kedua tangan, aku berdiri tanpa menggunakan kaki kanan. Tapi ketika aku ingin melangkah, tiba-tiba Mia mengambil tangan kananku dan dia gantungkan di pundaknya.

"Mia? Aku bisa jalan sendiri"

"Jangan kak, nanti darahnya makin banyak kalau gitu"

Itu memang buruk, tapi aku membayangkan hal yang lebih buruk jika kita melanjutkan ini. Pundak Mia ada di bawah pundakku, tingginya tidak memungkinkan untuk melakukan itu. Penampilan dan pandangan ke arahku akan hancur. Kita hanya akan terlihat konyol karenanya.

"Mia plis, aku bisa jalan sendiri"

Mia pun melepas tangannya, dia mulai mengerti ketika aku mengatakan apa yang kupikirkan barusan. Memang cukup kejam, tapi inilah kenyataan.

Ada jarak sekitar 150 meter antara tempat bawah tangga dengan ruang UKS. Dan perjalanan ini menjadi lebih lama karena jalanku yang pelan. Sebisa mungkin aku berusaha menghindari perhatian banyak orang dengan menahan jalan pincangku. Mia sendiri mengikutiku dari samping, sesekali ia melihat cemas ke arah lukaku. Agak canggung dan tertekan ketika dia terdiam karena menunggu jalanku yang lambat.

Perjalanan ke UKS sekitar lima menit lamanya. Ada teori dimana waktu terasa lambat ketika kau kesakitan dan terasa cepat ketika kau menikmatinya, sekarang aku dapat memahami apa maksudnya.

Aku melihat pintu UKS tidak terkunci. Mungkin dokter atau perawat akan menyambutku di sana. Jika hanya satu dua ornag, aku tidak keberatan untuk menunjukkan keadaanku sekarag.

Dengan begitu, aku pun tanpa ragu jalan dan membuka pintunya.

"Aa..."

"Hn?"

Jadi, bukan aku saja yang terluka hari ini.

Aku melihat seorang wanita, bukan dokter maupun perawat, melainkan siswa biasa. Seorang gadis SMA dengan kassa dan alkohol di tangannya. Tapi wanita itu tidak sendiri, kedua benda tadi diarahkan pada orang di hadapannya. Aku tidak melihat wajah orang yang terluka itu. Mataku terhalang karena dan tirai kasur UKS yang menutupi setengah bagian tubuhnya dan posisi duduknya yang membelakangiku.

Tapi beberapa saat setelah pintu kubuka, angin besar masuk dari lubang pintu tersebut. Seketika itu juga tirai kasur UKS terangkat, membuat aku melihat orang dibaliknya.

"..."

Ryan?

Sesaat dia melihatku, kali ini tidak ada aura kebencian pada dirinya. Tapi bukan berarti aku akan menghampirinya, kedatanganku sekarang juga bukan waktu yang tepat.

Aku mengambil langkah mundur dan kembali menutup pintuhnya secara perlahan.

"Kok gak masuk ka?"

"Mia, sini bentar"

Aku menggiring Mia ke perempatan lorong, suatu tempat yang menjadi titik buta UKS tersebut.

"Kenapa kak? Kok gak jadi?"

"Tunggu saja sebentar"

"Memang kenapa sih?"

"Intinya kita gak bisa masuk"

“Kenapa? Kalau memang ada orang kan kita bisa permisi saja”

"Tunggu sebentar kan gak apa-apa"

“Hn?”

Mia menatapku, sedikit mengangkat satu aslinya dan memandangku dengan wajah bingung.

“...”

Tapi aku menatap tegas padanya, mengirim sinyal kalau aku tidak bercanda.

“Iya deh, terserah kakak”

Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya.

Karena akan sangat merepotkan. Satu dua kalimat tidak akan cukup untuk membuatnya paham keadaannya di sana. Apalagi memberi tahu tentang perasaan rumit di hatiku sekarang.

Ryan, kenapa kau malah mesra-mesraan dengan gadis? Jadi yang waktu itu apa? Apa masalah yang waktu itu tentang gadis ini? Setelah wajah suram yang kau tunjukan padaku, kondisimu sekarang ini malah membuatku kesal.

Sekitar dua menit waktu berlalu. Aku kembali ke UKS untuk urusan mengambil giliran. Keberadaan mereka berdua sudah tidak ada. Pintu UKS dibiarkan tidak terkunci sehingga aku dengan mudah masuk ke dalam. Kotak P3K juga ditaruh di meja dekat pintu sehingga aku bisa menemukannya dengan mudah. Sudah kuduga Ryan memang bisa mengerti.

Bel masuk sudah dekat, waktu untuk pengobatan lukaku tidak banyak. Aku sendiri tidak peduli dengan detail pengobatan ini, mencegah luka agar tidak bergesekan saja sudah cukup bagiku.

Tepat sekali, seharusnya ini tidak akan memakan banyak waktu.

"Kak, kok nutupnya gak rapi. Nanti sakit waktu dilepas"

Srek.

"Aw..."

Kamu tidak perlu melakukannya. Akibat dari ulahmu, aku sudah merasakan sakit yang kau katakan barusan. Rasanya seperti dikuliti, perekat pada plester menarik lukaku yang masih basah.

"Harusnya tuh kayak gini nih"

Mia mengatur posisi kassanya dan menempelka plesternya kembali.

"Hmn... Tapi kayaknya masih kurang rapi deh"

"Sudahlah, nanti juga dicab-"

Srek.

"Akh..."

Mengulangi langkah tersebut beberapa kali, kegiatan pasang dan cabutnya bahkan membuat lem pada plester menjadi tak berfungsi. Tentu saja dia yang mengetahui itu segera menggantinya dengan yang baru.

"Hn... Kok jadi sebelah sini yang gak ketutup yah"

"Mia, sudah gak ap-"

Srek.

Oke, cukup! Jika sekali lagi dia melakukan ini, aku akan marah.

Aku tahu dia berusaha membantu, tapi hal yang kau lakukan itu cukup menyebalkan dan menguji kesabaran. Apa dia melakukannya tanpa sadar? Seharusnya ini tidak akan sakit jika aku melakukannya sendiri.

"Hm, sip"

Dia mengangguk sambil melihat kassa yang dia pasang, tapi aku menggeleng karena melihat tiga buah kassa yang dia buang karena kegagalannya. Entah itu karena kurang rapi, kurang besar dan salah menaruh plesternya. Apapun itu, aku senang ini bisa berakhir.

Membereskan sisa barang, mengunci pintu dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru. Kami memutuskan untuk kembali sekali lagi dan menghabiskan bekal kami. Memang waktu istirahat sudah menipis, tapi kami terpaksa melakukannya karena barang Mia yang masih tertinggal di sana.

Hn?

Apa ini? Sepanjang perjalanan kami sikapnya jadi sedikit aneh, dia sama sekali tidak menatapku atau lebih tepatnya dia terus menatap ke bawah. Apa dia sadar akan perbuatannya barusan? Memang kuakui kalau yang tadi itu memang sakit, tapi pada akhirnya luka ini disebabkan olehku sendiri. Tidak ada alasan untukmu menyesalinya.

Suara bell masuk terdengar. Sepertinya waktu kami sudah habis.

Beberapa saat setelah itu, muncul barisan murid padat yang lewat di hadapan kami. Mereka berlarian kencang seperti dikejar sesuatu.

"Oi, Mia, awas!"

Posisi kami ada di depan tangga jalur mereka lewat. Dia masih melamun melihat ke bawah. Spontan saja aku melentangkan tangan untuk melindunginya dari barisan murid tadi. Jika dibiarkan, dia akan tertubruk atau setidaknya bersenggolan dengan mereka.

"Hn?"

Apa ini? Lagi-lagi basah.

Kali ini di sikutku. Walaupun sama-sama basah, aku merasakan sensasi yang berbeda, ada sedikit rasa hangat sekrang.

Aku pun melihat sikutku untuk memeriksa.

"..."

Perasaanku sekarang bukanlah ilusi, sikutku benar-benar menyentuh bibirnya. Aku lupa memperhitungkan selisih tinggiku dengan tingginya, tanpa kusadari kalau renggangan tanganku itu sejajar akan dengan mulutnya.

Rasanya memang berat, tapi aku tetap harus menarik tanganku dari wajahnya.

Tatapannya kosong ke depan, aku bisa merasakan rasa shock karena kejadian barusan. Mia sendiri tidak mengatakan apapun, tapi gerak tangan yang dia lakukan setelahnya sangat menyayat hati. Mia memegang mulut dengan ujung jari tanpa mengubah ekspresinya.

"Sorry, tadi gak sengaja"

Beberapa detik sesudah gerak tangannya, gadis itu malah kembali diam dan melanjutkan lamunannya. Aku di sini hanya bisa memandang bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Sebelum aku bisa melakukan tindakan kedua, gadis itu sudah berlari kecil menuju kelasnya.

Aku tidak bisa menahannya karena ini sudah waktunya masuk kelas. Sedikit rasa kecewa kurasakan, aku ingin tahu apa isi lamunan sebelum dan sesudah tragedi itu. Meninggalkanku tanpa kata seperti tadi malah membuatku tidak tenang.

"Hmn..."

Ketika Mia sudah cukup jauh pergi, aku kembali melihat sikut kananku.

Sensasi basah masih kurasakan, perasaan itu masih tersisa walaupun setiap detiknya bisa kurasakan kalau bekas itu mulai mengering.

"Hughn... Ugh... Aghn..."

Mungkin memang terlihat bodoh, tapi inilah yang kulakukan. Aku mencoba menggapai sikut basah tadi dengan mulutku. Berharap bisa sedikit menyentuhnya, aku terus menekan tangan dan mendorong leherku.

"Aghn..."

Tapi bukan sentuhan melainkan keram otot. Aku mencoba berbagai cara, tapi semua itu sia-sia. Ini mengingatkanku tentang artikel kesehatan yang pernah kubaca. Hanya ada 1% orang di dunia yang bisa menjilat sikutnya sendiri.

“Huft... Hah...”

Dan sesaat aku berharap menjadi salah satunya.

****

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
North Elf
1824      811     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
Dunia Saga
3720      1084     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
Melihat Mimpi Awan Biru
3380      1148     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Damn, You!!
2521      898     13     
Romance
(17/21+) Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Arogansinya, sikap dinginnya, atau pesonanya dalam memikat wanita? Semuanya hampir membuatku jatuh cinta, tetapi alasan yang sebenarnya adalah, karena kelemahannya. Damn, you!! I see you see me ... everytime...
Matchmaker's Scenario
790      386     0     
Romance
Bagi Naraya, sekarang sudah bukan zamannya menjodohkan idola lewat cerita fiksi penggemar. Gadis itu ingin sepasang idolanya benar-benar jatuh cinta dan pacaran di dunia nyata. Ia berniat mewujudkan keinginan itu dengan cara ... menjadi penulis skenario drama. Tatkala ia terpilih menjadi penulis skenario drama musim panas, ia bekerja dengan membawa misi terselubungnya. Selanjutnya, berhasilkah...
Life
258      177     1     
Short Story
Kutemukan arti kehidupan melalui kalam-kalam cinta-Mu
TENTANG WAKTU
1844      767     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Dimensi Kupu-kupu
11698      2372     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Rembulan
768      428     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Pelukan Ibu Guru
541      403     0     
Short Story
Kisah seorang anak yang mencari kehangatan dan kasih sayang, dan hanya menemukannya di pelukan ibu gurunya. Saat semua berpikir keduanya telah terpisah, mereka kembali bertemu di tempat yang tak terduga.