Keesokan harinya. Tubuhku mengalami nyeri di berbagai tempat. Pergelangan kaki, paha, pergelangan tangan dan lengan atas, semuanya terasa sakit. Luka-luka lecet yang kemarin tidak aku sadari telah muncul. Rutinitas mandi juga menjadi momok yang mengerikan, membayangkan luka-luka ini terkena air membuatku merinding.
Awalnya aku berpikir ini adalah hukuman dari niat jahat di sikutku kemarin. Tapi setelah dipikir-pikir, ini hanya gejala nyeri otot biasa, trauma yang dialami setelah olahraga berat atau olahraga yang melebihi kapasitas.
Aku tidak mau berakhir dengan bau badan, jadi aku lebih memilih mandi dan menahan rasa sakit ini sesaat.
Gedung kontrakanku punya dua jenis kamar mandi, satu kamar mandi kecil yang menyatu dengan kamar, satu lagi kamar mandi besar di luar kamar. Kamar mandi kecil hanya kugunakan untuk buang air dan mencuci piring, sedangkan yang besar dipakai bersama untuk mandi dan mencuci pakaian. Berhubung belum ada penghuni lain di lantai dua, kamar mandi di sana hanya dipakai olehku sendiri.
Oh, kenapa harus sekarang.
Pintu kamar mandi kubuka, dan aku melihat seekor kecoa menempel di dinding bagian bawah. Kamar mandi besar ini memang sudah lama tak tersentuh, kondisinya cukup kotor ketika pertama aku datang. Aku sendiri tidak ahli dalam bersih-bersih, jadi makhluk kotor tersebut terkadang muncul kembali.
Kecoa itu ada di sebelah kanan ruangan, di bawah kotak alat mandi dan di samping bak air. Aku berjalan dengan perlahan untuk mengambil gayung, berniat untuk menyiram dan membuangnya ke saluran pembuangan.
Oke, tenang...
Makhluk berkulit coklat itu sangat merepotkan, kemampuan yang ada pada dirinya membuatku kewalahan. Walaupun biasanya dia memakan manisan, tapi sebenarnya dia bisa memakan apa saja, bahkan sabun. Kemampuan manuvernya juga luar biasa, makhluk itu cukup cepat untuk bisa mengejarku di ruang sempit. Sangat sulit dibasmi dan tidak boleh di bunuh sembarangan, racun dan cacing di perutnya sangat berbahaya. Jika aku membunuh dengan menghancurkan perutnya, cacing-caing itu akan menyebar mencari induk baru, terutama telapak kaki manusia.
Aku tidak takut, atau memang berusaha tidak takut. Jika kecoa tersebut menyadarinya, dengan spontan dia akan terbang dan menghampiriku. Inilah kemampuannya yang paling merepotkan.
Gayungku sudah penuh terisi air, aku tinggal mencari sudut yang pas agar kecoa tersebut bisa hanyut ke tempat yang tepat.
Mengguyur dengan kasar dari atas ke bawah, lalu diikuti arus menyamping ke arah saluran pembuangan. Aku berusaha membuatnya tetap di bawah agar tidak menggunakan sayapnya.
“Hh...!”
Tapi kecoa tersebut berontak, dia berlari ke arahku secara tiba-tiba dan sangat cepat, sontak saja aku dibuat panik olehnya. Aku melompat ke depan karena kaget, menghindari sergapan makhluk mengkilap itu.
“Ghuak...!”
Pandanganku bergerak cepat, badanku terasa hilang dari alam, untuk sesaat aku tidak dapat mengendalikannya. Tubuhku seperti melayang, atau lebih tepatnya memang melayang, sempat beberapa detik aku merasa kalau aku sudah mati. Pemandangan mataku seketika berganti, sudut pandangnya menjadi di bawah. Hal pertama yang kulihat adalah bak air dan lantai keramik berwarna biru, di saat itulah aku menyadari peristiwa yang menimpaku.
Aku terpeleset oleh siraman airku sendiri, kesalahan terjadi karena aku yang melompat maju bukan mundur, mengijak lantai basah karena aliran air barusan. Satu hal yang terbesit di kepalaku kala itu adalah kecoa. Makhluk itu bisa saja merayapi tubuhku saat ini.
Dengan cepat dan sedikit panik aku menggerakan kepalaku ke arah lain dan berusaha untuk bangkit.
“Ha?”
Tapi hal konyol pun terjadi. Entah sejak kapan ini berlangsung, aku sendiri tidak melihat kecoa tersebut ketika sedang terjatuh. Ketika melihat ke samping kiri, makhluk coklat itu sudah tidak dapat bergerak karena badannya yang terjungkir balik.
Apa ini? Apa dia menghinaku?
Rasanya sangat kesal, aku terjatuh dan berakhir pada posisi yang sama dengan kecoa tersebut. Punggungku menyentuh lantai kamar mandi, begitupun makhluk hina itu. Seperti adegan-adegan di film yang menampilkan jatuhnya kedua tokoh dan berbaring berdampingan. Tapi pada kasusku, begitu menyedihkannya karena partnerku adalah kecoa.
Aku bangkit dari jatuhku, tapi tidak dengan kecoa partnerku. Aku tidak berniat melanjutkan adegan di film tersebut, dimana tokoh yang pertama bangun akan membantu tokoh lain yang masih terbaring. Jika ditanya kenapa, karena partnerku kecoa.
Hmn... Aku akan membuang kecoa ini dengan tanganku sendiri.
Kalimat yang terbesit di kepalaku persis sama dengan apa yang kulakukan nanti. Akan lebih aman jika aku mengambil kecoa tersebut dengan tangan dibanding mengguyurnya dengan air lagi. Tentu saja tidak sembarangan, cara tersebut baru aman dilakukan ketika kecoa sudah terjungkir dan tak bisa bergerak.
Kembali ke kamar kos, aku mengambil beberapa lembar tisu, memungut kecoa itu dan kemudian kubuang ke tempat sampah secara tertutup.
Akhirnya selesai.
Aku tidak tahu cara yang benar membunuh kecoa, karena aku sendiri tidak pernah membunuhnya jika bukan karena terpaksa. Hal biasa yang kulakukan adalah membuangnya, mengusirnya atau membiarkannya pergi sendiri. Jika memang ingin kubasmi, cara paling benar adalah menggunakan pestisida. Daripada membasmi kecoanya, jauh lebih baik untuk kita menjaga kebersihan. Lagipula kemampuan bertahan hidupnya juga sangat hebat. Dia bisa tahan dengan suhu dingin, bisa hidup tanpa nafas selama tiga puluh menit, bisa hidup sebulan tanpa kepala dan bahkan tahan dengan radiasi nuklir.
Rasa lega kurasakan ketika kecoa itu sudah pergi, tapi sesuatu yang buruk kualami selanjutnya. Terbangun dengan kondisi tegang otot saja sudah buruk, sekarang aku harus menanggung sakit karena terpeleset di kamar mandi.
Semua aktifitas yang kulakukan jadi melambat, terutama berjalan. Luka di mata kakiku sudah mengering, tapi pegal dan trauma otot yang kualami cukup parah. Rasa sakit di sekitar luka tersebut membuat pergerakan kakiku dipenuhi penderitaan.
Disetiap langkah perjalanan ke sekolah aku selalu melihat jam di Handphone-ku. Aku terlambat sepuluh menit dari keberangkatanku biasanya. Ini tidak akan membuatku kesiangan, tapi jika aku mundur lima menit lagi, aku akan benar-benar terlambat. Di saat seperti inilah aku ingin memiliki sepeda motor.
Sempat terpikir olehku untuk menyewa ojek, tapi rasa pelit menahanku. Itu kulakukan karena bayanganku tentang berjalan tidak sesakit kenyataannya. Penyesalan memang selalu datang di akhir.
Perjalanku hampir berakhir, satu persimpangan lagi dan aku akan sampai di sekolah. Jalanku sudah stabil. Aku memilih menahan sakit dibandingkan menambah riwayat terlambat hari ini.
"Hah... Hah..."
Nafasku berat. Bukan karena kelelahan, melainkan menahan nyeri. Seteguk air ludah kutelan di sela-sela nafas itu. Ketika melihat garis finish, aku menjadi semangat dan terus berusaha. Walaupun penderitaanku akan bertambah karenanya.
"Lu kenapa san?"
Membalik badanku menuju sumber suara. Hanya ada satu orang yang kutahu memanggilku seperti itu.
"..."
Orang tersebut adalah Ryan, seorang laki-laki bertubuh tinggi untuk orang indonesia. Walaupun sebenarnya aku yang memiliki tinggi 172 sentimeter tidak jauh lebih pendek darinya.
"Kenapa?"
Bukan, bukan itu alasan aku melihat kepalanya. Aku tidak sedang mengukur tingginya, melainkan melihat sesuatu di wajahnya.
"Kamu sendiri kenapa yan?"
Aku melihat kepala bagian kanan Ryan diberi kassa. Tidak sepertiku, lukanya ada di kepala.
"Gak penting san, mending lu urus diri sendiri"
Hmn... Apa alasannya itu sesuatu yang memalukan untuk dijawab? Seperti dia yang tidak sengaja menabrak tiang, dia yang jatuh karena menginjak ujung celananya sendiri, atau bahkan sesuatu seperti gagal menendang bola lalu terjatuh.
Yah, itu hanya terjadi padaku. Mungkin dia punya alasannya sendiri.
Aku sendiri tidak terlalu mempedulikan Ryan dan melanjutkan jalanku. Tapi dia sendiri sudah menanggalkan taringnya, kehangatan kecil bisa kurasakan darinya. Pertanyaan seperti penyebab luka, jenis luka dan akibatnya dia tanyakan. Aku menjawabnya sesingkat mungkin karena jika kujelaskan dengan detail, hal tersebut hanya akan memancing tawa. Setidaknya kehadiran dia sekarang bisa membuatku sedikit lupa akan penderitaanku. Sampai pada saatnya...
"Yan?"
Ryan mengambil posisi di sebelah kanan, menaruh tanganku di bahunya dan sedikit mengangkat mengangkat tubuhku.
"Sampai perempatan depan saja, entar lu jalan sendiri lagi"
Aku sedikit terharu, ternyata bukan aku saja yang menganggap kalau kita ini teman.
Sedikit melemaskan kaki kananku, dia mulai membantu berjalan. Awalnya malah menyulitkan, tapi dengan cepat kami membiasakan diri.
Aku tahu Ryan itu bukan orang jahat, tapi dia juga tidak sebaik ini. Ryan yang kukenal tidak akan melakukan hal semacam ini. Normalnya dia hanya akan menemaniku sepanjang perjalanan, itupun dia lakukan jika hal tersebut tidak akan membuatnya terlambat. Apa benar kalau perubahan ini disebabkan oleh itu?
"Yan"
"Apaan?"
"Cewek kemarin pacarmu?"
“...”
Tidak ada jawaban. Seolah tidak mendengar apapun, pandangannya tetap lurus ke depan. Apa dia merasa terganggu dengan aku yang mencampuri privasinya.
Reaksinya itu sudah menjawab pertanyaanku. Jika itu memang bukan kebenaran, Ryan seharusnya membantah dengan dingin. Tapi sekarang dia malah diam. Jikapun memang gadis itu bukan pacarnya, itu sudah menjelaskan kalau gadis itu spesial.
Kami sampai di perempatan yang dijanjikan, dengan begitu kontrak kami berakhir. Sekarang kakiku tidak terlalu sakit, aku bisa melanjutkannya sendiri. Dia tidak menutup dirinya sekarang, pertemanan kami mulai tumbuh sedikit. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku juga tidak ingin tahu lebih jauh. Sesuatu yang bisa kulakukan adalah mempererat hubungan kami sekarang. Karena itu aku mengajak Ryan untuk bertemu di waktu istirahat nanti.
****
Bel istirahat berbunyi. Hari sekolah berjalan seperti biasa. Hal tidak biasa yang belakangan ini melandaku membuat suasana di kelas menjadi tidak menarik.
"San, sekarang mau ikut gak?"
"Sorry tif, kamu aja"
"Lagi? Seriusan kamu kemana? Masa iya kamu sudah punya pacar, kan baru seminggu”
“Haha... Jangankan pacar, orang yang aku kenal saja masih sekitar kelas ini tif”
“Hn... Atau kamu pindah gara-gara ada pacar kamu di sini?"
"Enggaklah, aku terakhir di sini kan waktu SD, gila saja aku pacaran waktu SD terus LDR-an sampai sekarang"
Memang mencurigakan untuk terus pergi di waktu istirahat, tapi apa boleh buat.
“Aku cuman mau cari tempat sepi saja”
"Oh, ya sudah. Kalau gitu aku duluan yah”
Sekali lagi, aku minta maaf.
Setelah kami berpisah, aku berangkat seperti biasa. Aku dan Ryan memutuskan bertemu di samping kantin. Mungkin dia bisa membantuku dan Mia tentang sinyal itu nanti.
Aku menunggunya sekitar lima menit. Dia muncul dengan seorang gadis yang mengikutinya.
"..."
Wow...
Cantik, walaupun dia punya aura yang berbeda dengan Mia. Dengan postur badan yang tinggi untuk seorang gadis—mungkin sekitar 165 sentimeter, garis wajah yang oriental, hidung mancung, kulit bersih dan... Memiliki tonjolan di tempat yang memang seharusnya muncul. Dia pasti populer di kalangan para pria.
Aku mengarahkan tatapan pada Ryan. Menunggu kata keluar dari mulutnya dan menjelaskan sesuatu tentang ini.
"..."
Tidak langsung menjawab, Ryan memutar kepala ke samping dan mengalihkan pandangan dariku, sangat jelas kalau dia sedang berpikir tentang ini.
"Aku Hana, pacarnya Ryan"
Aku terkejut, Begitupun dengan Ryan. Gadis di belakangnya ini ternyata punya inisiatif. Tapi yang membuatku terheran adalah kalimat barusan yang berupa pengakuan keras. Setahuku wanita adalah makhluk penuh harga diri dan sesuatu yang mereka sebut dengan gengsi.
Aku tidak peduli dengan hubungan mereka atau lebih tepatnya aku sangat bingung bagamana respons yang tepat, jadi aku memilih diam. Sebenarnya aku ingin sekali memukul Ryan, mengucapkan selamat atau sesuatu yang berbau kejahilan, tapi hubungan kami sekarang tidak seakrab itu. Aku masih belum mengerti tentang bagaimana pandangan Ryan tentangku hari ini.
Kami sedikit berbincang, pembicaraan tentang permintaan untuk menemaniku ke tempat bawah tangga kusampaikan. Kesampingkan tentang Hana, Ryan adalah temanku dulu. Aku tidak tahu dia bisa membantu, tapi aku ingin dia hadir. Terlalu lama berduaan dengan Mia di tempat itu merupakan ujian berat.
Tidak lama setelah itu, kami sampai di tempat bawah tangga. Mia sendiri masih belum datang, karena memang dia selalu datang lima belas menit setelah istirahat dimulai.
Aku duduk di tempat sandaran meja terguling, sedangkan Ryan dan Hana duduk di depanku dengan bersandar dinding.
Aku menceritakan rangkuman cerita yang berkaitan. Awal pertemuan dengan Mia, kesepakatanku dengan Mia, ketidakmampuanku mencari sinyal dan sampai akhirnya hari ini.
"...”
Dari awal sampai akhir, hanya aku yang bicara. Suasana begitu hening ketika mulutku berhenti bergerak.
"Kamu dengerin gak yan?" Tanyaku sedikit kesal.
"Denger"
Kalau begitu kenapa kau diam? Memangnya kau pikir untuk apa aku menceritakan ini.
"Jadi gimana?"
"Jangan tanya gua, lu aja gak ngerti"
Ck, tidak berguna.
Tapi apa boleh buat, orang biasa lebih menganggap ini sebagai permainan konyol. Masalah utamanya ada di Mia, lebih cepat dengan menanyakan semua yang dia ketahui lalu menyelesaikannya. Biarpun begitu, entah disengaja atau tidak dia selalu memberi jawaban aneh dan tidak masuk akal lain.
"Hmn... Jadi Hassan tuh kayak gini yah orangnya"
Gadis yang duduk di samping Ryan mulai bicara. Sedikit mencondongkan kepala, dia memandangku dengan pandangan penasaran.
"Aku ngebayangin orang kayak apa yang jadi sahabatnya Ryan, ternyata orang kayak gini bisa akrab sama Ryan"
"Sahabat? Bukan, dia cuman temen biasa"
Karena sepengetahuanku, kami tidak memiliki hubungan seakrab itu. Hanya teman SD yang kebetulan rumah kami sedikit berdekatan.
"Tapi kontak di HP Ryan cuman ada kamu san, pasti bukan teman biasa kan"
"Ha?"
Itu gak mungkin, bagaimana bisa dia bisa hidup tanpa komunikasi dengan orang lain. Jika waktu SD mungkin aku maklumi, tapi itu akan sulit jika dia melaluinya selama lima tahun. Mungkin sebuah candaan untuk sedikit meng-
"Woi Hana, kapan lu buka HP gua?" Potongnya dengan wajah heran sedikit kesal.
"Yan?” Sedikit terkejut, aku mengeraskan suaraku. “Jadi itu beneran?”
"Ck, kalau bener memang kenapa?”
"Yah, Enggak, gak kenapa-napa"
Bukankah itu akan merepotkan, untuk zaman teknologi seperti sekarang hampir semua orang melakukan komunikasi dengan telepon.
Hmn... Tapi...
Tidak menyimpan nomor kontak bukan berarti dia tidak pernah berkomunkasi. Untuk beberapa alasan aku juga melakukan komunikasi tanpa menambahkan orang itu ke dalam kontakku. Walaupun pada akhirnya ada beberapa nama teman SMP di Handphone-ku sekarang. Sangat menyedihkan jika dia tidak punya teman selain diriku. Ryan memang tertutup, tapi dia tidak semengharukan ini. Bisa dilihat dengan keadaannya sekarang, dia sudah punya pacar.
"Tadi tentang Mia"
Hana membuka percakapan lagi.
"Kenapa?"
"Kok kamu mau bantuin dia?"
Jika kau bertanya seperti itu, aku sendiri tidak tahu jawaban tepatnya, semua berjalan begitu saja. Awalnya niatku hanya untuk meminta maaf dan melepaskannya, tapi ketika berhadapan langsung pikiranku jadi kosong. Entah kenapa sesuatu di dalam diriku mengatakan kalau satu-satunya berbaikan adalah dengan membantunya. Aku hanya tidak ingin punya musuh, apalagi karena hal konyol seperti ini.
“Aku juga gak tahu, kalau bisa bantu kenapa enggak?”
Daripada mengatakan alasan rumit, aku lebih memilih menjawabnya dengan singkat.
“Tapi dari cerita kamu tadi. Kamu sempet larang dia, itu kenapa?”
Memang aku yang inisiatif menceritakannya, tapi ini untuk Ryan. Aku tidak berpikir kalau dia juga benar-benar memperhatikan. Rasanya cukup memalukan ketika orang yang baru kukenal sudah mengetahui tentangku lebih banyak.
Aku hanya tidak mau melihat seseorang yang berusaha untuk hal mustahil. Sampai sekarang, sisa pikiran kalau ini hanya khayalan Mia masih ada.
“Mungkin karena dia nyari sendiri, bukannya bahaya?”
"Hmn... Iya sih, sekarang kan banyak kasus kayak penjambretan, perampokan, pembunuhan sama pemerkosaan"
Aku tahu kalau yang dikatakannya itu benar, tapi aku lebih terkejut dengan fakta kalau ada perempuan yang dengan lancar menyebutkan semua itu.
"Terus soal pemerkosaan, aku gak ngerti kenapa laki-laki suka banget sama begituan. Kamu tahu kenapa yan?"
Hah? Pertanyaa apa itu? Ini sudah bukan lagi wanita unik, bukankah aneh jika kau menanyakannya itu? Kau tahu, akan sulit bagi kami para pria untuk menjawabnya.
Ryan melirikku, sangat jelas kalau dia meminta bantuan.
"..."
Tapi aku mengabaikannya. Ini semua di luar kemampuanku.
Dia itu pacarmu dan pertanyaan itu ditujukan untukmu. Carilah jawaban yang selembut mungkin dan selamatkan dirimu sendiri.
"Intinya laki-laki gak bisa hidup tanpa itu"
"Oh gitu, tapi kadang aku liat pelakunya sudah menikah. Apa satu itu gak cukup?"
Ua... Pertanyaan rumit lainnya.
Ryan kembali memberi kode bantuan dan respons yang sama kuberikan untuk kedua kalinya.
Jangan bercanda! Sekalipun aku tahu jawabannya, aku tidak mau masuk ke percakapan gila itu.
"Entahlah, mungkin ada masalah sama istrinya dan kebetulan si korban lengah"
"Hn... Jadi kalau laki-laki selalu dapet pelayanan istri, mereka gak akan selingkuh?"
Aku mengerutkan wajah, berpikir dan mengolah arti kata yang gadis itu ucapkan.
Entah bagaimana dia mengalirkan percakapan ini ke arah itu. Aku juga tidak bisa menjawabnya dengan pasti, bahkan untuk membuat kalimat itu saja aku belum tentu bisa.
Akh... Aku ingin pergi dari sini. Persetan dengan obrolan mereka. Sangat ingin untukku bisa mengabaikannya, tapi posisi mereka yang sangat dekat dan tepat di depanku membuatnya mustahil.
Karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, aku membuka bekal roti dan berharap kegiatan makan bisa membutakanku sesaat.
Mataku memang tidak melihat, tapi indra lainku merasakannya. Ryan kembali mengarahkan pandangannya padaku, tapi aku masih terus mengabaikannya.
Apa dia masih tidak mengerti? Aku tidak ingin ikut campur urusan itu.
"Entahlah, ini mungkin mirip kayak makan. Kalau sudah kenyang pasti berhenti"
"Hmn..."
Hana berhenti bertanya, ekpresinya penasarannya hilang.
"Ryan... Kalau gitu ayo”
“Ngapain?”
“Ayo kita lakuin"
Gukh...!
Aku tersedak, tersedak kebodohannya. Hanya kebetulan saja roti yang membuatku batuk sekarang.
Ada apa dengan gadis ini? Apa dia mengerti apa yang dia ucapkan?
Aku menahan hentakan nafasku sebentar, berusaha mengintip ke arah mereka untuk menganalisis keadaan, tapi sepertinya kehadiranku di sini diabaikan. Ryan dan Hana sama sekali tidak mengnoleh ke arahku yang sedang batuk.
"Hn? Yan?"
Mereka sesaat terdiam, saling bertatapan dengan wajah datar, terutama Ryan. Pria itu tidak menjawabnya dengan mulut, dia malah menghela nafas mengeluh.
“Aw...”
Dan jari tengahnyalah yang berakhir di jidat Hana, Ryan menyentilnya.
"Hana, jangan pernah ngomong kayak gitu lagi"
Apa itu? kau juga Ryan, kenapa kau sangat tenang mengatasi hal ini. Apa ini sudah menjadi rutinitasmu? Ah... Demi apapun, aku benar benar-ingin pergi. Mati saja kau Ryan.
"Hehe, Bercanda kok". Ucapnya dengan santai sambil memegang dahinya yang disentil.
"Candaan mengerikan"
"Hu... Memangnya kamu gak mau?"
"Bukan itu masalahnya, Hah... Hana, kalau gua beneran kelepasan gimana?"
Oi... Ada orang di sini.
Aku berteriak di dalam hati akibat atmosfir ini. Bisakah kalian meninggalkan percakapan ini ketika kalian berdua.
"Tapi kamu gak akan kelepasan kan"
"Yah, memang enggak sih"
"Hehe..."
Hana membuat wajah penuh rasa senang dan puas. Wajahnya memang sudah cukup menarik, tapi ekspresi senangnya sangat hangat. Orang yang melihat akan tergerak hatinya.
Ryan, sejak kapan kamu jadi penakluk cewe. Sihir macam apa yang kau gunakan?
"Kamu gak laper yan? aku ada kue"
Tunggu, apa kalian ingin melanjutkan ini? Berapa banyak garam yang kalian taburkan pada lukaku.
Hana membawa sekotak biskuit buatan rumah, mengambil satu buah dan menawarinya pada Ryan. Tanpa perlawanan, tanpa perkataan, laki-laki bertubuh tinggi itu menerima tawaran kue dari Hana.
Krek. Gigitan pertama Ryan lakukan, suaranya cukup keras sampai terdengar olehku. Mungkin kue itu memang cukup renyah.
"..."
Suasana menjadi hening. Ryan tidak melanjutkan makannya dan Hana tidak mengatakan apapun. Aku sendiri terbawa suasana sehingga memperkecil suara makanku.
"Ini sengaja kan?"
"Kenapa? Gak enak?"
"Lu sudah tahu kan, gak mungkin kue asin tuh enak"
Jadi kue itu asin? Ini seperti kisah klasik yang sering kudengar.
"Hehe, bukannya romantis kalau kamu makan masakan aku yang apa adanya"
"Bukan berarti bisa seenaknya aja, gua bisa mati keasinan. Terus, bisa gak berhenti senyum-senyumnya"
Hana memasang berbagai senyum di tengah Ryan bicara. Jujur saja, aku pun akan kesal jika ada di posisi Ryan.
"Hu... Kamu tuh harusnya bilang, Hana, kuenya memang asin, tapi seyum kamu sudah manis kok"
"Enggak, enggak, gua gak akan bilang"
Apa ini? Aku tidak bisa melihat cinta di mata Ryan? kenapa gadis ini bisa senang dengan situasi sekarang? Aku merasakan cinta mereka terlalu berat sebelah.
"Ya sudah deh, aku kasih kue yang biasa"
"Kalau gitu kenapa gak keluarin aja dari awal!”
Tidak, aku salah. Jika Ryan benar benar membenci Hana. Dia sudah menjauhinya dan tidak akan menemani permainan konyol itu. Sama seperti yang kulalui kemarin, jika dia tidak suka seharusnya dia akan membalas dingin dan pergi.
Pada akhirnya dia tetap memakan kue asin itu sampai habis. Mungkin aku masih bisa melihat cinta di tindakannya, walaupun masih bias.
***
Waktu istirahat hampir berakhir. Ryan dan Hana berpamitan untuk kembali ke kelasnya. Aku meminta mereka datang lagi besok dan membantuku melakukan pencarian dengan Mia.
Hari ini memang tidak terduga, pertemuanku dengan Ryan yang tidak direncanakan membuatku terpikir untuk memperkenalkannya pada Mia. Aku berniat untuk memberitahu kalau dia temanku dan mungkin bisa membantu. Tapi sampai akhir jam istirahat Mia malah tidak muncul.
Apa kejadian kemarin sangat membuatnya shock hingga membenciku? Ayolah, kita tidak perlu memulai permusuhan ini lagi kan.
Aku sangat ingin menghubunginya, menanyakan keberadaannya dan sedikit berdiskusi. Tapi ketika itu juga aku sadar, ternyata aku belum mendapat nomor ponselnya.
Sial, seharusnya aku memintanya sejak lama.
***
Waktu sekolah telah berakhir. Jam tanganku menunjukan pukul lima sore. Seharusnya jam sekokahku berakhir jam empat.
"Yan, kamu bawa payung kan, ikut yah"
Tapi hari ini hujan lebat, membuatku tidak bisa pulang.
Entah kebetulan atau bukan, di depanku sekarang ada Ryan dan Hana. Tidak sepertiku, mereka sudah siap dengan payung untuk pulang. Aku sendiri belum sempat membeli payung, karena aku mengira tidak akan membutuhkannya secepat ini.
"Gak, gua sendiri aja"
"Kok gitu sih? Kalau gitu aku tolak tolakanmu yan"
“Ha? Kenapa gua harus ditolak?"
"Kalau kamu terima aku terima kok"
"Kalau gitu sama aja! Gak usah ikut gua juga kan bisa"
"Orang lain ya orang lain. Lagian payungnya cukup buat berdua kan, gak rugi juga kalau aku ikut"
Tidak rugi tapi banyak efeknya, seperti hujatan para lelaki tak berpasangan, perasaan malu oleh orang-orang sekitar dan gosip-gosip tajam yang akan tersebar nantinya.
Akan merepotkan jika aku mengatakannya. Lagipula, kejadian ini lebih menarik jika aku tidak membeberkan semuanya.
Ryan membelokkan sedikit kepalanya ke belakang, di saat itu juga dia tidak sengaja melihatku yang sedang duduk di salah satu bangku lorong.
"San, lu gak bawa payung?"
Apa dia ingin menjadikanku dinding penghalang? Tidak yan, kamu harusnya menjaga semua yang kamu punya sekarang.
"Aku sih numpang temen sekelas yan, ini lagi nungguin dia ke WC"
Tentu saja bohong. Semua teman sekelasku sudah pulang, mereka sudah kembali ke rumah sebelum hujan terjadi. Aku sendiri terlalu asik membaca buku dan akhirnya terjebak hujan.
"..."
"Kamu mau ninggalin Hana sendiri? Nanti dia gak bisa pulang tuh"
Ryan tidak menjawab, tidak membantah tapi tak lama kemudian dia membuka payungnya. Menyerah dengan keadaan dia pun membiarkan Hana di sampingnya.
Melihat mereka terkadang cukup menghibur, tapi di saat yang sama aku merasakan kebencian ketika melihat pasangan romantis si depanku.
Duut, duut. Handphone-ku bergetar, tanganku pun datang untuk mengambilnya.
Pesan?
Hana : Makasih yah san. Terus, ada payung di pot samping kamu tuh, pake aja :D
Aku spontan melihat pot tanaman di sampingku. Dan benar saja, memang ada payung di sana. Payung tersebut dikaitkan di ranting tanaman bagian dalam yang membuatnya sulit dilihat.
Jadi, dari awal dia sudah merencanakan ini? Wow, gambaranku tentang Hana menjadi seram. Apa semua itu demi Ryan? Haha... Cinta itu memang hebat.
Aku mengambil payung tersebut. Tidak ada yang salah dengan menggunakannya. Perasaanku mengatakan kalau hujan ini akan berlangsung lama, payung ini adalah penyelamatku sekarang.
Hmn... Hujannya masih terlalu besar.
Jika aku pulang sekarang, sepatuku akan basah. Itu hal yang buruk karena aku masih tidak punya sepatu cadangan. Aku melangkah pergi ke tempat yang lebih nyaman untuk berteduh. Untuk beberapa alasan aku tidak mau menunggu di lorong dan kelasku. Sepatu basah dan air hujan mengotori hampir tiga per empat lantai di sekolah.
Aku pun menuju tempat bawah tangga itu. Seingatku tempat tersebut tertutup dan cukup bersih.
Setelah sampai, aku melihat sepatu kecil diletakan tepat di depan tempat itu. Aku juga melakukan hal sama, melepas sepatuku sebelum masuk.
"Mia?"
Aku memanggil sambil melihat ke arah bawah tangga tersebut.
"Itu bekal tadi siang? Kamu kemana aja?"
Aku melihat Mia memegang sesendok nasi di tangan kanannya. Sedikit terkejut karena panggilanku, dia hampir saja menjatuhkan makanan tersebut.
"Kaka sendiri kenapa ngajak orang gak bilang, aku kan jadi susah datengnya"
Hmn... Dalam kondisi menyebalkan tadi, selain sulit keluar, ternyata orang luar juga sulit masuk.
"Haha, maaf, maaf. Habis aku juga gak bisa hubungin kamu soalnya, kamu gak punya nomor HP gitu?”
“Ada kok”
Mendengar itu, aku pun saling bertukar nomor ponsel. Kegiatan itu dapat selesai dengan cepat tanpa ada hambatan.
Aku duduk di samping tempat biasa, melihat Mia dari samping yang kembali memakan bekalnya. Makannya memang lambat, dan sekarang bertambah lambat. Biarpun makanan sudah dingin dan tidak enak, dia masih memakannya.
Kalau dipikir-pikir kenapa tempat ini dia pakai untuk makan? Dan selama ini aku juga tidak pernah melihat Mia pergi bersama orang lain.
Memikirkan itu, sekilas terlintas beberapa kemungkinan di pikiranku. Bukankah aneh kalau wanita seperti dia tidak didekati satu orang pun. Tidak seperti Ryan yang terlihat membenci semuanya, Mia memiliki pribadi yang cukup ramah.
"Kakak gak pulang?"
"Tunggu hujannya reda"
"Oh"
"Kamu gimana? Sudah habisin bekal langsung pulang?"
Mia menggelengkan kepalanya sekali dan menegakkan wajahnya sedikit ke atas.
"Kayaknya aku juga nunggu hujannya reda"
Aku bisa melihat bibirnya yang sedikit berkilau karena makanan basah yang dia makan. Di sini memang tidak terang, tapi mataku yang sudah terbiasa dapat melihatnya dengan jelas.
Sial, aku jadi mengingat kejadian kemarin. Tenangkan dirimu, tidak ada maksud khusus dibalik tindakan ini.
“Huft... Hah...”
Aku masih tidak tahu apa yang ada dipikirannya sekarang maupun di waktu-waktu lain? Terkadang dia mudah dipahami, terkadang juga dia sangat tidak masuk akal. Dan ketika saat ini, apa dia tahu kalau hatiku sedikit bergetar karena aura gadisnya?
Beberapa menit kuhabiskan dengan melamun, hampir saja aku tertidur karenanya. Mia sudah selesai dengan bekal makan tadi, aku juga tersadar kalau hujan telah mereda dari suaranya.
Berdiri dan mengeluarkan payung yang kubawa tadi, Aku berniat untuk pulang sekarang.
"Kakak bawa payung? kalau gak ada aku ad-. Oh, ada yah"
Tunggu, barusan tadi itu apa? Apa aku baru saja membuang kesempatan berbagi payung dengannya?
Mia ikut berdiri dan mengeluarkan payung miliknya dan mengikutiku sampai ujung selasar sekolah. Rintik-rintik keci air masih berjatuhan, tapi itu tidak akan membuat kami basah dengan payung.
Dari awal aku tidak terlalu berharap mendapat kejadian serupa dengan Ryan. Jadi tidak ada penyesalan... Mungkin.
Aku menarik gagang payung dan membuka payung tersebut.
"Kak?"
Rasa campur aduk keluar setelah payung tersebut terbuka. Dia mungkin berpikir kalau aku ini pria aneh.
Sial, aku lupa kalau pemilik payung ini adalah seorang gadis.
Sebuah pola rumbai-rumbai di setiap sisi dan aksesoris telinga kucing di atasnya. Mia tidak tahu detail benda yang kupegang sekarang, aku pun tidak memberitahunya karena tidak mengira akan seperti ini.
“Aku bisa jelasin kok”
Sedikit cerita kukatakan padanya. Dia tidak menjawab dan terus mendengarkanku. Ceritanya cukup pendek dan mudah dimengerti.
"Hmn... Mau tukeran kak?"
Berbeda dengan payung Hana, benda yang dipegang Mia terlihat lebih normal. Sesuatu yang akan wajar jika pria membawanya.
"Yah, makasih"
Sial, memalukan...
****