Dan kini saatnya kembali ke hari senin, di mana ada upacara pagi dan disambung dengan pelajaran Bahasa Indonesia yang membuat semua siswa mengantuk. Bukan karena pelajarannya, tapi karena gurunya. Selama pelajaran berlangsung guru itu seakan-akan bukan mengajar, tapi seakan sedang mendongeng. Tapi sebelum ke bagian mendongeng itu, semua siswa kelas XI IPA 2 harus mengikuti upacara terlebih dulu.
Dan di sini tempat Dira, berada di tengah-tengah barisan, karena hanya di sini Dira bisa sedikit terhindar dari panasnya sinar matahari pagi ini. Kondisi Dira memang belum sama sekali membaik semenjak pulang ke rumah bersama Zali hari jum’at lalu. Dan hingga kini tubuh Dira masih meriang. 2 hari istirahat total dirumah ternyata belum mengembalikan kondisi tubuhnya yang semula drop karena terlambat makan dan langsung berlari keliling lapangan.
Dan untung saja, Amanat dari Pak Raharja tidak terlalu lama dan segera disambung dengan nyanyian lagu wajib nasional oleh kelompok paduan suara. Pagi ini matahari bersinar cukup terik. Awalnya Dira bisa menahan seluruh rasa pening di kepalanya, tapi semakin ia tahan justru rasa pening itu malah semakin menjadi. Lagu wajib selesai, biasanya setelah itu barisan langsung dibubarkan, tapi berbeda dengan saat ini. Seluruh siswa dibiarkan menetap di lapangan karena sang Kepala sekolah akan menyampaikan sesuatu yang tertinggal dalam amanatnya tadi.
Dira menghela nafas panjang lalu memejamkan matanya untuk mencari sedikit rasa rileks dan mencoba agar pening di kepalanya tidak menjadi-jadi.
“Bapak hanya ingin mengumumkan tentang siswa yang akan mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade sains se provinsi Jawa Barat.” Dira masih bisa mendengar jelas apa yang diucapkan oleh Pak Raharja, tapi pening di kepalanya sama sekali tidak bisa dihindari. Pandangannya sudah mulai buram, tidak nampak jelas, tapi telinganya masih berfungsi dengan baik, ia masih bisa mendengar apa yang diucapkan oleh Pak Raharja di depan sana.
“Meysiska faradita dan Marvin adiwijaya. Silahkan maju ke depan.” Seketika itu juga pandangan mata Dira hilang dan berubah menjadi hitam. Semuanya gelap total.
***
Adit, cukuplah untuk bertindak sok pahlawan untuk Dira. Stop untuk menyakiti dirimu sendiri. Jika benar Dira membutuhkanmu, dia tidak akan menyuruhmu untuk menjauhinya dan memintamu untuk tidak memberikan perhatian lagi kepadanya.
Saat ini Adit sedang berada di Rooftop tempat biasa Dira menyembunyikan dirinya dari orang-orang satu sekolah, tempat Dira biasa memendam lukanya sendiri tanpa mau berbicara kepada siapapun selain kepada Rooftop ini. Adit membuka buku sketsa berwarna biru yang kini berada di genggamannya. Ini buku milik Dira.
Dira yang hobi menulis, bahkan dia juga mempunyai sebuah buku khusus untuk menulis setiap cerita yang ia buat, dan termasuk buku sketsa ini, Dira juga hobi menggambar, ia bercita-cita untuk menjadi seorang komiskus, menggambar komik, walaupun gambarnya tidak sempurna, tapi tidak terlalu jelak.
Helaian demi helaian ia buka, entahlah Dira masih mencari buku ini atau tidak tapi sudah sekitar 2 setengah tahun buku ini berada di genggaman tangan Adit.
Awalnya karena buku ini terjatuh di jalanan dan Adit yang menemukan buku ini, keesokannya Adit ingin mengembalikan buku ini, tapi Dira tidak masuk, pada hari selanjutnya Dira malah marah pada Adit karena Adit sudah membuat buku cetak matematikanya robek, dan sampai akhirnya Adit selalu lupa membawa buku ini hingga sekarang.
Adit menggelengkan kepalanya, bagaimana bisa ia jatuh cinta pada seorang Dira, wanita yang bahkan terlalu polos. Wanita yang hanya tahu menulis, menggambar dan belajar. Wanita yang bahkan tidak menyukai sebuah make up dan selalu tampil apa adanya. Sifatnya juga, dia selalu menjadi dirinya sendiri, tak pernah ada sedikitpun sifat orang lain yang ada dalam dirinya.
“Lo terlalu bodoh. Lo mikirin perasaan orang lain tanpa mikirin perasaan lo sendiri” Suara perempuan itu membuat Adit menoleh. Wanita yang tak lain adalah mantan kekasihnya, orang yang saat ini lebih sering menjadi partner adu argumennya. Dan kini, sepertinya wanita itu ingin beradu argumen lagi dengan Adit.
“Lantas, Apakah orang yang mementingkan perasaannya sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain yang disebut dengan orang pintar?” Adit bangkit, ia tinggalkan buku yang semula berada di genggamannya dan berjalan ke arah Livi berada.
“Wanita yang lo angkat saat upacara tadi pagi, sekarang lagi dijenguk sama laki-laki lentera. Dia panglima tempur” Adit tersenyum miring.
Wanita yang ada di depannya saat ini memang sangat update. Gedung UKS IPA dan kelas Livi yang jaraknya lumayan jauh, bisa membuat wanita ini tahu tentang kedatangan Zali. Padahal Adit tahu, Zali datang dengan orang dalam dan mana mungkin ketahuan oleh orang seperti Livi.
“Terus kenapa?”Adit mengangkat alisnya.
“Lo gak nyesel udah bantu dia?”
Entah apa yang ada di otak Livi hingga wanita ini dapat berpikir jauh hingga ke sana.
“Kalau gue bilang nyesel, lo seneng?”
“Mungkin iya”
“Tapi sayangnya enggak. Dia temen gue. Gue yang nyuruh dia dateng”
“Dasar gila! Temen lo bisa mati di pukulin Davin”
“Ya biarin. Temen gue ini yang mati. Itu artinya hidup dia Cuma sampe situ aja”
“Lo gila banget” Livi menggelengkan kepalanya. Entahlah apa yang tersimpan di otak Livi saat ini, tapi kali ini sepertinya Adit tertarik untuk membuat wanita ini bersikeras dengan argumennya.
“Kalau gue gila, berarti lo juga gila.”
“Kenapa?”
“Karena sekarang lo lagi ngejar-ngejar cinta orang gila.” Ucapan Adit berhasil membuat wajah Livi memerah, Adit juga yakin emosi Livi sudah naik ke ubun-ubun.
Sebenarnya kadang Adit hanya menjadikan pertengkarannya dengan Livi sebuah permainan, bukan sebuah kejadian yang serius. Tapi wanita ini yang menganggapnya dengan serius. Ia akan merasa senang jika dirinya menang, tapi Adit tidak akan mudah menyerah juga dengan permainannya. Adit juga ingin menang, Dan Livi kalah. Itu saja.
“Apa lagi yang mau lo omongin, kalau udah gak ada, pergi sana. Gue males liat muka mantan di depan gue” Livi melangkahkan kakinya satu langkah ke depan, jaraknya dengan Adit kini semakin dekat.
Adit tersenyum miring, wanita ini malah memancing Adit untuk bertindak suatu hal yang membuat jantungnya berhenti berdetak.
“Gue lihat, Dira sering jalan bareng sama orang itu. Lo akan kalah sama dia. Karena dia jauh lebih ganteng dari lo.” Ucapan Livi membuat Adit melangkahkan kakinya satu langkah lebih depan. Di tatapnya wanita itu dari jarak dekat. Wangi vanili begitu tercium oleh indra penciuman Adit.
Sang Aliviana syereendifa relanis, orang yang pernah jatuh cinta bersamanya, bahkan saat ini ia masih menaruh perasaan yang sama, tapi Adit tidak. Bahkan satu tetes darahpun tidak ada untuk Livi.
Tapi wanita ini tidak pernah jera, dia tidak pernah menyerah untuk mengejar cinta Adit kembali untuknya. Tapi sialnya Livi, seluruh cinta Adit sejak awal sudah ia berikan pada Dira. Jika dulu cinta itu pernah hadir untuk Livi, cinta itu hanya setetes darah. Tidak pernah seutuhnya. Karena pemilik seutuhnya hanya Dira.
“Dan lo gak tahu, gue selalu ada di samping jendela kamar Dira setiap malem” Adit menampilkan senyumannya, senyum yang membuat Livi malu karena telah mengucapkan hal itu. “Kalau dia lebih ganteng dari gue, kenapa lo gak ganti ngejar dia aja” Raut wajah Livi sudah mulai memerah karena kesal. Bagi Adit, Livi adalah orang yang unik, jika wajah seseorang memerah saat malu, tapi berbeda dengan Livi. Wajah wanita ini akan memerah saat emosi sudah naik ke ubun-ubunnya.
“Kenapa sih lo itu dilahirin jadi cowo nyebelin!” Livi mendorong tubuh Adit menjauh dari hadapannya.
Tapi Adit tidak semudah itu menyerah, ia mendekatkan kembali wajahnya ke hadapan Livi, lebih dekat. Bahkan mungkin jaraknya kurang dari 5 cm. Dengan jarak yang sedekat itu, Adit juga bisa merasakan jika jantung Livi berdetak begitu cepat. Dan itu membuat senyum kemenangan terukir sempurna di bibir Adit. Itu cukup untuk membuktikan jika Livi benar-benar menginginkan Adit kembali kepadanya.
“Gue yang pergi, atau lo yang pergi?”
Livi masih terdiam, tak ada jawaban yang keluar dari bibir Livi. Wanita itu masih menatap Adit dengan tatapan tanpa berkedip.
Adit menganggkat kedua alisnya, menatap Livi sekali lagi, dan mendekatkan wajahnya lebih dekat ke pipi Livi, bukan sepenuhnya ke pipi, tapi ke telinga, tujuannya untuk berbisik.
“Oke, gue yang pergi.”
Dengan senyum kemenangan yang sudah tercipta sejak tadi Adit beranjak dari Rooftop ini, tapi ia tak lupa juga untuk mengambil buku sketsa yang ia letakkan jauh di tengan Rooftop.
***
Hari ini ada ujian praktek kejuruan di sekolahnya, tapi Zali pergi, ia menemui Dira di sekolahnya atas permintaan Adit.
Sudah 30 menit berlalu, Dira belum juga bangun. Dengan rasa khawatir, Zali terus menggenggam tangan Dira, sesekali juga genggaman tangan itu ia letakan di pipinya.
Entahlah apa yang ada dipikiran Zali, Saat ia mendapat telpon jika Dira pingsan di sekolah dengan cepat ia melajukan motornya menuju ke sekolah Dira. Sekolah yang terdapat Davin, dan bisa saja setelah ini nasibnya tidak tahu akan seperti apa. Berada di kandang lawan, sendiri dan tangan kosong. Mungkin ia akan menyusul saudara kembarnya di rumah sakit. Mungkin saja.
Dengan kaos putih dan celana abu-abu yang ia beli sebelum pergi ke sini. Zali memang tidak pernah mempunyai seragam putih abu-abu, karena sekolahnya mempunyai seragam khusus, dan demi Dira ia rela membeli celana abu-abu yang akan terpakai hanya satu kali.
“Zal,” Suara itu membuat Zali mengangkat kepalanya yang semula berada di pinggir kasur tempat Dira sedang tertidur.
“Dir, udah bangun?” Pertanyaan yang tak harus dijawab. Dasar Zali!
Zali bisa melihat Dira memperhatikan setiap sudut ruangan ini, padahal tidak ada yang aneh di sini. Hanya ruangan yang kira-kira seukuran dengan kamar tidur Zali di rumah.
“Ini ruangan UKS di sekolah aku kan Zal?”
“Iya, kenapa?”
“Kamu kenapa di sini?”
Dan sudah ia duga, pertanyaan itu akan keluar dari mulut Dira. Wajar saja, Zali dengan berani datang ke sekolah ini dan masuk ke ruangan UKS.
“Aku tahu kamu sakit”
“Kamu gimana bisa masuk ke dalam sini?” Dira mencoba untuk bangun, tapi Zali menahannya, biarkan saja Dira terbaring untuk membuat tubuhnya sedikit membaik.
“Sama ayahnya Adit. Kebetulan ayahnya ada urusan di sekolah ini, ya jadi aku ikut aja”
Jujur, karena keberuntungan itu kini Zali berada di dalam ruangan UKS ini dengan tenang. Semua berkat Om Rendra yang ta?k lain adalah ayah Adit.
“Gimana ceritanya?”
Zali tersenyum, ia menceritakan tentang ketidaksegajaan ia bertemu dengan Om Rendra di depan gerbang, dan ia ikut masuk ke sana di bawah lindungan Om Rendra. Dan sampai di depan UKS ini ia masuk dengan begitu saja, tanpa mengucapkan terimakasih pada Om Rendra, karena tidak akan ada waktu, bisa-bisa Davin memergokinya jika Zali berada di koridor terlalu lama.
“Lah terus pulangnya gimana?”
“Sama kamu”
“Kan aku sekolah, kamu nggak sekolah?”
“Ada ujian praktek kejuruan, tapi kayaknya udah selesai”
“Nggak ikut?”
“Nyusul aja”
Handphone Zali tiba-tiba berbunyi, ada pesan masuk dari Adit di dalam sana.
Jagain, kalo mau balik tunggu semua orang masuk kelas. Sekalian Dira ajak pulang.
Zali tidak membalasnya, ia hanya bergedik dan kembali memasukan handphonenya ke dalam saku celana.
“Kita pulang ya, kamu harus istirahat di rumah” Zali mencoba memberikan pengertian pada Dira yang bersikeras untuk tetap di sekolah dan melanjutkan pelajarannya.
“Nggak usah, Aku-“ Sebisa dan secepat mungkin Zali memotong ucapan Dira. Saat ini Zali tidak membutuhkan kalimat penolakan. Itu sama sekali bukan keinginannya. Apalagi saat ini Dira sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
“Aku nggak suka ditolak. Dira jangan nakal ya, cukup Zali aja yang nakal. Dira jangan. Jadi nurut, yang nyuruh kamu istirahat bukan aku doang, tapi Bu UKS ini juga nyuruh kamu untuk pulang”
Zali tidak tahu siapa nama guru yang berjaga di UKS ini, tapi yang jelas, guru itu juga menyuruh Dira agar pulang untuk istiraha di rumahnya.
Kini di dalam UKS ini hanya tercipta keheningan, yang terdengar hanya suara bising di luar ruangan, karena ini adalah jam istirahat, jadi suasana di luar sana sangat ramai.
Di luar ramai, di dalam kenapa sepi? Kenapa tegang? Kenapa juga rasanya lebih canggung dari seharusnya. Berulang kali Zali menarik nafas dan menghembuskan nafasnya, tujuannya adalah mencari ketenangan agar tidak terlihat tegang di depan Dira.
“Zal,” panggilan Dira membuat Zali menoleh dan menghentikan aktivitas tak berarti yang sudah dilakukan sejak keheningan itu tercipta.
“Kenapa?” Zali menatap wajah Dira, wanita itu kini sangat pucat dan bahkan terlihat sangat lemas. Walaupun Zali tidak merasakan, tapi terlihat dari wajah Dira, jika kondisi dirinya saat ini memang benar-benar lemah.
“Nama lengkap kamu siapa?” Zali menatap Dira sambil tersenyum, sudah hampir 1 tahun mereka bersama, tapi sampai saat ini, Dira belum mengetahui siapa nama lengkap Zali.
“Anzali putra adrian”
“Kembaran kamu siapa namanya?”
Deg! Zali ingat pada Zila, saat ini saudara kembarnya masih terbaring di rumah sakit dengan semua alat bantu yang akan membuatnya tetap hidup, namun tidak membuka matanya.
“Anzila putri adrain”
Jantung Zali seakan berhenti berdetak saat menyebutkan nama itu, namanya dan nama Zila. Semua seakan teringat kembali, waktu kali ini seakan mengantarkan Zali kepada masa 10 tahun yang lalu, saat Zila bertanya pada ayahnya tentang arti nama Anzali Putra Adrian dan Anzila Putri Adrain. Dua nama yang ternyata mempunyai cerita yang panjang dan banyak harapan sang bunda dan sang ayah. Dua nama yang menyatukan dua manusia yang berbeda dalam satu rahim.
Zila wanita yang kini sedang tertidur dengan senyuman manisnya di rumah sakit, wanita yang menjadi bayangan Zali. Wanita yang menjadi seorang penguat dan pengingat. Wanita yang saat ini Dira tanyakan. Bahkan sangat ingin Dira temui. Tapi keinginan Dira sementara harus pupus, Zila sudah tertidur entah sampai kapan sebelum Dira menemuinya. Koma itu tidak bisa diprediksi, seperti contohnya Edwarda yang mengalami Koma terlama yaitu 42 tahun, tapi Zali yakin, saudara kembarnya tak akan pernah berlama-lama untuk tidur itu. Sebentar lagi Zila akan sembuh, yakin.
“Zal,” Panggilan itu membuat Zali tersadar. Sejak tadi ia melamun dan mendiamkan Dira.
“Iya Dir, kenapa?”
“Kapan aku bisa ketemu sama Zila”
Sebisa mungkin Zali mencoba untuk tersenyum, bagaimanapun ia tidak boleh menangis dihadapan wanita, kecuali wanita itu adalah Zila.
“Tunggu kamu sembuh dulu dong” Senyuman kembali terukir, walaupun memang bukan sebuah senyum kejujuran, tapi lebih baik tersenyum daripada harus menangis dan menampakkan sebuah kerapuhan di hadapan orang lain.
Seketika itu juga bel masuk berbunyi. Dan itu artinya tak lama lagi ia akan keluar dari sekolah ini dengan dua kemungkinan, baik-baik saja atau akan babak belur dan berakhir di Rumah Sakit sama seperti Zila.
Sebelumnya, Zali bukan melakonis, tapi ini adalah faktanya. Zali berada di kandang lawan, sendirian, dan tangan kosong. Ditambah lagi beberapa hari yang lalu Zali berhasil membuat Davin terkapar tanpa ampun, dan sudah pasti Davin tidak akan tinggal diam dan akan menyiapkan tindakan balas dendam. Dan permasalahannya juga adalah Zali datang ke sini dengan cara mengendap-endap dan menemui Dira yang tak lain adalah orang yang pernah dekat dengan Davin.
Dengan mengucapkan bismillah, Zali menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Diraihnya pergelangan tangan Dira, membantunya untuk bangun dan memberikan jaket yang semula menempel di tubuhnya.
“Kamu akan aman kalau ada di bawah lindungan jaket panglima tempur. Walaupun sebenarnya aku nggak ngerasa sebagai panglima tempur”
“Aku yakin kalau aku akan aman, tapi aku nggak yakin kamu akan aman juga” bisa Zali lihat, Dira terlihat ketakutan. Padahal sebenarnya Dira akan tetap baik-baik saja. Kalaupun jika ada yang memberikan serangan, Dira tidak akan kenapa-napa, ia akan baik-baik saja selama berada bersama Zali.
Dira juga seharusnya tidak perlu memikirkan keselamatan Zali, karena saat ini ia yakin jika mereka akan keluar sekolah dengan kondisi aman dan baik-baik saja. Kalaupun jika mereka keluar dengan keadaan yang tidak baik, itu hanya berlaku untuk Zali. Bukan untuk Dira, karena Zali akan membuat Dira terasa baik-baik saja.
15 menit setelah bel berbunyi Zali dengan segera keluar dari ruang UKS bersama dengan Dira. Topi berwarna hitam, kaos putih pendek selengan, celana abu-abu dan sepatu converse berwarna hitam. Di dalam hatinya sudah bisa menebak semua tidak akan baik-baik saja. Tapi Dira selalu menenangkan Zali, meyakinkan Zali jika semua akan baik-baik saja karena Dira ada di sampingnya.
Zali menarik tangan Dira, sesegera mungkin ia mencari jalan yang lebih cepat untuk sampai ke luar gerbang. Melewati koridor kelas dua belas dan melewati lapangan basket, hingga berakhir di lapangan pakir. Selangkah lagi menuju gerbang, tapi ternyata gerbang itu tertutup dengan gembok yang mengikatnya.
“Kita ke pos satpam aja” Zali mengangguk dan mengikuti langkah Dira menuju ke pos satpam yang ada di dekat lapangan parkir.
“Kamu parkir motor di mana?”
“Warung pinggir jalan di depan gang sekolah”
Sampai di pos satpam Zali menjelaskan semuanya, tentang Dira yang harus pulang saat ini juga.
“Pak, bukain gerbang samping aja. Kita lewat sana aja”Ucap Dira tiba-tiba. Entahlah apa yang dimaksud oleh Dira, mengapa harus lewat gerbang samping? Itu artinya harus mengitari sekolah ini untuk sampai di gang depan sekolah. Terlalu jauh untuk kondisi Dira yang saat ini masih lemah.
“Iya deh, gerbang samping aja. Soalnya motor saja ada di sana pak”
Berbohong demi kebaikan, mungkin diizinkan atau tidak, tapi Zali melakukan itu.
“Kalau gerbang samping nggak dikunci, kalian bisa langsung ke sana aja” Ucap Pak Satpam yang berkumis tebal dan beralis tebal.
Zali dan Dira beranjak menuju ke gerbang samping, sepanjang jalan ia terus menceritakan tentang Pak Satpam yang mempunyai kumis tebal dan alis tebal yang terlihat sangat lucu.
“Namanya Pak Hasan, tapi anak satu sekolah lebih sering manggilnya Pak Kumis” Zali hanya tersenyum mendengar penjelasan Dira.
Hanya dengan genggaman tangan, Zali menjaga Dira yang masih terlihat lemas, wajahnya juga pucat. Dengan genggaman tangan itu Zali lupa jika saat ini ia masih berada di zona berbahaya. Zona merah yang sudah ditentukan oleh Davin. Dan kini Zali menginjakkan kakinya di zona terlarang.
Dan kini Zali dan Dira sudah sampai di luar sekolah. Masih sangat tenang, bahkan tak ada tanda-tanda jika Davin ada di sekitaran sini. Tapi Zali tidak sepenuhnya tenang, sang panglima tempur pasti mempunyai strategi yang tidak terduga dan tak akan bisa ditebak oleh lawan.
“Kita lewat gang ini aja, nanti kita lewatin rumah penduduk dan baru sampe di gang depan” Zali mengangguk sebagai tanda jika ia menyetujui ajakan Dira.
“Pinter juga ya kamu, kenapa gak ikut tawuran aja. Biar sekolah kamu menang kalau tawuran” Dira tertawa. Ucapan Zali bukanlah sepenuhnya benar, tapi cara Dira berpikir dan menyusun strategi seperti ini yang membuat cukup kagum.
“Kalau kaya gini kamu juga pasti bisa, aku kan kenal siapa Davin, dan aku juga tahu sekolah ini, jadi biasa aja”
Zali tersenyum dan mengacak-acak rambut Dira yang saat ini tergerai. Dira tidaklah cantik, tapi Dira mempunyai senyuman yang manis dan wajah yang tidak bosan untuk terus dipandang.
Suasana masih terlihat tenang, bahkan mungkin Dira merasa jika baik-baik saja. Tapi Zali tidak, semuanya belum tampak tenang jika mereka belum sampai di rumah Dira dengan kondisi yang baik-baik saja.
Langkah demi langkah memang tidak terasa berat, karena di samping Zali ada Dira, wanita itu akan selalu bisa membuat Zali tenang. Walaupun sebenarnya tidak benar-benar. Pikiran tentang Davin akan selalu menyelimuti Zali. Bukan takut, tapi saat ini ia sedang bersama dengan Dira, dan Zali malah merasa takut jika selanjutnya kehidupan Dira tidak akan tenang karena Zali.
Sampai di depan gang sekolah suasananya masih tampak biasa saja, bahkan tidak ada sesuatu yang aneh. Pengamatannya juga berlaku pada semua pohon-pohon atau warung yang ada di sekitaran jalan sana. Motornya juga masih sama, terparkir di tempat yang sama.
Tapi ini adalah Zali, ia tidak akan menjadi tenang sebelum memang keadaannya baik-baik saja. Zali menggenggam tangan Dira cukup kuat, mereka berjalan menuju ke motor Zali. Di sini, Zali melepaskan genggamannya dari tangan Dira. Ia mengecek setiap sudut motornya. Awalnya Zali merasa baik-baik saja karena ia tidak menemukan adanya kejanggalan yang terlihat. Tapi saat mengecek untuk kedua kalinya, di sini. Zali tahu, saat ini ia tidak benar-benar aman. Brake line bagian depan sudah terpotong. Davin benar-benar bermain dengan rapih dan cantik. Zali cukup salut.
Baru saja Zali ingin membangunkan tubuhnya yang semula jongkok, tapi ada sebuah Feeling yang mengatakan jika di belakangnya ada sesuatu yang tidak aman. Dan terbukti, dengan cepet Zali menoleh dan menemukan Davin sudah siap ingin menerkam Zali dari belakang menggunakan sebuah kayu besar. Dan, Dira. Mulutnya dibekap oleh seorang wanita yang menggunakan seragam serupa dengan Dira.
Dengan cepat, Zali menghempaskan kayu itu dari tangan Davin dan menonjokinya habis-habisan. Walaupun Davin melawan, tapi tenaga Zali tidak sebanding dengan tenaganya. Tidak sepenuhnya Zali menang, karena Davin juga terus menerus membuat Zali tersungkur akibat pukulannya. Tapi Zali tidak semudah itu menyerah. Ia melemparkan helm yang berada di motornya. Dan helm itu tepat mengenai wajah Davin.
Diraihnya Helm yang sudah jatuh ke aspal jalanan, dan ia menggunakan helm itu untuk memukuli wajah Davin. Setelah puas membuat Davin tersungkur di pinggir jalan, Zali melemparkan helmnya ke sembarang arah.
“Lepasin Dira atau lo akan benasib sama kayak bocah ini!” teriak Zali pada seorang wanita yang tidak ia ketahui namanya. Pandangannya tak beralih dari wajah Davin yang babak belur.
Sudah bisa ia tebak, Davin akan melakukan hal ini, Davin tidak mengenal siapa itu Zali. Bahkan Zali tahu, Davin bukanlah lawan yang sebanding untuknya, walaupun predikatnya sebagai panglima tempur di sekolah, tapi Zali nggak takut. Davin berada satu tingkat di bawah Zali.
“Lo udah mau bikin gue mati dengan cara lo yang kampungan itu. Dan ini balesan gue. Simple as water.” Zali menatap Davin yang masih belum juga mau terbangun. Matanya terbuka dengan jelas. Lagi pula Zali tidak memukulinya sampai sebegitu parah, hanya lebam disertai dengan lecet dan darah. Tidak akan pernah berakhir di rumah sakit.
“Lo itu lawan gue, dan lo masuk ke kandang gue tanpa permisi, bahkan mengendap-endap layaknya maling” Davin terus memegangi ujung bibirnya yang sudah terdapat darah segar. Tapi bagi Zali itu bukanlah darah segar, tapi itu adalah darah kotor yang mengalir karena dosa Davin.
“Gue dateng sendiri dan nggak nyari keributan. Apa masalahnya?”
“Lo ngelewatin zona yang harusnya nggak lo lewatin. Dasar bodoh!”
Zali hanya tersenyum miring, tak usah ia jawab ucapan Davin yang satu ini. Tak perlu, berbicara dengannya hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Lagipula, Ada Dira. Dan saat ini Zali harus mengantar Dira pulang.
“Lo akan salah pilih cowo brengsek itu Ra,” Zali hanya tersenyum miring, ia genggam tangan Dira yang semula berada di genggaman tangan wanita yang tidak ia kenal.
Zali menarik Dira hingga ke seberang jalan dan memberhentikan sebuah Taxi untuk pulang karena motor Zali sudah rusak karena ulah Davin.
Kekerasan kini malah menjadi bagian dari diri Zali. Ini bukanlah Zali yang sesungguhnya, bukan Zali saudara kembar Zila. Sama sekali bukan.
***
Untunglah kali ini toko belum buka, masih jam 10 pagi. Dan Dira sudah pulang kerumahnya. Dira juga sudah tahu bagaimana reaksi ibunya saat mengetahui Dira pulang lebih cepat. Dari dulu masih sama, Khawatir.
“Padahal ada dua opsi untuk ngehadapin seorang Davin. Yang pertama bicara baik-baik, dan yang kedua kita bisa langsung pergi. Tapi kamu malah pilih opsi yang lain, yang beresiko kaya gini” Ucap Dira sambil menenggak segelas teh hangat yang sudah tersedia di meja ruang tamu.
Saat ini Zali sedang berada di rumah Dira karena ibunya menahan Zali untuk berada di sini terlebih dulu sekalian mengobati luka yang ada di wajah Zali.
“Nggak semua masalah harus diselesaikan dengan otot nak, percaya nggak kalau menyelesaikan masalah dengan kepala dingin itu jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan kedua kepala yang sama-sama panas” Zali mengangguk, tak ada kata yang bisa ia ucapkan. Yang ada hanya diam sambil memperhatikan semua omongan yang dikatakan oleh ibunya Dira tentang kejadian yang baru saja terjadi.
“Emosi seorang remaja seperti kalian ini memang susah untuk dikontrol. Mungkin kalau Zali sudah bisa mengontrol emosinya sendiri, tapi bagi Davin sepertinya nggak. Kalian juga harus ingat nak, di dunia ini ada aturan. Kalau kamu berantem atau tawuran, pasti dapet sanksi dari sekolah kan? Di dunia ini sudah terlalu banyak aturan, seharusnya kita sendiri juga ngatur hidup kita agar satu tujuan sama aturan itu. Gak perlu sejalan seperti aturan yang berlaku, minimal menuju tujuan yang sama”
“Tapi kadang ada orang yang nggak sejalan sama aturan diri kita. Prinsip itu boleh kan? Kita boleh kan punya prinsip hidup sendiri? Tapi aku kadang mikir, prinsip hidup aku nggak bisa berjalan sendirian. Aku bahkan butuh orang lain untuk bantu aku jalanin prinsip itu. Tapi orang yang aku butuhin justru malah buat prinsip yang udah aku rancang malah berbelok. Kalau kaya gitu, siapa yang salah?” Zali akhirnya mengangkat suaranya setelah cukup lama berkutik dengan rasa diamnya.
“Ibu tahu Zali itu anak baik, ibu juga yakin Zali punya prinsip hidup yang terstruktur. Dan kalaupun prinsip itu berbelok, gak ada yang perlu disalahin. Keadaan yang memaksa semuanya jadi berbelok. Ibu mau tanya, memang ada orang yang bisa mengehendaki keadaan?” Zali menggeleng, Dira juga. “Manusia hanya bisa berusaha mencegah, tapi tidak mengatur. Semua adalah rencana semesta. Kamu tahu kan?”
***
Ruang praktek kimia.
Sudah lebih dari satu jam Marvin dan Dira berada di ruangan ini. Ruangan yang diperuntukkan untuk perbekalan olimpiade yang hanya tinggal 3 minggu.
Sudah dikatakan sejak awal, Marvin bukanlah orang yang tepat untuk mengikuti olimpiade ini, bahkan Marvin juga bukanlah orang yang pandai dalam menghapal jumlah sel dalam tubuh manusia, fungsi trombosit, fungsi eritrosit, cara perkembangbiakkan mamalia atau reptil, Bagaimana proses reproduksi tumbuhan, menghitung gaya yang terdapat dalam sebuah apel yang jatuh dari atas pohon, menghitung kekekalan energi mekanik yang terdapat pada getaran, menghitung viskositas, menentukan persamaan kesetimbangan reaksi kimia, menentukan hubungan atom yang satu dan yang lainnya atau cara menghitung Ph larutan asam dan basa. Itu sama sekali bukan Marvin.
Berdua bersama dengan Dita, orang yang sama sekali tidak keberatan untuk menerima olimpiade ini, rasanya kurang baik. Marvin juga merasa jika Dita seperti merasa tidak bersalah pada Dira. Bahkan tak ada ucapan maaf yang terlontar untuk Dira.
Setelah menatap Dita yang tampak sangat fokus pada pembekalan ini, Marvin segera memasukan seluruh buku cetaknya kedalam tas dan beranjak dari kursinya.
“Marvin!” sudah ia duga. Pasti akan ada teriakan yang ia dengar setelah ia beranjak. Marvin hanya menoleh, tidak peduli. Ia tidak ingin berada di ruangan ini terlalu lama. “Kembali duduk atau saya bicara pada ayah kamu”
“Silahkan, saya akan berterimakasih pada ibu, jika ibu berhasil membuat pikiran ayah saya berubah. Tapi saya harus pergi, ini bukan tempat saya” Marvin bebalik arah, tapi baru satu langkah, ia kembali membalikkan tubuhnya menghadap Bu Hida.
“Saya anak pemilik sekolah, tapi satu hal yang harus ibu tahu, saya tidak suka berlama-lama ada di dalam sekolah” Dan akhirnya Marvin benar-benar pergi dari ruangan itu. Berjalan menuju ke mobilnya dan melajukan mobilnya menuju ke rumah Dira. Hanya untuk mengamati, tidak untuk beranjak menemui. Karena ia tahu, Dirinya tidaklah pantas untu berada di dalam rumah itu untuk menemui wanita yang sudah ia sakiti dengan cara ayahnya.
***
“Dit” Panggil Zali saat ia menemui Adit yang sedang duduk di hadapan Zila. Zila masih tertidur sama seperti kemarin.
“Nyokap lo tadi ke sini.” Zali hanya terdiam, tidak ada yang harus ia tanggapi dari ucapan Adit tentang bundanya. Itu memang sudah kewajiban orang tuanya untuk datang menjaga Zila, tapi setidaknya bagi Zali hanya mengunjungi saja itu sudah sangat cukup. Dengan begitu Zila juga bisa tahu, jika tidak sepenuhnya orang tuanya tidak mementingkan kepentingan mereka. Walaupun sudah hampir sepenuhnya sudah dipenuhi oleh urusan mereka masing-masing, tapi dengan begitu, Zali tahu, ada sedikit ruang untuk Zila dan Zali. Walaupun hanya sedikit.
“Lo diapain sama Davin?” Tanya Adit pada Zali yang sudah duduk di sampingnya.
“Dia hampir mau bikin gue sama Dira mati di jalanan. Brake line motor gue di potong. Kalau aja gue nggak ngecek lagi. Gue bisa kecelaakaan kayak pedrosa”
“Jangan lakuin tindakan bales dendam dulu. Lo harus pikirin Zila.”
“Lo di sini sampe kapan? Gue mau tidur dulu sebentar.”
“Tidur di mana?”
“Di sini aja lah”
“Pulang aja ke rumah gue. Tidur di sana. Gak ada orang di rumah. Paling ada ade gue sama pengasuhnya”
Zali menggelengkan kepalanya, kali ini ia tidak mau banyak merepotkan Adit. Cukup saja Adit masuk kedalam permasalahan keluarganya, tapi tidak perlu masuk ke permasalahan yang lebih dalam lagi.
“Gue di sini aja. Zila butuh kakaknya.”
“Tapi Zila juga tahu, kakaknya butuh istirahat”
Ada benarnya. Tapi tidak. Pilihannya masih tidak. Lebih baik berada di sini, sambil ia memantau kondisi adik kembarnya itu.
“Zal,” Baru saja Zali ingin memejamkan matanya, tapi panggilan Adit membuatnya kembali mengurungkan niatnya untuk tertidur.
“Lo jagain Dira, gue jagain Zila. Lo mau?” Tawaran Adit membuat Zali terdiam, tujuannya untuk apa? Kenapa harus?
“Gue bisa jaga dua-duanya sekaligus. Zila masih yang utama saat ini, tapi Dira juga penting. Kalau lo minta gue untuk jaga Dira, gue akan lakuin. Karena gue cinta dia, tapi mungkin sekarang akan beda, gue jagain dia karena lo. Karena lo gak bisa jaga dia”
“Lakuin karena lo cinta dia”
“Nyatanya gue udah nyerah sejak gue tau lo suka dia.”
Zali bisa berbohong dengan sahabatnya ini, tapi Zali tidak akan pernah bisa bohong pada hatinya. Dira dan Zila adalah wanita yang memiliki peran penting. Itu sudah menjadi sebagian tanggung jawabnya.
Jika Zali bisa mengalah demi sahabatnya, kenapa ia harus bertahan dengan resiko keretakan persahabatannya? Soal perasaan ya? Tapi Zali rasa, persahabatannya jauh lebih penting dibandingkan dengan percintaanya. Percintaan yang bertepuk sebelah tangan lebih tepatnya.
“Oke kalau lo nyerah, tapi untuk kali ini. Biarin gue menjauh dari dia dan lo yang mendekat. Gue bisa urus perasan gue sendiri sesuai dengan keinginan lo”
Zali mendekati Adit yang masih duduk di hadapan kasur tempat Zila tertidur dan duduk di kursi yang ada di sebelahnya.
“Lo tahu? Dia itu bayangan gue Dit, Zila itu kembaran gue, Zila itu orang yang berbagi rahim sama gue, Zila itu orang yang punya sifat beda kayak gue. Zila itu segalanya. Dia bayangan gue Dit, lo tahu bayangan kan?” tak ada jawaban kata, yang ada hanya anggukan kepala. “Zila masih tetep yang utama. Walaupun ada Dira, tapi Zila masih tetep sama. Lo juga tahu, selama ini gue belum pernah jatuh cinta, kecuali sama Zila dan Dira”
“Kalau gue bilang, gue juga suka sama Zila, lo akan biarin itu terjadi?” Zali menggelengkan kepalanya.
Zila bukanlah untuk Adit, dan Adit bukanlah untuk Zila. Sejak kecil Zali sangat melarang Adit untuk bermain dengan Zila karena alasan jika Zali takut Zila akan jauh lebih memperhatikan Adit dibandingkan dengan dirinya.
“Hati lo milik Dira dan selalu untuk Dira. Gak mungkin ada nama Zila di sana.”
Zali tidak akan membiarkan Adit untuk berbohong pada perasaannya, apalagi Zila adalah alasannya, sampai kapanpun, lebih baik Zali yang mengalah untuk Dira. Bukan Adit.
Jika semesta bisa memberikan apa yang Zali inginkan tanpa harus menyakiti seseorang, Zali akan lakukan apa saja agar keinginannya dapat diberikan oleh semesta. Tapi sayangnya, hidup tidak sesimpel itu, hidupnya lebih rumit saat mengenal cinta ketika sahabatnya juga ternyata cinta pada satu wanita yang sama.
***