Sudah 15 menit Zali berada di bengkel depan sekolah pandu sejahtera, mengumpat untuk memberi kejutan kepada Davin.
Dari sini bahkan terlihat jelas jika Davin mencari Zali, tapi ini bukan saatnya Zali keluar dari tempat persembunyian.
“Di mana panglima tempur lo? Di mana dia” Tanya Davin pada Gazza yang saat ini sedang berhadapan dengannya.
“Buat apa lo cari dia? Lo udah bikin dia terkapar, bukannya udah cukup?” Jawab Gazza yang langsung dibalas tonjokan oleh Davin.
Gazza dengan mudah bangkit dari posisinya yang semula terjatuh ke aspal. Di tariknya kerah baju Davin, lalu ia dorong tubuh Davin hingga mengenai tembok dekat warung yang berada di pinggir jalan. Gazza memukuli Davin seperti orang kesetanan, bukan lagi bersama otot, tapi mulutnya juga terus berbicara tanpa henti menyebutkan berbagai macam nama hewan yang ada di kebun binatang.
“Dasar bangsat! Bajingan di mana dia? Di mana!!!” bukan lagi dengan tanda tanya, tapi kini Davin sudah mulai kalap.
Gazza kembali mendorong Davin hingga tubuhnya benar-benar menabrak tembok untuk kesekian kalinya.
“Ngapain lo cari Zali? Ngapain?”
Zali keluar dari tempat persembunyiannya, semua yang sedang melakukan aksi adu tonjok kini sontak menghentikan aksinya karena melihat Zali sudah keluar dari tempat persembunyiannya.
Begitupun dengan Davin, ia langsung menghampiri sang panglima tempur yang baru saja menampakkan wajahnya.
“Dasar bangsat!” Tanpa aba-aba terlebih dulu, Davin langsung menonjok pipi Zali yang masih terdapat bercak lebam akibat serangannya 3 hari yang lalu.
“Lo bajingan” Tak ingin kalah, kali ini Zali membalas tonjokan Davin yang tepat mengenai perutnya.
Sementara kedua panglima tempur itu melakukan adu tonjok berdua, yang lainnya sibuk untuk menghantam satu sama lain, menggunakan kayu atau batu yang dilempar secara asal.
Kali ini Zali berhasil membuat Davin terkapar dan tidak bangun untuk waktu yang cukup lama.
“Bangun lo!” Zali menarik paksa kerah baju Davin sekaligus membuat laki-laki itu terbangun dari posisi seharusnya. Zali memggenggam kera baju itu dengan sangat erat dan mendorong Davin hingga terkena kerasnya tembok.
“Ini Cuma salah satu dari dendam gue. Lo bakal rasain yang lebih parah” Ucap Zali dengan nada bicara yang halus, bahkan pelan tapi jelas saja mematikan.
Zali kembali menonjok wajah Davin sebagai salam perpisahan untuknya dan sebagai janji jika ia akan kembali lagi untuk membalas perbuatan Davin.
Tak butuh waktu lama, hanya kurang dari 30 menit Zali bisa membalaskan semua kejadian 3 hari yang lalu dengan tangannya sendiri. Membuat Davin terkapar di kadangnya dan di hadapan teman-temannya.
Kini, apa pantas Davin disebut sebagai panglima tempur?
Zali menganggkat telapak tangannya sebagai tanda untuk teman-temannya menghentikan serangan dan bergegas untuk kembali ke sekolah.
Zali sendiri tidak pernah menyangka jika dirinya bisa berlaku seberingas ini, padahal sejak dulu, Zali sangat benci pada kekerasan ataupun pertengkaran.
***
Tepat di depan halte, Dira menunggu pesanan ojek online yang akan mengantarnya pulang kerumah. Sebenarnya Dira bisa saja jalan kaki seperti kemarin, melakukan pengiritan karena biaya ojek online juga lumayan untuk uang jajan Dira selama 2 hari.
Dira membuka handphonenya yang semula berbunyi dan menampikan nama Zali di ujung layar. Ada apa Zali menelpon Dira?
“Dir, aku tunggu kamu di depan gang sekolah”
“Zal? Kamu ngapain ke sekolah aku?”
“Aku tahu kamu sakit.”
“Tapi aku udah pesen ojek online”
“Kamu kaya maksa aku untuk ke sana ya jadinya.”
“Jangan Zal, aku yang ke sana”
Dengan cepat Dira membatalkan pesanan ojek onlinenya dan berjalan menuju ke gang depan sekolah.
Sampai di depan gang sekolah, benar saja. Zali sudah duduk manis di atas motor berwarna hitam dengan bercak merah.
“Zali, ngapain ke sini sih?” Protes Dira.
Dira tahu, tadi saat istirahat berlangsung, Zali melakukan penyerangan ke sekolah Dira, dan bertengkar lagi dengan Davin.
“Makan yuk Dir, tadi pagi kata ibu, kamu belum makan, terus kata Dita juga kamu belum makan tadi siang”
“Gak usah Zal,”
“Gak mau denger kata penolakan.”
Dengan pasrah, Akhirnya Dira menaiki motor Zali, seperti kemarin-kemarin, Zali memberikan jaketnya untuk menutupi rok Dira.
“Kamu nggak akan bawa aku ke Subang lagi kan?” Tanya Dira pada saat motor Zali sudah berjalan membelah jalanan Kota Bandung.
“Nggak, kita makan di pinggiran Ciwalk aja.”
Tepat di warung sate di sekitaran Ciwalk motor Zali berhenti. Ia memesan 2 porsi sate ditambah lontong. Padahal Dira tidak akan sanggup untuk memakan semuanya.
“Kamu kenapa suka tawuran sih Zal?” entah apa, tapi ini yang terlintas di pikiran Dira. Tentang Zali yang sifatnya berbanding terbalik dengan sifat Adit.
“Kamu bakal percaya gak kalau aku bilang aku gak suka tawuran?” Dira menggeleng, mana mungkin Zali yang selalu menikmati tawuran itu justru malah tidak suka tawuran.
“Gimana bisa kamu bilang kamu gak suka tawuran tapi kamu sendiri justru malah menikmati kejadian itu dengan tenang” Zali tersenyum miring menatap Dira.
“Kamu percaya kalau aku sebenernya gak suka berantem?” lagi-lagi Dira menggelengkan kepalanya. “Terus kamu percaya gak kalau aku punya sifat yang berbeda sama Adit?” Dira mengangguk, karena itu memang benar, sifat Zali yang lebih keras dan sifat Adit yang lebih halus yang membuat Dira mengerti perbedaan itu. “Tapi kamu mungkin gak akan percaya kalau sikap Aku dan Adit justru terbalik”
Dira terdiam, maksudnya apa? Dan apa yang terbalik? Tapi belum sempat Dira bertanya. Sepiring sate datang dan Zali tidak memberikan waktu untuk Dira berbicara saat makan.
“Mau gak kalau kamu ketemu sama saudara kembarku?” Tanya Zali pada saat ia sudah selesai menyantap sepiring sate miliknya.
“Saudara kembar?” terdapat tanya di kepala Dira. Kenapa Zali baru bercerita jika dia mempunyai saudara kembar?
“Iya, muka kita gak mirip, tapi kita kembar. Dulu di rahim bunda kita berdua, aku kakaknya, dan dia adik aku. Namanya Zila.”
Dira mengangguk, tapi mengapa saudara kembarnya tidak pernah kelihatan oleh mata Dira? Apakah Zila itu tidak menyukai musik seperti Zali? Atau Zila itu lebih suka berada di dalam rumah dibandingkan dengan luar rumah seperti Zali?
“Mau ketemu dong Zal,” jujur saja, Dira jadi penasaran seperti apa wajah Zila yang katanya adalah kembaran Zali. Lalu apakah sifatnya sama atau berbeda?
“Lain kali aja deh ya, Kamu harus istirahat di rumah.”
Tidak harus sepertinya, Dira sudah merasa jika tubuhnya mulai membaik, kini malah yang ada rasa penasaran pada sosok saudara kembar Zali.
“I’m Oke”
Zali hanya tersenyum, tidak membalas ucapan Dira. Dira menatap Zali yang kini malah berjalan menuju ke tempat penjual es cendol yang berada di samping penjual sate ini.
Dira melihat handphone Zali yang tergeletak di atas meja. Handphone itu bergetar menampilkan ada SMS yang masuk, Dira tetap diam pada akhirnya handphone Zali berdering cukup lama, Telepon!
Dira melihat nama penelpon di ujung layar, my twin sister itu artinya ini adalah Zila. Dengan ragu, Dira menggenggam handphone yang terus menerus berdering, panggilan kedua berakhir, berlanjut ke panggilan ketiga. Dira menengguk ludah, entah ia lancang atau tidak, tapi Dira menggeser tombol hijau dan meletakan benda tipis itu di telinga Dira.
Terdengar jelas oleh telinga Dira suara seseorang dengan nada panik, juga sepertinya ada air mata yang ikut mengalir di sana. Dira tetap terdiam, ia tidak bisa berbicara, bahkan ia hanya bisa mendengar setiap kata yang diucapkan oleh kembaran Zali.
“Zal, lo dimana sekarang? Cepet pulang Zal. Gue takut bunda kenapa-napa. Ayah udah banting guci. Bunda udah nangis terus. Zal cepetan pulang”
Dengan segera juga Dira menutup telepon itu, Dira masih terkejut dengan suara wanita yang menangis dan memohon untuk Zali segera pulang.
Tak lama setelah Dira mengakhiri sambungan telepon, Zali datang dengan segelas es cendol di tangannya.
“Ada yang telepon ya Dir?” Tanya Zali pada Dira. Handphone Zali masih berada di genggaman tangan Dira. Lupa!
“Iya-“ Ucap Dira ragu. Dira takut jika dianggap lancang karena sudah berani untuk mengangkat telepon milik Zali.
“Siapa?”
“Saudara kembar kamu” masih terdapat rasa ragu dari diri Dira. Tapi Zali tampak biasa saja, tak ada ekspresi yang menunjukan jika Zali akan marah pada Dira.
“Oh, dia bilang apa?”
“Emm- Kamu disuruh pulang”
Seketika itu juga raut wajah Zali berubah total. Yang semula nampak biasa saja kini malah menegang dan seperti ada rona ketakutan dalam dirinya.
“Pulang sekarang yuk Dir,” Dira sudah bisa memastikan jika ada yang tidak beres dengan Zali saat ini.
***
Senja tolong titipkan permintaan maaf ini kepada Dia, wanita yang saat ini sedang berkecamuk dengan emosi. Tenangkan dia, buat dia senang walaupun bukan dengan seorang Adit. Biarkan dia tertawa lepas dan matanya mengeluarkan air mata bahagia. Jangan sampai air mata kesedihan menyelimuti mata indahnya. Hukum saja Adit, jika itu membuat Dira senang dan tidak menangis seperti tadi. Itu adalah janjinya pada Dira sejak kecil.
“Kamu kenapa nangis terus sih” Tanya Adit pada Dira yang sedang menangis di ujung kebun.
“Karena kamu jahat terus. Kamu nakal banget.” Dira terus menyekat air mata yang mengalir deras di pipinya.
“Kan aku seneng bikin kamu nangis, karena dengan seperti itu aku tahu kalau kamu ini cewe cengeng”
“Ayahku bilang kalau ada laki-laki yang bikin aku nangis, berati laki-laki itu jahat. Dan aku gak boleh temenan sama laki-laki jahat.”
“Tapi aku mau temenan sama kamu. Aku mau jagain kamu dari orang yang lebih jahat dari aku”
“Tapi kamu jahat”
“Aku janji nggak akan jahat lagi sama kamu. Aku janji kalau ada laki-laki yang bikin kamu nangis, akan aku buat dia hilang dari hadapan kamu”
“Kalau kamu?”
“Akan aku tutup semua toko buku di muka bumi ini dan akan aku buat diri aku sendiri hilang dari hadapan kamu”
“Kamu mau hilang kemana?”
“Ke pluto. Biar kamu nggak bisa ketemu aku”
“Yaudah, Berarti sekarang kamu harus hilang dari hadapan aku. Gak boleh jadi temen aku lagi”
“Gak mau, aku kan mau jagain kamu. Aku mau jadi malaikat untuk kamu”
Sepenggal obrolan saat mereka berusia 7 tahun masih teringat jelas di otak Adit. Tentang janjinya yang tidak akan pernah jahat pada Dira lagi. Tapi sampai saat ini Adit masih berlaku jahat pada Dira dan bahkan membuat Dira menangis. Itu artinya, Adit harus hilang dari hadapan Dira.
“Heh, ngelamun aja” Senggolan tubuh Reind membuat Adit tersadar dari lamunannya. Reind yang menyebalkan itu selalu membuat semua khayalan Adit buyar sejak tadi.
Saat ini Adit sedang berada di taman musik Centrum bersama dengan Gazza, Kenzo, dan Reind. Sejak tadi yang dilakukan oleh Adit adalah melamun sambil memetik gitar yang menghasilkan sebuah bunyi yang tidak beraturan.
“Dit, lo udah ngerasa puas ngeliat Davin terkapar di depan mata lo” Ucap Gazza yang lagi-lagi membuat Adit terpaksa untuk menghentikan lamunannya.
Sebenarnya itu suatu hal yang membuat Adit senang, tapi berbeda lagi kondisinya dengan saat ini. Saat ini yang ada dipikirannya hanya Dira, bukan Davin atau orang lain.
“Belum cukup puas”
Hanya tiga kata yang keluar dari mulut Adit, selanjutnya ia bungkam. Kembali melintas dipikirannya, seorang Dira.
Jika bisa Adit memutar waktu, Adit tidak akan melakukan semua hal itu pada Dira. Dan Adit juga akan benar-benar melakukan janjinya untuk tidak jahat lagi pada Dira, untuk tidak membuat Dira menangis lagi. Tapi sayangnya semua sudah terlambat, yang tersisa kini hanya penyesalan. Dan apakah semesta akan memberikan kesempatan untuk Adit memperbaiki semua hal yang sudah ia rusak karena egonya sendiri? Semoga saja.
Dan untuk kesekian kalinya, seseorang memecahkan lamunan yang sudah ia buat, handphone Adit bergetar. Diraihnya handphone yang berada di saku celana abu-abu yang belum ia ganti sejak pulang sekolah.
“Kenapa Zal?” Tanya Adit pada saat ia ketahui jika orang yang memecahkan keheningannya saat ini adalah Zali.
“Lo dimana?” Suara Zali terdengar panik. Ada apa dengan dia?
“Centrum, lo kenapa? Ada apa?”
“Temuin gue di rumah sakit jaya sejahtera, kamar 576”
Dengan cepat Adit mengakhiri panggilan secara sepihak dan mengambil tasnya yang tergeletak di bawah.
“Gue titip gitar ya, ada urusan urgent” Tak peduli dengan ucapan teman-temannya, Adit langsung berjalan menuju ke tempat parkir dan melajukan motornya menuju ke rumah sakit yang tadi disebutkan oleh Zali.
***
Zali menyandarkan tubuhnya di tembok rumah sakit. Pernyataan dokter tentang keadaan saudara kembarnya justru membuat Zali semakin kehilangan arah. Tujuan hidupnya seketika hilang saat satu persatu bagian dari hidupnya juga perlahan mulai hilang.
Tidak tahu sudah berapa banyak air mata yang mengalir dan sudah berapa kali juga ia menahan air matanya untuk tidak jatuh. Tapi tetap saja, sebuah luka tak akan bisa sembuh hanya dengan sebuah air mata.
“Zal,” panggilan itu membuat Zali menoleh ke arah sumber suara.
Adit sudah duduk di sampingnya dengan menggunakan celana abu-abu dan kaos berwarna putih yang ia balut menggunakan jaket levis.
“Ada apa?” Zali menghela nafas dan menghembuskannya secara perlahan, tujuannya sederhana. Hanya untuk mencari ketenangan.
“Zila koma” Zali mencoba untuk menenanggkan dirinya, tapi melihat ekspresi wajah Adit yang terkejut malah membuat Zali semakin terpukul.
“Jangan bercanda lo Zal”
“Lo bilang gue bercanda?” Zali menatap Adit dengan tatapan terkejut. “Kalau gue bercanda, gue bakal bilang hal yang jauh lebih parah dari ini. Gue bilang kalau Zila mati. Apa itu masih akan lo bilang bercanda?” Air mata Zali sudah tidak bisa ia tahan. Bukan hanya air mata, tapi emosi juga berkecamuk dalam diri Zali.
Adit terdiam, bahu Zali merasakan pukulan ketenangan dari sahabatnya ini. Harapan Zali hanya satu, ketika semua hilang, berikan ia satu orang. Sahabatnya.
Dan ini yang Zali butuhkan saat semuanya menghilang, Adit. Orang yang tahu semua baik buruknya.
“Bokap nyokap gue justru pergi setelah adu argumennya tadi sore, mereka saling menyalahkan. Bokap gue bilang, nyokap yang salah, dan nyokap bilang, bokap yang salah. Padahal mereka berdua penyebab Zila jatuh dari tangga. Karena pertengkaran yang mereka ciptain setiap malam bikin Zila jenuh dan frustasi. Dan saat sore ini puncaknya, Zila mau jadi penengah diantara mereka, tapi Zilajatuh di tangga paling atas karena ada pecahan guci yang tepat kena telapak kakinya. Darah itu terus ngalir dan Zila kepeleset darahnya sendiri sampai dia jatuh ke lantai dasar. Tempat bokap nyokap gue lagi adu bacot”
Akhirnya semua bisa ia ceritakan pada Adit, tentang semua masalah yang ia tutupi sejak beberapa bulan terakhir. Tentang keretakan keluarganya yang memaksa Zali untuk menjadi orang lain untuk mencari perhatian kedua orangtuanya. Tapi semuanya tak ada artinya, saat Zila terbaring antara hidup dan mati, kedua orang tuanya malah pergi tidak tahu kemana, jangankan menjaga, peduli saja belum tentu ada pada diri mereka.
Zali memperhatikan setiap sudut koridor Rumah Sakit sampai pandangannya berhenti di sebuah ruangan dengan sebagian kaca, ruangan tempat saudara kembarnya sedang tertidur, dan entah sampai kapan ia akan tertidur.
Rasanya Zali ingin seperti Zila, ingin tidur pulas tanpa harus mendengar sesuatu yang membuat telinganya sakit, Zali ingin tidur tanpa beban seperti Zila. Ingin tidur dengan sebuah ketenangan karena Zali tidak pernah bisa tidur dengan tenang. Ia ingin tertidur dan saat ia bangun semua keadaan sudah baik-baik saja.
“She will be fine” Zali menengguk ludah, itu yang saat ini ia inginkan, Zila akan baik-baik saja, semuanya kembali, Zila segera bangun dan tidak tidur terlalu lama. Zali butuh Zila untuk menguatkannya, Zali butuh teman untuk menemaninya menangis karena pertengkaran orang tuanya. Zali butuh Zila, hanya itu.
***
19.30 WIB.
Marvin baru saja sampai di rumahnya, tentu saja Marvin baru saja pulang karena main bersama dengan pacarnya, yaitu Lia.
Dari luar rumahnya Marvin bisa melihat jika ada tamu di dalam rumah. Jika dilihat dari jenis mobilnya, Marvin seperti sering melihat mobil itu, BMW hitam.
Bukan karena rasa penasaran, tapi karena memang Marvin harus masuk ke dalam rumah. Karena kamarnya ada di dalam rumah.
Pada saat membuka pintu, Marvin sudah bisa melihat siapa orang yang ada di ruang tamu, prasangkanya tidak salah. Ayahnya Dita.
Marvin memberikan salam kepada kedua orang yang sedang berbicang itu. Setelah ia beranjak dari tempat itu, Langkah kakinya terhenti saat panggilan ayahnya yang memaksa Marvin untuk kembali duduk di sana.
“Gini vin, jadi Om David mau kalau kamu sama Dita yang wakilin sekolah untuk olimpiade sains 3 minggu lagi”
APA? Ucapan ayahnya hampir saja membuat jantung Marvin berhenti berkontraksi. Bagaimana bisa Marvin menggantikan Dira yang sudah terpilih menjadi peserta olimpiade itu.
“Nggak bisa. Marvin nggak ngerti pelajaran fisika, kimia, apalagi biologi. Lagian pesertanya juga udah ada kan?” sebenarnya ini bukanlah alasan Marvin untuk menolak olimpiade ini. Tapi yang ada dipikiran Marvin adalah Dira.
Bagaimana jika Dira tahu? Bagaimana perasaan Dira jika ia tahu kini olimpiade itu dimanipulasi dengan uang lagi? Tujuan Dira mengikuti olimpiade ini karena alasan jika ia menang, ia akan terbebas dari tunggakan biaya sekolah semester ini dan semester lalu. Tapi kini?
“Apa yang kamu pikirin itu siswi yang banyak menunggak bayaran? Dia yang kamu pikirkan? Ayah tahu kalau dia itu teman kamu” Nada bicara ayahnya sudah mulai meninggi, bahkan Marvin tidak bisa Membalas, karena bagaimanapun Marvin sangat takut pada ayahnya.
“Namanya Dira. Ayah, dia itu pantes untuk dapet beasiswa tanpa harus ikut olimpiade ini. Dia udah bikin nama sekolah kita bagus, karena dia selalu menang diperlombaan dalam sekolah ataupun luar sekolah. Dan ayah tahu, Cuma lewat olimpiade ini Dira berharap bisa lunasin semua tunggakannya sama sekolah. Dan satu lagi, lewat olimpiade ini juga Dira bisa dapet sertifikat untuk bantu dia masuk universitas” Marvin sudah tidak tahu ingin berbicara apa pada ayahnya, kenapa sejak dulu ayahnya selalu gila hormat? Kenapa juga Marvin dan adiknya yang harus menjadi korban.
Jika bisa, Marvin ingin membokar semuanya kepada orang satu sekolah, agar semua permainan ini cepat berakhir, dan keadilan segera ditemukan.
“Marvin, kamu gak usah khawatir soal siswi itu, Dia akan om kasih beasiswa sekaligus dia akan ikut program sekolah yang diadakan 5 tahun sekali. Dan kebetulan juga tahun ini, sekolah kita mengadakan program itu, dan om yakin program itu gak akan merugikan dia sebagai seorang siswi yang berprestasi” dengan helaan nafas dan rasa ragu. Ini demi Dira, walaupun menyakitkan, tapi ini adalah keputusan yang semoga saja menjadi keputusan yang terbaik bagi Marvin maupun Dira.
“Terserah om sama ayah. Asalkan om tepati janji om untuk kasih beasiswa sama Dira”
“Tapi untuk kali ini om hanya melunasi tunggakannya pada semester lalu, kalau dia lolos seleksi untuk program sekolah, om akan kasih beasiswa sampai dia lulus sekolah”
“Jadi maksud om?”
“Semester ini dia harus bayar sendiri. Itu sudah termasuk keringanan”
Marvin tidak menjawab. Ia hanya bergedik dan langsung beranjak dari sofa tempat ayahnya dan Om David berbicara.
Ra, gue rela lo marah sama gue. Tapi menurut gue ini yang terbaik. Gue gak mau lihat lo kesusahan karena biaya sekolah. Dan ini jalannya, gue harus nurutin apa kata bokap gue buat lo Ra,- batinnya.
***