“Harusnya kamu nggak usah anter jemput aku Zal, kalau kamu anter jemput terus, nanti kamu bisa ketemu Davin, terus juga telat ke sekolah, terus juga ngabisin bensin kamu, terus juga-“ Ucapan Dira langsung terpotong dengan cepat seketika Zali langsung menutup mulut Dira.
“Terus juga kalau kamu ngomong mulu, aku gak berangkat-berangkat. Dan jadinya malah nambah telat cantik” Zali melepaskan tangannya yang semula membekap mulut Dira.
“Kamu nggak usah jemput aku nanti. Aku nggak enak ngerepotin kamu terus. Lagian aku udah sehat, istirahat dua hari di rumah udah cukup banget kok”
“Sesuai dengan permintaan tuan putri. Saya akan turuti” Zali berlagak seperti seorang anak buah raja di kerajaan. Persis seperti film-film tentang kerajaan jaman dulu.
“Ya, sana pergi ke sekolah. Keburu siang.”
“Sekolahku STM bu boss”
“STM?”
“Sekolah Terserah Murid”
Dasar Zali! Aneh tapi dia nyata.
Setelah Zali benar-benar hilang dari jalanan, Dira melangkahkan kakinya menuju ke dalam sekolah.
Koridor sudah lumayan ramai. Tapi ada sesuatu yang berbeda hari ini. Livi berdiri tepat di koridor utama gedung IPA dan yang menganehkan lagi, Livi bergandengan tangan mesra dengan Davin.
Saat melewati teman-teman Livi rasanya benar-benar cemas. Tak tahu apa yang harus Dira cemaskan, tapi itulah yang terjadi.
Langkah Dira biasa saja. Memandang lurus ke depan tanpa melihat Livi yang ada di samping koridor.
BRAKKK!!!!
Apa ini akibat Dira terlalu fokus pada jalanan yang ada di depannya sampai ia tidak melihat jika ia menyandung sesuatu.
“Nggak ngerti deh dia punya muka berapa, tapi kok bisa gitu dia masuk ke sekolah ini lagi”
“Bebas boss! Temannya kan pemilik sekolah, jadi jadi you know lah”
“Penusuk banget nggak sih? Pacarnya anak lentera. Dasar penyusup”
“Kurang puas sama mantannya Kak Livi, eh dia malah ngembat musuh baru sekolah kita. Udah gitu yang dia pacarin itu panglima tempur lentera”
“Ya wajah aja lah, dia kan cantik pinter dan all of them”
“Cowo juga mikirlah, siapa juga yang nggak mau sama cewe yang perfect kaya dia.”
“Oh jadi karena modal tampang aja. Waduh”
“Gue kira selama ini yang diomongin sama Kak Livi tentang Kak Dira itu salah, eh taunya sama aja. Malah sekarang kebongkar kedoknya.”
“Gimana ya perasaan Kak Adit kalau dia tahu Kak Dira malah pacaran sama musuh kita. Pasti sakit”
Oke cukup! Dira segera bangun dari ketersungkurannya di lantai. Ditatapnya Davin dan Livi yang mengukir sebuah senyum kemenangan. Tak mau berlama-lama di sana, Dira langsung berlari sekencang-kencangnya menuju ke kelas dalam kondisi air mata yang terus mengalir.
Tak mau peduli dengan semua teriakan orang-orang yang meneriakinya dengan segala ucapan yang membuatnya sakit telinga. Dira sakit. Bukan sakit karena malu, tapi sakit karena mendengar semua yang diucapkan oleh orang-orang satu sekolah. Dan sepertinya terlihat, Davin dan Livi yang merancang semuanya.
Sampai di dalam kelas Dira langsung menelungkupkan wajahnya di atas meja. Menangis sepuasnya di sana sekaligus merenungkan tentang apa salahnya pada Livi? Kenapa dia sangat benci pada Dira? Semua berkecamuk di kepala Dira.
Dira merasa jika penghuni kelas semakin beramaian datang. Tapi Dira masih tidak kunjung menaikkan kepalanya. Ia masih ingin menelungkupkan kepalanya di atas meja, menyembunyikan matanya yang dibasahi oleh air mata.
Dira juga sudah bisa merasakan jika Adit sudah duduk di sampingnya, tapi Adit diam saja. Tidak berbuat apapun sesuatu yang membuat Dira tenang dan menghentikan air matanya untuk terus mengalir.
Jadi ini rasanya sendiri di tengah-tengah keramaian, jadi ini rasanya tidak diperdulikan, jadi ini rasanya saat dunia ikut menjauhi Dira. Duduk di tengah-tengah keramaian, tapi sendiri, diabaikan, tidak dipedulikan, dan tak memiliki teman untuk berbagi kisah.
Saat Dira pikir Adit adalah orang satu-satunya yang akan membuat Dira tertawa saat ia menangis, tapi ternyata kini ia salah. Adit benar-benar Ada, tapi rasanya jauh sekali. Dia tidak menoleh jika Dira sedang menangis.
Isaknya semakin kencang saat memikirkan Adit. Tidak! Tujuannya bukan untuk menarik perhatian Adit agar menghiburnya seperti yang biasanya ia lakukan. Sama sekali bukan itu.
Lo masih butuh buku kan? Berenti nangis. Inget apa yang selalu gue bilang kan?
Air mata Dira seketika terhenti saat ada sebuah kertas yang disertai dengan sebungkus tisu. Dari Adit.
Tapi dia masih tetap dingin. Tak berkutik untuk membuat Dira tenang. Tidak! Ini yang saat itu Dira pinta pada Adit, yaitu tidak memberikan perhatian yang lebih pada Dira. Tidak mungkin Dira memaksa Adit untuk kembali. Sama sekali jangan sampai terjadi.
Dira memang tidak menginginkan banyak teman, tapi menjalani hari dengan rasa sepi juga bukan keinginan Dira.
***
Gudang gedung lama!
Korbannya sudah pergi, dan kini hanya tinggal rasa nyeri di tangannya yang belum pergi.
Adit menyandarkan tubuhnya di tembok dekat gudang. Kini hatinya sedang berkecamuk. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali memukuli Davin yang membuat semuanya berantakan. Hanya itu, yang terlintas di kepalanya.
Andai Dira selalu tahu, Adit tidak pernah benar-benar menjauh dari Dira. Adit hanya berusaha mewujudkan keinginan Dira, walaupun sebenarnya Adit sangat ingin melakukan semua hal yang membuat Dira senang dan jauh dari kesedihan.
Semuanya semakin berantakan saat obrolannya dan ayahnya 2 hari yang lalu. Saat ayahnya bilang jika mereka sekeluarga akan pindah ke Sumedang. Dan apa bisa Adit benar-benar jauh dari Dira?
Apa yang kini sedang direncanakan oleh semesta, apa akhirnya akan bahagia dengan caranya yang seperti ini? Atau akhirnya akan jauh dari kata bahagia. Zila, wanita yang tak lain adalah bayangan Zali. Kenapa harus Adit berbohong pada Zali tentang perasaanya pada Zila dan pada Dira. Kenapa juga harus berbicara jika Adit menyukai Zila? Apa tujuan Adit yang sebenarnya? Bahkan Adit tidak tahu apa yang sedang ia rencanakan, apa tujuannya? Semuanya seperti blur. Tak jelas bahkan tak terlihat oleh penciptanya sendiri.
Merenung. Mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan di tempat kumuh ini. Bersama dengan decitan suara tikus kecil yang berbunyi. Bagaimana bisa seluruh masalahnya bisa berikatan seperti ini. Saat Dira menyuruh Adit untuk menjauhinya, tak lama setelah itu juga Adit benar-benar harus pergi dari Bandung. Dan itu artinya Adit harus pergi meninggalkan seluruh isi Bandung. Terutama Dira. Apa ini termasuk rencana semesta? Apa ini yang diinginkan oleh semesta? Adit jauh dari Dira setelah kedekatannya yang lebih dari 12 tahun lamanya. Apa ini adalah kemarahan semesta karena Adit selalu jahat dan membuat Dira kesal? Apa ini, ini balasannya?
Tapi jika ini adalah rencana semesta, Adit terima. Karena Adit tahu, rencana semesta tidak sepenuhnya menyakitkan.
***
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi, Dira segera memasukkan seluruh buku yang berserakan di mejanya kedalam tas dan kemudian berjalan dengan langkah cepat meninggalkan sekolah.
Masih sama seperti tadi pagi, seluruh orang di sekolah ini masih menatap Dira dengan tatapan tak senang dan penuh dendam. Padahal Dira tidak pernah melakukan hal yang merugikan mereka, Dira hanya mempunyai masalah dengan Livi, tapi kenapa satu sekolah ikut membenci Dira.
“Diraa” Panggilan itu membuat Dira menoleh, suara itu seperti tidak asing di telinga Dira.
“Kak Gres?”
Dira melihat Gresilda berlari ke arah Dira yang sudah berada di mulut gerbang. Terpaksa, Dira harus menghentikan langkahnya dan menunggu Gresilda tiba di tempatnya berdiri.
“Ada titipan dari Kak Revan, karena tadi malam kamu nggak masuk kerja dan tadi pagi juga aku nggak lihat kamu di kantin” Dira meraih sebuah paperbag berwarna pink yang diulurkan oleh Gresilda.
“Ini apa kak?” Tanya Dira bingung. Tumben sekali Revan memberikan Dira sesuatu seperti ini, padahal biasanya Revan sama seperti Adit, selalu membuat Dira sakit kepala karena perlakuannya yang aneh-aneh.
“Gak tahu, katanya sih dia kemarin main ke suatu tempat, dan nemuin buku ini”
“Makasih ya kak”
“Ra, jangan pernah takut sama Livi ya, jangan juga ngerasa kalau kamu sendiri. Semangat!” Dira tersenyum.
Tapi ini adalah Gresilda, anak Om Tisna yang tak lain adalah sepupu Marvin. Seseorang yang sama seperti Marvin. Bagaimanapun, Darah lebih kental saripada Air.
“Kalau gitu makasih ya kak, aku duluan”
Dira melangkahkan kakinya menuju ke luar sekolah. Jalanan sebenarnya ramai, tapi Dira merasa jika ia sedang sendiri. Dunianya seketika hilang saat kejadian tadi pagi. Ingin menangis lagi, tapi sayangnya ini adalah jalanan. Bukan kamar Dira dirumah.
Sampai di depan gerbang perumahan tempatnya tinggal. Tangis Dira kembali pecah. Tak tahu kenapa bisa terjadi, tapi semakin dekat ke rumah, semakin sedih juga rasanya.
Dira saat ini bukanlah orang yang berada. Tapi sebelum ayahnya pergi, ayahnya sempat membeli rumah di perumahan yang lumayan bagus dan tidak terlalu buruk.
Kini, saat ayahnya sudah pergi, semua berubah. Gaya hidup Dira, seluruh perilaku dan sifat Dira. Dan hampir keseluruhan hidup Dira berubah. Adit juga pergi, dan ini adalah waktunya untuk menjadi seorang wanita madiri yang sesungguhnya sesuai dengan keinginan ayahnya sejak dulu.
“Dir” Panggilan itu membuat Dira menoleh. Ke belakang, tak ada orang di belakangnya, di depan juga tidak ada.
Dira menoleh ke arah taman, ada Zali dengan motornya yang kemarin ia tinggalkan di gang depan sekolah. Ia tersenyum ke arah Dira. Laki-laki itu kini selalu datang di saat Dira sedang membutuhkan teman[1] .
“Ngapain di sini? Kenapa nggak ke rumah aja?” Tanya Dira pada Zali yang masih setia duduk di atas motor berwana hitam dengan bercak merah miliknya.
Zali hanya tersenyum, seragam berwarna biru masih menempel sempurna di tubuh Zali dan itu menandakan jika ia belum pulang kerumahnya.
“Kalau bisa ketemu di sini, kenapa harus ke rumah?”
“Gak sopan, harusnya bilang sama ibu aku dulu”
“Udah, sebelum ke sini udah ke rumah kamu dulu”
“Kok bisa?”
“Apa yang Zali nggak bisa?”
“Bikin puisi?”
“Bisa”
Dira mengangguk, ia percaya jika Zali memang bisa merangkai satu kata menjadi puluhan kata. Dan lebih lagi, kata-kata sederhana itu berubah menjadi sebuah kata-kata yang indah.
“Ikut yuk” Belum saja Dira menjawab ajakan Zali, tapi tangan Zali sudah menggenggam tangan Dira terlebih dahulu.
Awalnya Dira ingin tidur di rumah saja, ingin menangis di kamar hingga matanya membengkak. Tapi rasanya kali ini tidak mungkin, Zali malah mengajaknya pergi masuk ke dalam taman komplek yang tidak terlalu besar, tapi ada banyak pohon rindang yang tumbuh untuk melindungi seseorang dari teriknya sinar matahari seperti saat ini.
Sampai di tengah taman, Dira duduk di kursi kayu yang berdekatan dengan taman bermain anak-anak.
“Tunggu sini ya, mau ke motor dulu sebentar. Ada yang ketinggalan”
Dira mengangguk, Pandangannya kini beralih ke arah sekumpulan anak-anak yang berusia sekitar 5-7 tahun yang sedang bermain perosotan, ayunan, lompat tali dan jungkit-jungkitan di taman bermain.
Mereka tampak bahagia, tertawa dan bermain bersama. Pada saat ada yang terjatuh salah satu temannya membantu dan yang lainnya juga tetap ikut membantu.
Rasanya Dira ingin menjadi anak kecil seperti mereka yang selalu tertawa, sekalipun menangis, mereka hanya menangis karena terjatuh dari permainan atau memperebutkan permainan. Dira ingin menjadi anak kecil yang abadi, yang tidak akan tahu atau mengenal sebuah permasalahan besar seperti ini.
“Hey! Kok bengong” Sentuhan tangan Zali yang mengenai bahunya membuat Dira terkejut. Ia sibuk memperhatikan anak-anak yang sedang bermain.
“Enak ya jadi mereka. Senang, bahagia, dan nggak pusing seperti kita” Dira melihat Zali sudah duduk di sampingnya dengan membawa sebuah plastik besar yang tak tahu apa isinya.
“Gabung ke sana yuk”
“Ngapain? Nanti mereka malah keganggu kalau ada kita”
Zali menggelengkan kepalanya, sesegera mungkin Zali mengenggam tangan Dira dan mengajak Dira untuk ikut bergabung dengan anak-anak yang sedang bermain di taman bermain anak-anak.
“Hayy!” Zali menyapa seluruh anak itu sambil tersenyum. Mereka juga membalas senyuman Zali. Bahkan semua anak yang sedang bermain malah menghentikan permainannya hanya untuk membalas senyuman Zali.
“Boleh kenalan gak?” Ucap Zali sambil duduk di tengah-tengah kerumungan anak yang sedang bermain.
Satu persatu anak duduk melingkari Zali. Dira hanya berdiri di dekat ayunan sambil memperhatikan apa yang dilakukan oleh Zali.
Kenapa bisa Zali berbaur dengan anak-anak kecil seperti mereka. Dan bahkan mungkin Zali juga belum mengenal siapa mereka.
“Nama kakak, Zali. Kalian bisa panggil Kak Zali aja.”
“Kak nama aku Zila.” Anak perempuan dengan rambut pirang yang terurai rapih itu mengangkat tangannya.
Zali hanya tersenyum dan kemudian mengajak seluruh anak untuk berkenalan.
Setelah mereka berkenalan, Dira bisa melihat Zali seperti berkerumung membuat sebuah lingkaran yang berbentuk kecil dan seperti terlihat sedang berbisik. Dira hanya menatap itu dengan tatapan yang biasa saja. Tidak begitu penasaran, ya walaupun memang sedikit ada rasa penasaran. Sedikit!
Dira mengambil paperbag yang semula tergeletak di atas rumput taman. Ia membuka secara perlahan isi dari paperbag yang katanya dari Revan.
Dira terkejut dengan isinya. Buku yang berjudul Bumi manusia karya Pramoedya ananta noer. Buku bergenre sejarah yang sangat Dira inginkan sejak dulu. Dan kini Revan memberikannya kepada Dira.
“Hay kakak cantik” kekaguman Dira pada buku ini harus terhenti saat ia melihat ada anak kecil yang berdiri tepat di hadapannya.
“Kenalin nama aku Riko. Kalau nama kakak siapa?” Dira tersenyum. Ia meletakkan buku itu di pangkuannya.
“Namaku Dira.”
“Ini, untuk kakak. Semoga kakak bahagia terus ya” anak laki-laki itu memberikan setangkai bunga aster yang dibalut rapih menggunakan kain panel.
Kemudian anak laki-laki itu pergi, tak lama datang anak perempuan dengan rambut dikepang dua. Dia sangat cantik.
“Selamat sore kakak. Namaku Andira. Kakak cantik banget. Manis juga. Pasti kakak baik juga ya” lagi-lagi Dira tersenyum saat mendengar ucapan anak ini.
“Namaku Dira. Terimakasih. Kamu juga cantik.
“Ini untuk kakak” Anak ini kembali memberikan sebuah bunga aster seperti anak sebelumnya.
Saat Dira meletakkan bunga itu di samping tubuhnya, tiba-tiba datang lagi satu anak perempuan, kali ini namanya Zila. Dia malah banyak bercerita dan membuat Dira semakin senang.
“Kakak punya adik nggak?” Tanya anak itu pada Dira. Dira hanya menggelengkan kepalanya. “Aku punya kakak perempuan, tapi kayaknya dia nggak sebaik kakak, soalnya dia itu sering nyuruh-nyuruh aku untuk ngambil ini-itu. Aku kesel.” Dira tersenyum. Orang yang diceritakan anak ini sama persis seperti Kak Diana.
“Mungkin dia punya alasan tersendiri. Kamu turutin apa kata kakak kamu, dengan gitu kamu bisa jadi anak yang baik. Anak baik kan disayang sama tuhan.”
“Kalau kakak pasti disayang tuhan, terus juga disayang sama kakak yang di sana ya” Anak perempuan itu menunjuk ke arah Zali.
“Ini untuk kakak. Semoga kakak banyak disayang sama orang. Semoga kakak selalu bahagia ya” anak itu kembali memberikan setangkai bunga aster yang sama seperti anak sebelumnya. Anak perempuan ini mengingatkan Dira pada Zila, saudara kembar Zali yang sangat ingin Dira jumpai.
Dira meletakkan bunga itu di sampingnya bersama dengan bunga-bunga yang lainnya.
Dira mengambil buku yang sangat ingin ia buka sejak tadi, tapi ada seorang anak laki-lakiyang datang kepadanya. Bukan menyebutkan nama, Tapi dia langsung bertanya.
“Kakak, kalau punya majalah bobo, aku mau ya. Nanti aku mau suruh ayah atau bunda aku untuk ceritain. Soalnya aku suka sama bobo”
“Aku punya buku The Hobbit nanti aku kasih sama kamu deh. Nama kamu siapa?”
“Dika, rumah kakak dimana? Nanti aku main ke rumah kakak sama ayah dan bunda aku”
Dira tersenyum, anak laki-laki ini sama seperti dirinya yang sangat menyukai majalah bobo dan seluruh cerita anak-anak.
“Rumahku di ujung jalan sana, toko kue coklat. Kamu bisa ke sana kapan aja”
“Oh jadi toko kue coklat itu punya kakak, aku senang ke sana. Coklatnya enak banget”
“Kalau kamu ke sana, kakak akan kasih coklat yang paling enak untuk kamu”
“Makasih kak, aku mau ngobrol lagi sama kakak, tapi kayaknya waktu aku udah abis. Ini untuk kakak”
Anak laki-laki itu memberikan setangkai bunga aster, sama seperti anak sebelumnya. Tapi apa maksudnya? Waktunya sudah habis.
“Memang kamu mau kemana? Kok waktunya habis?”
“Kakak itu bilang Cuma lima menit. Jadi setelah lima menit aku harus pergi” Anak laki-laki itu menunjuk ke arah Zali.
Laki-laki itu hanya tersenyum dari kejauhan. Oke cukuplah Zali!
Dira meraih buku dan semua bunga aster yang ia dapatkan dari anak-anak yang sudah datang kepadanya. Ia menghampiru Zali yang sejak tadi sudah tersenyum dari jarak jauh. Zali dikelilingi oleh banyak anak kecil yang masing-masing sudah memegang sebuah eskrim.
“Kamu tuh aneh-aneh aja ya. Ngapain coba?” Dira duduk di samping Zali. Laki-laki itu masih terus tersenyum menatap Dira.
“Nih” Zali menyodorkan sebuah eskrim. Dira menggeleng. Yang saat ini ia inginkan bukanlah eskrim, tapi penjelasan Zali.
“Nggak mau kalau belum dijelasin.”
Zali mengeluarkan 3 mainan dari dalam plastik. Lego, rubik, dan puzzle. Ia membagikan mainan itu kepada 3 orang yang tadi sukses membuat Dira tersenyum. Apa sih maksudnya?
“Aku tahu kamu lagi sedih. Aku kirim anak-anak ini untuk bikin kamu senyum. Aku ajak kamu ke sini untuk ngejauhin kamu dari kamar. Karena kalau udah di kamar, kamu bakal nangis. As simple as water.”
“Dasar Zali!”
“Nih. Katanya kalau aku udah jelasin kamu bakal terima eskrimnya” Zali kembali mengulurkan eskrim yang tadi Dira tolak.
“Kakak, kita pulang ya. Sebentar lagi sore. Nanti ayah sama bunda kita nyariin. Makasih ya kak. ” ucap salah satu anak yang ia yakini adalah pemimpin mereka.
“Makasih ya adik-adik. Sampai jumpa” Zali melambaikan tangannya. Dira hanya tersenyum.
Dan kini hanya tinggal Zali dan Dira di taman bermain ini. Matahari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya.
“Kenapa kamu selalu ngelakuin hal yang buat aku senang sih Zal?” Tanya Dira pada Zali yang sedang menikmati eskrim miliknya.
Zali tidak berbicara sampai eskrimnya benar-benar habis dan tak tersisa sedikitpun.
“Zal,” Panggil Dira, tujuannya untuk mendapatkan jawaban dari Zali.
“Aku mencintai kamu tanpa karena dan tapi. Tapi aku tahu, karena dan tapi itu selalu ada di antara kita” Dira hampir saja tersendak.
Raut wajah Dira pasti sudah berubah drastis. Entahlah seperti apa, tapi yang jelas perasaanya juga sudah tidak karuan.
“Aku tahu Dir, kamu mencintai dia, bukan aku” Zali sama sekali tidak menatap ke arah Dira. Ia terus memandang ke arah jalanan yang lenggang.
“Aku Cuma nggak siap untuk pacaran Zal”
“Andai kamu tahu, aku laki-laki yang nggak sama kaya orang di luar sana yang mencintai dengan gila, berharap untuk diterima, dan memaksa agar diterima. Aku punya prinsip, jika sang tuan rumah tak mau membukakan pintu, tak ada satu langkah juga yang kuperuntukkan untukmu.”
“Zal,-“
“Kamu nggak perlu minta maaf, aku cukup senang kamu tahu, aku Cuma mau ada di samping kamu, aku juga Cuma mau bikin kamu senang dan nggak ngerasa sendirian di dunia yang ramai seperti ini”
“Zal,-“
“Janji sama aku, setelah ini nggak akan ada air mata yang mengalir di pipi kamu. Janji juga setelah ini nggak akan ada jarak yang tercipta.” Zali kini mengalihkan pandangannya dari jalanan, ia menatap Dira. “Janji ya Dir?”
“I’m Promise”
***
“Kamu ikutin apa keinginan ayah atau kamu ayah kirim ke luar negeri? Tinggal pilih”
Saat ini Marvin sedang disidang oleh ayahnya tentang masalah beberapa hari yang lalu saat ia meninggalkan tempat bimbingan dengan sengaja. Marvin tidak suka berada di luar negeri, karena seperti itu Marvin seperti menjadi anak yang terbuang.
“Kakak udah bilang, Silahkan kirim kakak ke luar negeri asalkan ayah selesain permainan ayah ini”
“Kalau kamu pergi justru ayah lebih mudah untuk melanjutkan permainan ini. Itu pilihan kamu.”
“Ayah, kenapa ayah nggak pernah dengerin kakak sih, yah. Dunia ini akan berputar. Akan ada saatnya kita berada di bawah. Ayah tolong sadar”
“Apa yang kamu tahu? Apa? Ayah Cuma mau kamu berubah jadi lebih baik, ayah Cuma mau kamu jadi panutan di sekolah. Vin, kamu tuh anak pemilik sekolah, gimana caranya kamu ada di baris paling bawah terus setiap kali ujian. Gimana cara ayah nutupin malu ayah? Kamu tahu gimana?”
“Yang jelas bukan dengan cara ini. Ayah itu udah dzolim yah”
Tak mau berbicara banyak dengan ayahnya, Marvin melangkahkan kakinya menuju ke lantai dua kamarnya. Ia membantingkan tubuhnya di atas kasur, hari ini cukup melelahkan karena harus adu mulut dengan ayahnya dan juga dengan Adit. Berbicara soal Adit, masalahanya masih sama. Olimpiade yang harusnya ada di tangan Dira.
Berbicara soal Adit ya, Adit bukanlah orang yang senang diam. Dia punya seribu sifat ganas yang tidak diketahui oleh orang lain, kecuali sahabat-sahabatnya. Bahkan Dira tidak menyadari jika Adit mempunyai kepribadian yang lebih menyebalkan dari yang Dira tahu.
Marvin bangkit dari kasurnya dan berjalan ke arah meja belajar. Ada banyak tumpukan buku sejarah atau buku ilmuan yang dulu sering ia beli. Marvin dua tahun yang lalu adalah Marvin yang gemar membaca, walaupun dengan suruhan ayahnya terlebih dulu, tapi setidaknya dulu Marvin sangat menikmati segala yang ayahnya perintahkan. Tidak seperti sekarang. Berbeda sekali.
Tapi bukan ke arah sana pembahasan Marvin di cerita ini. Pandanganya jatuh pada sebuah bingkai berwarna putih disertai dengan gambar merpati putih yang timbul. Ditatapnya foto dua orang wanita dan dua orang pria yang sedang berpose di depan rumah hobbit. Marvin ingat, ini adalah foto yang diambil sekitar satu tahun yang lalu di Farmhouse Lembang. Tak banyak cerita di sana, tapi itu adalah salah satu saksi perjalanan persahabatan mereka.
Marvin membuka bingkai itu dan mengambil selembar foto yang semula menempel di dalam bingkai. Diraihnya foto itu. Dulu, mereka tampak bahagia, tidak seperti sekarang. Rasanya lebih tercipta jarak antara ke empat orang itu.
Di balik foto itu, Ada tulisan tangan milik Dira. Tulisan tangan yang menjelaskan siapa itu Marvin, Dita, Adit, dan Dira. Foto ini juga seakan membawa Marvin ke masa lalu, masa di mana mereka tertawa lepas dan tidak memiliki permasalahan yang serius seperti saat ini.
Melalui tulisan ini juga, Dira menjelaskan di mana titik keberadaan dan perbedaan mereka. Semuanya seperti curahan hati Dira. Dunia yang berbeda yang memaksa perbedaan itu terjadi, dunia yang berbeda pula yang membuat perselisihan itu juga terjadi. Kenapa harus ada perbedaan di dunia ini? Kenapa seluruh orang tidak dapat hidup setara? Kenapa? Tolong jawablah semesta.
Marvin adiwijawa.
Laki-laki terbaik seantero SMA pandu sejahtera. Dia itu seperti pangeran yang menyamar menjadi seorang anak biasa. Laki-laki galak tapi setia. Setuju nggak?
Meysiska faradita.
Cewe sih, wujudnya sih cewe, tapi kepribadiannya seperti seorang Marvin. Jago berantem, sekali berurusan sama dia, tulang rusuk lo semua patah.
Setuju? Harus!!
Adira azzahra.
Feminim banget anjir, dunianya nggak pernah jauh dari buku, itu sih pendapat kita. Dia wanita kuat kaya samson. Nggak suka cowo, sukanya sama laki.
Aditya Rhazes.
Matahari kita boss!! Bukan laki, tapi dia cowo. Dia sih bilangnya gitu. Gak neko-neko. Sekalinya neko-neko ya neko-neko banget. Jadi ngeribetin.
Gak peduli mau lo setuju atau nggak.
Marvin terdiam. Ada sedikit senyum miris yang tercipta karena kini semuanya tak seindah dulu. Dunia yang dulu berisi sahabatnya, kini perlahan mulai pergi juga. Jika bisa Marvin meminta kepada semsesta, Marvin akan meminta jika ia ingin ayahnya sadar. Jika ayahnya sudah sadar, semua tak akan pernah serumit ini kejadiannya.
***
Kini Rumah Sakit adalah salah satu tempat yang sangat sering Zali kunjungi, bahkan ia lebih sering mengunjungi Rumah Sakit dibandingkan dengan Rumahnya sendiri. Kini semuanya memaksa Zali untuk berubah menjadi lebih siaga. Jarang mempunyai waktu untuk bermain bersama dengan teman-temannya, kini waktu Zali hanya diisi oleh kunjungan ke Rumah Sakit untuk melihat apakah saudara kembarnya sudah bangun atau masih beristirahat, dan jika Zali tahu jika Zila masih tertidur, Zali akan tetap berada di sampingnya hingga pagi tiba dan kemudian berangkat ke sekolah meninggalkan Zila.
“Makan boss” Adit memberikan sebuah plastik hitam yang berisi makanan.
Zali menatap Adit yang kini duduk di sebelahnya, bagaimana caranya Zali bisa dekat dengan Dira atas permintaan sahabatnya ini. Permintaan Adit yang Zali anggap adalah permintaan bodoh. Menyuruh seseorang untuk mencintai seseorang yang sangat ia cintai juga, apakah itu yang disebut pandai?
“Lo punya perkiraan nggak kapan Zila bakal bangun?” Tidak usah berikatan dengan Dira dulu, kali ini Zali ingin membahas Zila. Ia rindu pada Zila.
“Secepatnya”
“Kenapa?”
“Karena dia itu banyak maunya. Sama kayak Dira”
“Gue janji kalau lo bangun gue nggak akan ninggalin lo lagi Zil, gue nggak akan nakal sama lo lagi, gue bakal nurut sama lo Zil.” Zali menggenggam tangan Zila. Sesekali juga ia mencium tangan Zila.
Zila adalah sebagian dari jiwanya, kembarannya, seseorang yang berbagi rahim dengannya, orang yang menjadi bayangannya. Zila dan Zali. Anak kesayangan bunda dan ayah. Tapi sekarang bunda dan ayah pergi tanpa peduli jika salah satu anaknya sedang terbaring dan tak tahu kapan akan bangun.
“Ke Ciwalk sebentar yuk, anterin gue minum kopi di deretan Ciwalk.” Ucap Zali yang dibalas anggukan oleh Adit.
Mereka berjalan menuju ke Ciwalk menggunakan mobil milik Adit. Tak butuh waktu lama untuk sampai di kawasan Ciwalk dan tak butuh waktu lama juga untuk sampai di kedai kopi yang Zali maksud.
“Espresso” Ucap Zali pada Adit yang sedang memegang daftar menu.
Kopi, ini adalah sesuatu yang Zali suka ketika masalah sedang mengerumunginya. Kopi mengajarkan kita bahwa sesuatu yang pahitpun bisa dinikmati dengan baik. Kopi memiliki banyak pelajaran hidup. Zali tahu itu dari buku yang berjudul Filosofi kopi milik ayahnya yang ada di perpustakaan kecil di rumahnya.
“Kenapa harus kopi yang pahit?”
“Karena kopi yang gue suka”
“Dira lebih suka eskrim”
“Tadi sore gue udah coba makan eskrim untuk nenangin pikiran gue, tapi nyatanya gue bukan Dira yang bisa tenang dengan sebuah eskrim. Gue nggak bisa kaya Dira”
“Lo bisa duduk manis dengan menenggak sebuah eskrim, nyoba untuk tenang dan masuk ke dunianya Dira. Tapi lo nggak berhasil. Apa Dira juga bakal berhasil masuk ke dunia lo dengan cara lo suguhin dia kopi?”
“Someday mungkin. Tapi gue tahu, Dira lebih suka sesuatu yang manis, bukan sesuatu yang pahit kaya gue”
Mungkin memang benar, Zali dan Dira cukup berbeda untuk menyikapi seperti apa hidup ini harus dinikmati. Zali lebih memilih untuk menikmati kepahitan hidupnya, tapi Dira lebih menghindar dari kepahitan hidupnya, dia membuat hidupnya manis dengan caranya yang tersendiri. Seperti itu.
***
“Ya ampun kakak, thanks for give me this book. Aku suka banget buku ini.” Dira menunjukan buku yang tadi sore ia dapatkan. Ia pamerkan buku itu kepada pemberinya. Revan. Si baik hati namun menyebalkan.
“Cuma buku. Kebetulan juga kakak inget kamu. Ya jadinya dibeli aja. Biar kamu tuh nggak anggap kalau aku tuh bener-bener nyebelin”
Benar juga, ternyata tidak selamanya orang yang menyebalkan benar-benar menyebalkan, terkadang memang seseorang mempunyai sifat baik yang tertutup oleh sifat buruknya.
Toko sedang sepi karena hujan, Dan ini kadang menjadi sebuah kesempatan untuk Dira dan semua orang yang berada di restoran untuk sedikit bersantai menikmati rintikan air hujan yang jatuh membasahi jalanan dan menempel di kaca Restoran.
“Kak, kakak kenapa nggak pacaran? Kak Revan tuh kan ganteng kaya Ricky harun, masa jomblo sih” pertanyaan Dira membuat Revan tersendak karena ia sedang menyantap semangkuk sop ayam yang lumayan pedas. “Maaf, nih minum dulu” Dira menyodorkan segelas teh hangat yang sebenarnya sudah ada di depan Revan.
“Salah nggak sih kalau orang setua kakak masih takut sama yang namanya kejadian di masa lalu, wajar nggak sih?” Revan menyingkirkan sop ayam yang sudah membuatnya tersendak, pandangannya kini beralih kehadapan Dira.
“Wajar aja sih, tapi kakak nggak boleh jadiin masa lalu kakak itu sebagai patokan untuk mencari kebahagiaan di masa depan. Emang kenapa sama masa lalu kakak?”
Revan tersenyum, senyumnya juga bukanlah sebuah senyum kebahagiaan melainkan sebuah senyum kemirisan, itu sangat jelas terlihat oleh mata Dira. Revannya kali ini bukanlah Revan yang senang mengganggu, tapi ini Revan sedang menjadi sosok lain dalam dirinya yang Dira tidak tahu.
“Masa lalu kan bukan untuk menjadi perbincangan di masa depan, tujuan diadakannya masa lalu untuk memberi pelajaran kepada semua orang tentang kehidupan yang ia jalani”
“Jadi?”
“Ngebongkar masa lalu kakak itu, sama aja kaya ngebongkar luka yang hampir kering”
“Maksudnya?”
“Kamu nggak usah ngerti apa maksudnya, kamu hanya perlu tahu, kamu yang udah bikin luka itu perlahan kering”
Dira semakin tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Revan. Apa sih masa lalunya sampai-sampai ia benar-benar tidak mau membagikan sedikit kisahnya, dan kenapa juga dia bilang jika Dira adalah seseorang yang membuat lukanya perlahan kering.
Dira masih berpikir, sebenarnya ia tahu jawabannya, tapi mana mungkin hanya itu. Pasti ada satu lagi. Tidak mungkin Dira adalah alasan luka itu sembuh. Mana mungkin.
“Kamu bingung ya?” Asal Revan tahu, Dira bukan saja bingung, tapi ia juga penasaran.
“Sedikit”
“Kamu tuh anak pinter. Pasti kamu tahu”
“Tapi kayaknya aku akan lebih paham kalau kakak jelasin”
Revan terdiam. Tidak terlalu lama, tapi berhasil membuat Dira semakin penasaran.
“Percaya nggak kalau kakak tuh orang yang susah move on?”
Dira mengangguk. Tujuannya hanya satu, untuk mempersingkat waktu agar Revan bisa bercerita dengan cepat.
“Tapi semuanya berubah saat ada anak SMA kelas 10 yang datang dan kerja di tempat ini. Dia itu kamu kan? Tapi kamu percaya nggak sih kalau kakak itu langsung move on saat denger nama kamu. Hanya denger nama kamu”
“Mana mungkin, masa Cuma karena nama”
“Tapi itu fakta mengejutkannya. Nama mantanku Dira. Itu malah yang bikin aku yakin kalau akan ada orang baru yang hadir. Seperti nama kamu dan nama dia. Aku anggapnya gini. Dira yang satu hilang, datanglah Dira yang baru. Gitu aja.”
“Gak masuk akal”
“Pikirin aja dulu masuk akal atau nggaknya. Tapi kan apa kataku tadi, itu adalah fakta mengejutkannya.”
***