Suara obrolan diluar membangunkan Banyu, suara-suara yang dikenalnya. Ia pun langsung bangun dan menyimak pembicaraan itu.
“Jadi neng beneran kenal Deska?” Tanya Salman.
“Iya a.” Jawab Millia lembut.
“Jadi umur neng bukan 19 atau 20 tahun?” Tanyanya penasaran.
Millia menggelengkan kepalanya.
“Baguslah, seenggaknya perbedaan umur enggak jadi masalah.” Gumamnya.
“Banyu itu kepribadiannya enggak banget neng, sebaiknya dipikir-pikir lagi yah kalau dia ngajak jadian.” Pintanya dengan wajah memelas.
Millia hanya tersenyum mendengar kata-katanya.
“Mulai sekarang jangan kasih aa senyuman kayak gitu neng, enggak kuat aa menanggung semua derita ini. Gimana bisa cewek yang aa taksir ternyata cewek di masa lalu sahabat aa? Oh Tuhan, gimana bisa takdir ini sungguh memilukan…” Oceh Salman dengan gaya layaknya seorang pujangga.
“Berhenti sama omong kosong “aa eneng” kalian itu seumuran!” Bentak Banyu.
“Dia tetap lebih muda dari gue,Bro. Sah-sah aja donk!”jawabnya dengan penuh kemenangan.
Banyu tidak memperdulikannya, matanya tertuju pada sesosok gadis yang sedang tersenyum manis. Ia terlihat lebih dewasa mengenakan setelan kemeja dan blazer berwarna senada. Wajahnya dipulas dengan riasan yang natural dan rambutnya disanggul sederhana. Terlihat sangat cantik baginya.
“Kamu mau kuliah? Mau ku antar?” tawarnya.
“Kuliahnya nanti siang,aku harus kekantor dulu. Engga usah repot-repot antar aku kamu kan harus kerja juga, nanti dimarahin boss loh.” Candanya.
“Aa hari ini masuk siang, aa yang antar yah?” Goda Salman.
“Masuk siang apanya? Kamu cepat berangkat deh…” Ucapnya kesal.
“Hati-hati dijalan ya neng geulis pujaan akang…”
Millia tertawa kecil mendengar gombalan Salman.
“Apanya yang hati-hati dia lebih bahaya kalau terus ada disini..” Banyu makin merasa jengkel.
Setelah Millia melambaikan tangannya dari pekarangan di lantai dasar, Salman langsung berbalik.
“Lo belum bilang, kalau lo jadi boss di tempat kerja?” Tanya Salman.
“Emangnya perlu?” Banyu balik bertanya.
“Mapan kan nilai plus setelah tampan, Bro. Kemapanan dan Ketampanan kalau disandingkan jadi jackpot buat perempuan.” Ia tersenyum lebar.
“Dia enggak lihat dua hal itu.” Ucap Banyu.
“Wow…Kesempatan masih terbuka lebar dong buat Salman sang Cassanova.” Ucapnya seraya mengusap rambutnya kebelakang.
“Tapi nilai minus juga kalau lo jadi pengangguran, inget gue bisa mecat lo kapan aja.” Ancam Banyu.
“Tega banget dah ah. Dia tahu enggak kalau Banyu Deska Wiseta itu tukang ngancam? Galak ? Perhitungan? Nyebelin?” Salman terus meneriakinya.
Sementara Banyu tidak peduli dan kembali lagi ke kamarnya. Salman bukanlah ancaman bagi hubungannya dengan Millia, sahabatnya itu jarang serius dengan semua wanita yang ditaksirnya. Semboyannya sesederhana “Kalau dapat ya syukur, enggak juga enggak apa-apa”. Maka itu ia lebih mementingkan banyaknya peluang dibanding memperjuangkan satu orang yang benar-benar memikat hatinya.
***
Banyu mengabari Jessica tentang pertemuannya dengan Millia tentu saja Jessica merasa lega sekaligus bahagia mendengarnya. Ia akan segera bergabung bersama kami merayakannya setelah urusannya di Sidney beres.
Millia tetap beraktifitas seperti biasa saling bertemu hanya saat pagi hari atau sore hari saat ia sedang bersiap-siap berangkat kerja. Membuat Banyu merasa bimbang, pertanyaan yang sama terus berulang-ulang terucap di kepalanya. Hanya sampai sini saja kah? Bisakah berlanjut lebih dari ini ?
Waktu sudah mulai hampir tengah malam, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan Millia. Banyu akhirnya memutuskan untuk menunggunya di jalan utama, tak lama sebuah mini bus berhenti. Millia turun dari mini bus itu, ia melambaikan tangan pada beberapa gadis di dalamnya.
Saat Banyu menghadangnya ia sedikit terkejut, namun sedetik kemudian ia tersenyum.
“Kenapa belum tidur?” Tanyanya.
“Aku mengkhawatirkanmu.” Ucap Banyu singkat.
Yang dikhawatirkannya hanya tertawa dan berjalan mendahuluinya, ia mengikutinya dari belakang.
Banyu memperhatikan pakaian yang dikenakannya, sekalipun dilapisi mantel tebal dan stoking hitam Banyu bisa menebak dibaliknya pasti ia mengenakan pakaian terbuka seperti sales wanita lain pada umumnya.
Ingin rasanya ia menyuruhnya berhenti dari pekerjaan seperti itu, tak rela orang yang dikasihinya dipandang oleh banyak lelaki. Namun ia tetap memegang kata-kata Jessica semua yang dijalani Millia selalu berada dibawah campur tangannya.
Tidak mungkin Jessica membuang anak anjing kesayangannya ke dalam jurang yang kelam.
“Kenapa terus berjalan dibelakangku?” Ia berhenti dan memutar tubuhnya.
“Karena kalau berjalan disampingmu aku pasti ingin menggenggam tanganmu.” Tiba-tiba ia mengatakan apa yang melintas dipikirannya.
Banyu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, matanya terus berputar memandang kearah lain.
Salah tingkah.
"Jadi bukan karena trotoarnya kecil?" Gumam Millia lembut.
Saat Banyu menunduk ia melihat sebuah tangan mungil diulurkan, pemiliknya tersenyum simpul membuat cekungan kecil di pipinya muncul. Banyu meraihnya dan menggenggamnya dengan hangat.
Mereka terdiam, larut dalam kesunyian malam dan udara dingin Bandung yang menusuk. Hanya derap langkah dan hembusan napas keduanya yang terdengar beriringan.
Pernah suatu malam,saat malam mulai larut tiba-tiba langit kota kembang diguyur hujan deras. Banyu mulai merasa khawatir karena tidak bisa menghubungi Millia, ia pun berencana menunggunya lebih awal. Namun saat ia hendak turun melalui tangga, dari kejauhan ia melihat gadisnya pulang dipayungi seorang pria yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
“Enggak sengaja ketemu didepan.” Ucap Salman sambil berlalu melewatinya.
“Ban …” Ia terlihat khawatir pria itu salah paham.
“Cepat masuk dan ganti pakaian, nanti kamu sakit.” Ucapnya sambil melangkah kembali kekamarnya.
Tak lama Salman menjulurkan kepalanya dipintu kamar Banyu yang masih terbuka. Ia tersenyum lebar menghampiri Banyu yang sedang menonton televisi.
“Tadi beneran enggak sengaja ketemu kok, Pak Boss. Payungnya aja punya si Mas tukang nasi goreng.”Jelasnya.
“Iya gue percaya.” Sahutnya.
“Bro, Lo itu kurang inisiatif.” Kata-kata sohibnya itu rasanya sungguh tepat sasaran.
Banyu memandangnya tajam, menunggu lanjutan celotehan temannya itu.
“Udah tahu dia habis kehujanan, bukannya datang ke kamarnya. Tanya apa kek, kasih apa kek gitu. Cewek itu butuh kehangatan, butuh perhatian.”
Banyu mengerutkan dahinya, ada benarnya yang dikatakan Salman. Dia memang selalu menyarankan sesuatu yang baik menurutnya tanpa perlu diminta.
“Nih, gue modalin minuman coklat sachetan.” Ucapnya dengan gaya promosi layaknya bintang iklan.
“Kok cuma satu Man?” Ledek Banyu.
“Ente kira ane warung!” Ia menjawab kemudian menghilang kembali kekamarnya.
Rasanya ia memang kurang berani mengambil langkah, sikapnya dalam menghadapi Millia masih sama dengan dirinya saat remaja dulu. Kedewasaan harusnya bisa ia tampilkan sekarang, tapi ia takut perubahan itu membuat Millia merasa tidak nyaman padanya.