Akhirnya ia nekat menuruti saran Salman sang cassanova, dengan modal secangkir coklat hangat ia memberanikan diri mengetuk pintu. Millia membukakan pintu sambil tersenyum membuat ia sejenak terpaku, kali ini ia sependapat senyum Millia mengerikan dan berbahaya bagi naluri seorang lelaki.
“Kenapa belum tidur?” lagi-lagi pertanyaan yang sama.
“Ini.” Ia menyodorkan gelas berwarna kuning pucat itu.
Millia mengucapkan terimakasih seraya menggenggam gelas itu dengan kedua tangannya.
“Kamu besok ada jadwal ke kantor?” Tanyanya.
“Hmmm…Aku sudah tidak bekerja lagi di bagian promosi, sekarang hanya di restoran temanku saja.”
“Kenapa?”
“Agar kamu tak perlu menungguku lewat tengah malam pulang dari luar kota tiap weekend.” Kali ini ia tersenyum lebih lebar.
Banyu menarik tangannya dan merasakan perbedaan ukuran keduanya, tangannya yang lebih besar membungkus tangan Millia dengan lembut. Genggaman seorang pria seperti simbol ingin melindungi bagi seorang wanita.
“Sudah malam, pergilah kekamarmu!” Gadis itu memerintah.
“Kamu mengusirku?” Tanyanya sambil mendorong lembut Millia masuk kedalam.
Kamar yang tadinya cukup luas terasa sempit dan menghimpit saat Banyu masuk kedalamnya. Tubuhnya yang menjulang tinggi, membuat Millia merasa sedikit ketakutan.
“Aku ingin bicara lebih lama denganmu.” Banyu merayunya.
“Tapi bukan sekarang dan bukan disini.” Millia mulai gugup.
“Apa kau takut terjadi sesuatu?” Ledeknya.
“Aku sudah mengantuk.” Ia menjawab sekenanya.
Gelas yang digenggamnya diletakan diatas meja.
“Kalau begitu tidurlah, aku hanya akan duduk disini dan memandangimu tertidur sampai besok pagi.” Paksanya seraya menghempaskan badannya ke atas sebuah sofa.
“Kamu tidak boleh ada disini!” Ia langsung menarik lengan Banyu sekuat tenaga.
Dengan sekali hentakkan Banyu menariknya kembali, membuat Ia terjatuh tepat didadanya.
Kedua lengannya membingkai tubuh gadis itu, membuat ia ketakutan setengah mati. Banyu meniup rambut yang menutupi dahi Millia, mereka hanya saling menatap seperti kehilangan kata.
“Apa kamu senang bisa bertemu denganku lagi?” Tanya Banyu.
“Iya.” Ucap Millia malu-malu.
“Apa kamu senang aku selalu menunggumu setiap hari?”
“Hmm…Iya.”
“Apa kamu mau menikah denganku?”
Millia hanya terdiam tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
“Kenapa?” Matanya membulat tak berkedip.
Banyu tertawa mendengarnya.
“Aku kira akan dijawab “Iya” juga.”
Gadis itu merasa dirinya hampir dijebak.
“Kenapa?” Ia menggunakan penekanan di pertanyaan keduanya.
“Apa perlu sebuah alasan?”
Millia mengangguk dengan serius.
“Oke. Aku punya cukup banyak alasan.”
“Benarkah?”
“Tentu saja.Banyak alasan untuk mencintaimu.”
Ucapan Banyu membuat Millia tersipu malu.
“Aku suka senyummu, marahmu, keluguanmu, matamu, hidungmu, hmmm..bibirmu…”
Kata-katanya terhenti, Banyu teringat sesuatu. Terbayang olehnya saat dulu mencium bibir mungil yang sekarang tepat berada dihadapannya.
“Saat dulu aku menciummu apa rasanya aneh, hingga kamu pergi begitu saja? Atau aku melukai bibirmu?”
Ditanya seperti itu Millia langsung melepaskan diri dan duduk disampingnya.
“Sebaiknya kau kembali kekamarmu saja.” Ucapnya.
“Kenapa tidak dijawab apa benar seperti itu?”
“Aku bingung.”
“Kenapa bingung? Aku belum pernah berciuman sebelumnya. Jadi mungkin saja itu ciuman yang paling buruk yang pernah kamu rasakan.”
“Aku juga belum pernah berciuman sebelumnya.” Ia menjelaskan secara spontan.
Banyu tersenyum mendengarnya.
“Lalu bagaimana rasanya?”
“Sudahlah. Aku tidak ingat lagi.”
Ia hendak berdiri dan menghindar namun Banyu menariknya kembali, dengan cepat ia melingkari kepala dan bahu Millia kemudian mendekatkan wajahnya secara perlahan.
Setiap Millia menahan jarak diantara mereka dengan mendorong dadanya, Banyu membingkai tubuhnya dengan lebih erat. Kecupan lembut mendarat perlahan dibibirnya.
"Apa sekarang sudah ingat?"
Belum Millia sempat menjawab, Banyu sudah mengecup kembali bibir Millia kali ini lebih hangat. Membuat Millia tanpa sadar memejamkan matanya dan membiarkan Banyu membenamkan bibirnya lebih dalam. Keduanya bertautan begitu lama seakan mengejar ketertinggalan perasaan mereka di masa lalu, ciuman hangat itu terlepas saat keduanya sudah terengah-engah kehabisan nafas. Jelas ciuman ini berbeda dengan yang diberikannya sepuluh tahun lalu, Banyu yang ada dihadapannya sekarang adalah seorang pria dewasa dan diapun bukanlah gadis remaja lagi.
“Aku menyukaimu.”
Millia masih terdiam, ia mengira Banyu akan mengatakan lebih dari itu.
“Aku menyayangimu.”
“Aku mencintaimu.”
“Itu semua yang ingin kukatakan sepuluh tahun lalu.” Ucapnya penuh ketulusan.
Millia tersenyum, pernyataan cinta Banyu akhirnya tersampaikan setelah sekian lama. Tangan Millia membelai lembut wajah rupawan dihadapannya. Dipandanginya lekat-lekat pria itu, berharap semua yang dikatakannya benar adanya. Ingin ia membalas semua yang dilakukannya, namun ia takut itu semua terlalu cepat.
“Kamu terlalu banyak bicara, pulanglah aku ingin istirahat.” Pintanya.
Banyu merasa mungkin saja benar ia terlalu banyak bicara yang membuat Millia tidak nyaman. Setidaknya ada satu langkah maju dalam hubungan mereka, sekalipun Banyu belum mendapatkan jawabannya. Ia mengecup kening Millia kemudian mengucapkan selamat malam, Millia hanya tersenyum melepas kepergiannya.