Bandung, Desember 2006.
Kami memiliki kelas yang berbeda saat berada di kelas dua, untungnya Millia dan Jessica masih di kelas yang sama. Di lingkungan yang baru, lagi-lagi aku tidak bisa bersosialisasi dengan teman-teman yang lain. Bahkan dengan teman sebangkuku saja aku hanya berbicara sekedarnya, membuat anak-anak yang lain mengira aku seorang pribadi yang sombong.
Dengan rutin Millia dan Jessica datang kekelasku setiap istirahat untuk ke kantin bersama. Anak laki-laki dikelasku menjadi mulai sok akrab denganku, mulai bertanya tentang mereka berdua bahkan ada yang memaksa meminta nomor handphone mereka. Aku hanya menanggapinya dengan cuek.
Beberapa kali sekelompok anak laki-laki itu mengatakan aku seperti banci yang hanya bisa main dengan anak perempuan. Membuatku kesal namun nyatanya malah Jessica yang tidak terima, atas nama persahabatan ia balik menghina semua laki-laki itu. Mengatakan merekalah yang banci, hanya berani mengejek dan terus menggangguku untuk meminta nomor handphonenya.
Mereka bertindak kasar berusaha menyakiti Jessica, akhirnya aku memutuskan turun tangan berkelahi dengan mereka. Jessica dan Millia berusaha meminta bantuan untukku. Tentu saja sebelum aku babak belur ada guru yang melerai dan membawa kami ke ruang BK. Setelah kejadian itu aroma pemusuhan semakin kental, aku mengusulkan agar aku saja yang mendatangi mereka setiap istirahat dan pulang sekolah.
Semuanya berjalan lancar sampai akhirnya saat ujian akhir sekolah berlangsung, secara kebetulan kelas kami melakukan sistem tukar silang dalam penempatan tempat duduk. Sialnya Millia duduk bersebelahan dengan salah satu berandal itu, Jessica yang duduk beberapa baris di belakangnya berjanji akan mengawasi mereka.
Di hari pertama ujian saja ada sedikit sikap yang canggung dari Millia, tetapi ia berusaha untuk tidak terlalu menunjukannya. Hari kedua saat kami akan meninggalkan sekolah, sepedaku ada yang mengerjai. Sepeda itu hampir tak berbentuk, semua bagiannya rusak dan terlepas. Saat melihat itu Millia yang paling ketakutan dan bertingkah seperti itu semua adalah salahnya.
Perlahan Millia mulai menghindar, Hana memberitahukan pada kami bahwa ia melihat anak itu mengantar Millia saat pulang sekolah. Dan ia memberikan secarik kertas yang ia temukan saat piket membersihkan kelas.
Jalan sama gue, atau nasib dia sama kayak sepedanya
Aku merasa kecewa dan marah. Aku dan Jessica sengaja diam-diam mengikutinya, ia berjalan ke samping sekolah untuk menemui anak itu. Dengan patuh ia langsung menerima sebuah boneka hadiah dari lelaki itu, lelaki itu berusaha untuk menyentuh tangannya.
Ia mundur menjauhinya, aku kehilangan kesabaran dan langsung berlari memukuli berandal itu. Tak disangka teman-temannya langsung keluar dari sebuah rumah dan ikut berpartisipasi dalam adegan perkelahian ini.
Kedua teman wanitanya itu mencoba melindunginya yang sudah kehabisan tenaga, namun akhirnya ditarik dan ditahan oleh anak-anak yang lain.
Merasa tidak diterima gadisnya disentuh lelaki lain, ia kembali bangkit dan memukuli semua orang dengan membabi buta. Dari ujung gang beberapa warga berlarian menghampiri, sebagian anak berandal itu berhamburan pergi ada juga yang bersembunyi kedalam rumah.
“Kau lebih memilih menurutinya? Dibanding minta perlindungan dariku?” Teriak Banyu marah.
“Ban … kamu terluka ayo kita obati!” ucapnya dengan penuh khawatir.
“Lepas!!!” Banyu menepis tangan gadis itu.
“Ayo kita obati dulu! Itu semua pasti sakit.”
“Menurutmu lebih sakit mana? Luka ini atau hatiku?” Banyu membentaknya.
“Hey Dude! Dia hanya ingin melindungimu …” Jessica mencoba untuk menengahi.
“Aku yang seharusnya melindunginya. Aku seorang lelaki. Kau merasa aku lemah? Kau merasa aku tak sanggup menghajar semua berandal itu?”
“Maaf … Aku hanya takut kamu terluka.” Millia menunduk tak berani menatap matanya.
“Bodoh! Kau melukai harga diriku kali ini.”
“Jadi ini semua tentang harga diri? Dia juga mengorbankan harga dirinya dengan mengikuti kemauan si brengsek itu, dia terpaksa melakukan itu hanya karena takut elo benar-benar akan dihabisi!” Jessica mulai tak sabar melihat semua itu.
Millia berusaha memegang lengan Banyu, lagi-lagi Banyu menepisnya dengan kasar.
“Pergi sana!” Ia berteriak lebih keras.
Air matanya satu persatu mulai berjatuhan.
“Kalau begitu terserah, aku enggak akan peduli sama kamu lagi!” Millia membalas berteriak dengan kesal.
Kemudian berlari meninggalkannya, Jessica pun turut serta mengikutinya.
Aku tidak masuk sekolah sampai memasuki waktu liburan, beberapa kali Millia menelepon kerumah menanyakan keadaanku dan meminta Ibuku untuk tidak memberitahu jika ia menelepon.
Bagaimana bisa ia berteriak tidak peduli tapi masih repot-repot mencari tahu kondisiku?
Di pertengahan liburan Millia datang kerumah saat aku sedang keluar rumah, ia menitipkan pada penjaga rumah sebuah kotak, sekeranjang penuh buah belimbing dan seikat bunga mawar putih dari pekarangannya.
Aku tersenyum saat menerimanya, kurasa sudah waktunya berdamai dengannya. Namun aku terkejut saat melihat kotaknya berisikan bunga mawar kering yang pernah aku berikan padanya, kotak musik hadiah ulang tahunnya yang ke 16 dariku, secarik kertas kusam berisikan perkenalan pertama kami.
Aku mengendarai sepeda motorku kerumahnya, berharap tidak terjadi sesuatu padanya. Namun sesampainya disana rumahnya telah kosong, dari tetangganya aku hanya mendapatkan informasi bahwa rumahnya telah dijual dan mereka pindah kemarin sore.
Aku kembali kerumah dengan perasaan tak menentu, untuk pertama kalinya aku menyesal berkali-kali tidak memiliki kontak Jessica untuk menanyakan semuanya. Setelah semester dua berlanjut, kami terus mencari tahu kemana ia pindah bahkan pihak sekolah pun kebingungan karena saat membuat surat pindah sekolah tujuannya pindah minta dikosongkan karena mereka belum memutuskan akan menetap dimana.
Kami hampa tanpanya, menyadari ia betul-betul menjadi pelengkap dari kami. Menyadari selama delapan belas bulan ini ia menjadi bagian penting di hati kami, membuat kami saling menyalahkan diri sendiri. Merasa tidak cukup baik berteman dengannya, dan Jessica selalu menambahkan bahwa ini semua karena kesalahanku. Aku yang mementingkan harga diriku, aku yang bersikap keras padanya, aku yang tidak mau menemui dan berbicara dengannya lebih dulu. Kemudian Jessica menyesali kepergiannya ke Australia menjadikan Millia tidak bisa menjangkaunya.
Kami kacau, kami bersikap semaunya dan menjadi seperti dua orang asing yang saling bermusuhan setelahnya.