Banyu tidak menghiraukan apa yang dikatakan temannya. Gadis yang ada dihadapannya ini jelas Millia yang ia kenal, wajahnya masih sama seperti terakhir mereka bertemu. Hal itu pula yang mengagetkannya, benar-benar seperti waktu terhenti dan kembali ke masa lalu. Dengan kasar ia menarik paksa Millia dan membawanya pergi dengan mobilnya.
“Ban…kita mau kemana?” Millia bertanya penuh rasa takut.
Banyu hanya terdiam, iapun sebenarnya tidak punya arah tujuan. Rencana awalnya pergi ke Jakarta tentu saja buyar setelah bertemu langsung dengannya. Yang ia pikirkan hanya membawa Millia bersamanya, dan mencoba untuk bicara dengannya. Akhirnya ia pun mengarahkan mobilnya ke rumah orangtuanya.
“Ban, please say something! Kita mau kemana?”rasa takut semakin menjadi.
“Ke rumahku.” Jawabnya.
Sesampainya dirumah Banyu masuk lebih dulu, mengabari Ibunya bahwa ia datang bersama Millia yang sedang menunggu di teras. Ibunya langsung menyambut Millia dengan pelukan hangat, namun Millia merasa serba salah dengan kondisi penampilannya yang terlalu seadanya.
“Mam, bukannya mamah mau ke supermarket? Millia mau makan ikut makan siang disini.” Ucapnya seraya memberi kode pada ibunya untuk memberikan ruang untuk mereka.
“Oh tentu saja, ini mamah mau langsung berangkat. Tante tinggal dulu ya, sayang.”
Mobil sedan putih milik ibunya pun langsung meluncur keluar pagar. Banyu kembali menarik lengan Millia, kemudian menghempaskannya ke sofa ruang tamunya. Banyu melirik kaos stretch dan celana training yang dipakai Millia serta kakinya yang sama sekali tidak menggunakan alas, Ia menyeretnya dengan paksa tanpa disadari. Banyu merunduk menyentuh kaki Millia dan melihat ada luka gores di telapak kakinya, mungkin kerikil di parkiran kosan yang membuatnya terluka.
“Sial, aku memang sudah gila, maaf aku sungguh tidak bermaksud menyakitimu.” Ucapnya dengan penuh rasa penyesalan.
“Bisakah kita kembali saja?” Tanya Millia.
“Kita perlu bicara” Tegas Banyu.
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan sekarang.” Ujar Millia dengan ketus.
“Tidak ada katamu? Kau menghilang hampir sepuluh tahun lamanya, kau tahu betapa menderitanya aku dan Jessica tanpamu? Ah tentu saja kau sudah tahu dari tiga tahun yang lalu saat Jessica bertemu denganmu tapi kau malah meminta Jessica untuk menutupinya…”
“Apa Jessica mengatakan semuanya?” Millia terlihat khawatir.
“Tidak. Dia terikat janji bodoh denganmu katanya.”jawabnya dengan kesal.
Ia terus memandangi wajah Millia yang tertunduk lesu. Banyu mengambil kotak obat di dalam kamarnya dan berusaha mengobatinya namun ia menolaknya dan mengobati kakinya sendiri. Banyu memandang wajahnya yang pucat, dimatanya tertanam kesedihan yang mendalam.
“Ku mohon kita harus bicara, jangan membuatku melakukan hal-hal yang gila lagi.”
Banyu membelai rambut Millia dengan lembut.
“Maaf…aku belum siap menjelaskan semuanya…aku…aku…”
Kata-katanya terhenti kemudian berganti dengan isakan tangis. Ia tak sanggup lagi melanjutkan, Banyu langsung memeluknya dengan erat.
***
Ia menangis begitu lama, hingga akhirnya kelelahan dan tertidur. Banyu mengetahui ia baru saja pulang saat fajar hampir menjelang, tentu saja ia masih merasa mengantuk dan kelelahan. Banyu membawanya ke kamar tidur miliknya, menyelimutinya dan mengecup keningnya. Banyak hal buruk yang mungkin terjadi pada hidupnya, memaksanya menceritakan semuanya hanya akan membuka kembali luka lamanya.
Telepon rumahnya berdering, Banyu baru menyadari ia meninggalkan telepon selulernya di kamar kosan. Bahkan ia baru mengingat meninggalkan temannya yang pasti sedang kebingungan dan patah hati. Ia akan segera menghubunginya setelah menerima telepon ini, janjinya.
“Halo, anakku bisakah ibumu pulang kerumahnya sendiri sekarang?” Tanya ibunya.
“Oh Mam…maafkan aku yang mengusirmu.” Banyu benar-benar menyesalinya.
Ibunya tertawa geli mendengar anaknya berkata seperti itu.
“Apa kalian sudah berbicara?” Tanyanya serius.
“Belum, ia hanya menangis dan sekarang tertidur. Karena memang ia baru pulang kerja tadi pagi.”
“Yang terluka bukan hanya kamu, sayang. Ia mungkin sekarang kebingungan, biarkan dulu begitu. Dan lain kali bersikaplah baik-baik jangan menyeretnya begitu, kasihan.” Ibunya menasehati.
“Iya, Mam. Aku benar-benar baru menemukannya pagi ini.”
“Anak nakal. Kalau begitu sebaiknya mamah mengatur kencan dadakan bersama papahmu.” Mereka tertawa, dan saling mengucapkan salam kemudian menutup sambungan telepon.
Banyu langsung menghubungi Salman, disambut dengan kata-kata ngawur ala Salman. Meminta “neng geulis” nya jangan disentuh dan disakiti, kemudian ia melanjutkan bahwa ia bersyukur akhirnya Banyu menemukan gadis pujaan hatinya itu. Dan berkali-kali bilang Millia gadis yang baik, dan dengan senang hati ia akan merelakannya untuk sahabat karibnya itu, Banyu tertawa mendengar kata-kata lebay dari pria itu.
Ia membuatkan makanan seadanya untuk dirinya dan Millia, kemudian membawanya ke dalam kamar. Sudah dua jam lamanya ia tertidur rasanya sudah cukup untuk membangunkannya. Saat pintu kamar dibuka Millia masih tertidur lelap, Banyu memandanginya dengan penuh rasa kasih. Ia menyentuh pipinya yang lembut, membuat gadis itu terbangun.
“Hmmm..” Ia menggumam lembut.
“Makanlah dulu, setelah makan baru tidur lagi.”
“Apa ibumu sudah pulang?” Tanyanya.
“Tidak, aku menyuruhnya jangan pulang.”Banyu memasang senyum nakalnya.
“Hey…jahatnya. Aku ingin mengobrol dengannya,”
“Kamu bisa mengobrol dengan anaknya sepuasnya.” Godanya.
Millia menanyakan tentang hubungannya dengan Salman, Banyu menjelaskan semua termasuk rasa tertarik Salman dan kekeliruan Salman tentang usia Millia. Millia tertawa dengan begitu lepas mendengarnya.
“Bagaimana bisa ia mengira aku masih berumur belasan?” Tanyanya heran.
“Bisa saja. Kamu memang tidak berubah sejak terakhir kali bertemu.”jawabnya.
“Benarkah?” Millia berkata sambil berdiri.
Wajah Banyu memerah setelah menyadari tentu saja ada yang berubah. Lekuk tubuhnya lebih terlihat seperti wanita dewasa saat ini.
“Kamu banyak berubah.” Ucapnya sambil kembali duduk dan menyantap roti yang dibuatnya.
“Apa saja?” Tanya Banyu.
“Sepertinya lebih banyak bicara, makin tinggi, makin berisi, makin …” Ia tidak melanjutkan lagi kata-katanya.
“Makin apa?” Tanya Banyu penasaran.
“Ah tidak, hanya itu saja.” Jawabnya sambil menunduk malu.
“Apa nama bunga yang kujatuhkan itu?” Tanya Banyu.
“Forget me not.” Jawabnya.
“Never!” Banyu setengah berteriak.
“Itu…nama bunganya.” Millia menjelaskan sambil tertawa.
Banyu ikut tertawa mendengarnya.
Bunga-bunga kecil cantik yang selalu mekar secara bersamaan itu mungkin sudah tidak bisa diselamatkan lagi kiranya.
“Sudah berapa banyak gadis yang kau kencani?” Tanya Millia sambil tersenyum meledek.
“Tidak ada.”
“Tidak mungkin.” Ucap Millia.
Banyu tersenyum, kemudian seperti mencoba mengingat.
“Saat kuliah ada seorang gadis yang tingginya dan rambutnya sama denganmu, namun setiap ia memanggil namaku aku selalu berharap itu kamu. Jadi setelah itu aku selalu memintanya dan teman-teman yang lain termasuk Salman memanggil Deska saja.”
Millia terdiam lama memandanginya, mempertanyakan kebenaran lelaki didepannya ini sama sekali tidak mampu melepaskan bayang-bayang dirinya.
“Kalau kamu? Tentu banyak yang mendekatimu.” Banyu balik bertanya.
“Aku tidak pernah berhubungan lebih dari pertemanan” Jawabnya santai.
“Benarkah? Apa ada teman lelaki yang seperti aku?” Banyu bertanya dengan kecemasan.
“Seseorang yang hanya teman tidak akan berani mencium teman wanitanya…” Ia seperti terkejut dengan perkataannya sendiri.
“Ah sepertinya aku perlu ke kamar mandi.” Ia langsung berlari keluar kamar.
Banyu bersandar pada tepi tempat tidur, melemaskan ototnya yang tiba-tiba saja menegang. Tak lama kemudian Millia kembali lagi dan bersikap normal seperti sebelumnya.
“Kamu baru mulai kuliah?” Banyu mengalihkan topic pembicaraan.
“Iya semester 2 jurusan tataboga.”
“Sudah berapa lama kamu kembali ke Bandung?”
“Kira-kira satu setengah tahun.” Jawabnya singkat.
“Jika tidak sengaja bertemu seperti ini, kapan kau akan berencana menemuiku?” Banyu penasaran.
Millia berhenti mengunyah, dan meneguk minumannya.
“Saat ulang tahunmu.” Ia berkata hampir tidak terdengar.
Banyu menyadari pertanyaan itu sepertinya tidak nyaman untuknya, ia mencoba mengalihkan pembicaraan lagi.
“Dimana kau membeli bunga berwarna biru itu?”
“Aku menanamnya sendiri dari benih.”
“Apa arti dari bunga itu?”
“Entahlah. Mungkin berharap untuk tidak dilupakan.” Jawabnya.
“Harapanmu terkabul, sedetikpun aku tidak pernah melupakanmu.”
Banyu menggenggam tangan Millia dengan lembut, membuat gadis itu terlihat kikuk. Ia seperti teringat sesuatu, kemudian membuka lemari dikamarnya. Ia menghampiri Millia dan membuka sebuah kotak besar dan memperlihatkannya pada gadis itu.
“Aku masih menyimpan semuanya.” Ucapnya lirih.