Semalam lagi-lagi ia tidak dapat tidur nyenyak memikirkan yang terjadi. Ia berpikir mungkin perasaan ini hanya dia yang memiliki, sedangkan Millia hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Tapi jika tidak menyukainya kenapa berkali-kali saat ada anak laki-laki lain mendekatinya ia selalu menghindar dan bersembunyi dibelakangnya. Caranya memandang, caranya bersikap, perhatiannya, dan tak ada penolakan berarti setiap kali ia menggenggam tangannya bahkan saat memeluk dan menciumnya malam itu. Apa benar gadis yang didambanya itu sama sekali tidak memiliki perasaan padanya?
“Sampai kapan elo berdua enggak mau buka suara?” Tanya Jessica.
Sementara Millia pura-pura tidak mendengar dan tetap melanjutkan menggoreskan penanya ke buku tulis. Jessica langsung beralih pada Banyu yang sedang terdiam dengan melipat tangannya diatas meja dan menunduk lesu.
“Ini jelas bukan karena masalah ulang tahun, gue lihat Banyu pakai kado dari kita kok. Tuh lihat sepatu dipake, sepedanya juga ada di parkiran tiap hari.” Jessica mulai menerka-nerka.
“Apa Banyu nembak elo terus elo tolak karena Banyu miskin? Milli lo enggak mungkin tipe cewek kaya gitu kan?”
“Bukan… Ini salah gue.” Banyu berkata lirih.
“Ah…Puppy Milli emang enggak mungkin begitu. Berarti Millli nembak elo terus elo nolak dia karena elo ngerasa enggak cukup baik buat dia?” Lagi-lagi Jessica berspekulasi.
Millia langsung bangkit dari tempat duduknya, merapihkan buku dan tasnya.
“Mill, jangan lupa kita harus nonton anak-anak kelas tanding.” Jessica mengingatkan.
“Ayo sekarang aja!” ajaknya.
“Ban…wake up…kan elo harus siap-siap tanding, jangan tidur!” Jessica mengguncang-guncangkan tubuh temannya itu.
Banyu langsung bangun dan mengikuti mereka keluar kelas. Diluar mereka berpisah karena Banyu harus bertemu dengan rekan-rekan setimnya. Seragam putih abu-abunya ditukar dengan seragam basket kelasnya, hari ini mereka bertanding kembali setelah minggu kemarin berhasil mengalahkan tim basket dari kelas sebelah dan masuk ke semi final.
Matahari sore bersinar terik, namun para pendukung dan pemandu sorak dari kedua tim tidak menghiraukannya. Mereka sudah mulai meneriakkan nama tim mereka dengan penuh semangat. Banyu mengedarkan pandangannya mencari dimana kedua temannya berada. Ia melihat mereka berdua ada di pinggir lapangan, berdiri sambil tangannya menghalangi sorot sinar mentari. Banyu berlari kembali kekelas membawa 2 kursi ditangannya dan meletakannya di sudut lapangan tepat dibawah pohon yang cukup rindang.
Ia berjalan kekerumunan penonton dan menarik tangan keduanya menyuruh mereka duduk di tempat yang telah disediakan. Anak-anak yang lain ada yang mengejek sikap Banyu yang pilih kasih namun ada juga yang mengikuti berdiri di belakang Jessica dan Millia membentuk kerumunan baru.
Pertandingan segera dimulai dan berlangsung dengan seru dan menegangkan. Banyu seringkali menjadi andalan untuk memasukkan bola kedalam ring karena tinggi tubuhnya yang menunjang. Score kedua tim terus susul menyusul sampai akhirnya lemparan Banyu di detik-detik terakhir membuat mereka unggul dan keluar menjadi pemenang. Semua orang yang berada di pinggir lapangan berlarian ketengah lapangan, para pemain pun langsung merayakan kemenangan. Namun Banyu justru malah mundur menghindar dan berpegangan pada tiang penyangga ring basket. Ia melirik kesudut lapangan, matanya tertuju pada Millia yang sedang tersenyum gembira sambil bertepuk tangan.
Ia merasa senang karena kemenangannya membuat Millia tersenyum. Jessica berteriak kencang memanggil namanya, ia pun berjalan menghampiri sambil tersenyum. Tiba-tiba semua teriakkan itu mendadak menjadi kesunyian baginya, dan pandangannya menjadi gelap. Sementara Jessica dan Millia berlari kencang menghampiri tubuh Banyu yang tergeletak di atas lapangan.
***
Banyu terbaring diatas kasur di ruang UKS, petugas PMR mengatakan Banyu hanya kelelahan dan tekanan darahnya rendah. Jessica menarik selimut keatas tubuh Banyu, kemudian mengelap keringat Banyu menggunakan tissue. Sementara Millia hanya terduduk memandangi tubuh lelaki yang pernah memeluknya dengan hangat. Air matanya tiba-tiba mengalir membasahi wajahnya, ia merasa salah bersikap padanya.
“Puppy, tenang aja dia cuma pingsan bukan mati.” Jessica mencoba menenangkan.
Jessica duduk disampingnya, sudah dua minggu lebih sejak hari ulang tahun Banyu teka-teki penyebab perang dingin antar keduanya belum terpecahkan. Jessica yang paling mengalami kesulitan, lagi-lagi harus bersiasat mengatasi masalah antara mereka berdua. Menjadi sulit menebaknya karena keduanya hanya memendam perasaan masing-masing.
“Gue rasa bukan cuma karena kecapean habis main basket deh nih anak.” Jessica mulai menjalankan taktiknya.
“Karena apa?” Tanya Millia sambil tersedu-sedu.
“Lihat aja badannya makin kurus, akhir-akhir ini kan istirahat di sekolah dia cuma tidur aja. Gue enggak pernah lihat dia makan, lihat juga matanya dan mukanya yang pucat, udah pasti dia kurang tidur.” Ia melihat Millia mulai ikut mengamati.
“Sebaiknya habis ini kita bawa dia ke dokter dulu.” Ucapnya
“Ke dokter?” Tanya Millia dengan perasaan penuh khawatir.
“Ya jaga-jaga aja siapa tahu ini gejala penyakit yang lain.” Jessica makin mempermainkan pikiran Millia dan menunggu responnya.
“Memangnya bisa separah itu, Sicca?” Tanyanya lagi ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa takut.
“Maybe.” Jessica hanya mengangkat bahunya.
Banyu mulai bergerak dan membuka matanya perlahan. Yang ia lihat pertama kali adalah mata Millia yang berkaca-kaca dan dibelakangnya Jessica tersenyum penuh arti. Walaupun dengan kesadaran yang belum sempurna, Banyu tahu gadis itu melakukan sesuatu.
“Gue mau panggil supir gue dulu yah.” Belum diiyakan Jessica sudah pergi melarikan diri.
***
Banyu berusaha bangun namun kepalanya serasa berputar, akhirnya ia kembali berbaring. Millia bingung harus berbuat dan berkata apa padanya, rasanya sudah terlalu lama mereka tidak saling berbicara.
“Banyu…” Ia mencoba berbicara.
Namun Banyu malah membelakangi gadis yang sedang mati-matian menahan perasaannya yang penuh penyesalan itu.
“Ban…” Ia merasa Banyu marah padanya.
“Maaf..”
Ia tak kuasa lagi menahan tangisnya, wajahnya dibenamkan ditepi ranjang. Banyu berbalik, tangannya ditaruh dikepala Millia ia membelai rambutnya perlahan. Mungkin memang tidak perlu banyak kata untuk menggambarkan perasaan keduanya. Jessica yang mengintip dibalik tirai hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.
Jessica dan Millia mengantarkan Banyu kerumahnya, didalam hati keduanya sedang mengira-ngira bagaimana sikap Jessica saat tiba dirumah Banyu nanti. Mobil berbelok memasuki gerbang kediaman Banyu, Jessica menengok ke bangku penumpang dan menatap keduanya dengan ekspresi bingung.
“Ini rumahnya Banyu yang dekat rel kereta itu, Sica.” Millia tersenyum menjelaskan.
Mereka turun dari mobil, lengan Millia melingkar dipinggang Banyu membuat Banyu refleks merangkul bahu Millia. Sementara Jessica masih merasa kebingungan dengan hal yang baru ia ketahui. Kemudian saat sepeda Banyu hendak diturunkan dari bagasi, Jessica berteriak jangan pada supirnya.
“Bastard! Liar! You had a car, you had a motorcycle, you don’t need that bike. Take it off … Take it off that shoes…Lepaaaas….mungkin didalem rumah lo punya yang lebih mahal dari itu.”
Jessica mulai mengamuk dan mengejar Banyu untuk melampiaskan kekesalannya. Millia spontan memeluk Banyu dan menghalangi pukulan-pukulan Jessica.
“Sica, udah atuh. Banyu kan lagi sakit, kasihan.” Millia mencoba melerainya.
Tapi Jessica terus menyerbu Banyu dan memukulinya bahkan supirnya pun ikut menahan anak majikannya itu. Ia seperti sudah paham temperamen Jessica yang seperti itu. Ibu Banyu pun turut keluar karena keributan yang disebabkan Jessica, ia pun turut menahan Jessica yang terus-terusan menyerbu putranya. Karena terlalu fokus pada pukulan-pukulan Jessica, mereka tidak memperhatikan kemana mereka berjalan mundur untuk menghindar. Banyu dan Millia terjatuh kedalam kolam ikan didepan rumah itu, kontan semuanya serentak berteriak.
“OMG…My puppy…” Jessica langsung panik dan membantu keduanya keluar dari kolam.
Setelahnya, wajah ketiganya langsung dihiasi gelak tawa. Dibalik tawanya itu Jessica merasa lega dan bersyukur atas keadaan keluarga Banyu yang sebenarnya.
“Astaga, kasihan Millia basah kuyup. Ayo masuk dulu yuk semuanya!” Ibu Banyu menggiring mereka kedalam.
Banyu langsung menuju kamarnya dan meminta ibunya meminjamkan Millia pakaian. Ibu Banyu sibuk mencari pakaian lamanya yang kira-kira sesuai dengan ukuran tubuh Millia. Sementara Jessica meminta izin menggunakan kamar mandi, Millia tahu ia pasti merasa jijik tangannya terkena air kolam karena membantunya tadi.
Banyu tersenyum saat mengingat Millia memeluknya dengan erat dan coba melindunginya tadi. Saat ia selesai mandi dan berganti pakaian, Millia dan Jessica sedang berbincang-bincang dengan ibunya. Millia memakai T-shirt dan training lama milik ibunya. Setelah menjelaskan semuanya Jessica dan Millia mohon pamit pada ibunya.
“Mereka sahabat-sahabat yang baik, sayang. Dan mamah paham kenapa kamu mendeskripsikan Jessica itu penyihir dan Millia seorang putri baik hati.” Ibunya tertawa geli.
“Tapi mereka saling melengkapi.” Tambah Banyu.
“Dan anak kesayangan mamah jadi pangeran tampannya kan?” Ibunya melanjutkan.
Yang disindir ibunya hanya tersenyum, tentu seorang ibu mengetahui dengan jelas saat anaknya sedang jatuh cinta.