Millia mendorong sepeda dengan sebuah pita biru besar dengan hati-hati, ia menyusuri jalan yang tertulis di kertas yang diberikan Banyu. Namun ia kesulitan menemukannya, rata-rata rumah kecil dipinggiran rel kereta tidak bernomor. Tak lama sosok Banyu terlihat dikejauhan berjalan menghampiri sambil melambaikan tangannya. Millia tersenyum dan mempercepat jalannya, ketika berhadapan Banyu memandanginya dengan penuh keheranan.
“Jessica, tidak bisa ikut ada urusan keluarga.” Millia menjelaskan tanpa ditanya.
“Sepeda ini kado dari aku dan Jessica.” ia tersenyum lebar.
“Bagus.” ucap Banyu sambil menunduk malu menyembunyikan senyumannya.
“Benarkah? Syukur deh kalau kamu suka.” mata Millia berbinar saat mendengarnya.
“Biar aku yang pegang.” ucapnya sambil berjalan menuntun sepeda.
Mereka berjalan beberapa puluh meter dan berhenti di sebuah gerbang besar. Millia terpana dan kebingungan saat memasuki halaman rumah yang lebih besar dari rumah keluarganya. Sebuah rumah bergaya tradisional berada di tengahnya, terlihat indah berpadu dengan taman yang tertata apik dan kolam ikan besar didepannya. Ia hanya terdiam, mencurigai sesuatu ingin bertanya namun ragu. Bisa saja Banyu satu rumah dengan boss ibunya, atau mereka tinggal di belakang rumah besar ini.
“Ayo masuk!”ajak Banyu.
Millia mengikuti Banyu masuk kedalam rumah , mereka melewati ruang tamu langsung menuju ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ada seorang wanita yang terlihat seusia dengan ibunya yang sedang memasak.
“Wah sudah datang tamunya , katanya 2 orang yang datang?” Ucapnya sambil mengambil serbet untuk membersihkan tangannya.
“Halo tante , saya Millia” sapanya dengan ramah.
Millia mencium punggung tangan Ibu Banyu , kemudian wanita dewasa itu memeluk dengan erat Millia. Banyu hanya tertawa kecil melihat Millia terkejut dengan sikap hangat Ibunya.
“Aduh, manisnya. Tante selalu pengen punya anak perempuan kaya kamu deh, duduk dulu yuk. Kenapa yang namanya Jessi enggak bisa datang, Mill?” Tanyanya
“Tadi sore sih sempat ikut buat pilih-pilih kado Tante, tapi mendadak dikabarin harus pulang. Jadi enggak ikut kesini, tapi dia titip salam kok buat tante” jawab Millia.
“Oh,iya enggak apa-apa . Tante senang loh , Deska punya teman-teman yang baik sekarang. Dia ini kan jago kandang , ramenya cuma dirumah aja susah punya teman kalau diluar.”
“Mah udah beres belum masaknya ?” Tanya Banyu.
“Waduh iya mamah lupa, Tante masak dulu yah. Kamu jemput papah kamu dulu , Des. Nih ambil kuncinya, hati-hati bawa motornya yah.” Ibunya melemparkan kunci dengan cepat Banyu menangkapnya dan langsung pergi meninggalkan Millia yang sedang mencerna apa yang yang sebenarnya sedang terjadi.
“Biar,Millia bantu ya tante.” Millia berjalan kearah dapur.
“Kamu bisa masak?” tanya Ibu banyu sambil memotong-motong daun bawang.
“Bisa sedikit, suka bantu-bantu ibu dan nenek”
“Wah bagus dong.Orangtua kamu kerja apa,sayang?”
“Ayah kerja di pertambangan, Ibu melanjutkan usaha catering kecil-kecilan nenek.”
“Pantas Deska bilang masakan dirumahmu enak banget.” pujinya.
“Masa sih tante? Masakan tante pasti lebih enak, wanginya aja udah bikin aku ngiler.” Ucap Millia yang disambut dengan gelak tawa wanita periang itu.
Masakan sudah hampir siap, kue ulang tahun yang cukup besar pun sudah dikeluarkan. Ibu Banyu menceritakan banyak hal, tentang kisah cinta bersama ayah Banyu semasa sama-sama kuliah jurusan arsitek di Yogyakarta. Tentang Kakek Banyu yang seorang pengrajin ukiran di Jepara yang berperan memberikan nama untuk cucu laki-laki pertamanya itu. Dinamakan Banyu Deska Wiseta , karena saat menerima kabar cucunya telah lahir ia sedang mengerjakan sebuah pesanan ukiran yang baru pertama kali itu diminta menggunakan cat warna putih. Dan begitulah akhirnya bayi mungil itu dinamakan dengan arti “Air yang berwarna putih”.
Saat Banyu dan ayahnya bergabung, pesta kecil itu sudah siap dengan sempurna. Mereka menyanyikan lagu perayaan ulang tahun , memberikan doa dan harapan terbaik, menyantap kue berlapis krim vanila, dilanjutkan dengan acara makan malam bersama. Obrolan terus berlanjut, karena keramahan kedua orangtuanya Millia memeberanikan diri banyak bertanya tentang keluarga Banyu. Membuat Banyu merasa Millia bersikap tidak seperti biasa bahkan ia menghindari tatapan mata dengannya.
Dari obrolan itu Millia mengetahui bahwa Ibu Banyu seorang arsitek, ayahnya pun tadinya begitu karena penyakitnya yang membuat tubuhnya tidak sebugar dulu. Beliau membuka usaha furniture yang menaungi pengrajin-pengrajin kayu lokal termasuk pengrajin ukiran Jepara milik kakeknya yang masih berlanjut sampai sekarang. Bahkan gerai perabot milik ayahnya itu pun berada di jalan utama menuju ke sekolah mereka. Hari sudah semakin larut, akhirnya Millia mohon pamit pada orangtua Banyu. Ibu Banyu memerintahkan Banyu untuk mengantar pulang Millia dengan motor baru yang menjadi hadiah ulang tahun ke tujuh belas putranya itu.
***
“Ban, yang ini juga kado dari aku dan Jessica “ ucap Millia sambil mengeluarkan kotak kado dari tas punggungnya dengan wajah datar.
“Kamu enggak senang hari ini?”tanya Banyu.
“Sepedanya aku bawa aja dulu yah, nanti aku cariin kado yang lebih pantas lagi” Millia berbicara sambil terus menghindari tatapan dan pertanyaan.
“Kenapa ? Apa kamu enggak senang di pesta ulang tahunku ?” Banyu tidak mengerti pada perubahan sikap Millia ini.
“Kamu udah dapat hadiah motor, kamu enggak akan perlu sepeda ini.” Ucapnya sambil mendorong sepeda itu keluar gerbang.
Kotak berbalut kertas kado berwarna hijau itu disimpan diatas jok motornya, ia langsung menyusul langkah kaki Millia.
“Hey,a pa aku berbuat salah?” Tanyanya penasaran.
“Enggak kamu enggak salah, yang salah itu aku dan Jessica. Salah mengira kamu adalah orang …orang yang ….” Ia berusaha memilih kata-kata yang tepat.
“Orang yang tidak berpunya, hanya karena kamu begitu lahap saat diberi makanan enak, jarang jajan dikantin, kemana-mana jalan kaki…” Ia kembali mengatur nafas dan memilih kata-kata kembali.
“Hanya karena … kamu bilang ayah kamu tukang kayu, kamu bilang ibumu kerja diperumahan, rumahmu di dekat jalan kereta.”
“Lalu?” Banyu keheranan.
“ Itu terdengar menyedihkan sebelumnya” Millia berkata lirih.
Banyu tertawa , membuat Millia menjadi kesal. Ia berjalan dengan cepat menuntun sepeda itu meninggalkan Banyu yang masih tertawa dengan begitu geli. Banyu kemudian mengejarnya dan terus mengikutinya, ia tahu Millia marah namun entah mengapa hal itu malah terlihat lucu baginya. Ia memperhatikan gadis itu berhenti terlihat sedang menarik-narik sesuatu, Banyu langsung berlari menghampiri. Ternyata ujung gaunnya ikut tergulung ke dalam rantai sepeda, Banyu langsung memutar pedal sepeda berlawanan arah. Dan ujung gaun itupun bisa terlepas, namun membuatnya kotor menghitam dan sedikit robek. Melihat itu mata Millia mulai berkaca-kaca, ia melemparkan sepeda itu.
“Bawa pulang dulu kerumahmu, besok aku ajak Jessica buat ambil” Ucapnya sambil beranjak pergi.
Banyu menaiki sepeda itu kemudian mengejar Millia,
“Ayo naik!” ucapnya, namun Millia terus berjalan.
“Sudah malam, didepan sana itu ada makam.” Ia setengah berteriak.
Akhirnya Millia berhenti berjalan, dengan tersenyum Banyu menghampirinya. Millia pun langsung duduk dan berpegangan pada pinggangnya, sepeda baru itupun dikayuhnya dengan mantap. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa bicara.
***
Sesampai di taman depan komplek, Millia minta untuk berhenti. Banyu pun menurutinya dengan patuh, Millia turun dari sepeda kemudian menyuruhnya turun.
“Sampai sini saja “ ucapnya sambil kembali menuntun sepeda.
“Kenapa enggak di naikin aja?” tanya Banyu sambil mengikutinya.
“Aku enggak bisa naik sepeda” ucapnya.
Banyu tertawa lagi.
“Kalau enggak bisa, kenapa ngotot mau bawa pulang sepeda?” tanyanya.
Miliia hanya memandangnya dengan kesal.
“Apa kamu enggak senang ketemu dengan keluargaku?”tanyanya
“Aku senang, ayah dan ibumu baik.”jawabnya.
“Apa masakan ibuku tidak enak?”tanyanya lagi.
“Enak.” jawabnya singkat.
“Syukurlah. Terimakasih tetap mau datang walaupun di bayangan kalian berdua rumahku rumah kumuh di pinggir jalan kereta.” ia berkata dengan bersungguh-sungguh.
Millia menghentikan langkahnya, kemudian menatapnyatepat dimatanya
“Jessica tidak mau datang bukan hanya karena itu, Ia takut sikapnya menyinggung perasaanmu. Lagipula ini salahmu tidak meluruskan kekeliruan kami.”
Banyu kembali tertawa.
“Ya … Ya… aku mengerti, sekarang berikan sepeda milikku.”Ucapnya sambil menariknya
Millia terkejut ia menarik kembali sepeda itu.
“Kamu sudah punya motor, akan aku tukar dengan hadiah yang lain.”
Banyu kembali menariknya.
“Hey… kamu sama saja menjilat ludahmu sendiri, dan itu sikap yang menjijikkan.” Ledeknya.
“Apa katamu? Sikapku menjijikan?” Millia marah dan kembali menarik sepedanya.
“Bukan begitu, sudah berikan saja padaku. Terakhir kalinya…”
Mereka terus saling tarik menarik sampai tidak sengaja sepeda itu terlepas dan akhirnya Millia terjatuh. Dengan panik Banyu langsung menghampiri dan menolongnya.
“Sudah kubilang, terakhir kali kita begini salah satu dari kita terluka.” ucapnya seraya mengelus siku dan lututnya Millia.
Millia hanya diam sambil menundukkan kepalanya menahan tangis, Banyu terus memegangi lengannya dan menanyakan bagian mana lagi yang sakit.
“Hey…Mill?” tanyanya.
Ia mengangkat dagu Millia, matanya yang berkaca-kaca berpaling kearah lain.
“Maaf, sakit banget ya?” tanyanya dengan lembut.
Millia menatap mata Banyu dan merasa bingung dengan perasaannya sendiri kenapa justru ia merasa begitu kecewa saat tahu Banyu menyembunyikan kebenaran tentang keluarganya? Bukankah seharusnya ia merasa senang temannya ternyata orang berkecukupan?
Banyu memandangi wajah Millia yang penuh kekecewaan , ia merasa bersalah sekaligus senang bahwa Millia memilih tetap bersamanya sekalipun ia mengira bahwa ia bukan anak lelaki yang bergelimang harta. Tiba-tiba ia merasa hatinya benar-benar jatuh hati pada gadis yang berdiri didepannya, kemudian tanpa disadari ia mendekatkan wajahnya pada wajah Millia dan mengecup lembut bibir gadis yang dicintainya itu.
Millia terkejut mendapat perlakuan seperti itu, tubuhnya seperti terpaku dan lidahnya menjadi kelu. Jantungnya berdebar sangat kencang, dan tubuhnya seperti teraliri aliran listrik. Setelah beberapa detik kemudian ia menatap mata Banyu berharap mendapatkan penjelasan dari sorot matanya. Namun yang ia dapatkan sentuhan lembut dipipinya, kedua tangan Banyu memegangi wajahnya dan ibu jarinya mengusap lembut air mata yang sudah terlanjur jatuh. Banyu mulai membuka mulutnya , berusaha mengutarakan perasaannya.
“Jangan ...” Ucapnya seraya menempelkan jari telunjuk di bibir Banyu.
“Jangan katakan apapun…” ia menambahkan.
“Kenapa?” Tanya Bayu lirih seraya menempelkan ujung kepalanya di dahi gadis yang dipujanya.
“Jika terikat … aku takut menyakitimu” ucapnya.
Banyu mengangkat wajahnya kembali, ia memandangi Millia dengan penuh rasa bergejolak di dada. Ia sangat menyukainya dan ia yakin gadis yang dikasihinya ini memiliki rasa yang sama.
“Aku enggak minta jawabannya sekarang.” Ucapnya.
“Tapi aku ...”
Ucapan Millia terputus, mulutnya tertutup penuh dengan kecupan Banyu. Ia berusaha meronta namun yang Banyu inginkan bukan hanya sekedar kecupan , bibir keduanya hampir bertautan lebih dalam. Tapi Banyu berhenti karena tangannya telah basah oleh airmata Millia, ia melepaskannya perlahan dan langsung memeluknya.
“Maaf, apa aku membuatmu takut?”tanyanya
Sementara yang ditanya hanya terus terisak.
“Apa aku menyakitimu?” tanyanya lagi.
Millia melepaskan diri dari dekapan hangat Banyu ,kemudian berlari kerumahnya. Banyu mencaci maki dirinya sendiri, pasti Millia merasa ketakutan mendapatkan perlakuan seperti itu. Seharusnya ia bisa menahan diri, ia melakukan kesalahan besar di hari ulang tahunnya sendiri.