Ajar mengotak-ngatik sepedanya. Alat dayung sepedanya di copot dan diganti dengan yang baru. Tepatnya suku cadang yang pernah di ganti di bengkel tempo lalu. Saat orang suruhan Alya mengangkut sepedanya di kampus. Di hari itu juga Ajar menggantinya kembali. Suku cadang yang baru itu dikembalikan kepada Ajar oleh montir bengkel itu, karena alya sudah membelinya.
Ia sadar, anggukan petang kemarin benar-benar serius. Alya akan pindah ke Malang. Bahkan ia tidak tau jam berapa Alya akan berangkat. Berarti sepedanya harus siap melaju cepat. Alat kayuh lama hanya akan memperlambat. Ajar tangkas memperbaiki barang-barnag rusak. Termasuk sepedanya. Tangannya sudah hitam karena banyaknya oli bekas yang bersarang di selinder kayuhan sepedannya. Butuh banyak sabun untuk membersihkannya.
Pagi ini, setelan Ajar sangat rapi. Ia bahkan memasukkan bajunya ke dalam dan mengenakan sepatu hitam ayahnya yang sudah tersimpan lama. Tapi, tetap saja perawakan anak kampung tidak pernah hilang. Bahkan dengan setelan serapi itu. Itu akan lucu jika pemuda-pemuda kota melihatnya.
Ia mendayung sepedanya dengan sigap. Sesekali ia memacunya dengan cepat setiap kali terlintas di pikirannya, “Ini sudah telat.” Tanjakan, turunan, lubang jalan, dan jalan lempang. Ini lebih menantang dari kompetisi balap sepeda. Alat kayuh baru itu memang memberikan sensasi yang berbeda. Lebih landai dan mudah.
Ajar tau bahwa berhenti di rumah Alya hanya memunculkan masalah baru. Ia terus berpikir sambil mengayuh sepedanya. “Di mana sebaiknya aku bisa berjumpa dengannya.” Baju itu tidak lagi rapi. Bahkan sudah basah karena keringat. Sebaiknya Ajar membaikkan pakaiannya ketika ia sampai. Tapi itu tidak penting.
Pagar rumah Alya sudah tampak dari jauh. Ajar memelankan sepedanya. Ia mulai mengambil nafas untuk menurunkan frekuensi detak jantung karena aktivitas cepat tersebut. Laju sepedanya semakin memelan seiring semakin dekatnya rumah Alya. Pagar hitam rumah Alya memang meninggi gagah. Jerujinya juga rapat. Sulit untuk melihat ke dalam jika laju sepedanya cepat.
10 meter sebelum sampai di gerbang pagar. Sebuah tangan cantik terjulur ke luar dan melambai, tangannya Alya, seperti gelagat menyetop angkutan umum. Kemudian Ajar berhenti. Sementara Alya, ia memakai gamis yang cantik. Kainnya kilap berwarna putih dengan motif bunga sakura lengkap dengan rantingnya. Jelbabnya merah jambu dan ada kecamata hitam di atasnya. Ia memang benar-benar cantik.
“Kau betul akan berangkat hari ini.” Ajar dengan nafasnya yang cepat karena kelelahan.
“Apa kau pernah melihatku memakai baju sebagus ini.” Ia mengibaskan roknya ke kiri dan ke kanan sambil melihat ke bawah dan tersenyum.
“Ya, sepertinya kau akan pergi.”
“Lantas kenapa kau berhenti di sini.”
“Aku hanya ingin meminta maaf atas semua kesalahan. Dan terimakasih juga atas semuanya.”
“Ya, juga maafkan aku.” Alya tersenyum dengan sedikit memaksa.
Kemudian Ajar melihat ada gerakan di pintu rumah. Tanpa berbasa basi. Ia langsung melaju lagi. Ajar sebenarnya sudah siaga bahwa sewaktu-waktu Pak Danish bisa saja keluar dari dalam rumah. Tak jauh setelah mengayuh sepedanya, ia menoleh ke belakang. Alya masih di sana memandanginya. Lantas Ajar melambai dan Alya langsung masuk. Raut wajahnya sedih dan Ajar tidak melihatnya.
Lalu, sepintas Ajar bingung sambil mengayuh sepedanya. Ia mulai merasa sedih pula, namun dengan topik yang berbeda. Ia sering sedih ketika merindukan orang tuanya. Tapi kali ini topiknya lain. Maka setelah hari ini, tidak adalagi sosok yang duduk di bangku belakang sepedanya. Juga tidak adalagi yang dengan berani dan bersabar menghadapinya yang tidak normal itu. Untuk mengajak berbincang dan penuh perhatian.
Sepedanya terus melaju. Hingga sampai di simpang kampus. Ia berhenti di sana. Tidak ada tempat singgahan yang familiar ke depan lagi. Lantas ia berbelok dan menuju ke kampusnya. Hari ini sangat berbeda. Biasanya saat ini suasana di sini mulai ramai. Kendaraan yang berlalu lalang keluar dan masuk untuk pulang, pergi dan keluar sebentar. “sekarang terang dan sendiri.”
Sepedanya di parkir di belakang kampus. Padahal perkuliahan sedang libur. Kebiasaan itu sudah mendarah daging. Tidak perlu menganalisa dan menunggu perintah diri, gerakan tubuhnya secara otomatis membawanya ke sana. Sepedanya di parkir normal. Cukup dengan cagak. Biasanya butuh kayu untuk menopang sepedanya agar tidak jatuh. Karena ada dua keranjang sampah di bangku belakang.
Ia duduk di tanggal mushalla. Menunggu azan zuhur tiba beberapa menit lagi. Sambil duduk pun, pikirannya tentang Alya tak kunjung lekang. Kenangan itu terlanjur bermain di kepalanya. Wajar untuk laki-laki seperti Ajar. Ia bahkan tidak pernah merasakan pertemanan seakrab itu, apalagi dengan perempuan. “Alya itu seperti mobil tempur. Langsung merangsek masuk tak kenal takut.”
Azan zuhur berkumandang. Ia bergegas berwudhu’ dan shalat. Ini semakin mengherankannya, wajah Alya pun terbawa masuk dalam shalatnya. Istighfar dan ta’awuz diucapkan berkali-laki. Sesekali bayangan-banyangan itu ditarik agar tidak muncul. Namun, beberapa saat setelahnya ia muncul lagi. “Syaitan sedang mengganggu shalatku.”
Usai shalat, Ajar berniat pulang. Ia menapak ke arah belakang kampus. Seketika tampak Pak Norman yang menyeka absen dosen ke wajahnya waktu itu. Ia tertawa kecil. Sepedanya mulai di tarik dan diputar arahnya. Lalu sepintas, ada visual yang berbeda. Itu tidak seperti biasanya. Dinding pagar itu seharusnya berwarna putih. Tapi, sekarang ada semacam coretan hitam. Mata Ajar langsung menoleh dan memperhatikan nuansa visual yang berbeda itu.
“Tuhan, maafkan diri ini, yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya. Namun, apalah daya ini bila ternyata, sesungguhnya . . . Aku terlalu cinta dia.” Di bawahnya tertera sepotong nama. “Alya”
Pikiran Ajar lengang. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Lalu menggiring sepedanya dari belakang gedung itu. Ia berjalan pelan. Melihat lorong itu. Mereka terhempas karena tertabrak. Melihat ke bagian depan, Alya berdiri dengan wajahnya yang memerah, dan di lapangan tengah, ia yang sedang push up dan melihat wajah Alya, ia memang cantik. Hingga sampai ke gerbang kampus. Ia menaiki sepedanya dan mengayuhnya sambil berdiri. Ajar melaju kencang dan beberapa tetes airmatanya terhempas ke belakang.
Ia memacu sepedanya secepat mungkin. Bukan ke rumah Alya, namun arah sebaliknya. Ajar tidak tau apakah mereka sudah berangkat atau belum. Jika sudah, ia akan mengejar mobil mereka sejauh mungkin. Jika belum, tentu mobil itu tidak lama lagi akan melewatinya.
Kayuhan itu cepat sekali. Namun secepat apapun, sepedanya hanyalah sepeda biasa. Bukan seperti sepeda gunung atau sepeda balap yang mempunyai gear untuk memilih tingkat kecepatan kayuhan yang berbeda. Ajar tidak memikirkan apakah mobil itu sudah lebih dulu di depan atau masih di belakang. Ia hanya berpikir sepeda itu harus melacu secepat mungkin dan memperhatikan setiap mobil yang menyalipnya.
Benar, beberapa menit kemudian mobil Alya lewat. Lajunya tidak terlalu cepat. Namun ia tetap saja tertinggal.
“Alya.!!” Ajar berteriak. Bahkan tak cukup sekali.
Ia tetap mengayuh.