“Karena ini hanya prewedding, jadi kita pakai gaun pengantin yang sederhana saja. Bisa menekan biaya pengeluaran. Dan kau, mudah saja, kita cukup menyewa jas dengan warna serupa.”
Yura berjalan mendului Ong Seong Woo. Gadis itu bahkan tidak meliriknya sedikitpun. Ia terus menjelaskan apapun mengenai Pre-wedding, berjalan melewati satu toko ke toko lain. Dan selama itu pula, Seong Woo tidak digubris. Lelaki itu seperti sedang menyewa tour guide, dalam kunjungan Seoul Center mencari gaun pengantin.
“Hya! Apa kau marah padaku?” Seong Woo mengimbangi langkah Yura dan dengan terang-terangan gadis itu mempercepat langkahnya.
“Kita butuh bunga, kau seharusnya merangkainya sendiri, tapi karena kau ini pengantin tunggal jadi kita pesan saj—“
Kalimat Yura terputus oleh Seong Woo yang mencengkram tangan gadis itu. Ia membuat tubuh mungil Yura berbalik, menghentikan seluruh aktivitasnya yang terkesan hanya untuk menghindar. Mata mereka bertemu, seolah tombol jeda bereaksi di antara dua manusia itu.
“Apa kau berusaha menghindariku?”
“Ti—tidak, bukan, maksudku, apa yang kau lakukan?!” ia menarik tangannya, membuat Seong Woo langsung bertolak pinggang.
“Iya tuh, kau cemburu ya aku menikah?”
“A—apa sih? Kau gila ya?”
“Kau tahu kan kalau pernikahan ini terjadi karena terpaksa?”
“Mwo? Ah.. ya.. tentu saja, dan aku tidak peduli.”
Seong Woo tersenyum manis, “Keokjeongma.”
“Ne? Untuk apa aku khawatir?”
Senyum lebar Seong Woo kian merekah, ia tak bisa tidak gemas melihat reaksi Yura. Lelaki itu pun mendekatkan wajahnya persis ke telinga kiri Yura. Ia berbisik, menimbulkan angin kecil. “Na, naega Johahae.”
Seketika jantung Yura berhenti berdetak. Sementara Seong Woo langsung melarikan diri mendului Yura, gadis itu justru kehabisan nafas. Ong Seong Woo menyukainya? Oh astaga… lelucon macam apa itu barusan? Yura hampir mati dibuatnya. Sama sekali tidak lucu, dan ia tidak bisa tertawa karena tersipu.
“Kau mau mati, hah?!! Ong~Ssi??!!! Kajima…” teriak Yura berusaha menutupi rasa malunya yang mencapai ubun-ubun. Seong Woo sendiri merasa menang, ia puas, karena sudah berhasil membuat Yura Park salah tingkah.
***
“Jadi kau putus karena dicampakkan?” Tanya Seong Woo antusias. Lelaki itu seakan bersorak, dan siap meledek Yura dengan berbagai informasi bodoh yang ia berikan.
“Hya!! Bukankah pemilihan katamu itu terlalu kejam?”
“Aigoo, Sirhuende? Arasso, mungkin kau putus karena memang harus. Terlepas dari apapun alasannya, akan lebih baik jika kalian tidak bersama, ya kan?”
Yura tersenyum samar. Setidaknya 56% perlengkapan Pre-wedd sudah mereka dapatkan. Sekarang mereka ingin berbincang santai, menikmati suasana Seoul yang sedikit lebih lenggang. “Kau sendiri? Apa kau yakin akan menikah dengannya?”
Ong Seong Woo diam sejenak, sebelum akhirnya senyum khas yang paling Yura sukai itu kembali mengembang. “Tidak, tapi aku harus melakukannya, apapun alasannya.”
“Apa kau baik-baik saja?”
“Tidak.”
“Apa kau sudah siap melalui semuanya?”
“Tidak.”
“Apa kau butuh bantuan?” Yura menghentikan langkah, membuat Seong Woo ikut berhenti dan menoleh ke arahnya. “Tenanglah Ong~Ssi, semua akan baik-baik saja. Kau hanya perlu mempercayai apa yang ingin kau percayai. Jadi percayalah bahwa aku akan selalu ada di pihakmu sampai nanti, oke?”
“Jadi apa kau juga menyukaiku, Yura~Ssi?” Tanya Seong Woo memastikan lagi.
Namun bukan sebuah jawaban, Yura justru melayangkan pukulan kasar ke pundak Seong Woo yang langsung kesakitan, “Cari mati ya?” sinisnya.
Ong Seong Woo hanya bisa tertawa kecil. Ia melirik Yura yang mengerucutkan bibir. “Mau makan ice cream?”
“Ice cream?”
“Tunggu sebentar.”
Bola mata Yura mengikuti langkah Ong Seog Woo yang sedikit berlarian. Ia merasa bahagia, cukup bersama Seong Woo saja dunianya terasa menyenangkan. Walaupun hanya dari belakang, menatap punggung lelaki itu saja sudah membuatnya bahagia.
Seong Woo berbalik, sementara Yura hanya menggelengkan kepala kecil. Lelaki itu tersenyum, meninggikan kedua tangannya yang menggenggam ice cream coklat. Ia juga menghampiri Yura sambil berlari, kemudian menyodorkan dua cup ice cream.
“Mau yang kanan atau kiri?”
Yura mengernyit, “Bukankah keduanya sama saja?”
“Kanan atau kiri?” tanyanya lagi sembari menggeleng.
“Kanan?”
“Oke, berarti hari ini kita kencan.”
“Ne? Lalu bagaimana dengan kiri?”
“Kiri?” Ong Seong Woo memasang wajah berpikir, “Kiri berarti kita akan bersama sepanjang hari. Tapi karena kau memilih yang kanan, jadi ikut aku dan jangan memikirkan apapun.”
“Hya… bukankah itu tidak adil?”
Dan seakan tuli, Seong Woo tetap mendorong punggung Yura agar lekas bergegas pergi. Iya, walau sejujurnya Yura pun tidak akan menolak. Mereka hanya ingin bersama, melupakan kenyataan bahwa Ong Seong Woo akan menikah. Menistakan fakta bahwa lelaki itu dalam keadaan banyak masalah. Serta mengabaikan mantan kekasih yang ingin Yura binasakan.
Hari ini, hanya berdua saja. Bersama seseorang yang mereka inginkan. Menghabiskan waktu yang membuat hati mereka kembali nyaman. Seong Woo menggenggam tangan Yura, menimbulkan sudut bibir gadis itu terangkat. Sederhana saja, setidaknya mereka harus membuat kenangan yang indah.
***
“Woah… cantik,” gumamnya.
Alam menunjukkan pesona, menghentikan langkah Yura yang sebelumnya hanyut dalam hangatnya genggaman tangan Seong Woo. Guratan warna orange yang menguasai semesta, seolah menciptakan kententraman. Langit seperti bergradasi, menghiasi kota Seoul yang dipenuhi bangunan tinggi.
Semilir angin menerbangkan rambut Yura, memainkan helai demi helai yang bergurau di pipi. Manik matanya sibuk mengagumi dunia, setelah sekian lama larut dalam duka, akhirnya ia melihat guratan warna. Menyajikan panorama mesra, seakan memeluk Yura agar masuk ke dalamnya. Sangat indah, dan Seong Woo hanya bisa melihat kekaguman gadis itu dari belakang.
Matanya mengikuti pandangan Yura. Berusaha keras menyusuri apa yang ada dalam kepala kecilnya. Sampai-sampai ia melepas genggaman Seong Woo, memilih larut dalam dunia lain yang tidak bisa Seong Woo jamah. Gadis itu asyik bercengkrama dengan alam, seperti melupakan keberadaan Ong Seong Woo di sana.
“Apa kau tidak pernah melihat langit senja di Paris?” Seong Woo mendekat, ikut berdiri di samping Yura yang masih di terpa angin manja.
“Langit Paris selalu berwarna abu-abu. Tidak perduli siang atau malam, aku hanya bisa melihat satu warna dalam hariku. Tidak ada sinar matahari yang melusup di pagiku, tidak pula warna senja yang menutup. Langit malam di Paris juga tidak menyuguhkan bulan dan bintang, karena mataku buram akibat genangan air yang tidak mau turun. Ah… Sudah ku duga, langit Seoul memang selalu indah. Aku hampir lupa kalau dunia memiliki berbagai jenis warna.”
“Langit Seoul indah karena ada dirimu, kau harus tau itu.”
“Apa kau berusaha menggodaku Ong~Ssi?” cibir Yura sembari menatap Ong Seong Woo yang membuang pandangan jauh ke arah langit.
“Aku hanya mengatakan kebenaran. Karena sebelumnya langit Seoul terlihat mengerikan. Aku bahkan tidak sudi membuka mata hanya untuk melihat dirinya. Tapi seperti tidak peduli, dia tetap saja melahirkan matahari, bulan dan bintang yang cantik. Sampai akhirnya kau datang, dan aku merasa harus berterima kasih karena langit melahirkanmu juga.”
Yura terdiam. Ia membiarkan jiwa Ong Seong Woo mengudara. Lelaki itu sudah mengalami banyak hal, jadi izinkan ia berkelana sejenak. Memainkan matanya, menilin langit yang begitu mempesona. Yura sendiri sudah bosan melihat pemandangan, karena ia larut dalam ciptaan Tuhan yang dibuat sambil tertawa.
Yah… kini Yura asik memandangi sisi samping Ong Seong Woo. Mengamati lekuk rahang bawahnya yang disusun rapi nan rupawan. Hidungnya terlukis jelas, melambangkan kealamian milik Tuhan. Dan nampaknya Yura tidak akan pernah lupa, betapa cantiknya sudut mata Seong Woo yang sibuk menjelajah.
Lelaki itu sangat sempurna. Dia adalah bukti kesombongan Tuhan.
“Jadi apakah besok kau membawa timmu juga?” Ong Seong Woo menoleh, mempertemukan sepasang mata sendu yang saling mendamba. Mengajak Seong Woo mendekat, hingga nyaris tidak ada jarak. “Apa kau mau berkencan denganku, Yura~Ssi?” bisiknya.
“Ne?”
Seong Woo tersenyum lagi. “Bagaimana? Apa kau belum merasakan apapun?”
“Ehm…” Yura menjauhkan tubuhnya, menghindari tatapan Ong Seong Woo yang seolah menerkam, “Besok aku datang sendiri, bagaimanapun juga kau tetap clientku yang memiliki privasi.”
“Keurae Keureom, sekarang ayo kita pulang, aku akan mengantarmu.”
“Aku akan pulang sendiri,” tandas Yura menengahi. Sesjujurnya ia masih ingin bersama Ong Seong Woo, seluruh jiwa dan hatinya tidak mau pergi dari lelaki itu. Namun akal sehatnya menolak, ia tidak bisa bersama lelaki yang akan segera menikah. “Ini, kau harus menyerahkan perlengkapan ini pada Ahn Sarang. Supaya besok pekerjaanku lebih ringan. Boleh kan?”
“Bukankah itu curang?”
“Aku hanya meminta bantuan.”
“Arraso, jaga dirimu baik-baik.”
“Emm, kau juga. Sampai jumpa besok.”
Tanpa menunggu jawaban dari Ong Seong Woo, Yura berlalu. Meninggalkan kenangan indah hari itu. Ia berharap kejadian hari ini hanya sekedar mimpi di siang bolong. Yangmana ketika ia terbangun, mimpi itu menghilang, tidak membekas dalam memori otak. Namun sayangnya, ia menolak lupa, karena semua tentang Ong Seong Woo terlalu indah untuk dilupakan begitu saja.
Seong Woo masih menatap lekat punggung Yura yang berangsung menghilang. Pikirannya berkelana, mengejar kemana arah pikiran Yura. Ia terlanjur jatuh cinta pada Park Yoo Ra, memiliki gadis itu menjadi tujuan utama dirinya. Lantas bagaimana mereka bisa bersama sementara Ong Seong Woo sendiri masih melangkah di atas keraguan. Iya, lelaki itu belum bisa memutuskan.
***
Pandangan Ong Seong Woo tenggelam dalam bingkisan yang ia genggam. Semua paper bag itu berisi persiapan pre-wedding milik Ahn Sarang yang besok harus digunakan. Seong Woo sendiri baru melintasi hall rumah sakit yang sudah didesign sedemikian rupa untuk pemotretan. Ahn Sarang nampaknya tidak bercanda, dan semakin ia sadar, hatinya pun ikut terluka.
Ia ingin menyampaikan kejujuran pada Ahn Sarang bahwa dirinya ingin mengakhiri semua ini. Ong Seong Woo berniat menolak, mengungkapkan betapa tertekannya ia atas ketidakadilan ini. Namun gadis itu sendiri juga mengalami banyak hal sulit, bahkan harus dalam pengawasan medis untuk beberapa hari. Dilema, itulah yang Seong Woo sedang hadapi.
Tepat di depan pintu kamar Ahn Sarang langkah Seong Woo berhenti. Kali ini bukan Roo Bin, ia yakin pria itu tengah sibuk berbisnis. Lalu milik siapa suara itu? Di hari yang nyaris larut ini Sarang masih bercengkrama asik bersama seorang lelaki. Percakapan yang serius, bahkan gadis itu sampai terduduk.
“Kita buktikan saja, besok gadis itu pasti membawa timnya. Kalau perempuan yang kau maksud itu benar-benar menghilang, mungkin saja asumsimu benar. Tapi kalau salah, izinkan aku mati saat itu juga,” ujar Sarang. Seong Woo yakin betul suara gadis itu bergetar, terdengar serak dan memilukan.
“Lalu bagaimana jika dia bersikeras datang sendirian?”
“Maka Ong Seong Woo yang harus mendapatkannya. Aku tidak peduli, asal kau membiarkanku mati. Kenapa?! Kenapa kau selalu melakukan ini!!!” teriak Sarang histeris.
“Tenanglah Sarang~aahh, aku hanya tidak ingin kau salah paham.”
Seketika itu bulu kuduk Seong Woo berdiri, matanya berkaca-kaca, karena lelaki dengan jas putih itu berusaha keras menenangkan Sarang. Yah… lelaki yang ia yakini betul adalah dokter Sarang. Seorang dokter yang juga mengatur jadwal kunjungan, jadi maksudnya mereka berdua bekerjasama? Membodohi Seong Woo hanya untuk sebuah kepentingan?
Tubuh Seong Woo bergetar hebat. Ia ingin segera meninggalkan tempat itu namun tidak memiliki kekuatan. Sampai akhirnya seorang perawat mendekat, dengan wajah bingung ia bersuara pelan, “Maaf, jam kunjungan pasien ini sudah habis, tuan.”
Seolah tuli Ong Seong Woo pun berjalan. Dengan sisa tenaga yang ia punya lelaki itu menggerakkan kaki-kakinya. Ia linglung, kemudian berlari meninggalkan rumah sakit itu. Dia hampir gila, dan Ong Seong Woo tidak akan pernah melupakan perasaan itu seumur hidupnya.