Kau mengingatkanku kepada seseorang di masa lalu
Dia yang mewujudkan dongeng – dongeng masa kecilku
Apa mungkin, kau dan dia adalah orang yang sama?
*****
How Can I Love You?
Sinar matahari menerobos ke jendela kamar yang sengaja dibuka oleh April. Pagi ini cuaca tetap sedikit mendung, hawa dingin masih terasa. Namun bau petrichor mulai menghilang. Gadis itu sudah mengikat rambutnya ke belakang, tapi ia lepaskan lagi. April memutuskan membiarkan rambutnya tergerai. Sama seperti saran Nata kemarin.
Masih pukul enam lebih lima menit. April mulai memasukkan buku – bukunya ke dalam tas. Tanpa sadar, ia masih terbebani dengan mimpinya tadi malam. Tapi apa boleh buat, gadis itu tak ingat apapun.
“April sarapan!” teriakan ibunya membuyarkan lamunan sang gadis.
“Iya ibu, aku datang!”
*****
April sedang dalam perjalanan menuju sekolah. Septi ada bersamanya tentunya. Seperti biasa, mereka berjalan kaki. April sedang mengawasi suasana sekitar ketika Septi mengagetkannya dengan sekali tepukan di bahu.
April serta – merta menoleh. Septi, tangannya memegang dahi, terlihat seperti mencoba mengingat sesuatu.
“Ah, buku biologiku ketinggalan. Ada pr banyak sekali. Aku harus pulang lagi, mengambilnya. Kamu jalan duluan saja. Mungkin nanti aku akan berangkat lagi diantar Papa. Baik – baik, daa!” Septi pergi begitu saja sambil melambaikan tangannya ke arah April. Sedangkan gadis itu hanya termangu melihat sikap sahabatnya yang tidak pernah berubah.
Setelah bayangan Septi benar – benar tak terlihat, April membuka resleting tasnya, mengambil sesuatu.
“Ini dia!” sebuah headset berwarna putih sudah ada dalam genggamannya. Gadis itu mulai memutar musik dan kembali melanjutkan langkah.
*****
April sudah tiba di pelataran sekolah. Berbeda dengan di rumahnya, di tempat ini bau petrichor masih tercium jelas. Menimbulkan suasana nyaman baginya. Ditengoknya sekeliling, masih sepi. Hanya ada Pak Sob yang sudah mulai membersihkan halaman, menyapu daun – daun pohon Ketapang yang berwarna cokelat kemerahan. Hujan tadi malam kelihatannya lebih buruk dari yang diperkirakan.
“Siswa berangkat berdasarkan cahaya.” April bergumam sendiri.
Memang benar, untuk saat ini matahari memang masih malu – malu. Sinarnya hanya terlihat tipis, menerobos celah – celah mendung. Cuaca seperti ini kadang membuat beberapa siswa malas berangkat ke sekolah.
April terus melangkahkan kakinya ke kelas. Tanpa ia sadari, pandangannya yang terus diarahkan ke bawah sejak tadi membuatnya menabrak seseorang. April terjatuh. Ia mendongak ke atas, melihat ada sebuah tangan diulurkan yang kemudian membantunya berdiri. Gadis itu membersihkan debu yang masih menempel di siku dan lututnya. Ia melihat pemuda dengan mata cokelat itu. Kedua mata mereka bertemu.
Mendadak ia pusing.
“Kamu tidak apa – apa?” pemuda itu memegang bahu sang gadis.
April terdiam. Ia kemudian buru – buru sadar dan meminta maaf.
“Aku tidak apa – apa. Sekali lagi maaf, aku tidak memperhatikan jalan tadi.” ucap April sambil mengalihkan pandangan-pura – pura membersihkan lututnya.
Sang pemuda tersenyum.
“Baiklah, aku harus pergi. Bye!” pemuda itu pergi ke arah yang lain.
Bukankah kita sekelas?
April masih terpaku, memperhatikan bayangan pemuda itu, Dana, sampai tidak terlihat lagi. Tapi, pemuda itu berhenti sebentar sambil memegang kepalanya. Entahlah.
Sekarang April masih merasakan pusing menjalar di kepalanya. Itu sudah biasa, setiap kali ia bertemu Dana memang seperti ini. Walau ia sendiri tidak tahu apa penyebab pastinya. Dan jangan lupakan lintasan waktu itu. April kembali melihatnya ketika mereka bertatapan tadi. Sebenarnya ada apa antara dia dengan Dana? Mereka hanya teman yang baru bertemu.
April memegang dadanya. Lebih dari itu, pertemuan tidak disengaja tadi membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
*****
“Hei! Kamu melamun?” teriakan Anti menyeret gadis itu keluar dari labirin pikirannya sendiri. Tanpa sadar, sedari tadi ia terus memperhatikan Dana yang tengah asyik mengobrol dengan teman – temannya.
“Hei!” Anti melepas headset yang masih terpasang di telinganya. Anti tidak tahu, April bahkan sudah mematikan lagunya sejak tadi. Sehingga yang ada hanya suara bising kelas, suara Anti juga.
Mau tidak mau April kemudian menoleh ke arah Anti yang sudah duduk di sampingnya.
“Aku tahu apa yang kamu lihat jadi jangan mencoba mengelak. Kamu memperhatikan Dana, ya kan?” Anti mendesaknya dengan raut wajah mengejek.
April hanya mendengus kesal.
Sok tahu.
“Dana memang seperti itu kalau kamu baru mengenalnya. Dia susah berbaur dengan perempuan. Tapi sebenarnya dia pemuda yang baik, percayalah, kamu tidak salah pilih.” Anti melanjutkan kalimatnya tanpa disuruh, ia kemudian tersenyum.
Apa – apaan ini?
“Aku bahkan tidak mengerti bagaimana perasaanku sendiri dan kamu sudah bisa begitu cepat menyimpulkannya. Apa terlihat begitu jelas?” April menatap Anti sedih. Cahaya matanya redup saat ini.
“Ya, mungkin begitu menurutku. Kamu mulai menyukainya? Tapi, jangan menatapku seperti itu.” Anti merasa sedikit bersalah jadinya. Tapi teman April itu mendadak mengembangkan senyumnya dan meraih tangan April.
“Akan kubantu.” Kata Anti mantap.
April hanya diam. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan temannya itu. Gadis ini hanya mengangguk. Tatapan matanya kosong.
Lakukan sesukamu.
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways