Terik matahari mengintip di balik jendela kamar Sakura yang tertutup gorden putih berenda itu. Silaunya membuat Sakura terpaksa harus memicingkan matanya. Di bukanya matanya perlahan-lahan dan menemukan kesadarannya. Dan dia tahu hari sudah nampak siang saat itu. Dia punya serentetan jadwal hari ini. Harus pergi mengujungi bibinya di Gangnam, harus menemui Mirae di tempat kerjanya dan harus memeriksa kelengkapan butiknya yang sudah dipercayakannya pada salah satu temannya yang ada di Seoul itu.
“Oh tidak aku terlambat,” pekiknya.
Dia bergegas mandi dan berganti pakaian. Dipakainya dress pink polosnya dan jas berwarna biru mudanya itu. Dia bergegas menyambar stilettonya yang masih tergetak di tempatnya karena dia belum sempat merapikan barang-barangnya karena terlalu lelah kemarin. Dia bermaksud untuk membereskan semuanya setelah ia selesai dengan semua urusannya.
Namun ketika dia menyambar stiletto kesayangannya itu, dia lupa kalau hak kiri sepatunya itu telah patah akibat insiden di bandara kemarin. Karena itu dia memakai sepatu seadanya dan segera bergegas pergi. Jika masih ada waktu luang hari ini dia akan menyempatkan diri untuk mampir membeli sepatu yang baru karena dia hanya membawa tiga pasang sepatu di kopernya dari Tokyo.
Dari rumahnya Sakura harus berjalan menuju halte. Dia menolak keinginan ayahnya untuk menyediakan mobil untuknya agar dia mudah pergi kemanapun. Dia hanya ingin hidup lebih sederhana saat ini, tanpa kemewahan. Dan dia yakin dia akan bisa mengatasinya. Toh, di Tokyo dia juga jarang menggunakan mobilnya yang berwarna hijau toska itu. Kecuali jika memang benar-benar diperlukan. Dia lebih suka naik kendaraan umum dan bercengkerama dengan orang-orang yang di temuinya di stasiun ataupun halte.
Meski kebanyakan orang Jepang lebih sibuk sendiri dengan buku-buku yang tengah dibacanya untuk menunggu tempat pemberhentiannya, ataupun para muda-mudi yang sibuk dengan headset yang bertengger di telinga mereka. Tapi, meski satu dua orang yang mau berbicara dengannya, Sakura cukup senang bisa bertemu orang baru setiap harinya.
Bus berhenti tepat di depannya dan dia segera naik. Tujuan utamanya kali ini adalah ke rumah bibinya di Gangnam. Karena kalau menunggu terlalu lama bibinya yang cerewet itu akan menghujahkan lebih banyak kata-kata kepadanya jika dia tidak cepat-cepat mengunjunginya. Setelah tiga puluh menit perjalanan dia pun sampai. Sakura menyempatkan diri untuk membeli buah sebagai bingkisan untuk bibinya.
Dia berjalan menyusuri jalan untuk menemukan rumah bibinya. Dan tak beberapa lama dia pun sampai. Di depan rumah yang megah dengan kebun yang ruas. Pagar besi yang menjulang tinggi seolah seperti gerbang yang memenjarakan sebuah rumah mewah di dalamnya dari kawanan pencuri. Sakura memencet bel di rumah yang bernomor 17 itu.
Sementara orang-orang di dalamnya sibuk menyantap sarapan paginya yang hendak di mulai. Tapi, tiba-tiba setelah pembantu rumah tangga itu memberi tahu majikannya siapa yang datang, Shin Baek Hee, bibi sakura sudah siap menunggunya di depan pintu rumahnya. Dia menyambut hangat kedatangan keponakannya itu. Tak henti-hentinya bibinya itu memberikan pelukan dan ciuman manis dipipinya.
“Kami sudah lama menunggumu, kenapa tidak langsung kemari saja kemarin?” tanya bibinya.
“Aku terlalu lelah kemarin. Jadi tidak sempat mengunjungi bibi,”
“Kalau tahu begitu bibi kan bisa menyuruh Kang Hoo menjemputmu,”
“Tidak usah repot-repot komo[1],”
“Kamu bener tidak mau tinggal bersama bibi? Bibi akan sangat senang jika kamu mau tinggal bersama kami disini,” ucap bibinya. Bibinya memang tidak punya anak perempuan dia hanya punya dua anak laki-laki Lee Kang Hoo yang seumuran dengan Sakura dan Lee Jae Hee yang masih duduk di bangku SMP. Karena itulah bibinya sangat senang jika Sakura tinggal disana, pasalnya dia bisa menghabiskan waktu bersama dengan gadis itu.
Tapi, Sakura menolak dia ingin tinggal sendiri. Tapi dia akan sering-sering mengunjungi bibinya jika sedang tidak sibuk. “Aku ingin tinggal sendiri Bi. Kalau bibi butuh teman untuk shoping atau jalan-jalan bibi bisa mengajakku sesekali dan aku akan menyediakan waktuku untuk bibi,” ucapnya.
“Ya, baiklah kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Bibi tidak akan melarangmu. Ayo kita sarapan dulu,” tukas bibinya,
“Nuna[2],,,”ucap Jae Hee setelah mendapati Sakura tengah berdiri di meja makan bersama ibunya.
“Anyong Jae Hee,” ucapnya. Dia pun menyapa keponakanya lainnya Kang Hoo yang tengah menikmati sarapannya. Juga tak lupa untuk menghormat pada pamanya yang menikmati kopi dan koran paginya di meja makan.
“Baik nuna, nuna sendiri bagaimana?” Kang Hoo bertanya balik.
“Ya, aku juga baik,”
“Kurasa juga begitu. Nuna masih lancar berbicara bahasa korea meskipun sudah jarang kemari,” ucap Kang Hoo.
“Ya tentu saja, kalau tidak kau tahu sendiri ibuku akan memberikanku les privat dua puluh empat jam jika aku sudah melupakan bahasa dimana dia dulu dilahirkan,” ucapnya sembari tersenyum. Dan itupun diikuti oleh seluruh keluarga bibinya.
Memang benar selain pandai bahasa Jepang yang memang tempat dia berasal Sakura juga pandai bahasa Korea tempat dimana ibunya berasal dulu karena neneknya adalah orang Korea dan kakek dari ayahnya juga orang korea. Jadi ibunya selalu menyuruhnya untuk belajar bahasa korea agar bisa bercakap-cakap dengan sanak saudaranya di korea meskipun kakek dan neneknya dari pihak ayahnya yang tinggal di korea sudah meninggal. Selain itu, dia juga bisa berbicara bahasa Indonesia karena kakaknya dan ibunya juga sering mengajarinya. Alasannya ya sama saja agar dia bisa bercakap-cakap dengan kakek-neneknya dari pihak ibunya yang tinggal di Indonesia. Selain itu bahasa Inggrisnya juga lumayan karena dia sering berinteraksi dan membaca buku-buku kedokteran yang banyak berbahasa inggris sewaktu kuliah. Sedangkan bahasa perancisnya masih tidak lancar karena dia hanya belajar sebentar karena hendak meneruskan studi desainnya disana.
Sebenarnya Lee Kang Hoo ingin berlama-lama bersama Sakura. Dia ingin menunjukkan Kota Seoul yang sudah banyak berubah itu setelah Sakura pindah dari sana. Sakura dan keluarganya memang pernah tinggal selama dua tahun disana sebelum akhirnya ayahnya memutuskan untuk memfokuskan dirinya pada bisnisnya yang ada di Jepang. Sementara bisnisnya yang ada di negeri gingseng itu diserahkannya kepada adik ipar yang sangat dipercayainya itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah suami bibinya, Lee Dong Gun.
“Mianne[3] nuna, aku nggak bisa menemani nuna, aku ada rapat hari ini,” ucap Kang Hoo yang bekerja di perusahaan keluarga yang sama dengan ayahnya itu.
“Ya, tidak apa-apa lain kali saja. Lagi pula aku juga punya sedikit urusan di butikku dan pekerjaan baruku,”
“Em, baikkah aku pergi dulu,” pamit Kang Hoo pada Sakura yang tengah berada di kebun untuk membantu bibinya merangkai bunga.
“Meskipun bibi tidak tahu betul apa masalahmu, Bibi berharap di negera ini kamu bisa cepat melupakan masalahmu,” ucap bibinya seketika ketika mereka tengah asyik merangkai bunga-bunga mawar itu dalam Vas.
“Ye komo, Sakura juga berharap begitu,” ucap Sakura. Oh ya Bi, sakura tidak bisa lama-lama, Sakura sudah ada janji dengan teman yang Sakura temui di Paris,” ucapnya.
“Ya, baiklah hati-hati,” ucap bibinya lembut. Dan Sakura pun mencium pipi bibinya untuk mengucapkan perpisahannya. Oh, ya apa mau pakai mobil bibi atau mau diantar supir bibi?”
“Ah, tidak usah komo. Biar Sakura naik bus saja. Komo tahu sendiri sejak kecelakaan waktu itu Sakura sedikit menghindar dari membawa mobil sendiri,” ucapnya.
“Baiklah kalau itu maumu. Berhati-hatilah,”
Sakura pergi meninggalkan rumah elit itu dan bergegas untuk menemukan bis yang bisa mengantarnya pergi ke kantor Mirae. Tak lama setelah itu bus menurunkanya di sebuah tempat yang penuh akan pertokoan di kanan kiri jalannya itu. Dia masuk ke sebuah butik yang cukup besar dibandingkan dengan bangunan-bangunan disekitarnya. Ketika mendapati baju yang telah dipampang di etalase dia tahu bahwa itulah butik Mirae, karena baju itu adalah rancangan Mirae yang menjadikannya sebagai peringkat ketiga sewaktu di Paris.
Mirae yang tengah melihat Sakura tepat dihadapannya itu segera berhambur untuk memeluk wanita yang lebih cocok jadi kakaknya itu daripada jadi temannya.
“Unniii,,,,” pekiknya. Unii sudah datang, kenapa tidak menyapaku tadi,”
“Kau tengah sibuk dengan pelangganmu. Mana mungkin aku mau mengganggumu,”
“Ah,, nggak sibuk kok Unnii, dia cuman pelanggan setiaku jadi harus melayaninya dengan baik,” tukasnya.
“Unni, mari kita pergi ke Cafe untuk membicarakan pekerjaan yang ku janjikan itu,” ajak Mirae.
Akhirnya Sakura pun mengikuti gadis muda itu. Sembari menikmati coffelate yang disajikan oleh barista mereka mengobrol seputar pekerjaan itu. Seputar sepupunya yang akan mengenakan baju-baju desainan Sakura dan kesukaan serta ketidaksukaannya. Mereka pun juga sesekali mengenang masa-masa ketika mereka menghabiskan waktu mereka bersama selama belajar desain di Paris.
Hari sudah sore ketika dia sampai di Dongdaemon. Eun Jung tahu bahwa sahabatnya itu akan datang terlambat karena sebelumnya Sakura sudah memberi tahunya bahwa dia ada sedikit urusan. Tapi, ketika dia melihat gadis bertubuh ala model dengan rambut panjangnya yang setengah keriting itu dengan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itu, senyum simpul merekah di wajah gadis asli korea teman kecil Sakura itu.
“Kamu sudah datang?”
“Ya, ma’af ya membuatmu menunggu,”
“Em, tak apa yang penting kau sudah datang,”
“Jadi apa yang mau kita bahas hari ini?” tanya Sakura.
“Nih laporan baju-baju yang sedang ngetren akhir-akhir ini, yang banyak di gandrungi oleh anak muda,” ucap Eun Jung sembari memberikan berkas-berkas itu pada sahabatnya.
Usai menyelesaikan urusan di butiknya dengan Kim Eun Jung, Sakura bermaksud untuk menikmati keindahan kota Seoul di malam hari. Dia ingin sekali mengunjungi sungai Han malam ini. Sudah lama sekali sejak ia jarang berkunjung ke Seoul, dia sangat merindukan sungai Han yang indah itu. Dia berjalan menyusuri sungai dan merasakan angin malam yang merasuk ke dalam Jasnya.
Rasanya memang begitu dingin, tapi Sakura tidak menghiraukannya. Dia begitu menikmati sungai yang memang dapat dilihatnya dengan bantuan cahaya lampu. Tapi, cahaya lampu itulah yang malah membuat pemandangan sungai Han menjadi indah di malam hari. Dia duduk di tepi sungai dan berpikir.
“Andai saja, kau juga dapat menikmati indahnya sungai ini Takagi-kun,” desahnya.
Sementara itu, di tempat yang sama Lee Jung Soo juga tengah memandang hamparan sungai besar di hadapannya itu. Sungai memang indah berapa kali pun ia melihatnya, tetap saja tidak membuatnya bosan. Sungai Han selalu dapat membuat perasaannya menjadi lebih baik. Seolah semua masalah yang tengah dihadapinya sirnah setelah menikmati indahnya sungai itu di malam ini. Terlebih lagi kelelahan akibat pekerjaannya sebagai seorang aktor juga sirnah seolah di terbangkan angin malam yang merasuk tubuhnya.
Dia merasa dingin semakin merasuk tubuh di balik Jas hitam tebalnya itu. Dia bergegas hendak pergi. Tapi tiba-tiba tatapannya berhenti pada seorang gadis yang tengah duduk beberapa meter jaraknya dari tempatnya. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi dan seketika itu berfokus pada gadis itu.
“Apa yang dilakukan gadis itu malam-malam begini?” pikirnya. Mungkin juga dia sedang ingin menjernihkan pikirannya sama sepertiku,” batinnya lagi.
Angin malam membelai rambut panjang gadis itu. Wajah gadis itu tak begitu jelas dilihatnya karena dia hanya melihatnya dengan bantuan temaran cahaya lampu malam yang tak begitu terang. Tapi, dapat di duganya bahwa gadis itu terlihat cantik meskipun hanya samar-samar dilihatnya karena gadis itu hanya memfokuskan pandangannya ke sungai. Hanya sesekali saja gadis itu menoleh, terlebih lagi itu cuma karena merapikan rambutnya yang di terpa hempasan angin malam. Dilihatnya gadis itu hanya menatap sungai dengan pandangan kosong. Dia bahkan tak melihat di sekelilingnya, hingga tak sadar jika ada seseorang yang tengah mencuri-curi pandang pada dirinya. Beberapa kali dilihatnya gadis itu sibuk membenarkan jasnya dan kemudian gadis itupun menghilang dari pandangannya.
[1] Panggilan untuk bibi dari ayah.
[2] Panggilan lelaki kepada kakak perempuannya.
[3] Artinya ma’af.