Dua orang gadis remaja berada di kamar berukuran 3 x 3 meter yang didominasi warna merah jambu. Di karpet terdapat berbagai macam cemilan, dua kotak wafer cokelat, fried french dalam mangkok plastik yang sudah dibekali dengan saos sambal, sekotak cokelat beng-beng, keripik kentang rasa rumput laut, dan dua kotak susu UHT yang belum tersentuh.
“Udah jahit aja tepinya,” saran Lalika.
“Duh!” Wulan memperhatikan gaun pestanya lagi. “Tapi kan sayang,” dilihatnya lagi gaun lengan pendek dengan rok di atas lutut warna soft blue itu.
Wulan duduk dekat jendela sambil meremas gaun pesta, wajahnya tampak kuatir. Sementara Lalika berbaring di kasur membalas pesan yang masuk ke smart phone-Nya. Wulan melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul delapan kurang empat puluh menit. Di luar jendela kamarnya tampak teman-teman sekelas sudah ramai berdatangan.
“Sini aku jahit. Ntar keburu mulai pestanya,” kata Lalika.
“Gak usah, biar aku aja, mending kamu makan tuh,” Wulan berjalan membuka lemari mencari benang dan jarum. Akhirnya, diputuskan untuk menjahit gaun pestanya sebelum acara dimulai. Tidak ada pilihan lain agar gaun itu pas di tubuhnya.
“Aku lagi diet,” pernyataan Lalika membuat Wulan menoleh, menghentikan usahanya memasukkan benang ke dalam lubang jarum.
“Diet?” Wulan mulai meraih kotak susu UHT dan menjebloskan sedotan ke lubangnya.
“Kamu nggak lihat badanku ini udah melar?”
“Melar?”
Wulan menatap Lalika dari ujung rambut sampai ujung kaki. Perfect! Pipi bulat, hidung mancung, tangan berisi, badan berlekuk, wajahnya dibubuhi make up minimalis, dan tak lupa lip tint memoles bibirnya. Lalika dijuluki body goal oleh teman-temannya. Sejujurnya Wulan sangat iri, di saat dia berusaha terlihat lebih gemuk. Temannya justru mengurangi jatah makan.
“Harus ya diet?”
“Sayangku, aku itu gendut. Kalau aku gendut Yusuf pasti akan berpaling,” ujar Lalika.
Deg!
Tiba-tiba Wulan teringat, apa dia juga akan menilai seseorang dari tubuhnya? Tinggi badannya? Berat badannya?
Seminggu yang lalu, Wulan menimbang badan di UKS. Beratnya tidak beranjak masih 32 kilogram. Dia juga mengukut tinggi badannya yang hanya 150 sentimeter. Wulan sedih, dia tidak seperti teman-temannya yang memiliki tubuh berisi. Wulan pesimis bahwa cowok itu menyukainya.
Apakah malam ini dia akan datang ke pesta ulang tahunnya? Atas usul Wahyu,Wulan diminta mengundang seluruh teman-temannya. Salah satunya dia.
Wulan mengintip dari balik jendela kamarnya lagi, tampak motor sport putih itu terparkir di halaman. Dia sudah datang.
Dadanya berdesir. Jantungnya seperti mau copot, karena berdetak lebih cepat. Wulan menarik napas dan menghembuskannya dengan cepat. Dia gugup.
Kalian pasti penasaran, siapa yang dimaksud oleh Wulan?
Iya, kan?
Wulan tidak pernah menceritakan kepada siapapun, bahkan sahabatnya, Lalika. Ini seperti perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Kalau kata pepatah mengatakan, bagai pungguk merindukan bulan.
“Lan, lima belas menit lagi tuh?” Lalika sudah berdiri di sampingnya, matanya ikut menyapu parkiran dari lantai dua. “Kamu lihat apa sih?” Lalika penasaran.
“Nggak ada,” ujar Wulan.
Lalika menyadarkan gaunnya yang masih belum selesai dijahit. Wulan kembali menjahit tepi gaun dibantu Lalika agar cepat selesai.
Tiba-tiba, Mama Wulan menyelonong masuk kamar tanpa mengetuk.
“Wulan,” hardik mamanya.
“Auw...” jerit Wulan kesakitan tertusuk jarum jahit.
Perih.
Buru-buru Wulan meraih plester di nakas untuk membalut lukanya.
“Itu kamu ngapain? Temen-temenmu udah datang pada nanyain kamu. Masak yang ulang tahun belum muncul. Lah, ini gaunnya lagi diapakan? Kenapa dijahit?” pertanyaan Mama Wulan memberondong tanpa jeda.
“Ini gaunnya Wulan nggak pas Tante, longgar,” kata Lalika.
“Makanya, kalau punya badan itu gedein sedikit. Ini kerempeng mana keren.”
Glek!