Kuapan kantuk menjangkiti tiap siswa di kelas dua belas IPS 4. Saling tular-menular. Dimulai dari Satya, menuju Garuda teman sebangkunya, menuju meja seberang, seberangnya lagi, seberangnya lagi, sampai bangku paling depan.
Bedanya, setelah menguap, siswa siswi di barisan depan masih sanggup membuka mata. Hampir melotot menahan kantuk. Masih sanggup menahan diri untuk terus mengikuti pembelajaran bahasa Jepang yang ditulis dengan huruf hiragana di papan tulis putih.
Sedangkan yang ada di barisan belakang, sudah punya dunianya sendiri tanpa repot-repot melototi huruf yang bukan romaji itu. Salah satunya Satya Amando. Cowok itu sudah menjadikan gulungan jaketnya sebagai bantal tidur.
Semalaman suntuk Satya bermain game di laptopnya. Need for Speed Black Edition. Satya beli game itu dengan uang hasil nge-band bersama teman-temannya. Tidak seberapa, sih, tapi cukuplah untuk beli game dan belanja cemilan tengah malam. Satya Amando suka main game, tapi bukan termasuk golongan gamer sejati. Hanya sekedar menghilangkan rasa sendiri.
Menutup mata bukan berarti tidur. Dirinya terjaga dalam tenggelaman wajah dan penatnya pikiran. Diam-diam, ia berbicara pada siapapun tanpa tahu siapa yang mampu mendengar di dalam sana. Diam-diam, ia memikirkan quote yang tadi pagi ia baca di timeline instagramnya. God wakes you up for reasons. Satya tidak--
Buk!
Satya membuka mata keget, mengusap kepalanya yang kena tampol spidol.
Satu kelas tertawa. Akhirnya ada hiburan yang membuat cair suasana kelas, meminimalisir rasa bosan anak-anak yang kelewatan. Terlebih Garuda yang puas sekali tertawa. Dialah alasan di balik tertampolnya Satya. Barusan ia mengangkat tangan dan menunjuk Satya yang tertidur.
“Jangan karena kamu beberapa kali menyumbang piala kejuaraan band untuk sekolah, kamu bisa mengabaikan pelajaran akademik ya!” Ibu guru bertampang lumayan di depan sana berkata pedas. “Mau saya kurangi nilai kamu yang memang sudah kurang itu?”
Lumayan keji maksudnya.
Satya menggaruk jidatnya bingung. Matanya melirik Garuda sambil mengedikkan dagunya. “Jepang-nya maaf apa?”
“Ohayou gozaimasu.”
“Itu selamat tidur!”
Satya menabok kepala teman sebangkunya itu secara terang-terangan di depan gurunya. Garuda tertawa puas.
“Itu selamat pagi, Satya!” jerit guru ‘lumayan’ itu dari depan. Gemas.
Satya mengerjap bingung. Satu kelas tertawa lagi. Sampai ada yang terpingkal melihat Satya berusaha menutupi wajahnya dengan tangan.
“Pinter amat, dah, gue!” gumamnya.
Satu kelas makin riuh tertawa. Apalagi Garuda.
“Elo, mah, temen deket macem apa coba?!” Ia menabok Garuda lagi.
Di sela tawa, Garuda membalas. “Ya elah, sedeket-deketnya gue sama lo, gue selalu jadi yang kedua.”
“Gue, sih, pengennya lo jadi dua miliar biar bisa gue pake beli gorengan sewarung-warungnya,” ujar Satya lebih kalem.
Satu kelas lagi-lagi tertawa dengan Satya yang malah berkomedi receh di dalam kelas. Guru bahasa Jepang di depan sudah berasap-asap ingin menyumpal mulut Satya dengan penghapus papan tulis.
Satya naik lagi, “Eh, serius gue, Jepang-nya maaf apa?”
Satya menyikut Garuda menyadari gurunya sudah kehilangan kata ‘lumayan’ dan hanya menjadi keji saja.
Cewek di bangku depan Satya memutar tubuh, membawa buku catatannya dan menunjukkan pada Satya. Satya mengangguk, ber-oh ria.
“Sumimasen, Nensei!”
“Sensei, Satya!” Asap di kepala ibu guru megepul-ngepul. “Nensei itu kelas!”
Baguslah, paling tidak gara-gara Satya, satu kelas tidak mengantuk dan bosan lagi. Isinya hanya tertawa dan ejekan selama pembelajaran berlangsung. Ya, walaupun tidak bagus untuk Satya. Nilainya benar-benar berkurang lima poin di ulangan sebelumnya.
***
Suasana kelas dua belas IPA 3 benar-benar sepi saat Mutiara Kinan Wijaya mengocok correction pen. Sedari tadi yang terdengar hanya suara coretan bolpoin ke kertas, atau sesekali suara bisikan siswa.
Eh, tidak juga, karena Tiara sedari tadi berkomat-kamit.
“Cerewet lo, Ra.”
“Bodo!” Tiara berbisik ketus sembari tangannya menuliskan rumus fisika yang masih mampu otaknya tampung di selembar kertas.
Tidak menjawab dengan kata, seseorang berambut ikal panjang sebahu di sebelah Tiara terkikik pelan, matanya melirik Tiara geli.
“Gitu yang namanya temen deket?”
“Sedeket-deketnya gue sama lo, gue selalu lo jadiin nomor dua,” Anggita, si cewek berambut ikal yang terkikik tadi membalas juga dengan bisikan.
“Gue, sih, pengennya lo jadi nomer dua ribu biar bisa gue pake buat beli gorengan.”
Anggita terkikik lagi. “Sedih gue punya temen kayak lo. Nggak bermutu banget.”
“Eh, ngaca, dong, Neng!” Tiara sudah mulai naik. “Yang sedih itu harusnya gu—”
Buk!
“Aduh!” umpat Tiara pelan, mengusap jidatnya yang kena tampol spidol.
Anggita menutup mulut dengan tangannya, menahan kikikannya agar tidak keras.
“Bukan karena kamu pernah menyumbang piala olimpiade sains, kamu bisa seenaknya ya ngobrol saat ulangan fisika!” Bapak guru berparas lumayan di depan sana berkata pedas. “Kamu mau nilainya saya kosongkan?”
Lumayan bengis maksudnya.
Tiara menunduk malu. Sadar kini hampir semua mata tertuju padanya. Yang lainnya sudah sibuk cari kesempatan dalam kesempitan untuk bertanya jawaban sana-sini.
“Maaf, Pak,” sesal Tiara.
Guru di depan jadi harus menenangkan keributan mencontek sambil menumpahkan hujan lokal gara-gara Tiara.
Tiara mengambil kertas coret-coretan miliknya yang sudah penuh angka sambil lagi-lagi mengomel. Dirinya mulai menghitung soal materi induksi magnetik bagian solenoida.
Tiara mengomel lagi. Lupa rumus. Tangannya dengan gemas mencoret-coret kertas coret-coretannya. Anggita melirik Tiara, lalu terkikik lagi.
“Penyumbang piala olimpiade sains,” ejek Anggita di sela omelan teman satu bangkunya itu.
“Berisik!” balas Tiara ketus, memilih menyerah dengan rumus yang tidak ia pelajari semalam.
“Lho, emang gue salah? Anak olimpiade sains bukannya nggak perlu belajar fisika lagi, ya?”
Tiara menoleh, melotot sebal pada Anggita. “Bukan berarti gue hapal sama semua rumus!”
Anggita meringis. “Ampun, deh, ampun. Sorry ya?”
“Lo apaan coba semalem bilang kita nggak jadi ulangan. Kan gue nggak belajar jadinya!” Tiara mengomel untuk kesekian kalinya.
Iya, semalam Tiara menelepon Anggita karena pesannya yang ia kirim pada orang lain tidak kunjung dibalas. Orangnya lagi main game. Jadi, pasti sudah asyik sendiri. Saat telepon itulah Tiara bertanya apakah Anggita sudah belajar atau belum, dan dengan seenak udelnya Anggita bilang bahwa grup kelas membahas batal ulangan fisika. Ya sudah, larut malam Tiara menjalankan rencana dadakan.
Ponsel Tiara kan ponsel jadul yang masih memiliki pencetan sebanyak dua belas tombol untuk menulis dan tiga tombol untuk navigasi. Ya, bukannya apa-apa, tapi Tiara sempat punya trauma kecil dengan ponsel mahal. Jadi, Tiara lebih memilih ponsel jadul untuk berkomunikasi.
“Nggak mau tahu pokoknya jam istirahat hari ini lo yang bayar. Gue mau pesen dua porsi bakso sama es teh!” peras Tiara.
“Dih, males banget. Udah bosen gue jadi obat nyamuk.”
“Obat nyamuk apaan, sih!”
“Tiara!”
Tiara langsung meringis mendapat teguran lagi. Pak guru fisika yang lumayan bengis sudah kehilangan kata lumayannya. Beliau berjalan bersidekap menuju meja Tiara. Cewek yang disamperi bergegas menunduk dalam-dalam saat guru di depannya memberi ceramah pendek.
“Kamu itu, Bapak perhatikan daritadi masih saja ngobrol dengan Anggita.”
Kalimat berikutnya, direnteti dengan ceramah yang akan masuk lewat kiri dan keluar lewat kanan. Tangannya menggeser lembar jawab Tiara, diperhatikan dengan seksama. Masih ada tiga soal yang belum terjawab padahal waktunya tersisa sepuluh menit.
Pak guru menggeleng, lantas berceramah lagi. Usai berceramah pendek dan memberitahu Tiara, pak guru menggeleng.
“Anggita juga, ngajak ngobrol terus.”
“Lah, saya, Pak?!” Anggita mendongak, sedikit tidak terima.
“Iya kamu!”
“Lho, Pak, tapi kan Tiara ngejawab, ya saya jawab lagi dong, Pak.”
“Iya, itu namanya ngobrol! Apa bapak perlu mendefinisikan apa itu mengobrol?” suara guru mulai meninggi. Mulai tidak peduli juga dengan riuhnya anak-anak mencontek.
“Nggak perlu, Pak. Udah tau,” Tiara bergumam sambil menuliskan jawaban. Yang ternyata terdengar sampai depan.
“Ngelawan kamu?!”
Tiara lagi-lagi mendongak, meringis lagi, meminta maaf lagi. Ia juga menyenggol Anggita, menyuruhnya meminta maaf.
“Kamu itu Tiara, pasti main terus sama siapa itu … anak IPS itu ….”
Satu kelas sontak bersorak bersama-sama, menjawab nama Satya anak dua belas IPS empat. Ribut, tertawa-tawa, dan dalam hati berterima kasih pada Tiara dan Anggita yang berhasil mengalihkan perhatian pak guru fisika galak itu. Mereka jadi lebih mudah mencontek jawaban teman dan lebih mudah membuka contekan kertas.
“Iya itu … Satya!”
Pak guru sudah teralihkan, membicarakan Tiara dan Satya yang selalu terlihat bersama di kantin.
Anggita menggeleng, melihat lagi lembar jawabnya sambil mengisi jawaban yang masih kosong satu. Dasar Tiara, begitu saja sudah baper. Lihat, pipinya bersemu merah.
Anak-anak jadi bisa mencontek lebih leluasa. Ya, walaupun petaka bagi Tiara si anak penyumbang piala olimpiade sains yang bakal mendapat nilai di bawah minimal karena mengosongkan tiga dan mengarang empat nomor dari sepuluh soal saat ulangan dikumpulkan.
***
Seperti yang sudah-sudah, Tiara selalu turun dari tangga dengan terburu-buru. Di meja makan, Tiara melihat mamanya sedang menuangkan susu ke gelas. Roti panggang sudah bertumpuk di atas piring, ditemani selai kacang yang masih berada di jar. Sembari menuangkan susu, tampak mama Tiara bernama Ayu sedang mengomel tidak jelas.
“Pagi, Ma!” Tiara mengecup pipi mamanya.
“Mana papa kamu, Ra?” Ayu membalas kecut, memasukkan kotak susu UHT ke dalam lemari es.
Tiara mengendikkan bahu. Menyambar cepat susu jatahnya dan mencomot dua lembar roti panggang lalu membungkusnya dengan tissue.
“Papa kamu tuh, janjinya mau bangun jam empat, mau nemenin mama belanja ke pasar pagi. Eh, nggak tahunya masih molor aja! Kalau jadi belanja kan bisa sarapan nasi goreng!” Ayu kembali mengomel, “heh, ini lagi anak perempuan minum, kok, berdiri!”
Tiara meletakkan gelas susu yang sudah kosong, lalu nyengir. Susunya ia habiskan dalam sekali minum, sedangkan rotinya masih di tangan belum ia masukkan ke dalam mulut.
“Ma, Tiara duluan ya!” Sekali lagi ia mengecup pipi Ayu.
Tiara sudah berlari keluar saat Ayu kembali ngomel sambil teriak-teriak, yang ia dengar hanya; “Awas kalau kamu berangkat sama Satya, ya!”
Sambil berlari melewati pagar, Tiara tertawa. Sudah biasa ia diperingati Ayu. Ini semua karena hasutan Wijaya, papanya. Sebenarnya Ayu oke-oke saja Tiara berteman dengan Satya, tapi papanya yang terlalu protective itu yang menyebabkan Tiara harus bangun terlebih dahulu agar bisa berangkat bareng Satya.
Karena kalau sudah pulang sekolah, Wijaya bela-belain meninggalkan pekerjaan hanya demi menjemput anak semata wayangnya agar tidak pulang dengan anak yang sudah dicap berandal olehnya.
Tiara masih berlari, masih membawa dua lembar roti panggang yang ia bungkus tissue, melewati lima rumah untuk mencapai rumah bercat biru tua yang ia kunjungi selama dua tahun ini. Hingga ia sampai di tempat tujuannya.
Tangan kiirnya yang bebas ia tumpukan di lututnya sambil mengatur napasnya yang satu-satu. Lalu ia membenarkan rambutnya sebelum memegangi pagar rumah sambil berteriak memanggil nama Satya. Lima menit tidak ada satupun yang membukakan pagar. Jadi, Tiara berinisiatif membuka sendiri dan masuk.
Aroma rumput basah yang baru disiram mengenai indra penciuman Tiara. Orang di depan sanalah yang membuat rumput dan tanaman di halaman menjadi basah. Pria itu masih mengenakan kaos dan celana rumahan, memegangi selang air untuk menyiram.
“Selamat pagi, Om!” sapa Tiara riang.
Pria berusia empat puluhan itu menoleh kaget. “Lho, Tiara?”
“Maaf, Om, Tiara langsung masuk. Tadi Tiara manggil-manggil nggak ada yang jawab, soalnya.”
“Oh, Om yang minta maaf karena tidak dengar.” Lantas, Lukas, ayah Satya mematikan keran. “Cari Satya?”
Tiara mengangguk.
“Tadi masih tidur. Kamu, kok, jam segini sudah siap?”
“Biasanya juga udah siap, Om.” Tiara tersenyum. “Om, bisa tolong bangunin Satya, nggak?”
Tampak canggung, Lukas menjawab, “kamu masuk aja langsung ke kamarnya.”
“Oh, iya, Om. Tiara masuk dulu, ya,” pamitnya sopan.
Baru beberapa langkah Tiara berjalan, Lukas memanggil nama Tiara. Senyum laki-laki di sana sendu saat Tiara berhenti dan menoleh.
“Kalau Satya nakal dikasi tahu ya, Nak, atau kalau memang kelewatan dijewer saja.” Lukas tertawa, dibuat-buat.
Tiara tertawa kecil dipaksakan sambil manggut-manggut.
“Tolong ya, Nak. Satya nggak mau denger apa kata Om, dia cuma mau denger kalau kamu yang ngomong.”
Kali ini, Tiara ikut menyendukan senyum. Cewek berkucir kuda itu mengangguk sekali, kemudian masuk ke dalam rumah.
Karena Tiara sudah ada di depan pintu kamar Satya, Tiara segera menggedor keras pintu kamar, yang hanya dibalaskan dengan teriakan ‘berisik’ parau khas bangun tidur.
“Eh, Kebo!” Tiara balas berteriak.
“Sapi!” Seseorang di dalam membalas.
Tiara terkikik, menggedor pintu lagi. “Kuda Nil!”
Tidak ada balasan lagi. Ia melirik dua lembar roti yang sedari tadi ia bawa, meski terbungkus tissue, tapi ia yakin sudah kotor terangin-angin. Menyadari rotinya mendingin, lagi-lagi Tiara berinisiatif membuka pintu yang beruntungnya lagi tidak dikunci seperti pagar.
Tipikal kamar remaja cowok, kondisi berantakan dan banyak poster, Tiara melangkah masuk. Satya sendiri bergelung dengan selimutnya, masih memejamkan mata. Kalau dilihat dari posisinya, Satya pasti sedang memeluk guling.
“Satya!” Tiara memanggil, dibalas erangan.
“Udah jam—eh, bangun! Entar papa nyusulin ke sini!” Tiara memekik heboh melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Bangun! Gue nebeng lo!”
Satya malah menaikkan selimutnya menutupi kepala.
Melihatnya, Tiara menarik selimut Satya sebal sambil berteriak, “Banguuunn!!”
“Males!” Satya mendekap guling makin erat.
“Sat—”
Baru saat itulah Satya membuka mata, menatap Tiara sengit. “Jangan panggil Sat, panggil Ya, Tiara!”
Tiara balik menatap sengit. “Sss … Sat!”
Buk!
“Aduhhh!”
Tiara mengerang, terjungkal jatuh akibat serangan bantal yang menghantam perutnya. Saat itu pula Satya berdiri, tertawa senang melihat korbannya memberengut kesal. Makin senang saat Satya menyadari tatapan mata Tiara mengarah pada dua lembar roti yang tergeletak tak berdaya di lantai, untung masih terbungkus tissue.
“Eh, rotinya!”
Satya tertawa, tapi tetap membantu Tiara berdiri. “Bukannya ngecek diri sendiri, malah roti.”
“Nggak mau tau, ya, pokoknya lo harus makan tuh roti jatuh.”
Satya mengacak rambutnya, makin berantakan. Tiara menahan napas sejenak hanya karena melihat gerakan seperti itu. Lalu, Satya kembali tertawa, membuat Tiara kembali keki.
“Nggak masalah, belum lima menit.”
Secepat itu Satya mengambil, dan secepat itu ia memakan roti yang tergeletak itu. Menyisakan Tiara yang tidak puas.
“Harusnya gue nyumpel roti itu ke idung lo!”
“Harusnya telinga juga!”
“Dih!” Tiara bersidekap. “Mandi sana, buru!”
“Siap, Ibu boss!”
Satya langsung keluar kamar hendak ke kamar mandi, tapi di ambang pintu, Satya berhenti melihat Tiara yang melipat selimut dan merapikan tempat tidur Satya.
“Lo udah sarapan?”
Masih melipat selimut, Tiara menggeleng. “Roti itu tadi.”
“Bokap ada, nggak, tadi?”
Kali ini Tiara menghentikan aktivitas. Ia tersenyum tipis sebelum mengangguk. “Tadi sempet ngobrol bentar.”
“Tumben, biasanya udah pergi aja tu orang.” Satya mendengus. “Kalo lo belum sarapan, ke dapur, gih. Biasanya bokap masak kalo jam segini belum ngantor.”
“Lo sendiri mau sarapan?”
“Kalo lo nggak ngomel mulu, gue bakal sarapan, tapi kalo lo ngomel kayak biasa, gue mau bolos jam aja makan di kantin.”
“Kalo lo bolos jam, artinya bye!” Tiara mengibaskan tangannya.
“Ya udah, sono berangkat sendiri!”
Tiara tertawa, sedikit nekad berkata, “bye! I love you!”
“I love me too!”
Satya juga tertawa, berbalik menuju kamar mandi. Meninggalkan Tiara yang memaki diri sendiri karena ucapannya barusan. Bercandaan yang sebenarnya kode.