Kemeja putih berdasi di balik jas hitam, celana kain, sepatu pantofel mengilap, dan rambut berpomade rapi. Satya berkali-kali berdecak untuk acara makan malam ber-table manner bersama ayahnya di sebuah restoran mewah. Satya tidak terbiasa dengan pakaian formal seperti ini.
“Penting banget, ya, pakaian kayak gini?” tanya Satya sinis pada ayahnya.
“Udah nurut saja!”
Satya memutar bola matanya malas. Dengan cepat ia memilih menu makan, ayahnya mengikuti apa yang dipilih anaknya dan menambahkan satu porsi lagi. Lukas, ayah Satya bilang akan ada tamu spesial malam ini sehingga mereka harus mengenakan pakaian serapi ini di tempat semewah ini.
“Pak Jokowi atau Pak Obama?” tanya Satya sarkastik.
Lukas berdecak. “Kamu ngelawak atau apa?”
“Berenang.”
Lukas lagi-lagi berdecak. Lalu, mereka diam satu sama lain, memperhatikan orang-orang yang masuk dari pintu dan orang-orang yang menyudahi makan malam mereka.
Satya mengetuk-ngetuk kakinya, bosan menunggu. Kemudian, segera bersyukurlah Satya mendengar bunyi pesan yang masuk ke ponselnya. Cepat-cepat ia merogoh kantung celana kainnya.
Pesan dari Tiara.
Tiara : Jadi nggk?
Satya melirik jam di ponselnya. Sembilan belas lebih delapan belas menit.
Satya : Nelat.
Tiara : Keburu malem. Gue butuh lo bgt nih.
Satya : Knp? Ngidam pisang?
Tiara : HAHA LO LUCU BGT SATYA SUMPAH GUE NGAKAK!!!
Satya tersenyum.
Satya : NGAKAK AJA SAPA TAU KLUAR LWT MULUT.
Tiara membalas dua menit kemudian.
Tiara : BURU!
Satya : Burung?
Tiara : Satya, Plissss
Satya : Burung gue?
Tiara : IYA MAU GUE SUNAT!
Satya tidak dapat menyembunyikan senyumnya akibat berhasil memacing emosi sahabatnya. Harusnya Satya sudah ngumpet di pohon di depan rumah Tiara untuk menjemput cewek itu, tapi berhubung ayahnya memaksa Satya ikut malam ini dengannya, jadilah ia menuruti dan memolorkan waktu malam Minggunya dengan sang sahabat.
Ngomong-ngomong Satya belum bilang ke Tiara. Pasti cewek itu bakal ngomel sepanjang malam.
“Ah, nah, sudah datang!” Lukas berseru.
Satya mengikuti arah pandang ayahnya. Sedangkan tangannya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Perempuan itu menangkap mata Lukas lalu berjalan ke arahnya dengan senyum mengembang.
Seorang perempuan, sekitar dua atau tiga tahun di bawah umur ayahnya yang berusia empat puluh satu tahun. Meskipun sudah tua, wajahnya masih mulus, mungkin ada beberapa kerutan, tapi tidak terlalu nampak. Perempuan itu mengenakan gaun hijau muda semata kaki, cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Dan heels putih pas di kakinya.
Satya menoleh bingung pada ayahnya yang melihat dengan tatapan kagum pada perempuan itu.
“Klien?”
Lukas tidak menjawab sampai perempuan itu tiba di depan Lukas dan Satya. Satya mencium harum parfum mawar dari perempuan itu. Ia mengamat-amati perempuan itu, lalu beralih ke ayahnya, tapi ayahnya tetap memperhatikan perempuan itu. Bahkan Lukas menarik kursi untuk perempuan itu duduk di antara dirinya dan Satya. Baru saat perempuan itu duduk, Lukas menoleh pada Satya.
“Ini tante Erika, Nak.”
“Hallo!” pekik perempuan itu riang. Tangannya terulur pada Satya, Satya menerima dengan sopan. “Saya Erika. Kamu Satya, ya? Mas Lukas sering cerita tentang kamu, lho.”
Satya menaikkan satu alisnya bingung sebelum melepas kaitan tangannya dengan Erika. Mas Lukas? Aneh sekali sampai ia memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’, bukannya ‘Pak’. Dan ayahnya sering bercerita tentangnya? Untuk apa Lukas bercerita? Pasti hal yang buruk-buruk yang diceritakan tentang dirinya.
Satya menyimpan segala pertanyaan di mulut. Menjaga sopan santun di depan teman ayahnya. Sebandel-bandelnya Satya, ia masih bisa menjaga sopan santun. Apalagi di depan kolega ayahnya. Bisa saja perempuan ini adalah partner bisnisnya yang besar.
Sembari menunggu makanan datang, Erika bertanya-tanya seputar sekolah Satya. Yang Satya jawab dengan sopan dan sedikit kikuk mengingat ia bukanlah siswa teladan yang hobi belajar, melainkan siswa yang suka tidur di kelas, dan terkadang membolos di jam-jam mata pelajaran yang tidak ia sukai.
Makanan datang. Tampak mewah, mahal, dan menggiyurkan di mata Satya. Satya pribadi lebih suka makan di kedai atau di warteg supaya bisa menikmati makanan rumahan, bukan makanan berkelas dengan nama sulit seperti ini. Namun, mungkin sekali-kali juga tidak masalah. Karena makanan di depannya memang mengundang liur. Satya mengambil garpu dan pisau untuk memotong daging di piring.
Lukas berdehem. “Berdoa, Nak.”
Erika terkikik, Satya meringis. Ketiganya saling menautkan tangan, menunduk dan berdoa pada Tuhan, dipimpin oleh Lukas. Setelah amin, mereka mulai memegang garpu di tangan kiri dan pisau di tangan kanan.
“Jadi, tujuan ayah ngajak makan malam kemari karena ayah punya berita besar,” ujar Lukas sambil memotong daging sapi di atas piring.
Satya dengan sopan meletakkan garpu dan pisaunya, ia belum sempat memasukkan potongan daging ke mulut saat ayahnya kembali berujar, “Tante Erika ini akan menjadi ibu kamu.”
Satya tersedak ludahnya sendiri. Matanya terbelalak.
Partner bisnis besar dari Hongkong!
Di depannya, Lukas menempatkan tangannya di atas tangan Erika. Terdapat sorotan penuh kasih di mata ayahnya terhadap perempuan itu. Makanan mewah di depannya tidak lagi menggiyurkan. Malah membuat perutnya bergejolak ingin muntah.
Kali ini Satya tidak dapat menyembunyikan marahnya. Satya marah berat.
Kalau begini, manner atau kesopanan apapun tidak patut Satya tunjukkan pada perempuan atau ayahnya sekalipun. Satya tidak mengerti bagaimana cara orang berumur berpikir tentang sebuah hubungan.
Astaga! Belum cukupkan membabak belurkan hati Satya?!
Satya memukul meja. “What the fuck?!”
Mendengar umpatan seperti itu, Lukas membentak, “Apa-apaan perkataan kamu?! Ayah tidak pernah mengajarkan kamu berbicara seperti itu!”
Satya menyeringai. “Ayah memang nggak pernah ngajari Satya ngomong kayak gitu, tapi sikap ayah dan ibu yang bikin Satya belajar perkataan kayak gitu.”
“Apa-apaan kamu, Satya?!” Lukas membentak lagi.
Beberapa mata mengintip-ngintip pada mereka bertiga, membuat Erika menenangkan Lukas dengan mengusap-usap lengan Lukas.
“Bodo amat.” Satya mendorong makanan utuhnya di piring. “Makan tuh daging, makan tuh nikah! Persetan!”
“Kamu mau satu bulan tidak dapat uang saku?” ancam Lukas.
Satya mengibaskan tangannya kesal. “Tadi ayah juga bilang nggak akan ngasi uang saku kalau Satya nggak mau ikut ayah ke sini. Sekarang mau ngancem nggak ngasi uang saku lagi?”
“Minta maaf!” ujar Lukas keras.
“Nggak!” Satya melepas jas hitamnya, lalu melempar ke lantai dengan kasar. “Satya nggak mau minta maaf, Satya nggak setuju!”
Lalu ia berdiri, melonggarkan dasinya. Dengan tatapan melawan, Satya memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung celana kainnya. Mata Lukas memancarkan kemarahan dan rasa malu, sedangkan Erika, perempuan yang dikenalkan ayahnya menunduk tidak enak hati.
Satya tertawa sinis. “Satya balik.”
Satya bisa mendengar permohonan maaf ayahnya pada perempuan itu tentang sikap Satya dan jawaban tidak apa-apa dari perempuan itu di belakangnya. Ia mendengus.
Lebih baik segera pergi, berganti pakaian normal, lalu menghampiri sahabatnya.
***
“Habis makan malam, kamu mau kemana, Tiara?”
Mutiara mendongakkan kepalanya dari makanan di piring. Pertanyaan yang selalu diajukan papanya saat malam Minggu tiba. Ini malam Minggu. Malam dimana seorang remaja SMA seperti Mutiara keluar untuk nongkrong bersama teman. Salah satu pertanyaan yang harus ia jawab sebaik mungkin, mengingat betapa protective-nya Pak Wijaya terhadap anak semata wayangnya.
“Main.” Tiara mengunyah makanannya lamat-lamat.
“Main?” ulang papanya menjadi sebuah pertanyaan.
“Biasa, Pa.”
“Biasa?” Wijaya menggantungkan sendok di udara. “Ke rumah Satya maksudnya?”
Tiara menunduk, mengambil nasi dan potongan ayam di sendok dengan grogi. “Ya gitu, deh, Pa.”
“Lho, kamu itu cewek. Kok ngapelin Satya?” Ayu, mama Tiara mendadak judes.
“Ya, masa mau dijerukin, Ma,” balas Tiara, pipinya bersemu merah. “Lagian Tiara nggak ke rumahnya, tapi kami mau ke Kedai Pojok.”
“Halah, kamu ngapain mau ketemu Satya? Nggak takut dicuri lagi?”
Tiara meletakkan sendok dan garpu di atas piring dengan kasar. Kalau pertanyaannya sudah seperti ini, Tiara malas sekali menjawabnya. Wajahnya cemberut sambil melipat tangan di depan dada. Tiara sudah menjelaskan berkali-kali masalah pencurian itu, tapi papanya tetap saja tidak percaya.
Ayu menoel lengan suaminya. “Hatinya Tiara, kan, sudah dicuri, Pa.”
“Mama, ih!” Pipi Tiara makin bersemu merah saat menyanggah.
“Pasti laki-laki itu pakai pelet!” Papa Tiara geram, lantas memasukkan nasi ke mulutnya dengan lahap. Membuat isi di piring lenyap dengan cepat.
Tiara makin cemberut. “Pelet apaan, sih, Pa? Satya kan anak baik-baik, cakep lagi. Banyak, kok, yang suka sama dia.”
“Ya terserahlah! Pokoknya papa nggak ngijinin kamu main lagi sama dia. Dia itu anak nakal, Ra. Kamu nggak inget dia pernah nyuri?”
“Ih, Papa! Kan Tiara udah jelasin kalau waktu itu Satya nggak nyuri beneran! Dia cuma mau ngerjain Tiara aja!”
“Itu cuma alasan dia supaya bisa mencuri barang kamu lagi, Tiara. Papa nggak setuju! Dia juga pernah terlibat tawuran juga, kan? Sudah untung dia nggak masuk penjara!”
“Ya Tuhan Yesus Yang Mulia, kan Tiara udah bilang kalau Satya udah tobat!”
“Halah bohong!” sergah Wijaya. “Tobat dari Hongkong?”
“Ah, Mama bantuin Tiara jelasin ke papa, dong!”
Ayu menggeleng kecil melihat betapa kolot suaminya dan rewel anak remajanya. Ayu sendiri membereskan piringnya dan milik suaminya yang sudah bersih. Lalu menuangkan air putih di gelas untuknya dan untuk suaminya.
“Papa pelit!” dengus Tiara.
“Lho, papa nggak pelit, tapi Papa itu sayang sama kamu. Jadi, Papa ngingetin kamu.”
“Itu sama aja pelit. Memang udah seharusnya papa ngatur, tapi anak kan juga punya hak, Pa,” Tiara masih mencoba membela diri.
“Tapi anak juga punya kewajiban untuk menuruti apa kata orang tuanya.”
Tiara badmood.
Ayu angkat bicara, “kamu boleh malam mingguan, Tiara, tapi nggak sama anak nakal itu.”
Tiara mengurut dada. “Lah, terus sama siapa? Sama Anggita? Dia pergi ke Bandung sama keluarganya, pasti mereka lagi malem mingguan juga di Bandung.”
“Malam mingguan sama mama, sana. Beli lipstick gitu, bedak, atau apa terserah. Papa kasih uang, nih.”
“Nggak mau!” Tiara mendorong tangan papanya yang menyodorkan dua lembar uang seratus ribu. “Maunya ke Kedai Pojok sama Satya!”
“Kamu habis makan, masih aja ke kedai,” Wijaya masih meluncurkan larangannya.
“Nggak makan, Pa, tapi beli roti-roti.”
“Malam-malam makan yang manis-manis. Nanti kamu gendut, papa nggak mau nanggung lho, ya.”
“Ih, kan nggak banyak-banyak, Pa!”
“Alibi kamu. Kamu mau ke Kedai Pojok, kan?”
Tiara mengangguk semangat empat lima.
“Ya sudah, papa atur pertemuan kamu di Kedai Pojok.”
“Hah? Nggak usah diatur-atur, Pa. Paling tinggal ngirim sms ke Satya minta jemput ke sini. Terus cuss, deh, ke sana.”
“Jangan gede rasa dulu. Maksud papa sama Darren.”
Tiara langsung membungkamkan mulutnya mendengar nama Darren. Matanya melirik Ayu yang gelisah, dan kembali pada Wijaya yang mengernyitkan kening pada Tiara.
“Darren … temen kecil Tiara yang pindah ke London itu, Pa?”
“Masih ingat, ya?” Wijaya terkekeh. “Gimana?”
“Apanya yang gimana?”
Wijaya menengok pada Ayu yang tersenyum meminta maaf. “Kamu belum memberi tahu ke Tiara, ya?”
“Ngasi tahu apa, Pa?” Tiara menyela.
Tatapan mata Wijaya kembali pada Tiara yang ternyata sama sekali belum mengetahui apa-apa. Untuk beberapa menit, ruang makan hening. Bukan keheningan khidmat yang biasa mereka alami, melainkan keheningan canggung. Terlebih kecanggungan Wijaya pada anaknya akan keputusan yang ia rasa tidak pantas bagi anaknya.
Wijaya menarik napas panjang. Mulutnya bergerak, menuturkan beberapa hal dari awal hingga keputusan yang sudah ditentukan, menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang bisa dilakukan. Ayu menunduk dalam-dalam, turut meminta maaf atas keputusan yang mereka ambil.
Sedangkan Tiara, dirinya duduk tegap dengan ekspresi datar. Ia memperhatikan dengan seksama apa yang papanya jelaskan. Menemukan poin sebenarnya dalam percakapan.
Kekagetan yang sebenarnya tidak ditunjukkan di depan wajah, tapi jantungnya berulang kali berdentum-dentum keras oleh setiap kata yang sampai di telinganya.
Sampai papanya selesai dengan segala penjelasan, Tiara masih menunjukkan raut wajah datar. Tidak heboh seperti tadinya.
“Papa dan mama sayang kamu, Tiara, tapi ini keputusan terbaik.”
Tiara membuang muka, enggan melihat kedua orang tuanya, tidak berkata apapun dalam menit. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh lebih seperempat. Dan yang di kepalanya sekarang adalah Satya. Dengan begitu, ia bergerak.
“Kalau gitu, Tiara mau malam Mingguan sama Satya sekarang.”
***
Mereka berdua, Tiara dan Satya, punya sebutan sendiri untuk kedai langganan mereka. KePo. Selain karena bisa dipanjangkan menjadi Kedai Pojok, kedai inilah tempat dimana mereka saling kepo-mengepo sambil tertawa-tawa hangat di malam Minggu. Mengorek-ngorek privasi satu sama lain sampai ke dalam-dalamnya, sampai salah satu dari wajah mereka bersemu merah seperti kepiting rebus.
Biasanya Tiara yang kalah, tapi untung satu rahasia Tiara tidak pernah keceplosan.
Sesampainya di sana, Tiara turun dari motor kesayangan Satya. Wajahnya tidak menunjukkan raut seperti malam-malam sebelumnya. Raut kemenangan dimana dirinya berhasil membujuk papanya agar boleh pergi bersama Satya, tersapu oleh pemandangan wajah datar dan mata sayu. Beda dengan Satya yang walaupun mendapat berita buruk dari ayahnya, tidak menampakkannya seperti Tiara.
“Ngantuk lo? Apa mau balik aja?”
Tiara menoleh pada Satya yang sedang membuka kancing half helmet nya. Bibirnya berkedut kesal pada Satya, tapi satu katapun tidak meluncur dari mulutnya, tidak mulus, bahkan tidak terbata. Lantas, Tiara berpaling, berjalan menyentak masuk ke dalam Kedai Pojok yang ramai dipenuhi anak-anak muda.
“Helm, woy!” teriak Satya. “Kayak iklan aja lo masuk ruangan pake helm.”
Satya masih duduk di atas motor saat Tiara berjalan kembali menghampirinya ke lahan parkir sempit. Di depan Satya, Tiara berdiri tegap sambil mengangkat tinggi-tinggi dagunya. Meminta Satya untuk membukakan kancing helm tiga perempat milik Satya yang dipinjamnya. Satya memutar bola mata malas, ikut berdiri di depan Tiara. Lalu, Satya membukakan kancing helm yang dipakai Tiara, dan menarik lepas helm itu dari kepala.
Tiara hanya setinggi hidungnya. Dari jarak sedekat ini, Satya bisa melihat jelas bagaimana penampakan wajah sahabatnya. Saat ini Tiara, di mata Satya terlihat mengerikan. Matanya tidak lagi berkilat ceria seperti biasanya, melainkan sendu. Bibirnya tidak memamerkan gigi, melainkan bibir yang tertutup rapat dan menekuk ke bawah.
“Ngeri lo, kayak setan kalo gitu.” Satya melirik pakaian yang dikenakan Tiara. “Pake baju putih sepaha lagi.”
“Emang!” balas Tiara ketus.
“Mana ada kuntilanak pake celana kolor gitu?”
“Gue kan kuntilanak modern, jadinya ya begini!” Tiara menjawab sambil menyepol asal rambutnya.
“Lo kenapa, sih, Ra?”
Satya kembali duduk di jok motornya, kali ini menyamping sambil mengamat-amati Tiara. Tiara menatap Satya masih dengan wajah kecutnya.
Di bawah remang-remang cahaya parkir kedai, Satya, di mata Tiara terlihat lebih tampan. Matanya tetap hitam dan tajam, mata yang mampu membuat Tiara K-O. Bibir yang sering berkata ketus dan pedas, tapi juga sering menyenandungkan tawa saat mereka bercanda.
Tiara memang masih labil, tapi dirinya benar-benar merasa suka pada sahabatnya itu.
“Tiara?”
Saat Satya memanggil namanya, kepalanya tertunduk. Berulang kali mulutnya mengempaskan napas panjang yang terdengar seperti keluhan tanpa kata.
“Lo aneh banget. Tadi di sekolah lo oke-oke aja, cerewet kayak emak-emak yang tupperware-nya ilang. Kenapa ke sini tadi lo diem aja?”
Setelah makan malam di rumah, dan segala tetek bengek urusan ke-Darren-an, Tiara diperbolehkan papanya untuk malam mingguan bersama Satya dengan perintah; pulang sebelum jam setengah sepuluh. Tiara mengiakan dan segera mengirim pesan singkat untuk menjemputnya ke rumah. Tanpa repot ganti baju, cepat-cepat dia keluar rumah dan menunggu di luar pagar.
Sampai akhirnya Satya datang bersama motor bebek kesayangan yang ditempeli banyak sticker. Tidak lupa helm dan tas punggung tipis yang entah apa isinya. Tiara langsung menyergap helm, naik ke atas motor, dan bilang untuk cepat-cepat berangkat. Dan selama perjalanan itu, Tiara tidak bersuara sedikitpun.
Pahadal Satya sudah wanti-wanti kalau Tiara ngomel.
Satya sampai bingung. Setelah dua tahun kenal dengan Tiara, ini memang bukan pertama kalinya Tiara tampak sedih. Sudah berkali-kali Tiara menekuk wajahnya dengan mulut nyonyor seperti bebek. Namun, biasanya Tiara akan meluapkan emosinya dengan bercerita ditemani amarah yang meledak-ledak di depan Satya. Bukannya murung dan diam saja seperti ini. Tiara terlihat berbeda di depan Satya.
Di hari-hari biasa, biasanya Tiara akan bercerita apa yang diperdebatkan di ruang makan keluarganya, atau hal-hal mengenai perkembangan terbaru tentang cowok-cowok idolanya, atau juga drama korea yang sedang ditonton. Tapi tadi sedikitpun tidak ada suara.
Entah karena ada hal baru yang diperbincangkan di atas meja, atau karena wifi di rumahnya rusak sehingga tidak bisa menonton idolanya.
“Lo mules, ya? Mau pulang, nggak?”
Tiara menyentakkan kakinya di atas tanah. “Gue nggak mau pulang dulu, Sat!”
Satya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung harus berbuat apa. Satya tahu Tiara sedang marah. Bukan hanya dari nada bicaranya yang tinggi, tapi juga karena Tiara yang tega memanggilnya dengan ‘sat’, untung tidak pakai embel-embel ‘bang’.
“Ya udah, lo maunya gima—eh, eh, lo beneran mules? Jangan berak di sini, Ra!”
Satya dibuat kaget karena Tiara tiba-tiba berjongkok di depannya. Bukan seperti dugaan Satya kalau Tiara ingin membuang hajat, tapi sahabatnya itu terisak pelan. Kedua tangannya menutupi wajahnya, bahunya naik turun, terdengar suara isakan kecil yang keluar dari mulut Tiara. Dengan satu gerakan kaget, Satya ikut berjongkok di depan Tiara.
“Ra … Tiara? Lo kenapa, sih?” tanya Satya panik.
Tiara masih terisak dan menutup wajahnya. Satya menepuk-nepuk bahu Tiara yang malah membuat suara isakan Tiara makin kencang. Satya langsung kelimpungan karena tangisan cewek di depannya makin keras. Kepalanya melihat ke sekitar, tampak beberapa orang melihatnya dengan tatapan bertanya-tanya.
“Yang bener aja lo, Ra. Kita diliatin, nih!”
“Lo … pokoknya salah!” Tiara berteriak di sela isakannya.
Satya langsung mengerutkan keningnya tidak terima. “Ya elah, gue nggak ngapa-apain juga. Kok, gue yang salah?!”
“Lo harusnya tau, Satya!”
“Salah apaan, sih? Diem, dong, Ra,” bujuk Satya. “Kalo lo nggak diem, gue tinggal nih!”
Satya berdiri, menyetarter motor supaya Tiara benar-benar merasa akan ditinggal. Tapi yang ada, suara tangisan Tiara yang sedang berjongkok justru makin keras. Satya langsung lemas, dan dengan cepat berjongkok lagi. Tangannya bergerak melepas jaket dan memakaikan pada Tiara yang hanya berbalut baju putih lengan pendek.
“Oke, oke, Ra! Gue salah dan gue minta maaf banget. Maaf sedalam-dalamnya dari lubuk hati gue, Ra. Emang hakikatnya cowok yang selalu salah,” akhirnya Satya mengalah, tanpa tahu apa yang harus membuatnya meminta maaf.
Dengan begitu, Tiara memelankan isakannya. Dirinya berusaha mengontrol isakan yang sedari tadi mengalun. Masih ada sedikit sisa-sisa air mata yang menggenangi matanya dan suara sesenggukan habis menangis, saat Tiara mendongak melihat Satya yang juga berjongkok di depannya.
“Udah, Ra, jangan nangis lagi.”
Satya mengangkat tubuh Tiara dengan menarik pelan lengan Tiara. Lalu, lengan Tiara yang ia tarik, Satya letakkan di lingkar pinggangnya. Menghabiskan jarak antartubuh. Tiara menurut gerakan tangan Satya, sehingga tubuhnya mendekap hangat tubuh Satya. Satya ikut meletakkan tangan kanannya di kepala Tiara, mengusap lembut rambut sahabatnya.
“Lo bener-bener ngerepotin,” Satya berujar, masih mengusap rambut Tiara. “Lo bisa cerita ke gue sekarang, Ra.”
Mendengar permintaan secara langsung yang Satya ucapkan, Tiara makin mengeratkan pelukan tangannya di pinggang Satya. Lantas, Satya mengerti kalau Tiara belum mau menceritakannya pada Satya. Sehingga Satya juga mengeratkan pelukan tangannya yang ada di lengan dan di kepala Tiara.
“Sorry, Ra, sorry. Gue nggak bakal tanya lagi sebelum lo mau cerita ke gue.”
Tiara mengangguk dalam benaman dada Satya. Mencoba menikmati aroma tubuh Satya sedekat ini yang khas untuk ... hmm, kebanyak kalinya. Ia sering sekali modus untuk memeluk barang satu detik. Tapi jarang-jarang Satya yang memeluknya.
Pelukan jarang yang Tiara terima dari Satya selama dua tahun mereka bersahabat. Pelukan yang mampu merobohkan campuran rasa bingung, kecewa, dan marah Tiara untuk sementara waktu. Tapi juga pelukan yang tiba-tiba membawa Tiara makin larut dalam perasaan sedih.
Satya melepas pelukan tubuhnya dari Tiara, begitu juga Tiara yang ikut melepaskan pelukan tubuhnya dari Satya, merasa risih karena tatapan mata yang memandang mereka makin banyak. Seakan-akan mereka berdua sedang memainkan peran teater dalam roman picisan.
Tiara mengusap-usap matanya dengan kedua tangan. Satya sendiri memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana melihat Tiara yang mengusap-usap matanya seperti anak kecil.
“Bocah.”
“Biarin,” jawab Tiara, menyedot ingusnya.
“Ayo, gue anter pulang.”
“Kenapa harus pulang?”
Satya memutar bola mata malas. Tubuhnya berputar, membelakangi Tiara. Lalu bergerak satu langkah manaiki motor dan memakai helm setengahnya. Matanya menatap Tiara sewot.
“Ya gara-gara lo nangis. Bikin malu.”
Tiara langsung cemberut. “Gue nangis lagi, nih.”
“Nangis aja, paling juga gue tinggal.” Satya menyodorkan helm pada Tiara. “Mau balik, nggak?”
“Jadi, batal nih malem minggu dua sejoli kita?” tanya Tiara sambil memakai helm tiga perempat yang disodorkan Satya.
Satya menyetarter motornya. “Kalo lo mau balik, ayo gue anter, tapi gue mau cari makan dulu.”
“Kenapa nggak makan disini aja?”
“Malu. Paling gue ke sini setahun lagi. Ogah gue kalo besok ada yang ngelirik-lirik gara-gara aksi norak lo,” canda Satya. Namun, suaranya tetap terdengar sebal.
“Lo, kok, jahat banget, sih?! Gue kan lagi sedih!” ujar Tiara kesal. “Terus gimana, dong, nasib Bu Iman sama anak-anaknya nanti kalo kita nggak beli di sana? Yang sering nambah brownies di sana kan kita, Ya.”
“Ya bodo amat. Gue keburu pergi, nih.”
“Eh ... eh ... gue ikut!” Tiara menjawab panik sambil menaiki motor.
“Gue mau ke mi ayam. Lo kan udah makan.”
“Ya gue beli ronde sebelah mi ayam aja. Kita mau ke mi ayam deket sekolahan, kan?”
Satya tidak menjawab. Tangannya menarik gas sehingga mereka meninggalkan KePo tanpa melewatkan malam minggu rutin.
***
Perasaannya sudah membaik. Begitu juga perasaan Satya setelah tadi bercerita kalau ayahnya akan segera menikah. Tiara shock karena Satya tidak menunjukkan raut kecewa ataupun marah meski Tiara paham Satya marah besar. Dan sesuai perkataan Satya, ia tidak memaksa cewek itu untuk bercerita kenapa ia menangis. Sehingga Tiara menahan ceritanya.
Setelah makan mi ayam dan ronde, mereka tertawa. Melupakan sejenak masalah masing-masing yang terjadi hari ini. Seperti saat ini, di perjalanan pulang, Tiara sampai memukul-mukul punggung Satya saking gelinya Satya bercerita.
“Satya mah jorok orangnya!”
“Jorok-jorok gini, tetep ganteng gue, banyak yang suka!”
Tiara langsung mengempaskan tangannya ke helm di kepala Satya. “Percaya diri lo gede banget. Parah!”
“Aduh!”
Tidak lama setelah Tiara memukul kepala Satya yang terlindung helm, Satya memelankan motornya, sampai akhirnya berhenti dua rumah sebelum rumah Tiara. Satya diam menatap lurus tempat kediaman Tiara. Tiara maju sedikit sambil memiringkan kepala melihat wajah Satya.
“Kenapa, sih? Takut papa, ya? Ya udah, gue turun sini aja.”
Tiara sudah ancang-ancang hendak turun, tapi tangan Satya memegang lutut di kaki Tiara yang masih berpijak pada footstep, mencegah Tiara untuk turun.
“Jangan turun, Ra, entar gue dikira ninggalin lo sendirian dan nggak bertanggung jawab nganter lo pulang.”
Tiara mengangguk, Satya melihatnya dari spion motornya. Lalu, Satya kembali menyalakan motornya dan menjalankan beberapa meter ke depan. Tepat di depan pagar rumah Tiara, Satya berhenti dan menggunakan kaki kirinya untuk menopang motor. Satya tidak mematikan mesin motornya ketika Tiara turun dari motor ataupun melepaskan helm dan mengembalikan padanya.
“Gue berhenti karena ini lho, Ra, ada mobil. Kayaknya emang ada tamu di rumah lo.”
“Apa hubungannya sama lo berhenti dan sama ada tamu?”
Satya menyentil kening Tiara gemas menggunakan jari tengah dan jempolnya. Tiara meringis dan mengaduh karena serangan kecil Satya.
“Kalo tiba-tiba bokap lo keluar dan marah-marahin gue, kan nggak enak sama tamunya, tapi kalo gue pikir-pikir, gue juga bakal kena marah kalo cuma nganterin lo di sana tadi, nggak di depan rumah. Jadi, keputusan terbaik, gue milih nganterin sampe depan rumah.”
Tiara memiringkan kepalanya ke kanan sambil tersenyum. Senyum imut berlesung pipit yang membuat Satya mengacak-acak rambut Tiara dan mengubah senyum itu jadi manyunan bibir.
“Satya, ish!” omel Tiara sambil membenarkan rambutnya.
Setelah baper insiden peluk memeluk di KePo tadi, Tiara kembali baper karena Satya mengacak-acak rambutnya. Hal kecil yang juga jarang Satya lakukan pada Tiara.
Kata orang, mengacak-acak rambut itu tandanya gemas sekaligus sayang, kan? Ah, semoga ada perkembangan hubungan antara Tiara dan Satya.
“Gue balik ya, Ra!” pamit Satya.
“Eh, kebetulan Tiara udah pulang!”
Tiara dan Satya sama-sama menoleh ke sumber suara. Di depan pintu rumah Tiara, Wijaya melambai pada Tiara. Tidak hanya melambai, papa Tiara itu berjalan tergesa, hampir berlari menghampiri Tiara. Di belakangnya ada seorang pria berjas rapi berusia sama seperti Wijaya yang ikut menghampiri Tiara. Satya tidak melajukan motornya, melainkan mematikan mesin kendaraannya.
“Lho, Om Edgar? Apa kabar, Om?” Tiara menyium tangan pria yang ia panggil Edgar itu. Pria keturunan Inggris asli yang menikah dengan orang Indonesia asli.
“Tiara sudah besar, ya? Tambah cantik pula,” ucap Edgar riang dengan aksen British.
“Jelas, dong, Om. Tiara kan udah puber, udah ngerti dandan.” Tiara terkekeh. “Tumben ke Indonesia, Om?”
“Berkunjung. Lagi pula di sana sedang summer dan Om rindu Indonesia. Sekaligus ingin bertemu kamu.”
“Di luar dingin. Ayo, masuk!” ujar Wijaya tiba-tiba, melirik Satya keki.
Wijaya merangkul Tiara dan Edgar bersamaan, menyuruh mereka kembali masuk ke dalam rumah, tapi dengan cepat, Tiara mengingat adanya Satya yang masih duduk di atas kendaraan kesayangannya. Lantas, Tiara melepas tangan papanya dari bahunya dan menghampiri Satya. Edgar yang sudah berjalan, melihat ke arah Tiara berlari.
“Om Edgar, ini Satya! Sahabat Tiara!” Tiara menepuk-nepuk punggung Satya keras.
Satya melototi Tiara karena kesakitan ditepuk-tepuk seperti itu, sebelum kemudian bergegas menyandarkan motornya dan turun. Memberi salam berupa ciuman tangan sopan seperti yang Tiara lakukan tadi.
“Hallo, Om, saya Satya!”
Edgar mengangguk. “Sahabat, kan, bukan pacar?”
“Bukan, Om, bukan!” sergah Satya sambil terkekeh. “Tiara bukan tipe saya, Om.”
Tiara melotot dan langsung menyikut perut Satya. “Ih, Satya!”
Satya menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya pada Tiara, tanda perdamaian.
“Good to know. Artinya Tiara belum punya pacar, kan?”
“Belumlah, Om. Dia galak lho, Om, baperan juga. Jadinya jarang-jarang yang suka sama dia. Sekalinya suka terus kenal dia, langsung pada kabur nggak betah!” Satya menjawab pertanyaan Edgar, masih terkekeh.
“Baper?”
“Iya, Om, bawa perasaan. Itu lho, Om, apa-apa dimasukin ke hati.”
Edgar ikut terkekeh mendengar jawaban Satya. “Oh, begitu. Tidak apa-apa, Darren pasti bisa memahami Tiara. Hmm, mungkin beberapa menit lagi dia tiba.”
Satya melirik Tiara. Sedangkan Tiara diam saja setelah Edgar mengucapkan nama ‘Darren’. Jelas saja hal ini membuat Satya bingung. Perasaan hampir semua teman Tiara, Satya juga kenal, tapi untuk nama ‘Darren’ terdengar asing di telinga Satya.
Oh, atau mungkin Darren ini masuk dalam teman Tiara yang masuk kategori hampir dikenal Satya, atau mungkin juga teman yang tidak pernah Tiara anggap keberadaannya. Satya mengendikkan bahunya.
Sepertinya tidak penting juga.
“Saya pulang dulu ya Om Wijaya, Om Edgar, Ra,” pamit Satya.
“Ya, ya, sana pulang!” jawab Wijaya sewot. Terlebih saat membicarakan kejelekan Tiara di depan Edgar.
“Hati-hati!” pesan Edgar yang terkekeh tahu kalau temannya sewot pada Satya.
“Iya, Om. Terima kasih,” jawab Satya sopan.
Tiara melepas jaket di tubuhnya dan memberikannya pada Satya. “Tumben nggak pake yang cokelat, pasti lagi dicuci! Nih jaket lo. Makasi ya!”
“Pengen aja pake yang ini.” Satya menerima jaket dari Tiara dan memakainya. “Sama-sama!”
“Besok jangan lupa ke gereja, ya!”
Satya mengangguk, lalu ia melambaikan tangan pada Wijaya, Edgar dan Tiara. Kakinya melompat menaiki motornya dan segera menyetarter. Untuk kedua kalinya Satya melambai pada mereka dan melajukan motornya pelan-pelan.
Suara mobil yang lewatlah yang membuat Satya memelankan laju kendaraannya. Dari kaca spion motornya, Satya melihat samar seorang cowok yang lebih tua darinya turun dari mobil. Dia mencium tangan Wijaya dan Edgar dengan sopan, tapi bukan hanya tangan Wijaya dan Edgar yang dicium, tangan Tiara pun ikut terjamah bibirnya.
Mungkin malam ini Satya tidak akan mengirim pesan singkat pada Tiara berhubung ada tamu yang mampir. Mungkin juga masalah Tiara menangis dan tentang Darren-Darren itu bisa dibahas di sekolah besok Senin.