Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit
MENU
About Us  

Lima orang bertubuh besar memerhatikan kami dari ujung ke ujung, dan dari atas ke bawah. Wajahnya yang sangar membuat kelima sosok tinggi itu tak ubahnya parewa. Mereka adalah kaki tangan si pengsaha yang diutuskan untuk melatih kami.  Usai memberi kepercayaan kepada mereka atas kami bertiga, laki-laki yang buncitnya melebihi Togar itu—pergi entah ke mana. Seperti dikejar waktu, pengusaha itu langsung saja menghilang terbawa limosin yang sudah disiapkan sang sopir untuknya.

Dua orang dari mereka membawa kami ke suatu tempat. Dan tiga yang lainnya pergi membeli sesuatu yang katanya akan diberika untuk kami. Mereka saling berbagi tugas. Aku bertanya-tanya, apa yang akan dilkukan orang-orang berpakaian serba hitam ini terhadap kami. Sementara itu, di sebelahku Togar tampak begitu gelisah. Sesering ia mengaruk kepalanya yang kutahu kalau itu tidaklah gatal. Bagaimana tidak, anak-anak seperti kami tentulah kebingungan bila dihadapkan dengan kondisi saat ini. Di  tempat asing bersama orang asing. tak jarang kami rikuh karenanya. Akan tetapi, semua itu tak berlaku untuk Satria—si sosok yang langka adanya. Jika tadi si pengusaha meminta kami agar bersikap seperti sedang berada di rumah sendiri, maka  hanya Satria-lah yang satu-satunya dari kami mematuhi amanah tersebut. sekarang aku tidak heran lagi, mengapa diusia yang sangat muda Satria sudah diminta untuk pergi merantau oleh kedua orangtuanya.

Kami dibawa ke lapangan yang luasnya melebihi lapangan sekolah. Terletak di belakang rumah si pengusaha—yang kami ketahui bernama Alex. Bukan hanya lapangan yang melengkapi rumah gendongan tersebut, tapi juga kolam berenang yang jika tidak larang—Togar sdah menceburkan diri ke dalamnya.

“Pertama, kalian harus latihan lari,” ucap salah seorang dari mereka. Togar menganga, dan aku menggaruk leher belakang. Satria tetap bersikap santai; masih. “Pekerjaan ini membutuhkan anak-anak yang bisa berlari cepat,” lanjutnya.

“PNS yang gajinya banyak saja tidak melakukannya,” protes Satria. Kini pemuda jawa itu mencoba mengikuti gaya pongah mereka, berkacak pinggang dengan kaki kiri yang sedikit lebih maju.

“Asal kalian tahu, pekerjaan ini gajinya berkali-kali lebih besar daripada bekerja dengan memakai seragam. Apa yang tadi kalian bilang? PNS?”

“Jadi, kami tidak akan memakai seragam? Auuw...!”

Satria menyikutku. Entah kenapa setiap kali mendapat giliran berbicara, aku selalu saja mendapatkan aura suram. Apalagi dari kedua temanku yang senang sekali menyikut. Aku menghadiahkan Satria dengan tatapan sinis—yang sudah jarang sekali kuperlihatkan padanya. Kali ini aku menepi, mensejajarkan keberadaanku dengan Togar.

“Jangan banyak bicara lagi, ayo, segera posisikan diri kalian.” Hanya orang yang lebih tinggi itu saja yang menginstruksi. Laki-laki di sebelahnya hanya melipat tangan dengan wajah yang diam.

Togar mengambil posisi di belakangku. Sementara itu, Satria berada di depan dengan segenap kepercayaan diri yang masih melekat padanya. Aku berada di tengah, walau mataku tak bisa berhenti untuk memerhetikan kedua temanku secara bergantian. Aku yang sedikit culun ini, masihakan bergerak jika kedua temanku yang memulainya terlebih dlu.

“Kalau suara tembakan sudah terdengar, saatnya kalian berlari.”

“Ha? Tembakan?!”

“Jangan banyak bicara!”

Dor! Kami berlari terkancing-kancing ketika suara yang dikeluarkan  senjata api itu menakuti. Seperti anak ayam yang dihalau ke dalam kandang. Sambil terus berlari aku berusaha menoleh ke belakang, Togar tidak ada! Aku terkecut, sipendek itu bahkan melampau Satria yang tadinya berada jauh di depan. Tenyata ia menyimpan sesuatu di balik kakinya  yang pendek. Lincah sekali Togar Hasibuan itu berlari, tubuhnya yang pendek membuatnya tampak begitu menggemaskan ketika berlari.

“Haah, haah...” Aku terengah-engah, padahal kakiku baru menjajah setengah lapangan.

“Jangan berhenti, cepat lanjutkan ...!!!”

Seperti ketahuan sedang mencuri mangga, aku kembali berlari terpontang-panting. Hampir-hampir aku sendiri, karena di ujung sana Togar dan Satria tak lama lagi akan menyudahi pekerjaannya.

****

Setelah melewati berbagai latihan yang menurut kami aneh, malamnya kami diminta untu menempat di dalam gudang. Gudang itu memang tak seperti gudang-gdang yang banyak menyimpan serangga. Luasnya saja hampir melebihi rumahku, sehingga keberadaan barang-barang bekas tak membuat kami merasa sesak. Bersih, atau memang dibersihkan terlebih dulu.

Sebelum menutup pintu gudang, kami menerima tiga kotak nasi dan air mineral dari seseorang yang seperti bekerja sebagai pembantu. Laki-laki tua dengan wajah yang cukup ramah. Dia merupakan orang pertama yang memerlihatkan ketulusan dalam melemparkan senyum. 

“Pertama, kita diminta berlari cepat, kedua, cara bersembunyi agar tak diketahui orang,  dan ketiga cara berjalan. Sebenarnya, kita ini akan dipekerjakan, atau dilatih untuk 17 agustus?”

“Aku dari tadi juga memikirkan itu, Gar,” ujarku. Togar mengangguk-angguk, tapi bukan anggukan setuju. Melainkan, sebuah anggukan yang berusaha memahami sesuatu. “Kalau menurutmu, Sat?” Aku melanjutkan ucapanku dengan menimpuk Satria dengan sebuah pertanyaan.

“Iya, aku juga sedang berpikir. Aneh, kenapa kita tidak diberikan kamar mewah untuk tidur, malah diletakan di gudang.”

“Lebih baik kau tak usah tanya si Satria, Pul. Apa itu jawabannya, bertele-tele.”

“Ber`tele-tele kau bilang?!”

“Iya, bertele-tele aku tengok!”

“Hentikan! Kita di sini bukan untuk bertengkar.” Aku mencoba melarai keduanya. Entah siapa yang memulai duluan, kini keduanya sudah saling menantang dengan dada yang sengaja dibusungkan.

“Kalian itu yang seharusnya berhenti. Berhenti untuk berpikir negatif. Kita belum sehari di sini, lebih baik kita jalani saja dulu. Kalau Pak Alex tidak menawarkan pekerjaan, aku yakin, sampai seminggu pun kita tidak akan mendapat pekerjaan di Ibu Kota. Bisa saja kita akan terlunta-lunta karena tidak adanya uang. Kalau kita sudah mengetahui pekerjaan apa yang akan diberikan Pak Alex, dan itu buruk, barulah kita memikirkan yang tidak-tidak.” Satria kembali memerankan tokoh seorang ibu yang sedang menasehati anaknya. Berhasil, kami yang memang lebih muda darinya—memasang wajah takut seketika.

“Maaf, Sat.”

“Sudahlah kawan, kalian tak harus meminta maaf. Tetap berpikir positif.” Satria mengeluarkan kain sarung dari dalam tasnnya. Ia langsung saja bergegas tidur, tanpa harus menghilangkan rasa kenyang terlebih dulu.

Akhirnya kami tertidur hanya dengan beralaskan karpet. Tanpa bantal, hanya bawaan masing-masing yang kami handalkan. Namun, itu tidak mengurangi tingkat kenyamanan Togar yang menggunakan karung beras. Benda yang sudah dimasuki baju-baju itu ternyata tak kalah empuk dengan bantal mahal, begitu katanya.  

****

“Apa pun yang terjadi, aku tak mau memotong rambutku! Nanti Opungku tak kenal lagi sama cucunya.”

“Bang, kami akan melakukan apa pun, tapi, jangan potong rambut kami, ya?” Aku berusaha membujuk orang-orang yang pagi itu kembali memberikan latihan. Jujur saja, aku juga tak ingin rambut belah tengahku sampai dipotong oleh mereka. Karenanya Togar sedari tadi tak bisa diam. Dari usia kami masih 6 tahun, Togar begitu mencintai rambut gimbalnya, bahkan hingga detik ini. Hanya kami berdua, karena Satria Prabu sudah lebih dulu memiliki rambut yang berpotongan tentara.

Kulihat mereka berpandangan satu sama lain. Membuatku harap-harap, kalau itu adalah tanda  mereka mempertimbangkan permintaan kami.

“Yasudah, kami tidak akan memotong rambut kalian berdua,” ucap salah satunya yang membuat kami terkhususnya Togar—kembali bernapas lega. “Pakai, baju ini sengaja dibelikan untuk kalian.” Aku baru menyadari, kalau orang itu adalah salah satu dari mereka yang kemarin menghilang demi membelikan sesuatu untuk kami bertiga. Ternyata benda itu beberapa potong baju.

“Tapi, Bang, kami sudah punya.” Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga, walau dari bibir Satria. Terang saja, bibir tipis itu begitu berani dalam berucap.

“Baju ini berbeda dengan baju biasa,” katanya, orang itu.

“Beda harga?” timpalku.

Mereka membiarkan tanyaku tak terjawab dengan kata-kata. Pertanyaanku dijawab dengan tindakan. Baju yang masih terbungkus itu dikeluarkannya, kemudian diserahkan ke tangan kami satu persatu. Seketika alis tebalku mengernyit, penuh tanya yang membuat heran.

“Kenapa bajunya seperti ini, Bang?” tanyaku. Tanganku masih mencoba mencari-cari kesamaan baju itu dengan baju yang kupakai biasanya. Tidak ada, karena itu lebih mirip jubah. Warnanya juga serba gelap, tak ubahnya segala sesuatu yang mereka gunakan.

“Itu jubah.” Dugaanku benar. “Kalian harus menggunakan itu kalau bekerja nanti,” lanjutnya.

“Kenapa tidak memakai baju biasa? Tak pernah aku tengok pekerjaan macam ini.” Togar mengambil alih pertanyaan yang tadinya ingin kulayangkan, namun kalah cepat. Dan kurasa, memang suara lantang kepunyaan Togar-lah yang pantas mengucapkannya.

“Jangan banyak tanya, lakukan saja perintah kami seperti dia,” tukas orang itu sambil menunjuk ke arah Satria. Benar saja, sosok langka itu sudah lebih dulu menempelkan barang-barang aneh tersebut ke badannya. Jubah, topi, dan kacamata hitam.

Kami beristirahat di tetepian lapangan. Waktunya jam makan siang. Beruntung siang ini kami mengisi perut tidak di dalam gudang. Latihan tadi cukup menguras pikiran, bukan tenaga. Bagaimana tidak, hal yang lebih aneh kembali kami dapatkan. Kali ini kami dilatihkan untuk mengendap-endap dengan pakaian lengkap yangmereka berikan tadi. Jubah yang hampir menutupi wajah, dan kacamata hitam. Bukan hanya itu, kami juga diberikan saung tangan berwarna hitam. 

“Pul, Sat, jangan-jangan kita disuruh jadi pencuri.”

“Hus, ngaco kamu, Gar! kalau ada yang dengar, bagaimana? Lagian, orang kaya seperti mereka untuk apa mencuri?”

“Iya, Gar, Satria ben—”

“Istirahat selesai! Kumpul-kumpul, kalian akan latihan lari lagi.” Beraninya orang itu memotong ucapanku dengan memberitahukan sesuatu yang tidak kami sukai. Berlari dalam keadaan kenyang? Itu gila!

“Kami masih kenyang, Bang. Nanti saja.

“Waktu adalah uang, lebih cepat lebih baik, karena beberapa hari lagi Pak Alex akan kembali, dan langsung membawa kalian pergi bekerja.”

Aku mengurungkan niatku untuk memerdengarkan keluhan pada mereka. Satria yang jauh lebih jenius dariku saja tak diindahkan oleh keduanya.

Ada yang berbeda, kali ini kami diminta berlari dengan menggunakan barang-barang aneh tersebut. Bukan hanya itu, kami juga diminta untuk melakukannya secara bergiliran. Satria yang lebih dulu melakukannya. Togar, dan barulah aku yang terakhir. Aku sengaja meminta giliran terakhir, perutku yang terlalu kenyang benar-benar tidak bisa diajak berkompromi.

“Bang, sebenarnya pekerjaan seperti apa yang akan kami dapatkan?” Aku memberanikan diri untuk mengajak keduanya berbicara. Hitung-hitung untuk mengisi kekosongan sambil menunggu giliran.

“Pekerjaan yang mudah,” jawabnya, orang yang badannya lebih tinggi dari yang lain.

“Mudah?” ulangku.

“Ya, juga menyenangkan,” kali ini orang satunya lagi yang memberi jawaban. Bahkan hingga detik ini kami belum mengetahui masing-masing nama dari mereka.

“Mudah juga menyenangkan? Tapi, kenapa kami dibayar mahal?” Aku sedikit heran, entah dari mana aku mendapat keberanian untuk berbicara sejauh itu.

“Jika sudah waktunya, kalian akan tahu. Sudah, sekarang giliranmu!”

Kakiku memang berlari, tapi pikiranku terus bekerja. Semakin kami dilatih, semakin menggeliat kasar sebuah tanda tanya besar dibenakku. Memang pekerjaan tanpa ijazah seperti inilah yang kami inginkan, tapi entah kenapa, dari awal hingga detik ini, aku sama sekali tak mencium adanya aroma kesuksesan. Aku menyimpan tanya ini seorang diri, takut-takut membuat kedua temanku gelisah jika mereka mengetahuinya.

****

Di hari keempat Togar dan Satria sudah mendapatkan hasil yang cukup maksimal. Kaki-kaki itu kini memang tampak seperti kepunyaan kijang. Cepat dan gesit. Aku? Aku tidak bisa memberi angka untuk menilai diri sendiri. Kami benar-benar membulatkan ambisi berlatih, sehingga hasil yang didaptakan membuat kami disanjung oleh orang-orang itu. Anton, akhirnya kami berhasil mengetahui nama salah satu dari mereka. Dan dialah orang yang paling berambisi untuk melatih anak-anak nakal seperti kami. Kami juga sudah semakin ahli mengendap-endap, dan menguasai bagaiman cara bersembunyi yang baik. Besok kami akan kembali bertemu dengan Pak Alex, dan kami akan langsung dibawa olehnya. Untuk bekerja, begitu yang dikatakan oleh Bang Anton.

****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • SusanSwansh

    Alaaamaakkk keren kali ni cerita.

    Comment on chapter Bab. 1 (Manggopoh Ujung)
Similar Tags
JUST A DREAM
1040      513     3     
Fantasy
Luna hanyalah seorang gadis periang biasa, ia sangat menyukai berbagai kisah romantis yang seringkali tersaji dalam berbagai dongeng seperti Cinderella, Putri Salju, Mermaid, Putri Tidur, Beauty and the Beast, dan berbagai cerita romantis lainnya. Namun alur dongeng tentunya tidaklah sama kenyataan, hal itu ia sadari tatkala mendapat kesempatan untuk berkunjung ke dunia dongeng seperti impiannya....
Salju di Kampung Bulan
2129      978     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Please stay in my tomorrows.
404      293     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Parloha
10781      2572     3     
Humor
Darmawan Purba harus menghapus jejak mayat yang kepalanya pecah berantakan di kedai, dalam waktu kurang dari tujuh jam.
As You Wish
402      285     1     
Romance
Bukan kisah yang bagus untuk dikisahkan, tapi mungkin akan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil. Kisah indah tentang cacatnya perasaan yang biasa kita sebut dengan istilah Cinta. Berawal dari pertemuan setelah 5 tahun berpisah, 4 insan yang mengasihi satu sama lain terlibat dalam cinta kotak. Mereka dipertemukan di SMK Havens dalam lomba drama teater bertajuk Romeo dan Juliet Reborn. Karena...
Nadine
5840      1567     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Aku Mau
11616      2199     3     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.
UnMate
1053      613     2     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
Intuisi Revolusi Bumi
1130      577     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Surat Kaleng Thalea
4396      1247     2     
Romance
Manusia tidak dapat menuai Cinta sampai Dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka pikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. -Kahlil Gibran-