Siang memekat, namun bukan hitam serupa kopi. Lampu keoren-orenan kepunyaan langit tiba di antara dua bagian waktu yang tersisa. Satria berjingkat-jingkat melampiaskan ketidaksabarannya menunggu kedatangan Pak Alex—yang akan membawa kami pergi. Pun aku tak kalah berdebar, namun hanya duduk bersebelahan dengan Si Gimbal. Mendiskripsikan masing-masing gambaran—tentang pekerjaan—yang kami pikirkan. Tiga perantau ini teryata sudah sangat merindukan sukses
“Bagaimana, kalian sudah melatih ketiganya?”
“Sudah, Bos. Mereka sudah berlatih dengan maksimal.”
Percakapan singkat itu membuyarkan kelenaan kami semua. Pak Alex baru saja datang. Limosin itu mengeluarkan wujud gempalnya dari dalam. Seketika binar berpendar dari tiga pasang mata—Putra Manggopoh Ujung.
“Hahaha... Tampaknya kalian sudah tidak canggung lagi,” katanya, Pak Alex kepada kami.
Satria cengengesan tak menentu, mungkin kali ini ia ingin memerankan karakter anak idiot. Terbalik, ternyata posisi kaki tiba di kepala, begitu pun sebaliknya. Justru Togar-lah yang terlihat antusias menyambut sosok—yang memilika bayangan serupa raksasa tersebut. Kami diminta menunggu untuk beberapa saat. Pak Alex ingin berkemas dulu, katanya. Aku menghantarkan sosok itu dengan terus memandang lurus, namun menghilang di balik pintu. Hanya pelayan berseragamlah yang berbaris memenuhi pandangan. Aku baru menyadari, ternyata rumah ini begitu terobsesi dengan lapangan upacara, sehingga begitu banyak orang-orang berseragam dan berbaris di dalamnya. Akan tetapi, kaami tak menemukan sosok seorang istri—bagi laki-laki dewasa seperti Pak Alex, juga anak.
“Kira-kira, kita akan dibawa ke mana, Pul?”
“Manalah aku tahu, Gar.” Togar menghentikan pikiranku yang sudah mencapai langit-langit. Padahal, aku masih ingin menerka-nerka lebih jauh lagi tentang rumah itu dan seisinya.
Kami terkesiap ketika mendengar penjelasan dari bibir tebal milik Pak Alex. Katanya sistem kerja kami berpindah-pindah tempat, dan akan selalu ditemani olehnya. Setelah memberitahukan itu, barulah kami melaju bersamanya; kembali menggunakan limosin. Menuju salah satu kota di Jawa Barat. Ya, sebagai uji coba kami untuk memulai pekerjaan di hari pertama.
“Sebentar lagi kalian akan kedatangan teman baru.”
“Teman baru?” Sebuah respon cepat dari Satria.
Pak Alex hanya mengangguk, namun terdengar tawa lepas setelahnya. Sosok itu seakan ingin meledakan tubuh gempalnya, sehingga membuat kami takut. Ada apa gerangan?
“Kita berhenti sebentar di ujung sana.” Ia justru memerintahkan sopirnya, bukan mengenyangkan pertanyaan kami yang sedang kelaparan.
Kepala kami terjulur-julur keluar ketika mobil itu berhenti di sebuah kost-kostan yang menurutku terlalu lengang. Pak Alex langsung saja menghambur turun, membiarkan kami untuk tetap berada di dalam dengan kondisi yang dirundung oleh rasa penasaran. Togar berusaha untuk menangkap sesuatu di balik pintu kostan kecil itu. Ternyata mata beloknya masih belum cukup untuk menjangkaunya.
“Sedang apanya dia di dalam.” Togar berbisik, bibir yang menampakan gigi-gigi kuning itu didekatnya ke telingaku.
Aku hanya menggeleng. Tentu, memang apalagi?
“Mungkin sedang menemui simpanannya.” Kalimat tak berdosa itu mengalir dengan indahnya dari bibir Satria, sehingga memaksa Togar untuk menindih temannya itu.
“Kalau sopirnya dengar, kau bisa dibunuh, Sat.” Sesekali Togar mencoba mengintip sopir muda itu dari balik tangannya yang masih menahan tubuh Satria. Menampakan siluet yang sepertinya dulu bercita-cita ingin menjadi cover boy. Dengan gerakannya yang bak casanova, sisir tumpul itu dibawanya memutar mengelilingi kepalanya. Sebuah cermin tentulah tak lepas dari arahan tubuhnya, agar benda itu bisa memantulkan bayangannya dengan sempurna. Semakin menggelitik perut ketika kuku-kuku lentik berhiaskan kuteks itu juga tertangkap oleh mata.
Togar langsung muak menindih tubuh Satria. Telingaku kembali menjadi sasarannya. Seakan telinga jengang itu adalah rumah bagi bibirnya yang lebar. “Pul, bencong rupannya. Hihihi....”
“Hahaha....” Satria ikut-ikutan bersikap lengah ketika berhasil mengetahui penyebab Togar terkikik. Pemandangan itu mengandung humor yang berstatus senior, sehingga aku gagal memertahankan ketegasanku; aku pun terbahak-bahak.
“Nah, ini dia teman baru kalian. Dia juga bekerja mulai hari ini.”
Kepala kami tersorong cepat ke arah suara tersebut. Pak Alex membawa seseorang! Bahkan tubuhnya yang lebih besar dari kami itu—tampak sudah lengkap dengan seragam aneh pekerjaan kami. tak ubahnya sosok misterius di film-film bergenre horror. Kepala itu ditekuknya, memudahkan jubah itu menutupi. Dan, matanya yang tak terlihat pun sudah ditempeli dengan kacamata hitam.
Kami tak memasang ekspresi apa pun, apalagi ceria. Jika di hadapkan dengan sosok aneh seperti itu, bagaimana mungkin kami menyodorkan diri sebagai teman. Jangankan berteman baik, berbicara sepatah kata pun seolah hal yang tabu bagi pemuda itu. Air mukanya kecut, dan tatapan itu tak kalah kusut. Togar saja langsung mengantuk memandangnya.
Akhirnya perjelanan itu dilanjutkan dengan berdiam-diaman. Hanya ada bisikan antara kami bertiga. Apalagi kalau bukan membicarakan pemuda misterius itu.
****
Kota yang cantik; kalimat pertama yang terlintas setiba kami di Kota Kembang. Namun, limosin tersebut masih belum menghentikan rodanya. Sebelum sampai di tempat tujuan, Pak Alex meminta kami untuk segera memakai pakaian seperti yang sudah dikenakan oleh pemuda misterius tersebut. Kami tak lupa membawanya di dalam tas masing-masing, bahkan Togar sudah mendapatkan tas yang layak untuk menyimpan barang-barangnya.
Aku terjingkat seketika pernyataan yang tak ingin kudengar mengalun dari suara Pak Alex. Sosok besar itu bersikekeuh untuk tetap melakukannya. Sementara itu, Satria dan Togar gagal berontak. Untuk hal ini mereka tidak begitu dirugikan. Bagaimana tidak, Pak Alex membagi kami hingga membentuk dua kelompok. Dua anak di Bandung, dan duanya lagi dibawanya pergi menuju Bogor. Satria bersama Togar; mereka saling mengenal. Aku? Aku tidak suka pemuda misterius itu, dan aku tidak mengenalnya!
“Pak, kenapa harus dibagi menjadi dua, sih? Kami, kan bisa kerja bersama-sama.” Gerutuku, kucoba menenangkan diri dengan memandang kedua temanku secara bergantian. Mereka masih dibarisanku. Aku bisa apa tanpa mereka berdua?
“Kalau pekerjaanmu sukses, kalian akan bertemu lagi.” Perhatian itu benar-benar tak ingin dibaginya, seutuhnya masih diperuntukan bagi gadget yang berlayar cukup lebar di telapak tangannya.
“Memangnya apa yang akan kami lakukan nantinya?”
“Iya, seperti apa pekerjaan kami, Pak?” Satria menimpali.
Barulah posisi itu diubahnya, sedikit mengarah kepada kami yang duduk di belakang. Sosok momok masih saja hidup digaris-garis wajahnya.
“Tunggu sebentar,” ucapnya. Tangan pendek itu mencari-cari sesuatu di dalam koper. “Ini.”
“Apa ini?”
“Haaah...?”
Ketika kami tercengang menerima benda asing itu, si misterius justru menerimanya dengan santai, masih tanpa suara. Seolah-olah ia sudah mengetahui semuanya dari awal. Benda itu berbentuk botol, kecil sekali. Dan jika dikocok-kocok, di dalamnya terdengar seperti ada pasir. Mirip sekali dengan bumbu racikan anak-anak perempuan yang sedang bermain masak-masakan di atas pondok kosong. Barang itu diberikannya satu-persatu kepada kami, namun masih berbentuk sama.
“Tugas kalian...,” dia menggantung ucapan itu ketika limosin tersebut menghentikan rodanya. Tidak di hadapan sebuah tempat, melainkan, dipinggir-pinggir kawasan yang diteduhi oleh pepohonan. “Lihat mobil di ujung sana, itu juga salah satu anak buahku. Setelah melakukan tugas, kalian berdua harus cepat-cepat masuk ke dalam mobil tersebut. Togar dan Satria, kalian berdua ikut denganku. Kita masih harus melanjutkan perjalanan.”
Togar dan Satria mengangguk, mereka sudah seperti robot yang digerakan oleh tangan-tangan penjahat; patuh sekali.
“Tapi, Pak. Apa yang akan kami lakukan dengan benda ini?”
Pak Alex tidak menjawab pertanyaanku, namun tubuhnya condong. Aku tahu, itu gerakan ingin berbisik!
****
Aku seperti anak hilang, bingung dan linglung. Setelah mobil Pak Alex mengeluarkan kami berdua dan kembali melaju, pemuda misterius itu cepat-cepat menjalankan aksinya. Berbeda denganku yang harus membiasakan diri terlebih dulu. Gerakannya begitu gesit, cepat dan cekatan. Dibaluti dengan jubah hitam seperti itu membuatnya tampak seperti ninja-ninja di film Jepang.
Terlebih dulu aku mengamankan diriku di balik pohon. Teduh, nyaman dan tenang, rasanya ingin sekali berbaring di tempat ini. Namun, aku harus mengejar kesuksesan dengan menjalankan tugas ini sebaik-baiknya. Tapi, hingga saat ini aku masih tidak mengerti, mengapa keberadaan kami tidak boleh sampai ada yang mengetahui. Apa karena pekerjaan ini tidak menggunakan ijazah? Itu konyol!
Kuseret kakiku selangkah demi selangkah. Aku sudah mencoba bergerak seperti ninja, namun keberadaanku sudah tiba di tepi pintu. Gedung jangkung ini masih terlalu ramai untuk dibawa bermain ... petak umpet (?) Memang itulah yang kurasakan saat ini. Tentu untuk memasuki ruangan kosong di seberang sana—terasa begitu sulit. Jika saja Pak Alex tidak melarang kami untuk berbicara dengan orang-orang banyak, mungkin aku sudah meminta bantuan dari salah satu orang-orang yang berpakaian rapi itu.
“Ya Allah, semoga aku berhasil, ” lirihku. Aku sudah memasuki ruangan tersebut. Dan, di sinilah aku beraksi, selagi masih kosong. Si empunya ruangan kuketahui sedang keluar demi melunaskan utang makan siangnya. Namun, ketika aku ingin melangkah menuju gelas di dalam meja ...
“Tolong, tolooong ... ada yang mencoba meracuni! Ada pembunuh!”
Tuk! Botol yang kupegang terlepas dari genggaman. Panik, cemas dan takut begitu cepat memenuhi isi pikiranku. Kepalaku liar mencari-cari tempat untuk bersembunyi, takut-takut pembunuh itu akan mengetahui keberadaanku dan merampas nyawa yang satu-satunya kumiliki ini. Namun, aku hilang akal ketika pintu yang terbuka menampakan si pemuda misterius itu sedang berusaha berlari cepat. Sosok itu diteriaki pembunuh dan sedang dikejar-kejar oleh Satpam!
“Dia pembunuh?” Aku berbicara sendiri, walau aku sedang menghawatirkan keberadaanku yang hanya bersembunyi di bawah meja. Aku menunda tugasku untuk sejenak. Namun, yang terjadi justru membuatku membayang-bayangkan sosok si pemuda yang dipekerjakan Pak Alex seperti halnya aku dan kedua temanku. Dimulai dari jubah hitam yang dikenakannya, kacamata hitam, sarung tangan hitam, dan wajahnya yang ditekuk. “Penampilannya memang seperti pembunuh.”
“Seperti pembunuh?” Kalimat yang kuucapkan tanpa sadar itu, kuulangi sekali lagi.
Deg! Aku terpontang-panting mencari sesuatu yang bisa memantulkan bayanganku. Dapat! Aku menemukan sebuah cermin di dalam laci meja itu. Buru-buru kusorongkan ke mukaku, dan berusaha menjangkau bagian tubuhku yang lainnya. Gambaranku terlihat jelas. Berjubah hitam, kacamata hitam, sarung tangan hitam, dan wajah yang ditekuk, tak ubahnya si pemuda misterius. Pemuda misterius?
“Tidak, aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh! Amak ... tolong Ipul.”
Tap! “Siapa itu?!”
Rasa takutku menggelegak. Kakiku yang tersandung kursi, menghancurkan persembunyianku sepesekian detik. Laki-laki dengan wajah menakutkan itu menghilang dari pandanganku ketika kubawa diri ini berbalik. Ruangan ini cukup besar, sehingga langkahku jauh berada di depan. Buntu, hanya jendelalah yang memanggilku untuk menawarkan bantuan.
“Jangan lari! Tolong, ada pembunuh!”
Masih kudengar dengan jelas teriakan yang menyebutku pembunuh itu—ketika kakiku yang tak panjang berhasil lompat dari jendela. Namun, ternyata gedung ini memiliki balkon panjang serupa koridor. Aku belum terbebas dari tempat menakutkan ini.
Aku terus berlari, namun suara teriakan sudah tak lagi menggelegar. Tapi entah kenapa, feelingku mengatakan kalau itu bertanda mereka menungguku di depan. Sedangkan saat ini, aku masih menyuruk sambil merangkak serupa tentera berlatih. Jubah dan barang hitam lainnya, kulempar setelah menanggalkannya dengan paksa dari tubuhku. Hanya dengan dibaluti singlet lusuh, aku mematut-matut arah mana yang tepat untukku melompat. Aku masih terpenjara di dalam balkon yang belum jua kutemukan ujungnya.
“Cepat, tangkap dia!”
Hap! Kembali teriakan itu terdengar, kujorokan tubuhku ke bawah, menjatuhkannya dengan paksa, seperti halnya menceburkan diri ke dalam sungai. “Aukh...” aku meringis, melompat dari ketinggian satu meter, membuat siku tanganku berciuman dengan kerikil runcing yang berada di bawah. Memar, menimbulkan garis-garis merah sebab kulitku sedikit terkelupas.
****
Alaaamaakkk keren kali ni cerita.
Comment on chapter Bab. 1 (Manggopoh Ujung)