Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit
MENU
About Us  

Dua hari menghabiskan perjalanan, akhirnya berhasil memberhentikan tiga anak manusia yang akan haus akan kesuksesan—di Ibu Kota. Tempat yang tolnya dipenuhi dengan mobil-mobil mengantuk itu, sudah disepakati akan menjadi awal dari sebuah perjalanan, begitu yang ditetapkan Satria dalam diskusi panjangnya bersama Togar.

Seperti dihadapkan dengan sebuah planet asing, kepala kami tak mendapatkan jenuh untuk mengarah liar ke sana ke mari. Mengamati, menelisik, bahkan menelaah setiap sisi yang ada; hampir menyerupai detektif yang dibayar mahal. Gedung-gedung menjangkau langit yang tertangkap di mata kami bertiga—menjadi pusat perhatian—yang sekali pun tak pernah dijumpai di Manggopoh. Tak terkecuali aku, semua tampak begitu sumringah, antusias, namun bukan anak perempuan yang mendapatkan boneka baru. Satria terlihat begitu gagah dengan teropong mainannya, benda itu sudah mendarah-daging di dalam tasnya setiap kali mengunjungi tempat-tempat baru. Jangankan Ibu Kota, ikan sepat di dalam tambak saja tak luput dari matanya yang tercetak di benda itu; hanya teropong mainan.

Kami sudah berjalan panjang, pun terminal yang menyambut kedatangan kami sudah lama menghilang dari penglihatan. Menenteng bawaan masing-masing, kami seperti pengembara yang terdampar di padang pasir. Tanpa rumah tujuan, saudara, apalagi orang yang dikenal. Bahkan kami belum berkenalan dengan setiap kawasan yang terinjak oleh kaki-kaki penat kami. Satria masih sibuk dengan mainan tuanya, langkah pemuda berkaki panjang itu sedikit tertinggal di belakang kami. Tidak seperti Togar—yang dikarenakan rasa lapar ia tampak begitu liar.  Togar mengikat karung bawaannya  dengan tali yang hadirnya entah sejak kapan, kemudian tali tersebut dililitkannya ke pinggang. Jari-jarinya yang mirip dengan jempol itu bosan menggenggam, begitu katanya. 

Aku bersikap sok kenal dengan mereka yang berseliweran. Menghadiahkan mereka senyuman pendatang baru sambil sesekali mengangguk-anggukan kepala.  Togar menceletuk di belakangku, ia tidak menyukai tingkahku yang mencoba bersikap ramah. “Mereka orang asing dan tidak mengenal kita. Kau akan titangkap kalau salah satunya orang jahat,” begitu jawaban yang kudengar ketika memerlukan alasan darinya. Aku menurut, kebijakanku benar-benar menggambarkan bahwa akulah yang paling muda di antara keduanya. 

 “Saiful, kita sekarang di tengah-tengah kota, mana ada pondok bambu seperti yang kau cari.” Satria menggeleng heran—setelah kuberitahukan niatku yang ingin beristirahat di sebuah pondok. Kini kami bertiga sudah mengakhiri adegan menyeret kaki tanpa arah. Walau berhentinya di tempat yang tentunya masing asing bagi kami; bersandar di etalase toko roti. Tempat itu terpilih sebagai juara pertama dipenilaian kami. Ya, karena toko roti tersebut sedang berstatus ‘Tutup Selama Seminggu’, kalimat itu kutemukan di papan yang tergantung. Untung saja kami tidak buta aksara.

Satria mengeluarkan beberapa makanan ringan yang belum tersentuh oleh perut laparnya, namun Togar tidak menyukainya. Togar tetap mempertahankan nasi padang yang menceracau di bibir berwarna hitamnya. Dan aku mulai tak memungkiri alarm lapar yang berbunyi di perutku. Aku dan Togar masih menimbang-nimbang restoran yang berada di ujung mata kami.  Namun, ragu menguasai dikarenakan restoran tersebut memanjang tulisan mandarin.

“Jangan cuma halal dan tidak halalnya yang kalian pikirkan, tapi, pikirkan juga jumlah uang yang kita punya. Itu restoran, makan di warung nasi saja menghabiskan uang lebih dari sepuluh ribu.”

“Terus apa yang harus dimakan, asap kendaraan?” 

“Perantau harus bisa mengalahkan rasa laparnya. Kalau tidak, rasa lapar itu akan memerintahkannya untuk menghalalkan segala cara. Belum setengah hari, kau sudah menunjukkan sigap akan gagal.” Satria kembali menjuruskan kata-kata bijaknya kepada Togar. Ketenangannya dalam menguasai kondisi memang patut mendapatkan beberapa jempol. Berbeda dengan Togar yang hampir-hampir kalah diserang rasa lapar. “Jangan lupakan tekad dan semangat kita dalam mengambil keputusan untuk merantau.”

Aku dan Togar tercenung, Satria berhasil menghalau aura negatif yang mengetuk-ngetuk pintu pikiran kami. Membuatku kembali mengingat janji sukses yang sudah kutanamkan pada diri Amak, wanita tua yang mungkin saja sedang mengkhawatirkan keberadaanku di rantau. Satria berdiri dengan dada yang sengaja dibusungkan, di hadapan kami; bagai seorang pengawas. Aku dan Togar berjingkat ketika kedua tangan itu bertengger di atas kepala kami. “Mari kita kejar impian, kita harus mulai dari sini. Dan kalau memang kalian lapar, kita cari tempat makan yang lain. Jakarta memiliki ukuran yang lebih besar dari lapangan bola.” Sosok itu berhasil membuat kami terperangah dengan kebijakan yang terus-terusan dipamerkannya. Aku dan Togar mematung untuk beberapa saat, hingga akhirnya kami berdua berlari terpontang-panting mengajar Kesatria tersebut. Ia sudah kembali memulai langkah suksesnya. Berjalan pasti ke arah depan dengan dada yang membusung tegap.

 “Kau tengok ini, Pul, nasi sepiring lima belas ribu. Di kampung tak semahal ini,” usai menunjuk satu-persatu tarif yang tertera, Togar menyampaikan keluhannya. Seolah-olah aku-lah si empunya warung tersebut.

Aku menyamai pergerakan Togar yang sedang menghitung kekayaannya. 19.000, aku sudah mengorek-ngorek isi tas, tapi, tetap saja jumlah itu tak bertambah. Keberuntungan sedikit lebih kumiliki, karena kekayaan Togar  3.000 di bawahku.

“Sudahlah, Gar, gunakan saja. Habis dari sini kita langsung mencari kerja,” ucapku padanya.

“Aku kau sajalah, Pul.”

Hanya mimik miris Togar yang terlihat olehku. Berhasil termakan omongan seorang pedagang kerak telor, Satria memutuskan untuk berpisah dari kami.  Walau tempat yang menjual makanan khas Jakarta itu hanya berjarak beberapa meter dari keberadaan kami.

“Pul, rasanya lauknya kayak makanan ecek-ecek.”

“Ecek-ecek bagaimana, Gar?”

Togar menjatuhkan sebutir nasi yang membandel di sudut bibirnya. Enak atau tidak enak, cara makannya tetap terlihat seperti sedang berselera.

“Iya, ecek-ecek. Kurang garam, hanya pedasnya saja yang terasa. Walau opungku sudah tua, masakannya jauh lebih enak dari makanan yang mahalnya entah dari mana ini.” Nasi itu sudah hampir habis dilahapnya, tapi tetap saja yang terdengar masih berupa keluhan. Cuaca yang semakin panas, rasa lauk. dan suara tangis balita yang menurutnya sangat mengganggu. Aku menimpali dengan sepatah dua patah kata saja, hanya anggukan yang kuperbanyak.

Togar membenahi posisi celananya yang terasa sempit seketika perutnya bertambah buncit, kini ia justru mengeluhkan rasa kenyang yang berlebihan. Kami mulai menjauh dari warung itu usai menyerahkan beberapa lembar uang ke tangan si penagih. “Sekarang kita ke mana dulu, Pul?”

“Kita panggil Satria dulu, Gar. lama sekali dia.”

“Aku hampir tak ingat kalau ada Satria, lama kali dia menghi—“

“Ipul, Togar ...!” Satria berteriak dari kejauhan, sehingga menggagalkan satu kata terakhir yang ingin keluar dari bibir Togar. Ada apa gerangan, ia terlihat begitu ceria, terlebih-lebih dengan posisi kedua tangan yang direntangkannya. Mungkin saja dia bertemu dengan rajawali!

“Tadi aku bercerita dengan seorang pengusaha, di sana. Dan kalian tahu, dia menawarkan sebuah pekerjaan!”

“Yang benarnya kau?”

“Untuk kita bertiga?”

 “Iya, untuk kita bertiga!” Satria tak kalah lantang menjawab rentetan pertanyaan dari kedua temannya. Aku mencoba mencari-cari gurauan dari sorot matanya, namun tak kutemui. Hanya ada keseriusan dan ambisi yang membara di mata berukuran sedang itu. “Ayo, kita temui Bapak itu!”

Aku dan Togar saling berpandangan satu sama lain, berusaha menyepakati ambisi dalam satu tali tekad. “Siap, Bos!”

****

Aku menyembunyikan wajahku saat mata milik si pengusaha—menjajah setiap wujud yang melekat di tubuh kami. Togar sudah berhasil melewati tatapan itu, dan tiba giliranku untuk merasa risih. Kaki, sandal, rambut, baju celana, semuanya, benar-benar tersapu olehnya. Merasa sudah akrab dengan laki-laki bertubuh gempal itu, Satria hanya senyum-senyum menyaksikannya. Berbeda dengan kedua temannya yang menyimpulkan kalau itu; aneh dan berbeda. Seolah-olah merasa kalau ia menyimpan sesuatu di balik tubuhnya yang berukuran lebih itu.  

“Jadi, namamu Saiful, dan kamu Togar?”

Aku mengangguk lemah, dan sepertinya Togar pun melakukan hal yang sama denganku. Sungguh, aura asing orang itu—belum bisa membuatku untuk bersikap biasa. Hebat, Satria begitu cepat menyatu hanya dalam kurung waktu yang tak cukup dua jam.

“Aku ingin kalian memperkenalkan diri.”

Togar langsung saja menyikut denganku. Aku tahu, Togar menginginkan aku lebih dulu yang melakukannya. Satria mengangguk pasti meyakinkanku—di saat ekor mataku berusaha menjangkaunya. “Aku Saiful Bahri. Umurku lima belas tahun, aku orang minang, dan Ayahku sudah lama meninggal.”

“Pernah sekolah.”

Aku menggeleng.

“Sekarang giliranmu.” Ia menunjuk Togar.

“Namaku Togar Hasibuan, tak pernah sekolah aku.” Singkat dan padat, Togar membuatku menyukai jawabannya.

“Kalian anak-anak yang unik, aku suka. Mari, ikut denganku. aku akan memberi kalian pekerjaan yang layak.”

Adegan mengintrogasi itu kami akhiri dengan wajah yang sumringah. Orang itu pun mengatakan apa yang sudah kami tunggu-tunggu. Apalagi kalau bukan soal pekerjaan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, kami dibawanya masuk ke dalam mobil! Aku ingat, menaiki mobil mewah merupakan cita-citaku sewaktu masih balita. Benda mewah dengan cat mengkilap itu, kini menjadi mainan bagi perhatian kami masing-masing.   

Sesampainya di kediaman pengusaha itu, mata kami kembali dibuatnya ingin meninggalkan sarang. Bukan hanya karena rumahnya yang bak istana di negeri dongeng, tetapi juga karena berikat-ikat uang yang hampir membuat koper tempat penyimpanannya meledak; saking banyaknya. Kertas berharga yang selalu diburu oleh banyak orang itu—sempoyongan diperlihatkannya ketika kami baru saja sampai. Kami belum sempat menikmati pemandangan istananya, karena laki-laki yang tak berambut itu langsung saja meminta kami untuk mengikuti langkahnya yang mengarah ke dalam kamar. Tercengang, menganga, melotot, di kamar itulah kami melakukanya. Akan tetapi, tak satu pun benda-benda berkapas yang terlihat olehku. Hanya meja yang menampung beberapa gadget mewah, dan kertas-kertas yang berserakan bersama map. 

“Untuk apa uang sebanyak ini, Pak?” Tak ingin berlama-lama dibuat tercengang, Togar langsung menyampaikan satu pertanyaan yang sepertinya cukup mewakili rasa penasaran kedua temannya. Satria juga tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, ia mengamati kertas yang notabene berwarna merah itu dari balik teropong.

“Untuk apa, katamu? Memangnya ... kalian tidak mau uang ini menjadi milik kalian?”

“”Tentu saja kami mau! Dan kalau Bapak menyerahkan semuanya kepada kami, saat ini juga kami akan pulang ke Manggopoh untuk menyerahkannya dengan orangtua kami.”

Glek! Tembakan Satria semakin mempersulitku untuk menelan ludah. Bahkan ia langsung berdiri dengan menggunakan kedua lututnya. Duduk bersila di lantai memang mengurangi ketegasan seseorang dalam berbicara.

“Tidak secepat itu, anak muda. Haha ...!”

Jika ada kaleng di sebelahnya, aku yakin Togar akan melemparkan kaleng tersebut ke arah si pengusaha—ketika  mendengar tawa cemooh itu menggelegar. Tawa itu benar-benar mengingatkanku dengan si pencemooh di kampung kami. Terdengar tajam, namun menjijikan. Lebih baik aku digaruk kuku hitam kepunyaan Togar, daripada harus mendengarkan tawa itu lagi.

“Kalau kau mengajak kami bermain-main, lebih baik kami pergi dari sini. Membuang-buang waktu aku tengok.”

Aku terkejut mendengar pernyataan Togar. Si jenius ternyata sudah kembali kewatak aslinya. Mukanya berang, tangan itu dikepalnya sangat erat. Jika Satria hanya setengah berdiri, Togar justru melakukannya dengan sempurna. Ia berdiri tepat di hadapan pengusaha kaya tersebut. Benar-benar kusimpulkan sebagai penantang. Dan itu hebat.

“Baiklah, baiklah, anak muda... Aku akan memberikan uang ini jika kalian bisa bekerja dengan baik. Bagaimana, mau terima tawaranku?”

“Katakan, seperti apa pekerjaannya?”

Bukan hanya sepasang mata milik si pengusaha yang langsung tertuju ke arahku, tapi juga mata milik kedua temanku. Aku yang belum berbicara sepatah kata pun, membuat mereka harus memusatkan perhatian kepadaku. Seperti caleg yang sedang berkampanye, hanya podium yang membedakannya.

“Tapi, sebelum itu, kalian harus dilatih terlebih dulu. Aku akan meminta anak buahku untuk melatih kalian bertiga.”

“Dilatih?” Aku dan kedua temanku saling berpandangan. Sebuah pandangan yang dengan jelasnya menyiratkan gurat berpikir. Ya, air muka kami tampak berpikir keras karena ucapan si pengusaha tersebut.

****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • SusanSwansh

    Alaaamaakkk keren kali ni cerita.

    Comment on chapter Bab. 1 (Manggopoh Ujung)
Similar Tags
Who You?
867      551     2     
Fan Fiction
Pasangan paling fenomenal di SMA Garuda mendadak dikabarkan putus. Padahal hubungan mereka sudah berjalan hampir 3 tahun dan minggu depan adalah anniversary mereka yang ke-3. Mereka adalah Migo si cassanova dan Alisa si preman sekolah. Ditambah lagi adanya anak kelas sebelah yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mendekati Migo. Juya. Sampai akhirnya Migo sadar kalau memutuskan Al...
Perfect Love INTROVERT
10827      2017     2     
Fan Fiction
Ellipsis
2351      984     4     
Romance
Katanya masa-masa indah sekolah ada ketika kita SMA. Tidak berlaku bagi Ara, gadis itu hanya ingin menjalani kehidupan SMAnya dengan biasa-biasa saja. Belajar hingga masuk PTN. Tetapi kemudian dia mulai terusik dengan perlakuan ketus yang terkesan jahat dari Daniel teman satu kelasnya. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu masalah, namun pria itu seolah-olah ingin melenyapkan Ara dari pandangan...
Babak-Babak Drama
476      331     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Tuhan, Inikah Cita-Citaku ?
4213      1737     9     
Inspirational
Kadang kita bingung menghadapi hidup ini, bukan karena banyak masalah saja, namun lebih dari itu sebenarnya apa tujuan Tuhan membuat semua ini ?
Piromaniak
5770      1679     5     
Romance
Dia merubah apiku dengan cahayanya
Error of Love
1353      645     2     
Romance
Kita akan baik-baik saja ketika digoda laki-laki, asalkan mau melawan. Namun, kehancuran akan kita hadapi jika menyerah pada segalanya demi cinta. Karena segala sesuatu jika terlalu dibawa perasaan akan binasa. Sama seperti Sassy, semua impiannya harus hancur karena cinta.
Aku Lupa
669      466     3     
Short Story
Suatu malam yang tak ingin aku ulangi lagi.
Come Rain, Come Shine
1979      914     0     
Inspirational
Meninggalkan sekolah adalah keputusan terbaik yang diambil Risa setelah sahabatnya pergi, tapi kemudian wali kelasnya datang dengan berbagai hadiah kekanakan yang membuat Risa berpikir ulang.
Garden
5515      1711     5     
Fantasy
Suatu hari dimanapun kamu berada,selama kita menatap langit yang sama. Bolehkah aku merindukanmu?