Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

“KALAU badan gue udah nuntut obat itu, kayaknya gue mending gantung diri daripada nggak dapat, Al. Nyiksa banget.”

Alvaro melihat Toni mengepal tangannya kuat-kuat, lalu ia kenai ke keningnya yang menunduk. Toni lantas mendongak dan tangannya menyilang demi mencengkeram kedua lengan. Kakinya menahan beban siku. Matanya menatap kosong ke langit, berpindah pada lapangan voli di depan mereka. Sepoi angin menyibak helaian rambut Alvaro dan Toni sebentar. Toni menyugarnya kasar, lalu membuang napas keras-keras.

“Nyiksa, Al.”

Gumaman itu tertangkap jelas. Alvaro mencengkeram bahu Toni, memberinya kekuatan. Ia lalu menumpukkan kedua telapak di belakang tubuhnya. Lapangan di hadapan mereka diisi beberapa pemain seadanya. Ia tengah berada di Pusat Rehabilitasi, tempat Toni berada untuk memulihkan diri dari kecanduannya terhadap narkoba. Bagas membawa Toni ke tempat itu selepas kepulangannya dari rumah sakit.

“Lo harus lepas, Ton.” Komentar singkat Alvaro membuat Toni mendengus.

“Lo nggak ngelarang gue sebelumnya.”

“Karena gue sama-sama linglung waktu itu.”

Toni menendang rumput. “Bang Bagas maksa banget buat gue rehab. Sampai-sampai dia nyuruh istrinya tinggal di sini.”

“Bagus, dong. Rumah lo nggak sepi lagi.”

“Baru sekarang mereka datang, Al? Setelah gue kayak gini?” Toni menoleh sesaat pada Alvaro, tapi ia sudah bisa melihat kilat amarah, kecewa dan putus asa di mata Toni. Cekung di bawah matanya tampak lebih dalam dan hitam.

“Kata orang, nggak ada kata terlambat.”

Bullshit.” Toni mencabut paksa rumput di dekatnya, lalu melemparnya hingga potongan tanaman itu berserakan menimpa rumput lain. “Gue telat tahu soal kelakuan nyokap gue. Gue telat tahu soal bokap yang ternyata udah siap merit sama ceweknya. Lo tahu bokap gue aja telat datang, Al. Baru gue mau keluar dari rumah sakit dia datang. Sama ceweknya pula.”

Embusan napas Toni tidak teratur. Ada gelegak amarah di setiap tarikannya. Alvaro mencoba memahaminya, bahwa Toni tengah berada di titik tidak lagi percaya siapa-siapa selain obat-obatan dan minuman keras yang selalu mengawaninya. Alvaro baru sadar, Toni begitu kesepian.

“Raka nungguin lo abis bawa lo ke rumah sakit. Padahal dia bukan siapa-siapa lo. Seharusnya dia pulang. Tapi dia milih nungguin. Tidur di kursi depan UGD.”

Toni menatapnya sambil mengernyit.

“Lo mau bangga-banggain sohib lo?” sindir Toni sambil menyeringai.

Alvaro mendengus. Ia tersenyum lepas. “Dia nggak telat,” ujar Alvaro. “Dia nongol di hidup lo, dan dia nggak telat.” 

Ucapan itu membungkam Toni. Mulutnya yang semula membuka, terkatup rapat dan ia kembali menghadap ke depan. Permainan voli di lapangan entah dimenangkan tim mana. Tak satu pun dari mereka yang menyimak.

“Katanya Bara main sama Casi?”

Alvaro menarik tangannya dan mengusapnya beberapa kali demi menghilangkan tanah yang menempel di telapak.

“Bara aslinya emang suka main cewek. Ngikutin jejak bokapnya. Asli bokapnya selain jago mukul, jago ngegaet cewek juga. Dan asal lo tahu, waktu lo di rumah gue pas di kamar, Bara emang udah sempat make out sama Casi. Lo-nya aja yang bego malah nggak nyadar.”

Jika Alvaro mendengar pengakuan ini beberapa hari lalu, ia akan teramat terluka dan marah. Kini, rasanya begitu konyol dan menyedihkan hingga Alvaro ingin menertawai dirinya sendiri.

“Gue emang bego karena lepasin Emi demi Casi,” gumam Alvaro dengan nada melamun.

Toni berdecak. “Ajak balikan aja apa susahnya, sih? Lagian gampang buat lo ambil cewek mana pun yang lo mau.”

Alvaro menggeleng. Sudut bibirnya terangkat sedikit. “Gue nggak yakin nggak bakal nyakitin dia lagi. Pilihan terbaik gue cuma ngerelain dia.”

Kerongkongannya terasa kesat dan lidahnya pahit berucap demikian. Saat menyakiti Emilia dengan berkata bahwa Alvaro lebih membutuhkan Casi, nyeri di hatinya terabaikan oleh ketidakpedulian, juga terkecoh rasa yang ia kira adalah cinta terhadap Casi hingga meyakinkannya bahwa ia memang hanya menginginkan cewek itu. Nyatanya, saat kewarasan Alvaro kembali, ia sadar hanya tertarik pada penampilan Casi, keberaniannya, juga adrenalin yang timbul dalam upaya merahasiakan hubungan terlarang mereka dari Emilia. Sesungguhnya, masih satu nama yang membuatnya merindu dan memikirkannya saat tiba-tiba terjaga dari tidur; Emilia. Namun, Alvaro tidak patut melakukan hal lain selain melepas Emilia. Hidupnya masih begitu berantakan dan ia ragu mampu melindungi Emilia dari tingkah lakunya sendiri. Ia tidak siap melihat Emilia menangis karenanya lagi. Emilia layak bahagia. Dengan atau tanpanya.

Toni terkekeh. “Bisa sok bijak juga ya lo. Jijik gue.”

Alvaro ikut tergelak, meski hatinya tak bisa dibohongi.

“Eh, tapi gue penasaran, Al. Lo beneran nggak pernah main sama Casi? Secara lo tidur bareng sama dia berapa kali, sih?”

Alvaro bungkam beberapa saat, lalu berkata, “Hampir, pernah.”

Toni memasang raut tertarik.

“Tapi nggak gue lanjutin. Nggak tahu kenapa gue tiba-tiba sadar gitu aja waktu gue mau lepas baju Casi. Tangan gue...” Alvaro merentangkan tangannya di hadapan. “Tangan gue ngegetar hebat waktu itu. Gue tiba-tiba ngerasa takut.” Alvaro menarik jemarinya hingga membentuk kepalan dan menambahkan, “Mungkin gue masih dikasih kesempatan buat jadi orang bener.”

“Najis.”

“Lo juga, Ton.” Alvaro tak mengindahkan respons itu. “Mungkin lo juga dikasih kesempatan buat berhenti ngedrugs. Kesempatan buat dekat lagi sama keluarga lo. Kesempatan buat lo nerima mereka lagi. Yah, who knows, kan? Kalau sekarang kita masih hidup, pasti ada artinya.”

Toni terdiam, dan Alvaro hanya tersenyum samar. Kemunculan Bagas mengakhiri percakapan mereka. Alvaro pamit beberapa saat kemudian.

“Kapan-kapan gue ajakin Raka ke sini. Lo perlu energi positif dari dia buat ngebuang kenegatifan lo.”

Alvaro menyeringai dan mengabaikan reaksi penolakan Toni, sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.

Perjuangan Alvaro selanjutnya adalah menata kembali hidupnya. Perihal sang ayah masih sulit diutak-atik, meski ibunya mulai mengambil peranan besar terkait kekerasan yang entah berapa kali hendak ayahnya lakukan pada Alvaro setiap kali nilainya tidak memuaskan.

Alvaro mengikuti berbagai les setiap hari demi memperbaiki nilainya. Raka tak segan membantunya saat di kelas. Hanya beberapa teman yang masih bersedia dekat dengan Alvaro setelah insiden videonya. Alvaro tidak mempermasalahkan hal itu. Ia jadi tahu siapa yang tulus berteman dengannya dan tidak. Barangkali, itulah yang dinamakan hikmah pada setiap peristiwa.

Setiap kali melihat Emilia, Alvaro akan mencuri pandang dan memperhatikan diam-diam. Ia tidak pernah berani menghampiri secara gamblang atau mengajaknya berbincang. Ada rasa malu teramat besar yang menahannya, juga kurangnya percaya diri berhadapan dengan cewek itu. Bagi Alvaro, selama ia masih bisa melihat Emilia tersenyum, rasanya sudah cukup.

Meski hal itu berubah saat mereka berada di kelas yang sama begitu naik ke kelas tiga. Alvaro tidak menduga nilai akademiknya akan meningkat hingga memunculkan namanya di salah satu siswa di kelas 3 IPA 2. Padahal selama itu Alvaro meyakini kemampuan otaknya sudah tidak lagi bisa ditingkatkan. Barangkali karena sebelumnya ia melakukan semua itu dengan penuh tekanan karena keterpaksaan. Saat kerelaan yang membimbingnya, ia jadi lebih cepat menyerap pelajaran.

Ada kecanggungan setiap kali Alvaro dan Emilia bersitatap atau dilibatkan dalam pembicaraan. Alvaro akan susah payah mengatasi degup jantungnya yang liar dan berlagak santai hanya demi mencairkan ketegangan di antara mereka. Berhasil di banyak kesempatan. Gagal di saat Alvaro tenggelam pada kerinduan. Rindu yang dipupuk setiap harinya, dan menggunung di acara perpisahan. Rindu yang tidak pernah berani Alvaro utarakan. Ia yang dahulu selalu berusaha menunjukkan rasa sukanya, kini menjadi pribadi yang takut pada banyak hal. Ia berubah menjadi pecundang cinta.

“Oke, makasih, ya. Giliran siapa nih yang belum?”

Seorang teman sekelas Alvaro melihat buku tahunannya dan menyisir sekitar. Ia lalu menjentikkan jari dan menunjuk ke seorang cowok yang tengah duduk di teras sambil memainkan ponsel.

“Rama belum!” sahutnya, lekas menghampiri Rama.

Berpindahnya posisi cewek itu menyingkap keberadaan Emilia yang dikelilingi Puspa, Kamila dan tiga temannya dari kelas dua. Alvaro menatapnya lekat hingga ia tidak sadar seorang kawan yang telah mengisi catatan di buku tahunannya, menyerahkan buku itu kembali padanya.

“Nggak minta punya Emi, Al?”

Alvaro terkesiap saat Raka muncul di sisinya.

“Ngapain lo di sini? Lo nggak sekelas sama gue.”

Raka terkekeh. “Lucu aja ngelihat lo merhatiin Emi sampai segitunya. Udah sana samperin. Payah lo!”

Alvaro mencibir. “Kayak lo udah nyamperin cewek perpus itu aja.”

Ekspresi Raka berubah. Alvaro tertawa lepas melihat itu, dan ia lekas beranjak dari sana. Ini barangkali kesempatan terakhirnya berinteraksi dengan Emilia. Sungguhlah dirinya payah jika menyia-nyiakannya.

“Mi,”

Panggilan Alvaro mencuri perhatian siswi-siswi itu. Mereka kompak bubar, menyisakan Emilia dan Alvaro.

“Isi buku tahunanku, ya.” Alvaro tersenyum seraya menyerahkan bukunya.

Emilia membalas senyuman itu dengan tulus. “Kamu juga.”

Mereka berdiri berhadapan dengan wajah menunduk pada buku tahunan masing-masing di tangan. Alvaro melihat sudah banyak tandatangan dan pesan dari teman-teman sekelasnya untuk Emilia. Sebagian besar ucapan terima kasih dan harapan untuk tetap berkomunikasi meski telah lulus. Apa yang harus Alvaro tulis? Apa yang ingin ia sampaikan pada Emilia.

“Nih, Al.”

“Oh?” Alvaro mengerjap. “Sebentar, Mi,” pintanya gugup. Ia lekas menulis dan menutup buku itu, lalu menyerahkannya kembali pada Emilia.

Mereka saling memandang dalam diam. Keramaian para siswa di sekeliling mereka tampak tak mengusik kedekatan keduanya. Alvaro mengabadikan sosok itu lekat-lekat.

“Um, aku duluan ya, Al.”

Ucapan Emilia baru saja menyesakkan dada Alvaro. Ia mengembangkan senyum dengan susah payah. Dianggukkannya kepala.

“Jaga diri kamu ya, Mi.”

Emilia memeluk buku tahunannya. “Kamu juga, Al.”

Tak lagi ada kalimat yang keluar dari mulut Alvaro. Bahkan saat Emilia beranjak dari tempatnya, melewati Alvaro dan meninggalkan aroma stroberi yang selalu Alvaro sukai. Ia berbalik dan menatap punggung itu dengan segenap keinginan untuk merengkuhnya, memintanya kembali. Namun, sulit sekali. Hingga sosok Emilia tidak lagi terlihat pun, Alvaro tetap bergeming.

Alvaro lantas merundukkan pandangan dan membuka buku tahunannya. Ia mencari jejak Emilia di halaman terakhir. Saat menemukannya, napas Alvaro bagai sesak dan lega di waktu bersamaan. Pandangannya memburam dan matanya menghangat.

 

Teruntuk Alvaro,

Ada begitu banyak kejadian, ngasih aku bahagia, kecewa dan rasa bangga.

Nggak satu pun aku sesali. Karena semua itu berharga.

Termasuk kehadiranmu. Kebersamaan kita.

Makasih, Al.

Sampai jumpa kelak.

Emilia Savina.

 

Alvaro mengerjap. Ia tersenyum lebar dan mendongak. Benar. Tidak ada yang perlu ia sesali, bahkan pada rasa sakit yang ia dapatkan dan ia beri. Karena segala kepahitan itu mengajarinya kedewasaan dan ketangguhan untuk melangkah lebih jauh. Lebih berani.

Alvaro menutup buku tahunannya dan menatap ke arah Emilia pergi. Tak ada yang dilakukannya selain memandangi. Ada hal yang perlu dilepas karena pada akhirnya akan kembali. Alvaro memercayai itu sepenuhnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Batagor (Menu tawa hari ini)
386      249     4     
Short Story
Dodong mengajarkan pada kita semua untuk berterus terang dengan cara yang lucu.
Penantian
4082      1748     16     
Romance
Asa. Jika hanya sekali saja, maka...
Camelia
595      336     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
DELUSI
556      392     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.
NODA YANG BERWARNA
551      371     1     
Short Story
MENCERITAKAN PERJUANGAN SEORANG YANG SERING DI BULLY DI HIDUPNYA TENTANG BAGAIMANA SEHARUSNYA IA MENGHADAPI SEMUA COBAAN YANG TERJADI DALAM HIDUPNYA.
Serpihan Hati
11535      1933     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
In Her Place
1004      657     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Puisi yang Dititipkan
528      349     2     
Romance
Puisi salah satu sarana menyampaikan perasaan seseorang. Puisi itu indah. Meski perasaan seseorang tersebut terluka, puisi masih saja tetap indah.
Reaksi Kimia (update)
5887      1559     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~
Hello Goodbye, Mr. Tsundere
1283      838     2     
Romance
Ulya tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Natan di kampus. Natan adalah panggilan kesayangan Ulya untuk seorang cowok cool, jenius, dan anti sosial Hide Nataneo. Ketika para siswa di SMU Hibaraki memanggilnya, Hide, Ulya malah lain sendiri. Ulya yakin si cowok misterius dan Tsundere ini punya sisi lain yang menakjubkan. Hingga suatu hari, seorang wanita paruh baya bertopi fedora beludru...