Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

MELIHAT Alvaro di sekolah barangkali sebuah permohonan besar yang Emilia panjat akhir-akhir ini, sehingga begitu harapannya mewujud nyata, Emilia tidak bisa memungkiri kelegaan batin yang membuatnya hanyut dalam haru. Terlebih, melihat cowok itu bersama Raka, tersenyum dan tertawa seperti dirinya yang dulu. Bahkan meski Emilia tidak bicara dengan Alvaro, ia tahu ada yang berbeda. Perbedaan yang baik.

“Mi.”

Puspa yang baru berdiri hendak pulang, menepuk pundak Emilia. Saat ia mendongak, dagu Puspa bergerak singkat ke depan. Emilia mengikuti arah pandang cewek itu. Ia tertegun. Tubuhnya praktis mengejang. Tangannya yang semula sibuk merapikan buku di meja, tak lagi berfokus melakukannya. Seluruh perhatiannya terpusat pada sosok Alvaro yang berjalan masuk ke kelas, dan berhenti tepat di depan mejanya.

“Hei.”

Paru-paru Emilia seolah kekurangan oksigen karena ia sulit bernapas. Tanpa sadar ia mencengkeram buku dan menelan ludah. Meski ingin, Emilia tidak bisa menanggalkan pandangan dari cowok yang kini sedang tersenyum canggung padanya.

“Aku duluan ya, Mi.”

Suara Puspa menyekat Emilia, karena degupnya mengencang saat sadar hanya tersisa ia dan beberapa siswa di kelas, yang bersiap meninggalkan ruangan itu meski dari tatap singkatnya, Emilia bisa melihat keingintahuan mereka terkait kedatangan Alvaro.

“Boleh ngomong sebentar, Mi?”

Suara itu tak lagi menyapa Emilia sejak pertemuan terakhir mereka. Emilia yang belum mengedip bahkan enggan melakukannya karena khawatir begitu kelopaknya memejam sekejap, Alvaro hilang dari pandangan. Ia takut itu hanya bayangan. Namun, saat Alvaro menyeret kursi di sisinya dan mendudukinya menghadap Emilia, Emilia baru bisa mengerjap. Sosok itu nyata.

Ruangan kelas yang kini hanya menyisakan dua remaja itu senyap oleh suara. Tarikan dan embusan napas mereka menjadi satu-satunya pengikat interaksi antara keduanya. Bagai hendak berkomunikasi lewat tatap mata kikuk yang kentara. Seolah mengharap ada perbincangan melalui udara. Padahal mereka sama-sama tahu, kesunyian itu tidak menguntungkan.

“Wajah...” Emilia menurunkan pandangan ke buku-bukunya di meja. Ia berdeham. “Wajahmu...nggak apa-apa?”

Detik itu ia mendengar embusan napas Alvaro. Mungkinkah ia keliru jika menangkap kelegaan di sana?

“Tinggal bekasnya, Mi. Udah nggak sakit lagi.”

Suara bariton yang terdengar hidup. Ya Tuhan, Emilia merindukan cara bicara Alvaro yang seperti ini, karena setiap kali melihat Alvaro, ia akan teringat ucapan dan nada dingin cowok itu saat berbicara tentang Casi.

Emilia mengangguk samar. Ia memaksa tangannya untuk bergerak hanya agar mendapat sedikit pengalihan. Oh, tidak. Tangannya gemetar. Apakah Alvaro menyadarinya?

“Ada ekskul hari ini?” tanya Alvaro sesaat setelah Emilia menutup tasnya.

Emilia menggeleng. “Tugas ekskul udah selesai, jadi sekarang fokus menghadapi UTS.”

“Oh, iya. UTS.”

Emilia memberanikan diri untuk menatap Alvaro. Cowok itu sedang memandang ke arah jendela sambil mengangguk-angguk. Tatapannya tiba-tiba berpaling pada Emilia, dan pertemuan manik keduanya tak bisa dihindarkan.

“Sayembaranya gimana?”

Emilia menelan ludah. “Aku nggak ikut. Udah lewat.”

Kernyit samar menghias kening Alvaro, sebelum ia mengendurkannya kembali dan tersenyum kecut.

“Jangan berhenti coba ya, Mi. Kamu bisa bikin cerpen terus coba kirim ke majalah. Kan banyak tuh, majalah yang ada rubrik cerpennya gitu. Atau kamu bikin kumpulan cerpen terus coba kirim ke penerbit. Tulisanmu bagus, Mi. Aku yakin bisa lolos.”

Emilia tidak tahu kenapa Alvaro berkata demikian. Ia hanya menatap cowok itu dengan sekelumit rasa. Kepalanya mengangguk samar. Saat keduanya kembali bungkam, ketegangan itu semakin menyengsarakan. Kerinduan terhadap Alvaro bercampur bersama kecanggungan asing yang menyedihkan. Emilia tidak ingin mengakui ini, tapi hal itu membuatnya gusar dan tak nyaman.

Emilia hendak membuka mulutnya untuk pamit, tapi Alvaro mendahului.

“Maaf.”

Manik Emilia membulat menatap Alvaro yang sempat menunduk, sebelum cowok itu kembali melihat ke arahnya. Sorot dingin yang sempat menghunjam Emilia tidak lagi ada. Binar hangat juga pilu kini menghias bola mata itu. Bibir Emilia menutup rapat, mulai bergetar.

“Aku minta maaf, Mi. Buat semuanya. Aku udah nyakitin kamu, padahal...” Alvaro membuang napas berat. Sudut bibirnya terangkat kaku. “Kamu tulus. Kamu pengin yang terbaik buat aku. Tapi aku malah nyakitin kamu. Selingkuh. Nolak kebaikan kamu. Maaf, Mi.”

Pelupuk mata Emilia mulai dibayangi air mata. Ia mengerjap demi menahan desakan itu. Emilia mencengkeram tas yang ada di pangkuannya, lantas menggeleng.

“Kamu nggak salah, Al.” Emilia membasahi bibirnya. Suaranya terlalu parau. “Kamu lagi ada masalah. Wajar kalau kamu milih Casi.” Emilia mengigit bagian dalam bibirnya saat nama itu terucap. Tidak. bukan ini yang ingin dikatakannya. Ia tidak ingin teringat Casi. Tapi isi kepalanya semrawut sekali. “Aku nggak ada buat kamu. Kamu nggak salah.”

“Aku selingkuh sebelum masalah sama Papa, Mi...”

Emilia menahan napas. Bertahan, Mi. Kamu harus bertahan.

“Casi...” Emilia mengembuskan napasnya pelan. “Dia punya hal yang nggak aku punya. Dia bikin kamu tertarik.”

Alvaro bungkam.

“Aku seharusnya datang ke kamu.”

Ya, seharusnya begitu. Seharusnya Alvaro mendatangi Emilia, memilih bercerita padanya dibanding Casi. Tapi, apakah Alvaro sanggup mengendalikan itu? Apakah Emilia mampu memengaruhinya? Karena barangkali, akan selalu ada saat orang yang mereka sayang, justru berbagi luka bersama orang lain. Emilia tidak bisa menyalahkan Alvaro, meski ia ingin. Ia sadar, ada yang tidak bisa ia lakukan, tapi bisa diberi Casi. Dan ia tidak bisa memungkiri kegamangan Alvaro saat itu, karena kini dirinya pun didera rasa serupa setelah melihat tingkah laku Alvaro, ucapannya, dan perpisahan mereka. Mereka perlu navigasi untuk menata hati. Emilia memiliki ibunya. Tapi Alvaro tidak.

“Aku sayang kamu, Mi...”

Pernyataan itu meruntuhkan pertahanan Emilia. Ia membeliak pada Alvaro yang menatapnya sendu. Mata cowok itu tampak berkabut.

“Maaf, Mi...”

Emilia tidak lagi bisa menahan desakan itu. Tangisnya meluncur membasahi wajahnya yang terasa kebas. Tangan Alvaro terulur. Jemarinya yang besar dan hangat, kini terasa dingin menyentuh pipinya hati-hati, mengusapnya perlahan.

“Maafin aku, Mi. Maaf udah nyakitin kamu. Tapi aku sadar, perasaanku ke kamu nggak berubah. Aku terlalu bego buat nyadarin itu.”

Emilia membekap mulutnya. Tangan Alvaro bergerak pelan menyentuh tangannya, menyelipkan jemarinya hingga menyentuh bibir Emilia. Alvaro menggenggamnya erat.

“Aku bakal jadi Alvaro yang kamu kenal, Mi. Aku bakal berusaha ngebenerin hidup aku. Tapi cuma satu yang nggak bakal berubah, Mi. Arti kamu buat aku.”

Alvaro mengeratkan genggamannya. Ia membuang napas tertahan dan menunduk, lalu mengurai jemarinya dan berdiri. Emilia tidak sanggup mendongak untuk melihat sosok itu, bahkan ketika tangan Alvaro membelai kepalanya.

“Baik-baik ya, Mi.”

Kalimat itu terucap lirih nyaris serupa bisikan. Saat tangan Alvaro bergerak menjauh, detik itulah tangis Emilia meluncur kian deras. Alvaro berbalik dan meninggalkannya. Ruang itu tak lagi berhias kata selain isak Emilia. Ini adalah penutupan. Akhir sempurna pada hubungan mereka. Keduanya melepas dan merelakan, meniti jalan masing-masing. Rasa yang masih sama tidak cukup mengembalikan keduanya. Ada tatanan yang mesti diperbaiki, luka yang harus diobati. Mereka sama-sama tahu itu.

Seperti ucapan ibu Emilia perihal kesempatan untuk mereka mengambil jalan sendiri-sendiri, pemahaman itulah yang memenuhi tekad Emilia kini. Mereka perlu memberi kesempatan itu pada masing-masing, untuk bahagia tanpa satu sama lain.

Emilia tidak bisa memungkiri sesak di dadanya. Tapi, ia mampu menghias senyum getir pada tangisnya. Inilah yang terbaik.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Puisi, Untuk...
20256      3293     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.
Rinai Hati
540      297     1     
Romance
Patah hati bukanlah sebuah penyakit terburuk, akan tetapi patah hati adalah sebuah pil ajaib yang berfungsi untuk mendewasakan diri untuk menjadi lebih baik lagi, membuktikan kepada dunia bahwa kamu akan menjadi pribadi yang lebih hebat, tentunya jika kamu berhasil menelan pil pahit ini dengan perasaan ikhlas dan hati yang lapang. Melepaskan semua kesedihan dan beban.
Slash of Life
8457      1790     2     
Action
Ken si preman insyaf, Dio si skeptis, dan Nadia "princess" terpaksa bergabung dalam satu kelompok karena program keakraban dari wali kelas mereka. Situasi tiba-tiba jadi runyam saat Ken diserang geng sepulang sekolah, kakak Dio pulang ke tanah air walau bukan musim liburan, dan nenek Nadia terjebak dalam insiden percobaan pembunuhan. Kebetulan? Sepertinya tidak.
TeKaWe
1160      642     2     
Humor
bagaimana sih kehidupan seorang yang bekerja di Luar Negeri sebagai asisten rumah tangga? apa benar gaji di Luar Negeri itu besar?
Hey, Limy!
1490      683     3     
Humor
Pertama, hidupku luar biasa, punya dua kakak ajaib. kedua, hidupku cukup istimewa, walau kadang dicuekin kembaran sendiri. ketiga, orang bilang, aku hidup bahagia. Iya itu kata orang. Mereka gak pernah tahu kalau hidupku gak semulus pantat bayi. Gak semudah nyir-nyiran gibah sana-sini. "Hey, Limy!" Mereka memanggilku Limy. Kalau lagi butuh doang.
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
570      419     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Aku & Sahabatku
17765      2488     4     
Inspirational
Bercerita tentang Briana, remaja perempuan yang terkenal sangat nakal se-SMA, sampai ia berkenalan dengan Sari, sifatnya mengubah hidupnya.
DELUSION
6399      1872     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
Story Of Me
3863      1463     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Alfabet(a) Cinta
13251      2200     2     
Romance
Alfa,Beta,Cinta? Tapi sayangnya kita hanya sebatas sahabat. Kau yang selalu dikelilingi wanita Dan kau yang selalu mengganti pacarmu setiap bulannya