EMILIA bangun lebih awal hari ini. Begitu meninggalkan tempat tidur, ia bergegas ke dapur dan mengeluarkan bahan-bahan untuk memasak. Emilia tidak sepandai ibunya dalam urusan dapur, tapi ketelatenannya membantu ibu setiap kali berkutat dengan berbagai menu, membuat Emilia sedikit-banyak belajar dari beliau. Hari ini, ia berinisiatif memasak sarapan untuk keluarganya, dan Alvaro.
Setelah pulang dari persiapan mading kemarin, Emilia mengirim WA pada Alvaro, mengabarinya bahwa ia sudah tiba di rumah. Sayangnya, tidak ada balasan dari cowok itu. Emilia menduga Alvaro kelelahan karena terlalu banyak belajar. Situasi itu memunculkan sebuah gagasan. Kenapa Emilia tidak meringankan sedikit beban Alvaro dengan memasakkannya makanan?
Selama ini, Emilia sudah tergugah untuk mencoba melakukannya, tapi tidak pernah benar-benar terealisasi karena kurang percaya diri dengan hasilnya nanti. Begitu banyak hal yang ia khawatirkan dipikirkan Alvaro jika Emilia nekat membuatkan makanan untuknya. Bagaimana jika rasanya tidak enak tapi Alvaro memaksakan diri untuk tetap memakannya? Bagaimana jika rasanya tidak cocok dengan lidah Alvaro? Bagaimana jika Alvaro malu diberi bekal? Bagaimana jika Alvaro lebih memilih bakmi Pak Oji daripada menu buatan Emilia? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran menyesakkan benak, hingga keputusan pun dibuat. Emilia lebih baik tidak melakukannya.
Hari ini, ia telah mencacah habis keputusan itu. Ia yakin Alvaro menghabiskan banyak waktu untuk belajar. Kondisi itu bagaimanapun bisa membuat seseorang tertekan, terutama saat nilai Alvaro justru di luar harapan. Emilia khawatir Alvaro tak bernapsu makan karena suasana hatinya yang turun. Di sekolah, Emilia setidaknya bisa mengecek Alvaro menyantap sesuatu. Masalahnya, menu yang Alvaro incar nyaris selalu bakmi. Meski Emilia menawarkan pilihan lain, Alvaro biasanya tidak begitu peduli. Jika Emilia membuatkannya makanan, barangkali, Alvaro akan menerimanya dan tetap memakannya, karena masakan itu dari pacar. Apa ini egois jika Emilia seolah mendesak Alvaro mengikuti keinginannya sendiri? Tapi, jika untuk kebaikan, tidak ada salahnya mencoba, bukan?
“Emi, aku duluan ke kantin, ya. Tadi nggak sarapan karena telat bangun,” ujar Puspa sambil mengelus perutnya. “Mau nungguin Alvaro di sini atau nyamperin langsung?”
“Langsung, Pa. Paling nanti ketemu di koridor kalau dia keburu turun.”
Puspa mengangguk-angguk. Setelah bangkit, ia terkekeh. “Senang, ya, bisa masakin buat pacar. Aku sih nggak ada yang bisa dimasakin. Dan nggak bisa masak juga.” Puspa tertawa oleh ucapannya sendiri. Perhatiannya beralih pada temannya. “Eh, ke kantin bareng, dong.”
Puspa melambai dan meninggalkan Emilia yang merona karena ucapan sahabatnya tadi. Ia meraih paper bag yang disimpannya di dalam kolong meja, lalu mulai mengukir langkah menuju kelas Alvaro. Tangannya menjinjing paper bag dengan erat, sementara debur gugup menyertainya sedari tadi. Semoga Al suka. Semoga Al suka.
Emilia memasakkan steak tuna untuk Alvaro. Cowok itu bisa memakan makanan jenis apa pun, yang memudahkan Emilia memilih menu. Masakannya digenapi brokoli, wortel dan buncis. Alvaro sangat menyukai brokoli, jadi Emilia masukkan lebih banyak dengan harapan meningkatkan selera makan Alvaro.
“Emi?”
Emilia baru menaiki empat anak tangga saat panggilan itu terdengar. Ia melihat Raka di hadapannya. Cowok itu tidak sendiri. Ia bersama dua temannya, tapi tidak ada Alvaro.
“Hei, Ka. Ke kantin?”
Raka mengangguk. Ia meminta temannya pergi lebih dulu, sementara ia memberi jalan pada siswa lain dan bergeser ke sudut. Emilia melakukan hal serupa.
“Kok tumben ke—mau nyamperin Al?” tanya Raka mulai paham.
“Iya. Dia masih di kelas, kan?”
“Masih...”
Ada keanehan di cara bicara Raka, seolah ia ragu berkata demikian. Raut wajahnya pun tidak serileks biasanya. Kening cowok itu dihiasi kerutan, seolah ia tengah memikirkan sesuatu. Tatapan Raka lantas jatuh ke paper bag di tangan Emilia.
“Bawain hadiah buat Al?”
“Makanan, Ka. Bekal.” Emilia terkekeh malu. “Ya udah. Aku duluan ya, Kak.”
“Oh? Oke.”
Berbalut antisipasi menanti reaksi Alvaro, Emilia pun melanjutkan perjalanannya. Begitu tiba di lantai dua, ia segera menghampiri kelas pertama yang dilihatnya, berdiri di dekat pintu, menengok ke dalam. Senyum Emilia praktis merekah saat melihat Alvaro di sudut kelas belakang, duduk di bangku dengan posisi bersandar pada dinding. Emilia membuka mulut untuk memanggil, tapi niatnya terhenti saat baru menyadari Alvaro tengah menelepon. Bibir cowok itu tersungging lebar. Denyut jantung Emilia mendadak kesat. Ia teringat dengan pemandangan serupa saat menemukan Alvaro di area lab biologi.
Emilia mengerjap saat Alvaro menyadari kehadirannya. Ia berkata sesuatu pada orang di ujung telepon, mengakhiri panggilan dan berderap menghampiri Emilia.
“Yang, dari tadi?”
“Baru, kok.”
“Mau ngajak ke kantin? Aku nggak bakal makan bakmi hari ini. Temanku bilang nggak bagus makan bakmi sering-sering.”
Emilia terpaku. Denyut dadanya tak menentu. Ada apa ini? Alvaro sulit Emilia nasihati terkait bakmi. Namun, cowok itu tiba-tiba mengaku tidak akan menyantap bakmi karena ucapan temannya? Emilia menelan ludah, tanpa sadar mencengkeram tali paper bag.
“Ya udah, yuk!”
Alvaro pun melenggang melewati Emilia. Emilia masih tertegun di tempatnya, menatap punggung Alvaro yang perlahan menjauh. Waktu bagai berhenti. Celotehan para siswa di dekatnya seolah tak lagi terdengar. Ruang hampa menyisakan Emilia seorang diri, bersama sebuah kesadaran yang menyentaknya. Alvaro selalu ceria. Cowok itu nyaris selalu terlihat tersenyum dan tertawa. Namun, hari ini Emilia merasa wajah cerah Alvaro terasa berbeda. Cowok itu bahkan tidak menyadari Emilia menenteng sesuatu, padahal selama ini, Alvaro selalu jadi orang yang paling memperhatikan Emilia. Kali ini, Emilia merasa Alvaro seolah-olah melihatnya, tapi tidak memedulikannya.
“Yang, kok masih di sini?”
Teguran itu memecah kericuhan di benak Emilia, membuatnya mengerjap.
“A-aku...” Emilia berdeham, mengangkat tangannya perlahan. “Aku...bikinin bekal, Yang.”
“Eh?” Alvaro menurunkan pandangan ke arah paper bag. “Oh? Aku baru sadar. Tumben kamu bawain bekal buatku, Yang.”
Emilia membiarkan Alvaro mengambil alih paper bag dan mengintip isinya, lantas mengeluarkan kotak makan dan membukanya. Alvaro mendesah kagum.
“Kayaknya mantap, nih!” seru Alvaro antusias. “Mau makan di mana, Yang? Oh, di kelasku aja. Lagi nggak banyak orang, biar nggak ada yang minta.”
Sekali lagi, Alvaro berjalan lebih dulu melewati Emilia masuk ke kelasnya, duduk di bangkunya. Alvaro dihampiri salah seorang teman sekelasnya. Alvaro tertawa, mengusir temannya dan melarangnya meminta bagian. Emilia memandangi adegan itu dengan sekelumit rasa yang membuatnya gelisah. Ia menelan ludah.
“Yang, sini!”
Alvaro melambai. Emilia mengangguk kaku, segera menyusulnya. Saat Emilia duduk di samping Alvaro, cowok itu sudah mengambil satu suapan. Ia menggumam panjang sambil tersenyum.
“Yang, ini enak banget! Bikin sendiri?”
“I-iya. Suka?”
“Banget!” Alvaro mengambil suapan lain. “Eh, tapi kok tumben bikinin aku bekal, Yang?”
“Hm?” Emilia melenturkan otot-otot wajahnya yang tegang. “Lagi coba-coba, sih.”
“Bukan karena biar aku nggak makan bakmi terus-terusan?” tebak Alvaro. Saat Emilia memasang cengiran, Alvaro mencubit pipi Emilia gemas. “Dasar! Makasih ya, Yang.”
Alvaro membantu Emilia membuka penutup kotak makan bagiannya, lantas berceloteh ringan bahwa ia tidak menyangka Emilia bisa memasak seenak ini. Emilia menanggapinya dengan anggukan, ucapan terima kasih dan tawa pelan yang hambar.
Sesaat tadi, Alvaro terasa asing baginya. Kini, Alvaro kembali menjadi dirinya. Emilia menghela napas panjang diam-diam, membersihkan isi pikirannya. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang aneh. Alvaro masih tetap Alvaro.
Tapi, tadi dia nelepon siapa? Temannya di tempat les lagi?
Emilia hanya sanggup menelan bulat-bulat pertanyaan itu, tidak berani melontarkannya.